Translate

Tampilkan postingan dengan label Wawasan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wawasan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Oktober 2025

Belajar mengerti bahwa dunia ini bukan milik kita


Kekecewaan sering muncul dalam diri kita karena kita berharap dunia mengikuti
keinginan kita. Kita ingin orang lain berlaku sesuai dengan keinginan kita, dan keadaan berjalan sesuai dengan rencana kita sehingga hidup kita mulus tanpa hambatan.
Namun ajaran buddha mengingatkan kita, bahwa semua itu hanyalah ilusi. Dunia tidak tunduk pada ego kita. Dunia bergerak sesuai hukum sebab akibat, bukan berdasarkan keinginan pribadi. Jika kita memahaminya, kita akan berhenti menggenggam keras hal hal yang sesungguhnya tidak pernah bisa kita miliki.
Buddha mengajarkan tentang Anicca (ketidakkekalan). Segala sesuatu, baik yang kita cintai maupun yang kita benci pada akhirnya akan berubah. Menyadari akan hal ini membuat hati kita lebih ringan.
Ketika kita menyadari bahwa dunia tidak bisa dimiliki selamanya - kita belajar melepas keterikatan yang menjadi sumber penderitaan. Dengan begitu kita tidak lagi terseret oleh gelombang kecewa yang setiap kali datang, sesuatu tidak berjalan sesuai harapan.
Ibarat seseorang yang menonton pertunjukan drama, ia tahu bahwa setiap adegan hanya sementara, ada tawa ada tangis ada pertemuan ada perpisahan. Karena menyadari itu, ia tidak larut dalam kesedihan berlebihan.
Demikian pula hidup ini. Kita adalah penonton sekaligus pemeran. Namun kita tidak pernah benar benar memiliki panggungnya. Semuanya akan berakhir sesuai waktunya. Saat kita bisa menerima kenyataan bahwa dunia bukan milik kita. Kita mulai melatih Upekkha (keseimbangan batin). Inilah salah satu bentuk kebijaksanaan. Tidak terhanyut oleh kesenangan, tidak terpuruk oleh kesedihan. Kita tetap teguh berdiri, menyadari bahwa hidup adalah aliran peristiwa yang datang dan pergi. Memiliki ketenangan dan keseimbangan batin bukan berarti pasif. Melainkan mampu menerima kenyataan tanpa menambah penderitaan dengan penolakan batin.
Perumpamaan sederhana, bayangkan dengan kita menaruh lumpur yang licin diatas telapak tangan kita. Jika kita remas lumpur itu kuat-kuat, maka lumpur akan keluar melalui celah-celah jari. Jika kita tidak meremasnya, lumpur akan tetap berada di atas telapak tangan. Demikian pula hidup, semakin kita ingin menggenggam dunia ini, semakin banyak kekecewaan yang kita alami. Namun bila kita belajar menerima, kita justru akan menemukan ketenangan.
Dengan menyadari bahwa dunia ini bukan milik kita, kita akan berhenti menuntut dunia untuk selalu sesuai dengan ego kita. Kita mulai menyesuaikan diri dengan hukum alam. Bukan memaksakan hukum ego. Dari sinilah lahir kebijaksanaan, dan bersama kebijaksanaan akan muncul ketenangan sejati. Itulah langkah pertama yang membuat batin kita tidak mudah terguncang oleh situasi apapun. 

Jumat, 10 Oktober 2025

MENGUNCARKAN PARITTA

Menguncarkan Paritta berguna sebagai perlindungan spiritual, penenang batin, dan pelimpahan berkah, ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, dan semua makhluk. Paritta bukan sekadar ritual, tetapi latihan batin yang penuh makna dan manfaat.


