Translate

Sabtu, 29 Oktober 2022

Pewaris Dalam Dhamma

Tulisan ini menyampaikan perihal Pewaris dalam Dhamma dalam Majjhima Nikaya 3 : Dhammadāyāda Sutta – yang sulit dipahami karena memerlukan pemikiran dan perenungan yang berulang. Tulisan ini menyingkat Dhammadāyāda Sutta agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti meskipun masih memerlukan perhatian penuh yang berulang.

Dhammadāyāda Sutta – menceritakan - pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta - Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu dan berkata kepada mereka yang jika disingkat adalah sebagai berikut :

 

Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir : Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi? Jika kalian menjadi pewarisKu dalam benda-benda materi, maka kalian dan Aku akan dicela sebagai berikut : Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru, bukan sebagai pewaris dalam Dhamma.

 

Jika kalian menjadi pewarisKu dalam Dhamma, maka kalian dan Aku tidak akan dicela [sebagaimana akan dikatakan] : Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewaris dalam Dhamma, bukan sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru. Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi.

 

Sekarang, para bhikkhu, misalkan Aku telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang Kubutuhkan, dan ada makanan tersisa dan akan dibuang. Kemudian dua orang bhikkhu tiba, lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka : Para bhikkhu, Aku telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang Kubutuhkan, tetapi masih ada makanan tersisa dan akan dibuang. Makanlah jika kalian menginginkan; jika kalian tidak memakannya maka Aku akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.

 

Kemudian seorang bhikkhu berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan. Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā : Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Tetapi makanan ini adalah salah satu benda materi. Bagaimana jika seandainya tanpa memakan makanan ini aku melewatkan malam dan hari ini dalam keadaan lapar dan lemah. Dan tanpa memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu dalam keadaan lapar dan lemah.

 

Kemudian bhikkhu ke dua berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang. Bagaimana jika aku memakan makanan ini dan melewatkan malam dan hari ini tanpa merasa lapar dan lemah. Dan setelah memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah. Sekarang walaupun bhikkhu itu dengan memakan makanan itu melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah, namun bhikkhu pertama lebih terhormat dan dipuji olehKu. Mengapakah? Karena hal itu dalam waktu lama akan berdampak pada keinginannya yang sedikit, kepuasan, pemurnian, mudah disokong, dan membangkitkan kegigihannya. Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi.

 

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal tersebut, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke kediamanNya. Segera setelah Beliau pergi, Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu dan berkata sebagai berikut :

 

Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Dan dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan?

 

Para bhikkhu berkata sebagai berikut :

Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para bhikkhu akan mengingatnya.

 

Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut :

Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan.

 

Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan. Ketiga : mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan.

Dalam cara ini inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan.

 

“Dalam cara bagaimanakah, teman-teman, para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai, mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.

 

“Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan. Ketiga : mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.

Dalam cara inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan.

 

“Teman-teman, kejahatan di sini adalah keserakahan dan kebencian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian, menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.

 

Teman-teman, kejahatan di sini adalah kemarahan dan kekesalan, sikap meremehkan dan congkak, iri hati dan kekikiran, kecurangan dan penipuan, sifat keras kepala dan persaingan, keangkuhan dan kesombongan, kepongahan dan kelalaian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan kepongahan dan kelalaian, menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu puas dan gembira mendengarnya.

 

Demikianlah Tulisan ini yang menyampaikan tentang Dhammadāyāda Sutta yang dipersingkat agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti. Semoga bermanfaat.


Rabu, 26 Oktober 2022

Segala Noda

Tulisan ini menyampaikan perihal Segala Noda dalam Majjhima Nikaya-2 : Sabbāsava Sutta – yang sulit dipahami karena memerlukan pemikiran dan perenungan yang berulang. Tulisan ini menyingkat Sabbāsava Sutta agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti meskipun masih memerlukan perhatian penuh yang berulang.

Sabbāsava Sutta – menceritakan - pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta - Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu dan berkata banyak kepada mereka yang jika disingkat adalah sebagai berikut :

 

“Para Bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda adalah untuk seorang yang mengetahui dan melihat perhatian bijaksana dan perhatian tidak bijaksana. Ketika seseorang memperhatikan dengan tidak bijaksana, noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dan noda-noda yang telah muncul menjadi bertambah. Ketika seseorang memperhatikan dengan bijaksana, noda-noda yang belum muncul tidak akan muncul dan noda-noda yang telah muncul ditinggalkan.

