Translate

Jumat, 29 Maret 2019

Kematian


Hasil gambar untuk orang mati👉 Berpikir tentang kematian, banyak orang yang menganggap itu tabu, atau bahkan mengerikan. Maka jika terlintas di pikiran tentang kematian, agar segera dilupakan. Begitu seramnya kematian bagi orang yang tidak menghendakinya, tetapi pasti akan terjadi pada dirinya.
👉 Berpikir tentang kematian, dan berharap akan kematian, sehingga membuat orang mengambil jalan pintas melakukan perbuatan tidak terpuji *bunuh diri* adalah cara berpikir yang salah, patut ditabukan.
👉 Berpikir tentang kematian, sebagai sarana untuk perenungan, untuk menumbuhkan kesadaran akan kematian adalah hal yang patut dimaklumi. Bukan mengharapkan secepatnya kematian datang, tetapi penyadaran diri, akan terjadinya kematian.
👉 Sadar akan datangnya kematian, bisa memaksimalkan waktu dalam hidup ini, untuk berbuat banyak kebaikan, guna hidup mengarah pada tujuan terbebas dari penderitaan, adalah manfaat dari perenungan tentang kematian.
(disunting & diedit dari tulisan Bhante Saddhaviro)

Selasa, 26 Maret 2019

Samsara (b)


Sering kali orang mengatakan bahwa kita tidak bisa memilih akan dilahirkan sebagai suku bangsa apa, atau dilahirkan di benua mana. Hal tersebut adalah karena Hukum Karma, Hukum Sebab-Akibat atau Hukum Tabur-Tuai yang bekerja dan terjadi atas diri kita. Sebagai “manusia biasa” kita tidak bisa mengetahui sesuatu sebelum sesuatu tersebut terjadi. Kondisi kelahiran yang terjadi tersebut tadi, kita sendirilah penyebab atau creator nya. Bukan takdir Tuhan. Sebab kalau Tuhan yang menentukan, maka Tuhan tidak akan bisa adil.
Kenapa kita adalah creator nya? Karena sebelumnya kita pernah hidup, entah sebagai makhluk apa, dan dari alam mana. Bisa dari alam manusia juga. Setelah mati, “kesadaran kita” yang tidak ikut mati langsung menjelma masuk ke dalam janin “ibu yang sesuai”, janin yang terjadi setelah ada pembuahan sel telur ibu kita oleh calon ayah kita.
Kenapa kita harus hidup (dilahirkan) berulang-ulang? Karena kita masih mempunyai penyebab untuk dilahirkan, yaitu karma buruk kita. Orang tidak akan terlahir kembali ketika sudah tidak mempunyai karma buruk. Sudah menjadi Arahat. Arahat adalah seseorang, yang dalam hal ini adalah Bhikkhu atau Bhikkhuni sebagai praktisi Dhamma yang telah berhasil meraih tingkat kesucian yang sempurna. Seorang Arahat setelah meninggal berarti padam, padam selamanya, tidak akan hidup (terlahir) kembali, karena penyebab kelahirannya yaitu kekotoran batin (kilesa) sudah dihancurkan, sudah berhasil dilenyapkan. Telah padam itu artinya telah berhasil meraih kebahagiaan hakiki kekal selamanya, berhasil mencapai Nibbana. Pada akhirnya nanti semua makhluk akan berhasil meraih kondisi tersebut, meski harus melalui waktu yang tak terhingga lamanya, tergantung dari bagaimana perjuangan masing-masing dalam membersihkan (melenyapkan) kekotoran batinnya. 
Katakanlah “kebahagiaan hakiki kekal selamanya” itu pantas untuk diraih oleh semua orang (semua makhluk), adalah karena sebanding dengan perjuangan atau yang dirasakan / dideritanya selama mengarungi samudera “Samsara”. Samudera Samsara adalah banyaknya kehidupan yang dialami. Bisa tak terhingga banyaknya & tak terhingga lamanya. Yaitu mengalami kehidupan & kematian yang berulang-ulang, yang tak terhingga banyaknya, menjadi makhluk berbagai-rupa di berbagai alam kehidupan yang ada. Alam kehidupan itu meliputi alam-alam penderitaan dan alam-alam kebahagiaan. Lamanya waktu yang diperlukan untuk mencapai Nibbana adalah tergantung dari perilaku masing-msing dalam kehidupannya, yang dilakukannya selama ini seperti apa, termasuk selalu melakukan meditasi sebagai jalan pintas mencapai Nibbana atau tidak.