Kegunaan Menguncarkan Paritta
1. Perlindungan dari Bahaya dan Energi Negatif : Paritta seperti Ratana Sutta,
    Metta Suttadan Mahā Maṅgala Sutta dipercaya mampu menangkal 
    gangguan fisik maupun non-fisik.
2. Menenangkan Batin dan Meningkatkan Konsentrasi : Melafalkan paritta 
    dengan penuh kesadaran membantu menenangkan pikiran, melatih fokus, dan 
    mengurangi stres.
3. Mengembangkan Cinta Kasih dan Kebajikan : Paritta seperti Karaniya Metta
    Sutta mengajarkan cinta kasih universal kepada semua makhluk, memperkuat
    empati dan welas asih.
4. Memperkuat Keyakinan kepada Triratna : Membaca paritta memperdalam 
    Saddhā (keyakinan) kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, serta 
    menumbuhkan rasa syukur.
5. Pelimpahan Jasa dan Berkah : Paritta dapat dilafalkan / dibaca untuk 
    mendoakan orang lain, termasuk keluarga, sahabat, bahkan makhluk tak 
    terlihat. Banyak umat membacanya untuk anak, orang sakit, atau makhluk
    yang telah meninggal.
6. Meningkatkan Kesehatan Mental dan Emosional : Getaran suara paritta dan 
    makna spiritualnya memberi efek menenangkan dan menyembuhkan bagi 
    tubuh dan batin.
Menguncarkan Paritta ditujukan Kepada Siapa?
1. Diri sendiri : Untuk perlindungan, ketenangan, dan penguatan spiritual.
2. Keluarga dan orang terdekat : Sebagai doa dan pelimpahan jasa.
3. Makhluk lain : Termasuk makhluk halus, hewan, dan semua makhluk di 
    alam semesta.
4. Lingkungan sekitar : Untuk menciptakan suasana harmonis dan damai.
Paritta itu semacam doa, siapa yang bisa mengabulkan doa Paritta?
Dalam Buddhisme, Paritta memang mirip doa, tetapi dengan makna dan 
mekanisme yang sedikit berbeda dari konsep doa dalam tradisi Teistik.
Siapa yang “Mengabulkan” Paritta?
Dalam ajaran Buddha, tidak ada sosok yang secara aktif “mengabulkan” doa 
seperti Tuhan dalam agama Teistik. Sebaliknya, Paritta bekerja melalui :
1. Kekuatan Kebaikan (Puñña)
    ~ Ketika seseorang membaca Paritta dengan keyakinan dan niat baik, ia 
       menciptakan kekuatan kebajikan (Puñña) yang berdampak pada batin dan
       lingkungan.
    ~ Kebajikan ini bisa “berbuah” dalam bentuk perlindungan, ketenangan, atau
       keberuntungan.
2. Kekuatan Dhamma
    ~ Paritta berisi kata-kata Dhamma yang telah terbukti membawa ketenangan 
       dan perlindungan sejak zaman Sang Buddha.
    ~ Dhamma itu sendiri adalah hukum alam. Ketika kita selaras dengannya, 
       kita terlindungi.
3. Kekuatan Saddhā (Keyakinan)
    ~ Keyakinan yang tulus kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha membuka 
       batin untuk menerima berkah.
    ~ Dalam Ratana Sutta, perlindungan terjadi karena kekuatan Tiratana dan 
       keyakinan umat.
4. Kekuatan Getaran dan Konsentrasi
    ~ Melafalkan Paritta dengan penuh kesadaran menciptakan getaran batin 
       yang menenangkan dan harmonis.
    ~ Ini berdampak pada tubuh, pikiran, dan bahkan lingkungan sekitar.
5. Pelimpahan Jasa kepada Makhluk Lain.
    ~ Paritta juga bisa ditujukan untuk makhluk lain, termasuk makhluk halus. 
       Mereka bisa “menerima” berkah jika batin mereka terbuka dan selaras.
Jadi, siapa yang mengabulkan?
Bukan sosok eksternal, melainkan buah dari kebajikan, keyakinan, dan 
keselarasan batin dengan Dhamma. Dalam beberapa tradisi, para Dewa atau 
makhluk halus bisa ikut melindungi, tetapi mereka bukan pengabul utama, 
mereka hanya merespons kekuatan kebajikan yang kita pancarkan.

Jumat, 08 Agustus 2025

KEINGINAN KARMA DAN JALAN TENGAH

Penyebab penderitaan adalah Tanha (Kegandrungan), yaitu kemelekatan atau keinginan penuh dengan hawa nafsu. Akar dari Tanha ini adalah Loba (keserakahan), Dosa (Kebencian) dan Moha (kebodohan batin). Contohnya adalah keinginan untuk selalu bisa menikmati kesenangan inderawi yang kenyataannya tidak selalu mudah untuk diperoleh, dan ini menimbulkan penderitaan. Seperti misalnya ingin cepat kaya, cepat tenar, cepat berkuasa, dsb. Selain itu karena segala sesuatu itu setiap saat berubah, maka kebahagiaan iderawi / duniawi itu bisa berubah menjadi kebosanan (penderitaan).