 

“Para bhikkhu, ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat, dengan mengendalikan, dengan menggunakan, dengan menahankan, dengan menghindari, dengan melenyapkan, dan dengan mengembangkan.

 

“Apakah noda-noda, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melihat?

Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia, yang tidak menghargai manusia sejati, yang tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma, dia tidak memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, dan memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan.

 

Ketika ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak untuk diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan  noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan  noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul menjadi bertambah.

 

Ketika ia memperhatikan hal-hal yang layak untuk diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan  noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan  noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul ditinggalkan.

 

“Seorang biasa yang tidak terpelajar memperhatikan dengan tidak bijaksana : ‘Apakah aku ada di masa lampau? Apakah aku tidak ada di masa lampau? Apakah aku di masa lampau? Bagaimanakah aku di masa lampau? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau? Apakah aku akan ada di masa depan? Apakah aku akan tidak ada di masa depan? Akan menjadi apakah aku di masa depan? Akan bagaimanakah aku di masa depan? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’ Atau kalau tidak seperti itu, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang : ‘Apakah aku ada? Apakah aku tidak ada? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari manakah makhluk ini datang? Ke manakah makhluk ini akan pergi?’

 

“Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana tersebut, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya. Yaitu pandangan ‘ada diri bagiku’ , atau pandangan ‘tidak ada diri bagiku’ , atau pandangan ‘aku melihat diri dengan diri’ , atau pandangan ‘aku melihat bukan-diri dengan diri’ , atau pandangan ‘aku melihat diri dengan bukan-diri’ - muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau kalau tidak seperti itu, ia memiliki beberapa pandangan sebagai berikut : ‘adalah diriku ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’ Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan.

 

“Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar dengan baik, yang menghargai para mulia dan terampil, yang menghargai manusia sejati, yang terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, memahami hal-hal yang layak diperhatikan dan memahami hal-hal yang tidak layak diperhatikan. Oleh karena itu, ia tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.

 

Ketika ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak diperhatikan, yang tidak ia perhatikan.

 

Ketika ia memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya, dan noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak diperhatikan, yang ia perhatikan.

 

“Ia memperhatikan dengan bijaksana : ‘Ini adalah penderitaan’; ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ketika ia memperhatikan dengan bijaksana seperti itu, tiga belenggu ditinggalkan dalam dirinya : pandangan akan diri, keragu-raguan, dan keterikatan pada ritual dan upacara. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, berdiam dengan indria mata terkendali, indria telinga terkendali, indria hidung terkendali, indria lidah terkendali, indria badan terkendali, indria pikiran terkendali, maka tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria mata tidak terkendali, indria telinga tidak terkendali, indria hidung tidak terkendali, indria lidah tidak terkendali, indria badan tidak terkendali, indria pikiran tidak terkendali. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menggunakan?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menggunakan jubah hanya untuk perlindungan dari dingin, dari panas, dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menutupi bagian tubuh yang pribadi.

 

“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan dana makanan bukan untuk kenikmatan, bukan untuk kemabukan, bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan badan ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk mendukung kehidupan suci, dengan pertimbangan : ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan sebelumnya tanpa memunculkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dengan nyaman.’

 

“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan tempat tinggal hanya untuk perlindungan dari dingin, dari panas, dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menangkis bahaya iklim dan untuk menikmati latihan.

 

“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan obat-obatan hanya untuk perlindungan dari penyakit yang telah muncul dan demi kesehatan.