Sabtu, 23 Maret 2019

Kehendak Tuhan


Status di Facebook :
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor 01 atau nomor 02 menang -> Karma Baik / Buruk bangsa Indonesia, istilah populernya adalah kehendak Tuhan, DUKUNG & KAWAL !!!
Komentar-komentar :
A : Kehendak Tuhan atau hukum alam?
B : Hukum Universal Alam Semesta, khususnya Hukum Karma (yang maha kuasa) yang bekerja bagi bangsa Indonesia, tidak bisa ditolak, terima saja sebagai bahan untuk bertindak & bersikap sesuai aturan / undang-undang yang berlaku.
A : Bukannya yang maha kuasa itu relatif... dan laku manusia yang menentukan kehendak diri?
B : Betul, Yang Maha Kuasa bertindak berdasarkan data, tidak bisa sembarangan.
Hasil gambar untuk gambar kehendak tuhanB : Datanya manusia sendiri yang membuat / menciptakannya.
A : Jika manusia sendiri yang membuatnya, dan itu fakta, kenapa harus melibatkan yang transenden?
A : Bukankah kemajuan berfikir manusia adalah murni hasil olah pikir manusia itu sendiri... Marx menyimpulkan, agama adalah candu... hehehehe...
B : Betul, supaya tidak terlalu bertentangan dengan masyarakat luas, ada yang bukan candu karena tidak mengikat, silahkan datang, lihat & buktikan sendiri.
A : Revolusi mental bukankah tujuannya merubah ideologi Ketuhanan menjadi materiil?
A : Harus didukung kan? Jika masih ada yang bertentangan, berarti program revolusi mental gagal?
B : Revolusi mental utamanya supaya manusia Indonesia mengindahkan budi pekerti saja. Hukum Universal Alam Semesta itu ada, manusia tinggal menyikapinya saja dengan baik & benar.
B : Contoh, menanam jagung menghasilkan jagung, menanam pisang menghasilkan buah pisang. Bayangan bulan dalam air itu bukan diciptakan, tapi terjadinya sesuai dengan hukum alam, hehe...
A : Hukum Universal... tidak bisa lakukan kepada hal yang spesifik... yeah, namanya universal terlalu luas dan multi tafsir...
B : Disebut universal karena maha kuasa saja. Kata universalnya bisa dihilangkan.
B : Disini tidak ada penekanan, tidak harus dipercayai, tapi silahkan diselidiki -> bukan candu.
A : Heheheh... kenapa tidak dihilangkan semua, biar pas, non god (ambigu).
B : Ya silahkan saja kalau mau, dihilangkan atau tidak hukum alam tetap berlaku.
B : God atau Non God -> debatable, supaya tidak capek jangan berdebat, abaikan saja, hehe...
A : Casualitasnya? Punishmentnya? dari hukum alam itu.
B : Ada sebab menghasilkan akibat.
A : Uraikan dengan ambil contoh...
B : Manusia hidup banyak dosa -> mati masuk neraka tapi tdk selamanya, akan mati & terlahir kembali di alam lainnya.
A : Ooh... OK berarti berTuhan.
B : Di Jaringan Pribadi saya kirim URL YouTube, di describsinya ada URL Blog saya.
B : Dalam Pancasila disebut Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Tuhan Yang Maha Esa.
B : Ketuhanan = kata sifat, makanya kekal. Tuhan bisa diartikan pribadi atau entitas = kata benda, tidak kekal. Jadi Pancasila sudah benar -> Ketuhanan.