Akan tetapi tidak semua Keinginan (Chanda) itu buruk, contohnya adalah Kusala Chanda (keinginan berbuat baik) itu baik adanya, seperti keinginan untuk berlatih Dhamma, berlatih Meditasi (Mengembangkan batin), ingin Berdana, ingin membantu sesama, atau bahkan ingin mencapai Pembebasan (bebas dari penderitaan, merealisasi Nibbana). Kusala Chanda itu bukan berasal dari Kebodohan (Moha), Kebencian (Dosa), atau Keserakahan (Lobha). Apakah Chanda (keinginan baik) itu tetap Karma? Ya, semua kehendak adalah Karma. Tetapi Karma dari Kusala Chanda akan menghasilkan buah Karma yang baik, yaitu kebahagiaan karena berasal dari akar yang baik (Alobha / tanpa Keserakahan, Adosa / tanpa Kebencian, Amoha / tanpa kebodohan batin). Namun demikian, pada saatnya nanti Chanda atau Keinginan ini dapat dikatakan akan terlepas juga ketika seseorang telah merealisasi kesucian karena tiadanya Kemelekatan pada seorang yang suci, semua yang dilakukan oleh orang suci adalah hal yang baik.

Jalan Tengah adalah cara untuk mengatasi penderitaan. Jalan Tengah ini disebut Ariya Aṭṭhaṅgika Magga (Jalan Mulia Berunsur Delapan), yaitu Pandangan benar, Pikiran benar, Ucapan benar, Perbuatan benar, Mata pencaharian benar, Daya-upaya benar, Perhatian benar dan Konsentrasi benar (Meditasi / Citta Bhavana / Pengembangan batin benar). Keinginan untuk mengikuti Jalan Tengah itu adalah Kusala Chanda, bukan Taṇhā.

Kusala Chanda dilakukan untuk mengikis Taṇhā yang dasarnya adalah Keserakahan dan Kebencian yang timbul dari adanya Kebodohan batin.

Orang yang suci telah melepaskan Chanda (Keinginan) duniawi, bukan karena Keinginan itu buruk, tapi karena segala bentuk kehendak adalah kondisi bagi suatu kemunculan, sedangkan kondisi padam atau Nibbāna itu tak berkondisi (Asaṅkhata).



Rabu, 23 Juli 2025

BHIKKHU = PETAPA


💫🪷 Petapa, Bhikkhu = pengemis? Bhikkhu adalah orang yang meninggalkan kegandrungan duniawi, maksudnya mengambil Jalan Tengah, kalau dirundung penderitaan berusaha untuk tidak bersedih, kalau memperoleh kebahagiaan jangan lupa daratan, ber-euforia, rasakan secukupnya saja, jadi batin ini selalu seimbang, tenang, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh kondisi di luar, dhugdheng, tahan banting. Kalau meninggal bisa dengan tersenyum, tidak berat karena semua beban sudah ditinggalkan, semua kemelekatan duniawi telah dilepaskan. Penderitaan & kebahagiaan inderawi / duniawi itu tidak kekal, selalu berubah, jadi ngapain terpengaruh / tergantung olehnya. Orang yang masih terombang-ambing oleh penderitaan & kebahagiaan dunia itu kalau meninggal akan terlahir kembali di Alam Menderita atau Alam Bahagia tergantung dari perilaku di hidup sebelumnya, demikian seterusnya hingga ybs. berhasil menghancur-leburkan Kilesa / Pengotor batin yang berupa keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, yang artinya ybs. tidak akan terlahirkan kembali di alam kehidupan manapun (merealisasi Nibbana, merealisasi kebahagiaan hakiki / kebahagiaan non inderawi kekal). 

Seorang Bhikkhu tidak meninggalkan keluarga, tetapi terpisah tempat tinggal dengan tempat tinggal ketika masih berkeluarga - dengan syarat keluarga sudah bisa hidup mandiri. Jangankan keluarga, orang lain (umat) pada waktu yang tepat bisa minta nasehat, saran, pengarahan atau solusi atas persoalan hidup yang dialaminya - atau mendengarkan uraian Dhamma kepada Bhikkhu ✨😇


Jumat, 18 Juli 2025

"Attā Have Jitaṁ Seyyo"

"Attā Have Jitaṁ Seyyo" ( Menaklukkan Diri Sendiri Adalah Yang Terbaik )

Makna Buddhasubhasita yang disebutkan diatas adalah pedoman untuk pembelajaran dan praktik lebih lanjut dari ajaran Sang Buddha.