 

Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak menggunakan benda-benda kebutuhan seperti tersebut. Sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menggunakan benda-benda kebutuhan seperti tersebut. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menahankan?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menahan dingin dan panas, lapar dan haus, kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan kata-kata kasar dan tidak ramah, dan perasaan jasmani yang timbul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam kehidupan. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak menahankan hal-hal tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menahankan hal-hal tersebut. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menghindari?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menghindari gajah liar, kuda liar, sapi liar, anjing liar, ular, tunggul pohon, semak berduri, jurang, ngarai, lubang kakus, dan saluran pembuangan. Merenungkan dengan bijaksana, ia menghindari duduk di tempat yang tidak sesuai, menghindari bepergian ke tempat yang tidak sesuai, dan menghindari bergaul dengan teman-teman yang tidak baik, karena jika ia melakukan hal itu maka teman-teman bijaksana dalam kehidupan suci akan mencurigainya berperilaku buruk. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak menghindari hal-hal tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menghindari hal-hal tersebut. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, tidak menolerir pikiran keinginan indria yang muncul; pikiran bermusuhan yang muncul; pikiran kejam yang muncul; dan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat; ia meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya, dan membasminya. Sementara noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak melenyapkan pikiran-pikiran tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang melenyapkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, mengembangkan faktor pencerahan perhatian, mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi, mengembangkan faktor pencerahan kegigihan, mengembangkan faktor pencerahan sukacita, mengembangkan faktor pencerahan ketenangan, mengembangkan faktor pencerahan konsentrasi, dan mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak mengembangkan faktor-faktor pencerahan tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang mengembangkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan.

 

Kesimpulan

“Para bhikkhu, ketika noda-noda oleh seorang bhikkhu telah ditinggalkan dengan melihat, dengan mengendalikan, dengan menggunakan, dengan menahankan, dengan menghindari, dengan melenyapkan, dan telah ditinggalkan dengan mengembangkan – maka ia disebut seorang bhikkhu yang berdiam dengan terkendali oleh pengendalian segala noda. Ia telah memotong ketagihan, melepaskan belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan, ia telah mewujudkan akhir dari penderitaan.”

 

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

 

Demikianlah intisari tentang : “Segala Noda” dari Majjhima Nikaya-2 : Sabbāsava Sutta. Semoga bermanfaat.

Berdana, motivasi dan hasilnya.

Tulisan ini menyampaikan uraian mengenai berdana, motivasi dan hasilnya. Yaitu merupakan uraian yang dipermudah dari pengertian berdana menurut Situs DhammaCitta berdasarkan Aṅguttara Nikāya 7.52 : Dana Sutta. Sebagai berikut :

Perbuatan berdana yang disertai dengan pikiran untuk keuntungan dirinya sendiri, dengan pikiran melekat pada hasilnya, yaitu yang disertai dengan pikiran bahwa dia akan menikmatinya setelah mati. Dia memberikan pemberian makanan, minuman, pakaian, kendaraan, kalungan bunga, wangi-wangian dan urapan, tempat tidur, tempat berteduh, dan pelita — kepada biarawan atau petapa. Setelah meninggal dunia - dia muncul diantara para Empat Raja Dewa Besar. Kemudian setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah seorang yang akan kembali, kembali ke dunia ini.

 

Perbuatan berdana yang tidak disertai dengan pikiran untuk keuntungan dirinya sendiri, tidak dengan pikiran melekat pada hasilnya, yaitu yang tidak disertai dengan pikiran bahwa dia akan menikmatinya setelah mati. Tetapi dia memberikan pemberian dengan pikiran : ‘Memberikan itu baik.’ Dia memberikan pemberian makanan, minuman, pakaian, kendaraan, kalungan bunga, wangi-wangian dan urapan, tempat tidur, tempat berteduh, dan pelita — kepada biarawan atau petapa. Setelah meninggal dunia - dia muncul diantara para Deva Tiga Puluh Tiga (Tavatimsa Deva). Kemudian setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah seorang yang akan kembali, kembali ke dunia ini.

 

Perbuatan berdana yang tidak disertai dengan pikiran : ‘Memberi adalah baik.’ Dia memberikan pemberian dengan pikiran : ‘Ini telah diberikan sebelumnya, telah dilakukan sebelumnya, oleh ayah dan kakek-ku. Adalah hal yang salah jika saya membiarkan tradisi lama keluarga ini terhenti’. Setelah meninggal dunia - dia muncul diantara para Deva Yama (Yama deva). Kemudian setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah seorang yang akan kembali, kembali ke dunia ini.

