Dalam Buddhisme, menjadi tentara tidak secara mutlak dilarang, tetapi sangat disarankan untuk berhati-hati dalam menjaga niat dan tindakan agar tetap selaras dengan prinsip non-kekerasan dan welas asih. Sutta yang secara khusus menampilkan permasalahan seorang pemeluk ajaran Sang Buddha tetapi berprofesi sebagai tentara atau sebagai pasukan angkatan perang itu tidak ada. Yang ada adalah tentang pembunuhan makhluk.
Dalam konteks seorang prajurit yang diperintahkan untuk berperang, ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan untuk memahami konsekuensi karmanya : Jika seorang prajurit berperang dengan niat membunuh, merusak, atau didorong oleh kebencian dan agresi, maka konsekuensi karmanya menjadi berat. Meskipun seorang prajurit mendapat perintah dari atasan, keputusan untuk melaksanakan perintah tetap menjadi tanggung jawab pribadi. Dalam pandangan Buddhis, tidak ada yang bisa memaksa seseorang untuk berbuat karma buruk kecuali dirinya sendiri yang memilih melakukannya. Mengikuti perintah tanpa kesadaran atau pemikiran kritis tidak menghapuskan tanggung jawab moral individu. Dampak tindakan : Setiap tindakan yang merugikan makhluk hidup - seperti melukai, membunuh, atau menyebabkan penderitaan - akan menanam benih karma buruk (akusala kamma). Akibat dari perintah : Meskipun niatnya mulia, memerintahkan perang hampir pasti mengarah pada kekerasan, penderitaan, dan kematian - yang semuanya menanam benih karma buruk. Dalam pandangan Buddhis, “Melakukan kekerasan demi kebaikan tetap menghasilkan karma buruk, meskipun intensitasnya bisa berbeda.” Komandan tidak hanya menanggung karma dari niat dan tindakannya sendiri, tetapi juga berkontribusi pada karma dari tindakan prajurit yang menjalankan perintah tersebut. Ini disebut sebagai karma kolektif - di mana semua pihak yang terlibat dalam suatu rangkaian tindakan turut menanggung dampak karmanya.
Alternatif non-kekerasan :
Memilih jalur diplomasi, negosiasi, atau mencari jalan tengah akan lebih sejalan dengan prinsip-prinsip Buddhis. Namun, jika semua cara damai sudah ditempuh dan perang menjadi satu-satunya pilihan untuk melindungi yang lemah, beberapa pandangan Buddhis menganggap ini sebagai karma netral atau campuran.
Buddhisme tidak menghakimi seseorang secara mutlak, melainkan menawarkan panduan untuk mengembangkan kebijaksanaan dan memperbaiki diri secara bertahap.
1. Merenungkan niat di balik menjadi tentara. Jika alasan awalnya adalah untuk melindungi, menjaga perdamaian, atau karena kebutuhan hidup, maka niat tersebut bisa menjadi fondasi untuk mempraktikkan kebajikan di tengah lingkungan militer.
1. Jika memungkinkan, seorang tentara bisa mulai merencanakan transisi ke profesi lain yang lebih selaras dengan jalan damai, seperti menjadi petugas kemanusiaan, mediator konflik, perubahan ke arah yang lebih baik selalu dihargai, meskipun dilakukan bertahap.
Buddhisme tidak secara eksplisit melarang profesi tentara, tetapi menempatkannya dalam wilayah abu-abu secara moral. Dalam Sutta Pitaka, tidak ada ajaran yang secara langsung membolehkan atau melarang seseorang menjadi tentara. Intinya adalah niat di balik tindakan dan usaha untuk meminimalkan kekerasan serta mengembangkan welas asih. Seorang prajurit bisa menjalani hidup spiritual dengan berupaya menjalankan sila, sejauh mungkin mengurangi kekerasan, dan berlatih kesadaran dalam setiap tindakan.
Buat negara yang rakyatnya menganut agama yang beragam, maka tanggung jawab menjaga keamanan bisa dibagi kepada mereka yang tidak terikat oleh larangan moral yang sama dengan Buddhisme, sementara umat Buddha berkontribusi dengan memperkuat perdamaian dan keharmonisan sosial.
Beberapa komunitas Buddhis modern memahami bahwa menjaga kedamaian kadang membutuhkan kekuatan untuk mencegah kekacauan. Selama niatnya murni dan tidak dilandasi kebencian, tindakan tersebut bisa dianggap bagian dari jalan bodhisattva — melindungi makhluk hidup demi kebaikan bersama.
Perang bukanlah ajang untuk menunjukkan kekuatan, melainkan sebagai upaya terakhir untuk menjaga kedamaian dan melindungi yang lemah.
Tambahan : Negara Thailand memiliki angkatan bersenjata yang berfungsi untuk menjaga kedaulatan dan stabilitas nasional. Prinsip-prinsip yang dipegang oleh militer Thailand mencerminkan keseimbangan antara nilai-nilai tradisional Buddhis dan kebutuhan praktis pertahanan negara.
Kesimpulan :
1. Dalam Buddhisme, menjadi tentara tidak secara mutlak dilarang.