 Yang dimaksud dengan "Diri" dalam hal ini bukanlah entitas kekal, tetapi konvensi Bahasa, atau kesepakatan untuk menyebut : Tubuh dan pikiran seseorang, bukan berarti ada "diri sejati" yang kekal untuk ditaklukkan.

Menaklukkan diri sendiri itu adalah menaklukkan tendensi egosentris, menaklukkan pengotor batin, utamanya adalah : hawa nafsu (kāmacchanda), kemarahan (vyāpāda), kemalasan (thina), kegelisahan (uddhacca), keraguan (vicikicca), keakuan (ahaṅkāra) dan kebanggaan (māna) yang pada dasarnya disebabkan oleh kemelekatan.

 "Diri" adalah pusat dari kecenderungan batin yang bisa menghalangi kemajuan spiritual. Diri ini perlu dikendalikan, agar “kemelekatan” dapat dilepas. Melepas kemelekatan dengan mengelola batin dengan baik - dapat mempercepat kemajuan spiritual yang dilakukan dalam upaya terealisasinya bebas dari penderitaan. Tanpa melepas kemelekatan tidak mungkin kedepan bisa merealisasi Nibbana / bebas dari penderitaan, karena Kilesa tidak mungkin tercabut secara total dari dalam diri. Oleh karena itu menaklukkan diri dengan melepas kemelekatan adalah yang terbaik sebagaimana disabdakan Buddhasasana subhasita dalam Upādāna Sutta pada Saṁyutta Nikāya 12.52 , tertulis sebagai berikut :

 Upādānanirodhā bhavanirodho; bhavanirodhā jātinirodho

( Dengan lenyapnya kemelekatan, maka bhava / proses untuk lahir - lenyap; dengan lenyapnya bhava maka kelahiranpun lenyap )

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sangat terikat pada kesenangan tubuh, yaitu kemelekatan atau pegangan batin yang kuat terhadap sesuatu. Sang Buddha mengajarkan bahwa selama kita masih melekat, bahkan sekecil apapun, itu artinya kita sedang menyiram api kehidupan agar terus menyala. Karena kemelekatan inilah, kita terus ingin menjadi sesuatu, ingin memiliki, ingin lahir lagi.

Dari kemelekatan, muncullah bhava, yaitu dorongan untuk "menjadi", entah menjadi seseorang yang kaya, yang cantik, dihormati, atau bahkan menjadi makhluk di alam lain setelah kematian. "Bhava" bukan hanya eksistensi jasmani, tapi juga kondisi batin penuh hasrat untuk menjadi dan memiliki. Selama bhava ini masih hidup, benih untuk lahir kembali akan selalu ada.

Dari bhava, muncullah Jāti atau kelahiran. Bukan kelahiran fisik di dunia ini saja, tapi juga kelahiran di salah satu dari alam Samsara.

Apa yang diajarkan Sang Buddha itu luar biasa. Beliau tidak menyuruh kita memberantas kelahiran langsung, tetapi mengajak kita melihat akar masalahnya. Menghapus Upādāna atau kemelekatan - maka bhava pun sirna. Bhava sirna, maka tak ada lagi jāti atau kelahiran kembali, tak ada lagi dukkha, tak ada lagi penderitaan. Inilah cara Buddha memadamkan penderitaan dari akarnya.

Kesimpulannya, kalimat “Upādānanirodhā bhavanirodho; bhavanirodhā jātinirodho” itu bukan sekedar teori, tetapi peta pembebasan, adalah cetak biru menuju Nibbāna. Selama kita masih memeluk apa yang tidak kekal, kita akan terus lahir, menderita, dan mati. Jadi, melepas kemelekatan itu yang dalam hal ini sebagai cetak biru menuju Nibbāna - adalah pokok persoalan penting yang harus dilakukan, sekaligus dapat dikatakan bahwa melepas kemelekatan itu adalah menaklukkan diri sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam Buddhasasana subhasita di awal, yaitu :  

 

"Attā Have Jitaṁ Seyyo"

Menaklukkan Diri Sendiri Adalah Yang Terbaik


Demikian penjelasan dan uraian yang disampaikan, semoga semua makhluk berbahagia.

Rabu, 21 Mei 2025

MEWARISI DHAMMA, BUKAN ABU SANG BUDDHA

Banyak umat Buddha yang melaksanakan Atthamipuja di Vihara untuk memperingati hari ke 8 setelah 7 hari Sang Buddha Parinibbana, adalah saat yang penting bagi umat Buddha untuk merenungkan ajaran dan warisan agung Sang Tathāgata.