Minggu, 17 Maret 2019

Kesuksesan dunia menunjang kesuksesan sejati


Hasil gambar untuk suksesSelama ini orang menganggap bahwa kalau sudah mapan dalam hal materi, atau sudah mencapai kebebasan finansial, itu adalah sukses. Benar demikian, tetapi kalau ditinjau secara mendalam, artinya ditinjau secara kebenaran yang sejati, maka sukses dalam hal materi, atau bebas secara finansial, itu hanyalah sebagian dari sukses yang sejati. Mengapa? Karena kebebasan finansial itu adalah sukses dunia. Sukses sejati adalah sukses dunia dan sukses berikutnya setelah meninggalkan dunia.
Setelah mati, manusia akan meneruskan perjalanan hidupnya di alam berikutnya. Bisa terlahir kembali dan hidup di dunia kembali, atau terlahir dan hidup di Surga, di Neraka atau di alam-alam yang lain, sesuai dengan perbuatan-perbuatan atau raport yang dicapai pada kehidupan sebelumnya. Yang dikatakan “sukses sejati sementara” adalah jika setelah mati manusia bisa melanjutkan hidupnya di alam yang lebih tinggi, yang lebih mulia, lebih bahagia, contohnya adalah dapat melanjutkan hidupnya di Surga (di alam Dewa), di alam brahma atau alam  mahabrahma. Sedangkan sukses sejati itu, atau sukses yang hakiki, adalah jika manusia setelah mati tidak akan terlahir kembali. Sudah padam. Sudah mencapai seberang. Sudah terbebas dari belenggu penderitaan Samsara (belenggu penderitaan dalam kehidupan yang berulang-ulang). Sudah mencapai Nibbana, adalah mencapai kebahagiaan hakiki kekal selamanya. Makhluk yang hidup di alam Suddhavasa (para Anagami) setelah mati adalah mencapai Nibbana. Anagami adalah makhluk yang sudah suci.
Mengapa sukses dalam hal materi bisa dikatakan menunjang kesuksesan sejati? Karena seseorang yang sukses dalam hal materi (orang kaya) itu bisa berbuat banyak. Lebih banyak yang bisa dilakukan dibandingkan dengan seseorang yang mengalami kesulitan materi (orang miskin). Orang kaya lebih ringan dalam hal berbuat baik, kalau sadar. Soalnya ada yang tidak sadar. Setelah kaya justru pelit. Itu mungkin karena untuk meraih kekayaannya itu dia sangat bersusah payah. Melalui perjuangan yang sulit. Sehingga setelah mencapai kebebasan finansial pun dia masih merasa kurang. Orang kaya itu lebih mudah berbuat yang baik-baik. Contohnya adalah membantu dalam hal materi kepada orang-orang yang sangat membutuhkan, artinya bisa menabur atau menanam benih-benih kebajikan di tanah yang subur. Perbuatan baik akan menciptakan atau menghasilkan kebahagiaan di kemudian hari, di kehidupan berikutnya, atau kebahagiaan disaat itu juga, jika pemberiannya tulus ikhlas, maka akan langsung merasa bahagia atau merasa senang yang memang menyenangkan. Memberi itu sebaiknya diskriminatif. Pilihlah ladang yang paling subur terlebih dahulu, agar bisa menghasilkan buah yang paling banyak. Ladang subur itu contohnya adalah bantuan kepada yayasan, organisasi atau entitas yang digunakan sebagai sarana bagi orang-orang yang berniat atau berusaha untuk mencapai kebahagiaan hakiki, kepada orang-orang yang sangat membutuhkan (orang-orang sangat miskin), atau organisasi atau lembaga yang tujuan pendiriannya adalah untuk mengentaskan orang-orang miskin.
Sering berdana itu akan menghasilkan kehidupan berikutnya yang lebih baik, misalnya menjadi orang kaya. Sering berdana itu bisa dilakukan oleh orang kaya, orang setengah kaya, ataupun orang miskin, tentunya sesuai kemampuan & kerelaan masing-masing. Makin rela makin menghasilkan buah yang baik. Berdana juga bukan hanya dengan materi, bisa dengan tenaga, dengan pikiran dan lain-lain.
Walaupun sering berdana belum bisa membuat seseorang mencapai Nibbana. Akan tetapi bisa membuat orang di hidup berikutnya lebih menyenangkan, lebih berbahagia. Untuk mencapai Nibbana seseorang harus mengembangkan kerelaan, kemoralan & kosentrasi (meditasi) secara tekun dan terus-menerus. Atau sering juga dikatakan mengembangkan dana, sila dan bhavana (meditasi). Mempraktekkan dengan baik dan benar Jalan Mulia Berunsur Delapan (Sila, Samadhi dan Panna). Meditasi adalah jalan pintas mencapai Nibbana.

Senin, 11 Maret 2019

Jangan Langsung Percaya (b).


Yang tertulis seperti ini :

• Jangan percaya dengan sebuah berita hanya karena engkau mendengarnya.
• Jangan percaya dengan sebuah tradisi hanya karena tradisi itu telah dilakukan selama beberapa generasi.
• Jangan percaya kepada sesuatu hanya karena sesuatu itu ramai dibicarakan orang.
• Jangan percaya kepada sesuatu hanya karena sesuatu itu telah dituliskan ke dalam buku-buku suci.
• Jangan percaya kepada sesuatu hanya karena sesuatu itu diajarkan oleh para guru dan orang-orang tua.
Jika dengan kesadaran, perenungan, akal sehat dan pengalaman sendiri, bahwa sesuatu hal itu memang patut diterima atau dipercayai, mengandung kebenaran, menuju kebahagiaan, maka sudah selayaknya untuk menerima dan hidup berdasarkan hal-hal tersebut. (Kalama Sutta; Angutara Nikaya 3.65)

Sepertinya yang tertulis diatas tidak boleh percaya kepada semuanya, padahal tidak. Kalau kita mau merenung sedikit saja, tidak ada yang salah pada tulisan diatas. Kita cuma disuruh berpikir lagi, berpikir seribu kali, atas kebenaran berita-berita yang kita terima melalui panca indera kita. Maksimalkanlah nalar, pikiran dan hati nurani kita berdasarkan pengalaman sendiri, mengandung kebenaran atau tidak, menuju kebahagiaan atau tidak, dan lain sebagainya. Jangan takut kepada siapapun, agar nalar dan hati nurani kita bisa bekerja dengan baik, bersih dan sehat.

Tulisan diatas dapat diartikan, silahkan mempercayai apapun yang dikatakan oleh siapapun (apapun), asalkan sudah dipikirkan masak-masak, dan disesuaikan dengan pengalaman. Jangan ditelan mentah-mentah, sehingga kita bisa tahu (bisa memilah-milah), mana yang sesungguhnya benar (baik), dan mana yang sesungguhnya salah (tidak baik), sebagai hasil dari penyaringan nalar dan perenungan kita yang disesuaikan dengan pengalaman, mengandung kebenaran atau tidak, menuju kebahagiaan atau tidak. Pada gilirannya nanti kita akan bisa menjadi manusia yang bijak, bajik dan arif, tidak serakah, tidak membeci (kasih, welas asih). Tidak salah bertindak, baik itu ucapan maupun perbuatan, yang dapat mengganggu kelestarian harmoni kehidupan disekitar kita.