 

Perbuatan berdana yang tidak disertai dengan pikiran : ‘Ini telah diberikan sebelumnya, telah dilakukan sebelumnya, oleh ayah dan kakek-ku. Adalah hal yang salah jika saya membiarkan tradisi lama keluarga ini terhenti’. Dia memberikan pemberian dengan pikiran : ‘Saya kaya raya. Mereka tidak kaya raya. Adalah hal yang salah, yang kaya raya tidak memberikan pemberian kepada mereka yang tidak kaya raya’. Setelah meninggal dunia - dia muncul diantara para Deva Yang Puas (Tusita Deva). Kemudian setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah seorang yang akan kembali, kembali ke dunia ini.

 

Perbuatan berdana yang tidak disertai dengan pikiran : ‘Saya kaya raya. Mereka tidak kaya raya. Adalah hal yang salah, yang kaya raya tidak memberikan pemberian kepada mereka yang tidak kaya raya’. Dia memberikan pemberian dengan pikiran : ‘Seperti pengorbanan besar yang telah dilakukan oleh para bijaksana dimasa lalu, Atthaka, Vamaka, Vamadeva, Vessamitta, Yamataggi, Angirasa, Bharadvaja, Vasettha, Kassapa, dan Bhagu — demikian pula pemberianku ini’. Setelah meninggal dunia - muncul diantara para Deva Yang Bersenang Dalam Mencipta (Nimmanarati Deva). Kemudian setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah seorang yang akan kembali, kembali ke dunia ini.

 

Perbuatan berdana yang tidak disertai dengan pikiran : ‘Seperti pengorbanan besar yang telah dilakukan oleh para bijaksana dimasa lalu — Atthaka, Vamaka, Vamadeva, Vessamitta, Yamataggi, Angirasa, Bharadvaja, Vasettha, Kassapa, dan Bhagu — demikian pula pemberianku ini’. Dia memberikan pemberian dengan pikiran : ‘Ketika pemberianku ini diberikan, membuat batin pikiran tenang. Rasa puas dan kebahagiaan muncul’. Setelah meninggal dunia - dia muncul diantara para Deva Yang Berkuasa atas Ciptaan Yang Lain (Paranimmita-vasavatti Deva). Kemudian setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah seorang yang akan kembali, kembali ke dunia ini.

 

Perbuatan berdana, tidak untuk keuntungannya sendiri, tidak dengan pikiran melekat pada hasilnya, tidak untuk mengumpulkan untuk dirinya, tidak juga dengan pikiran : ‘Saya akan menikmatinya setelah mati,’ tidak juga dengan pikiran : ‘Memberi adalah baik,’ tidak juga dengan pikiran : ‘Ini telah diberikan sebelumnya, telah dilakukan sebelumnya, oleh ayah dan kakek-ku. Adalah hal yang salah jika saya membiarkan tradisi lama keluarga ini terhenti’.

Tetapi Perbuatan berdana dengan pikiran : ‘Ini adalah untuk memperindah pikiran, mendukung pikiran’. Setelah meninggal dunia - dia muncul diantara para Brahma Pengiring (Brahma-parisajja deva). Kemudian setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah seorang yang tidak kembali lagi. Dia tidak kembali ke dunia ini.

 

Bapak – ibu dan saudara – kesimpulan dari uraian yang cukup panjang tadi tentang pemberian dana – yaitu bahwa pada pemberian dana yang sama ternyata buah karma baiknya tidak sama – tergantung dari niat berdananya. Buah karma terbaik bagi sang pendana adalah jika perbuatan berdananya dimaksudkan untuk memperindah dan melengkapi pikirannya agar menjadi pikiran yang semakin baik – yaitu pikiran tanpa pamrih. Dan tentu saja berdana atau menabur benih kebajikan terbaik adalah jika benih tersebut di tabur di tanah yang subur dan dirawat dengan baik.

 

Demikianlah tulisan ini. Semoga bermanfaat. 

Rabu, 19 Oktober 2022

Tradisi memberi sesaji – baik atau buruk?