1. Adalah Realita yang Tak Terhindarkan bahwa “Sabbe saṅkhārā aniccā”, Semua yang terkondisi adalah tidak kekal. Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang bersifat kekal. Tubuh, perasaan, pikiran, hubungan, kekayaan, semuanya mengalami perubahan. Bahkan tubuh agung Sang Buddha pun mengalami usia tua, sakit, dan akhirnya Parinibbāna di Kusinārā. Kematian Sang Buddha bukanlah kehancuran, tetapi pemadaman total dari dukkha, penderitaan. Inilah yang disebut Parinibbāna - bukan kematian biasa, melainkan padamnya kelahiran kembali.

2. Ketika Bhikkhu Ānanda menangis karena tahu akan kehilangan Guru tercintanya, Sang Buddha menasihatinya dengan tegas : “Ānanda, apakah Aku tidak pernah mengatakan bahwa segala sesuatu yang kita cintai, yang kita senangi, pada akhirnya akan terpisah, berpisah, dan berubah?” Sebelum Parinibbāna, Sang Buddha bersabda : Segala yang terkondisi pasti hancur, capailah tujuanmu dengan kewaspadaan yang tinggi.

3. Buddha juga bersabda : Dhamma dan Vinaya yang telah Aku ajarkan akan menjadi Guru kalian setelah Aku tiada. Kita tidak bisa lagi melihat Buddha secara jasmani, tetapi kita masih bisa "melihat" Beliau melalui praktik Dhamma yang sejati. Warisan sejati Sang Buddha bukan abu kremasi, bukan hanya patung atau relik, melainkan ajaran yang membebaskan.

4. Atthamipuja bukan hanya ritual, tetapi undangan batin untuk mempraktikkan Dhamma.

Jika hidup kita belum lurus, luruskanlah dengan sila.
Jika batin masih goyah, teguhkanlah dengan samādhi.
Jika kita belum memahami kehidupan, terangi dengan paññā.

Mari gunakan kesempatan hidup ini untuk berjalan di jalan yang telah ditunjukkan Sang Buddha. Karena : Sukar memperoleh kelahiran sebagai manusia, sukar mendengar Dhamma sejati.

Semoga peringatan Atthamipuja itu tidak hanya menjadi perenungan sesaat, tetapi menjadi titik balik dan penyemangat untuk mendalami Dhamma. Karena hanya dengan praktik, seseorang benar-benar mewarisi Buddha - bukan jasmaninya, tetapi kebijaksanaan dan welas asih-Nya.


Kamis, 15 Agustus 2024

BUDDHISME DAN AGAMA LAIN

Buddhisme dan Kristiani : 

Buddhisme melihat bahwa Yesus adalah seorang guru spiritual atau Bodhisatva. Bodhisattva adalah seseorang yang telah mencapai pencerahan dan berdedikasi untuk membantu semua makhluk mencapai pencerahan juga. Sedikit berbeda dengan Buddhis tradisi Theravada yang mana Bodhisattva dipahami sebagai calon Buddha dan akan menjadi Buddha ketika sudah mencapai pencerahan. Yesus  mengajarkan welas asih dan kebijaksanaan yang mana sejalan dengan nilai-nilai Buddhis. 

Meskipun ada beberapa kesamaan dalam ajaran tentang welas asih dan kebijaksanaan, Buddhisme dan Kekristenan memiliki perbedaan mendasar dalam konsep teologis mereka. Buddhisme cenderung Non-Teistik yang tidak mengakui adanya sosok Adikodrati pencipta dunia, sementara Kekristenan berpusat pada kepercayaan kepada Tuhan sebagai pencipta dan penyelamat.

Dalam Buddhisme alam semesta atau dunia itu terjadi (bisa ada) berdasarkan tertib hukum Uttu Niyama. Sedangkan nasib (keselamatan) manusia (makhluk-makhluk lain) setelah mati terlahir kembali di alam penderitaan (alam neraka, alam setan, alam hantu, alam binatang), alam manusia, alam bahagia (surga = alam dewa, alam brahma berbentuk,  atau alam brahma tanpa bentuk) -> bukan Tuhan yang menentukan tetapi dirinya sendiri berdasarkan tertib hukum Kamma Niyama (berdasarkan perilaku semasa masih hidup).

Dalam Buddhisme, terlahir kembali sebagai binatang, misalnya terlahir sebagai anjing, umumnya disebabkan oleh karma buruk yang telah dilakukan dalam kehidupan sebelumnya. Karma buruk ini bisa berupa tindakan yang didorong oleh kebencian, ketamakan, atau kebodohan. Berikut adalah beberapa contoh karma buruk yang dapat menyebabkan kelahiran kembali sebagai binatang :

1.  Kekejaman terhadap makhluk lain : Tindakan yang menyebabkan penderitaan atau kematian makhluk lain.

2. Kebodohan dan ketidaktahuan : Hidup dengan kebodohan dan tidak berusaha untuk memahami kebenaran atau menjalani kehidupan yang bermoral.

3. Ketamakan dan keserakahan : Tindakan yang didorong oleh keinginan yang berlebihan dan tidak terkendali.

Kelahiran kembali sebagai binatang dianggap sebagai bentuk penderitaan, karena binatang tidak memiliki kemampuan untuk memahami Dhamma (Kesunyataan), dan sulit untuk melakukan perbuatan baik - yang dapat meningkatkan Karma mereka.

Buddhisme dan Islam :

Meskipun berbeda dalam banyak aspek, akan tetapi memiliki beberapa persamaan yang menarik, terutama dalam hal nilai-nilai etika dan spiritual. Berikut adalah beberapa persamaan utama :

  1. Etika dan Moralitas : Kedua agama menekankan pentingnya etika dan moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Islam memiliki 5 Rukun Islam yang mencakup Shalat, Zakat dan Puasa, sementara Buddhisme memiliki  Jalan  Mulia Berunsur Delapan yang mencakup Tindakan benar, Ucapan benar, dan Usaha benar.
  2. Kedermawanan dan Belas Kasihan : Kedua agama mengajarkan pentingnya kedermawanan dan belas kasihan. Dalam Islam konsep zakat dan sedekah adalah bentuk kedermawanan yang dianjurkan, sementara dalam Buddhisme praktik Dana (Pemberian) adalah salah satu cara untuk mengembangkan Karuna (Belas kasihan).  
  3. Kehidupan Sederhana : Kedua agama mendorong kehidupan yang sederhana dan tidak berlebihan. Islam mengajarkan untuk hidup sederhana, tidak berlebihan dalam segala hal, sementara Buddhisme mengajarkan untuk menghindari keinginan yang berlebihan dan hidup sederhana.  
  4. Tujuan Akhir : Meskipun konsepnya berbeda, kedua agama memiliki tujuan akhir yang serupa yaitu mencapai keadaan spiritual yang lebih tinggi. Dalam Islam tujuan akhirnya adalah mencapai Surga dan kedekatan dengan Allah, sementara dalam Buddhisme tujuan akhir praktik spiritualnya adalah mencapai Pencerahan, merealisasi Nibbana (keadaan bebas dari penderitaan), terbebas dari siklus kelahiran kembali yang berulang-ulang, terbebas dari belenggu Samsara, terbebas dari ilusi (memiliki pemahaman yang mendalam tentang kenyataan sejati).  .  

Pencerahan dapat terealisasi dengan cara memahami Empat Kebenaran Mulia dan mempraktikkan Jalan Mulia Berunsur Delapan hingga berhasil secara sempurna.


Empat Kebenaran Mulia itu adalah :

1. Kebenaran tentang Dukkha : Memahami bahwa kehidupan penuh dengan penderitaan dan ketidakpuasan.

2.  Kebenaran tentang Sebab Dukkha : Menyadari bahwa penderitaan disebabkan oleh keinginan dan keterikatan.

3. Kebenaran tentang Akhir Dukkha : Memahami bahwa penderitaan dapat diakhiri dengan menghilangkan keinginan.

4. Kebenaran tentang Jalan Menuju Akhir Dukkha : Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah cara untuk mengakhiri penderitaan.    


Jalan Mulia Berunsur Delapan itu adalah :

  1. Pandangan Benar : Memahami Empat Kebenaran Mulia.
  2. Niat Benar : Memiliki niat yang murni, bebas dari kebencian dan kekerasan.
  3. Ucapan Benar : Berbicara jujur tanpa menyakiti.
  4. Tindakan Benar : Bertindak dengan cara yang etis dan tidak merugikan.
  5. Mata Pencaharian Benar : Memilih pekerjaan yang tidak merugikan makhluk lain.
  6. Usaha Benar : Berusaha untuk mengembangkan pikiran positif.
  7. Perhatian Benar : Mempraktikkan kesadaran penuh dalam setiap tindakan.
  8. Konsentrasi Benar : Mengembangkan konsentrasi melalui Meditasi.  