Sesaji itu umumnya diberikan kepada makhluk halus, makhluk yang tidak kasat mata. Tradisi memberi sesaji kepada makhluk halus itu baik, asalkan bukan dari pembunuhan makhluk hidup. Mereka - makhluk halus itu seperti kita, masalahnya mereka itu kurang beruntung – karma-nya menentukan mereka bertumimbal lahir sebagai makhluk halus. Kalau makhluk-makhluk itu diciptakan – maka enak di kita manusia – dan tidak enak di mereka makhluk halus – karena makhluk halus yang dalam hal ini hidup di alam rendah itu menderita. Mereka itu memerlukan bantuan, perlu dikasihani. Ada jenis makhluk halus yang selalu kelaparan dan memerlukan pemberian makanan dari kita, mereka memerlukan asupan - baik itu berupa sesaji ataupun pelimpahan jasa dari kita manusia untuk meringankan penderitaannya. Setelah kematiannya makhluk-makhluk bertumimbal lahir  di alam mana - yang menentukan adalah Hukum Alam berdasarkan perilaku yang bersangkutan di hidup sebelumnya. Jadi yang menentukan kita - kita akan terlahir kembali di alam mana itu yang menentukan adalah kita sendiri - berdasarkan perilaku kita di hidup sebelumnya. Berlaku hukum Karma. Contoh : orang dermawan setelah meninggal mungkin akan terlahir kembali di alam dewa atau kalau terlahir kembali sebagai manusia – maka ada kemungkinan nantinya dia akan menjadi orang kaya. Orang yang meninggal dan kemudian masuk Neraka atau masuk Surga itu artinya adalah terlahir kembali secara spontan di alam kehidupan berikutnya. Dan kalau karma buruk atau karma baiknya sudah habis akan terlahir kembali di alam berikutnya lagi - karena adanya karma baru atau karma yang lain masih ada - sampai yang bersangkutan terlahir kembali sebagai manusia dan berhasil menjadi orang suci hasil tertinggi dari mempraktikkan Vipassana Bhavana, sehingga dia tidak akan terlahir kembali di alam kehidupan manapun, dia telah padam, telah berhasil merealisasi kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan inderawi lagi.

Makhluk halus itu ada di mana-mana, di jalan, di perempatan, di pohon-pohon, di pinggir-pinggir rumah dan sebagainya. Cuma – kita saja yang tidak bisa melihat, coba tanyakan kepada sang indigo benar atau tidak?

Kalau kita suka memberi sesaji atau limpahan jasa kepada makhluk halus - maka mereka tidak akan menggangu kita. Tidak semua makhluk halus itu jahat, seperti kita manusia, ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang bodoh dan ada yang tidak bodoh. Kalau kita tergolong orang yang baik – makhluk halus tidak mampu mengganggu kita.

Sesaji itu bisa ditaruh di banyak tempat, yaitu di tempat-tempat yang dianggap penting, dianggap vital atau dianggap berharga - supaya aman. Sesaji itu banyak macamnya. Kalau di pulau Bali berupa bunga dan masih ditambah minyak wangi... Di Bali - sesaji itu biasanya diletakkan di sanggah (pura yang kecil), di halaman rumah, di perempatan jalan, di depan pintu masuk suatu bangunan, dan di depan toko-toko. Memberi sesaji itu yang penting adalah niatnya, simpatinya, dan kasihnya kepada sesama makhluk adalah baik.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Ada praktik yang baik - yang selalu dilakukan oleh pemeluk agama tertentu, yaitu setelah mereka berbuat baik misalnya berdana, maka jasa baiknya itu dilimpahkan kepada leluhur / sanak saudara - dengan menyebutkan nama - atau kalau untuk semua - maka limpahan jasa itu ditujukan kepada mereka yang memiliki hubungan karma dengan yang bersangkutan. Seperti disebutkan tadi - memberi sesaji atau limpahan jasa kepada makhluk halus itu akan meringankan penderitaan mereka. Dan jasa kita itu tidak akan berpindah kepada mereka, tetapi justru menjadi berlipat karena kita berbuat baik-nya dobel.

Kalau makhluk halus menderita dan memerlukan bantuan manusia – manusia juga ada yang meminta bantuan. Tentu saja yang bisa membantu manusia adalah makhluk yang punya kelebihan dibanding manusia itu sendiri, bukan yang lain. Dukun santhet itu minta bantuannya kepada makhluk yang punya kelebihan juga - tapi makhluk jahat - yang punya pamrih. Kita tidak perlu meminta bantuan, banyak berbuat baik saja, nanti alam semesta yang adil (katakan saja alam semesta adalah “Aplikasi Tuhan") yang bekerja. Doa / harapan terbaik adalah : "Semoga semua makhluk hidup berbahagia". Harapan yang baik adalah perbuatan baik, perbuatan baik yang dilandasi dengan niat baik dan tanpa pamrih itu mendatangkan kebahagiaan. Berbuat baik itu banyak macamnya, silahkan digali sendiri...

Saya ulangi, kalau hukum alam yang bekerja secara otomatis itu mau dipahami sebagai aplikasi Tuhan ya boleh juga, yang penting tidak terlalu salah kalau di cocok-cocokkan... Kalau dalam lingkup kenegaraan - Hukum Karma yang merupakan salah satu dari 5 hukum alam itu dapat diibaratkan sebagai aturan Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Semua keyakinan / agama yang diakui di Indonesia itu semuanya baik dan mengajarkan kebaikan, sehingga yang diharapkan adalah umatnya berkelakuan baik - supaya selamat di dunia dan selamat setelah meninggal dunia, yaitu masuk Surga atau terlahir kembali di alam bahagia. Artinya yang bersangkutan sudah baik dan benar dalam menyikapi berlakunya hukum alam yang bekerja secara otomatis, adil dan pasti – tidak bisa ditawar-tawar. Cara menawarnya adalah dengan banyak berbuat baik. Kalau beragama tapi radikal buruk - bukan radikal baik - itu artinya mereka fanatiknya membuta dan tidak bijak dalam mengartikan suatu ayat tertentu dalam kitab sucinya, atau mereka tanpa sadar sudah dimanfaatkan oleh politisi busuk haus kekuasaan yang tidak faham atau tidak taat dengan ajaran agamanya sendiri. Jika ada suatu ayat yang menganjurkan membunuh atau menyerang orang atau kelompok tertentu - hendaknya dipahami saja sebagai anjuran untuk mengendalikan sifat-sifat buruk orang atau kelompok tertentu. Bukan untuk membunuh atau memerangi orangnya. Kecuali diserang secara fisik ya harus bertahan / melawan. Yang utama – yang jauh lebih penting adalah pengendalian sifat-sifat buruk diri sendiri.

Perihal selamat di dunia dan selamat setelah meninggal dunia yaitu terlahir kembali di alam bahagia itu – sekali lagi saya ulangi - sebagai ilustrasinya adalah kalau didalam sistem kenegaraan maka agar bisa selamat tidak masuk penjara - cukup-lah dengan menyikapi dengan baik dan benar Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. Tidak terlalu penting mengusut atau memperdebatkan siapa orangnya yang membuat Kitab Undang-undang itu.

Memberi sesaji akan lebih cocok jika tidak mengganggu kebutuhan keluarga. Misal sesaji berupa makanan dan minuman - apakah keluarga sudah tercukupi kebutuhan makanan dan minuman seperti yang di sesaji kan itu? Manfaat lain dari memberi sesaji adalah melatih untuk melepas dan melepas, tidak melekat kepada makanan, minuman atau barang-barang duniawi lainnya.

Demikianlah tulisan ini - Semoga bermanfaat. 


Ketuhanan Yang Maha Esa

Tulisan ini berbagi mengenai pemahaman yang berbeda - jika Anda tidak sependapat - silahkan diabaikan saja dan lupakan. Pemahaman tersebut adalah sebagai berikut : Ketuhanan Yang Maha Esa itu berbeda dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dapat dipahami kalau Ketuhanan Yang Maha Esa itu merupakan Kata Sifat, sedangkan Tuhan Yang Maha Esa adalah Kata Benda. Menurut tulisan ini yang disebut Tuhan itu sebenarnya tak bisa dinalar, jadi tidak harus dipersepsikan dengan pemahaman tertentu. Buktinya ada banyak pemahaman yang berbeda-beda tentang Tuhan. Tidak bisa persis sama. Umumnya Tuhan dipersepsikan sebagai yang mempunyai kehendak, maha kuasa, menciptakan dan menentukan segalanya termasuk menghukum, mencobai dan memberi pahala. Jika demikian maka tidak bisa disangkal lagi bahwa Tuhan itu seperti manusia, yang memiliki nafsu keinginan. Menurut video ini pemahaman seperti itu adalah pemahaman harafiah - karena pemahaman yang sesungguhnya tidaklah mudah. Selain tidak mudah juga tidak terlalu penting untuk diusut-usut terus karena tidak akan memberikan manfaat, hanya akan mengundang perdebatan yang tiada henti. Pemehaman harafiah mengenai Tuhan itu di jaman dulu mungkin diperlukan untuk mendidik manusia agar memiliki perilaku yang baik, atau memiliki peradaban yang baik.