Konsep Tuhan dalam Islam dan Buddhisme memiliki perbedaan yang signifikan :

1)    Islam :

a)   Monoteisme : Islam adalah agama monoteistik yang percaya pada satu Tuhan, Allah. Allah dianggap sebagai pencipta, pemelihara, dan penguasa alam semesta. Kepercayaan ini adalah inti dari ajaran Islam dan dinyatakan dalam Syahadat, salah satu dari 5 Rukun Islam. 

b)    Wahyu : Ajaran Islam didasarkan pada wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad dari Allah, yang kemudian dicatat dalam Al-Qur’an. Allah dianggap sebagai sumber segala kebaikan dan keadilan. 

2)    Buddhisme:

a)  Non-Teistik : Buddhisme pada dasarnya adalah agama Non-Teistik. Buddha, atau Siddhartha Gautama, tidak mengajarkan tentang adanya Tuhan pencipta. Fokus utama Buddhisme adalah pada pengembangan spiritual pribadi dan pencapaian Pencerahan melalui pemahaman Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia berunsur delapan.

b) Karma dan Tumimbal-lahir  : Buddhisme menekankan konsep Karma (tindakan dan akibatnya) dan Tumimbal-lahir. Keselamatan atau Pembebasan dalam buddhisme dicapai melalui pemahaman dan praktik ajaran Buddha bukan melalui hubungan dengan Tuhan. 

Perbedaan ini mencerminkan pendekatan yang berbeda terhadap spiritualitas dan tujuan akhir dalam kedua agama tersebut.


Kalama Sutta salah satu ajaran terkenal dari Buddha yang terdapat dalam Anguttara Nikaya (AN : 3.65 ) yang disebut sebagai "piagam kebebasan penyelidikan" Buddha, menekankan pentingnya penyelidikan bebas dan pemikiran rasional.

Dalam Kalama Sutta, Buddha mengunjungi desa Kesaputta, tempat tinggal suku Kalama. Mereka bingung karena banyak guru spiritual yang datang dengan ajaran yang berbeda-beda dan saling bertentangan. Mereka meminta nasihat Budha tentang siapa yang harus dipercaya. Kemudian Buddha memberikan nasihat yang terkenal ini :

  1. Jangan percaya hanya karena sesuatu itu merupakan tradisi.
  2. Jangan percaya hanya karena sesuatu itu telah diwariskan dari generasi ke generasi.
  3. Jangan percaya hanya karena sesuatu itu tertulis dalam kitab suci.
  4. Jangan percaya hanya karena sesuatu itu tampak logis.
  5. Jangan percaya hanya karena sesuatu itu sesuai dengan pandangan atau keyakinan pribadi.

Sebaliknya, Buddha menyarankan untuk menguji ajaran tersebut melalui pengalaman pribadi. Jika setelah diuji, ajaran tersebut terbukti mengurangi ketamakan, kebencian, dan kebodohan, serta meningkatkan cinta kasih dan kebijaksanaan, maka ajaran tersebut dapat diterima sebagai benar. 

Buddhisme dan Agama lain :

Buddhisme memiliki sikap yang sangat inklusif dan menghormati agama-agama lain. Berikut beberapa poin penting mengenai pandangan Buddhisme terhadap agama lain :

1.   Keragaman Agama : Buddhisme mengakui bahwa berbagai agama diperlukan untuk menyesuaikan dengan beragam watak dan kebutuhan spiritual manusia. Semua agama memiliki tujuan yang sama yaitu bertindak untuk kesejahteraan umat manusia. 

2.  Kerjasama antar agama : Ada banyak inisiatif dan program pertukaran antara umat Buddha dan pemeluk agama lain seperti Kristen dan Islam untuk saling belajar dan bekerja sama dalam semangat saling menghormati.

3.   Toleransi dan Pengertian : Buddhisme menekankan pentingnya hidup berdampingan secara damai dengan saling menghormati dan memahami keyakinan masing-masing. Ini termasuk menghargai kebebasan setiap individu untuk menganut dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri.

4.  Dialog antar agama : Pemimpin Buddhis seperti Dalai Lama sering terlibat dalam dialog antar agama dengan pemimpin agama lain untuk membahas nilai-nilai bersama seperti kasih sayang, moralitas, dan kesejahteraan manusia.  

5.  Keseimbangan Spiritual dan Material : Buddhisme mengajarkan bahwa kemajuan spiritual dan material harus seimbang. Semua agama dunia berusaha memperbaiki keadaan kemanusiaan dengan mengajarkan perilaku berbudi pekerti, tidak hanya terfokus pada aspek material kehidupan belaka. 


Dalam Buddhisme, pluralisme agama diterima dengan sikap Toleransi kritis. Buddhisme mengakui bahwa berbagai agama dunia diperlukan untuk menyesuaikan dengan beragam watak dan kebutuhan spiritual manusia. Meskipun demikian, semua agama memiliki tujuan yang sama yaitu bertindak untuk kesejahteraan umat manusia.

Buddhisme tidak mengklaim bahwa hanya ajarannya yang benar, tetapi juga mengakui kebenaran dalam ajaran agama lain. Namun, Buddhisme percaya bahwa jalannya adalah salah satu cara yang efektif untuk mencapai Pencerahan. Sikap ini mendorong dialog antar agama dan saling menghormati, yang penting untuk menciptakan masyarakat yang damai dan harmonis.  

Toleransi kritis dalam Buddhisme adalah sikap menghormati dan menerima keberadaan agama lain sambil tetap mempertahankan kemampuan untuk mengevaluasi dan mengkritisi ajaran-ajaran tersebut secara rasional. Ini berarti bahwa seorang Buddhis dapat menghargai nilai-nilai positif dalam agama lain tanpa harus menerima semua ajaran mereka secara membabi buta.

Berikut adalah beberapa aspek penting dari Toleransi kritis dalam Buddhisme :

1.  Penghormatan Terhadap Keberagaman : Buddhisme mengakui bahwa ada banyak jalan menuju kebenaran dan pencerahan. Setiap agama memiliki cara unik untuk membantu pengikutnya mencapai tujuan spiritual mereka.

2.  Dialog Antar Agama : Buddhisme mendorong dialog yang terbuka dan jujur dengan agama lain. Melalui dialog ini, para praktisi dapat belajar dari satu sama lain dan menemukan kesamaan serta perbedaan yang dapat memperkaya pemahaman mereka.

3.  Evaluasi Rasional : Buddhisme menekankan pentingnya penyelidikan dan pemikiran kritis. Ini berarti bahwa ajaran agama lain dapat dievaluasi berdasarkan pengalaman pribadi dan logika, seperti yang diajarkan dalam Kalama Sutta.

4. Kebebasan Beragama : Buddhisme mendukung kebebasan individu untuk memilih dan mempraktikkan agama yang mereka yakini paling sesuai dengan kebutuhan spiritual mereka. Ini mencerminkan sikap non-dogmatis dan inklusif dalam Buddhisme.

5.  Pengembangan Kebijaksanaan dan Welas Asih : Melalui toleransi kritis, Buddhisme berusaha untuk mengembangkan kebijaksanaan dan welas asih dalam diri setiap individu. Ini membantu menciptakan masyarakat yang lebih damai dan harmonis.

Dengan pendekatan ini, Buddhisme tidak hanya menghormati keberadaan agama lain tetapi juga mendorong pengikutnya untuk terus mencari kebenaran dan pencerahan melalui penyelidikan yang mendalam dan rasional.

 

Memeluk agama tertentu :


Dalam Buddhisme, memeluk agama tertentu atau mengikuti ajaran spiritual tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor :

1.  Karma : Karma dari kehidupan sebelumnya dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk memeluk agama tertentu dalam kehidupan saat ini. 

2.  Lingkungan dan Keluarga : Lingkungan tempat seseorang dibesarkan, termasuk pengaruh keluarga dan masyarakat, memainkan peran besar dalam menentukan agama atau keyakinan yang dianut. Anak-anak seringkali mengikuti agama orang tua mereka karena pengaruh dan pendidikan yang mereka terima sejak kecil. 

3.   Pengalaman Pribadi : Pengalaman hidup, termasuk peristiwa penting atau krisis, dapat mendorong seseorang untuk mencari jawaban dalam agama atau ajaran spiritual tertentu. Pengalaman ini bisa menjadi titik balik yang membawa seseorang lebih dekat kepada agama tertentu.  

4.  Pencarian Makna : Banyak orang memeluk agama tertentu karena mereka mencari makna dan tujuan dalam hidup. Ajaran agama yang memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan menawarkan panduan moral seringkali menarik bagi mereka yang mencari kedamaian batin dan pencerahan.

5. Pengaruh Guru atau Tokoh Spiritual : Pertemuan dengan guru atau tokoh spiritual yang karismatik dan inspiratif dapat mempengaruhi seseorang untuk memeluk agama atau ajaran tertentu.