Persepsi tentang Tuhan itu terkait dengan tujuan hidup manusia. Tujuan hidup manusia itu apa sih? Pastinya semua orang ingin bahagia selamanya bukan? OK sebelum hal ini dibahas, mari kita selesaikan dulu masalah pemahaman mengenai Tuhan tadi hingga dirasa cukup. Menurut tulisan ini - karena Tuhan itu dikatakan kekal - maka yang lebih tepat adalah sebutan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa - yang bukan Kata Benda melainkan Kata Sifat – karena yang disebut dalam kata benda itu tidak kekal. Maka oleh karena itu - yang mendekati kebenaran adalah : oleh karena Ketuhanan Yang Maha Esa maka semuanya ini ada, alam semesta ini ada, hukum yang berlaku menentukan seperti itu. Hukum yang berlaku atau Hukum Alamnya menyatakan bahwa semuanya ini telah ada, alam semesta ini telah ada, dan tak terkatakan kapan alam semesta ini mulai ada karena saking lamanya proses, perjalanan atau kejadian-kejadian yang telah berlalu – telah berlalu lama sekali. Katakanlah Alam Semesta ini keberadaannya tanpa awal dan tanpa akhir. Tidak mengenal adanya Causa Prima. Dengan cara atau dengan pengetahuan apapun awal adanya Alam Semesta ini tidak terlihat - karena saking lamanya. Demikian juga akhir dari Alam Semesta ini juga tidak bisa diketahui. Alam Semesta itu akan hancur – tetapi akan terbentuk kembali dalam waktu yang sangat lama sekali. Proses kehancuran dan juga terbentuknya kembali Alam Semesta itu memerlukan waktu yang sangat lama sekali – tak terhingga lamanya. Yang dapat diketahui atau dapat kita saksikan adalah bahwa alam semesta ini setiap saat mengalami perubahan. Bumi, Tatasurya, dan Galaksi kita ini akan hancur atau kiamat total, tetapi akan terbentuk kembali dengan memerlukan waktu yang sangat lama sekali. Benda-benda atau fenomena itu selalu berubah setiap saat, tidak tetap, tidak kekal, demikian juga dengan Alam Semesta selalu berubah, hancur atau kiamat dan akan terbentuk kembali. Itulah yang dinamakan selalu berubah tanpa awal dan tanpa akhir. Hukum Alam-nya begitu. Kalau ada penciptaan – maka siapakah yang menciptakan si pencipta? Karena sudah Hukum Alam maka semuanya ini ada. Hukum Alam itu Kata Sifat sehingga keberadaannya kekal, artinya Hukum Alam itu kekal. Apakah Hukum Alam adalah Tuhan atau Ketuhanan Yang Maha Esa? Mengenai masalah ini diserahkan kepada persepsi atau pemahaman masing-masing, tidak usah dipersoalkan karena akan mengundang perselisihan.

Ada suatu yang tak berkondisi - yang tidak dilahirkan - yang tidak menjelma - yang tidak tercipta - yang mutlak – yang demikian itu adalah Nirwana atau Nibbana - yaitu kondisi padam - kondisi damai - biasa disebut juga sebagai kondisi bahagia hakiki selamanya. Itulah Nibbana yang menjadi tujuan hidup semua makhluk.

Sekarang kita bahas secara singkat tetang tujuan hidup manusia yang ingin bahagia selamanya. Kebahagiaan inderawi atau kebahagiaan duniawi itu tidak kekal, akan berubah menjadi tidak bahagaia - karena segala sesuatu atau fenomena itu selalu berubah. Jadi kebahagiaan sejati itu datangnya bukan dari luar diri seseorang melainkan dari dalam diri. Kalau kita bisa mengelola nafsu keinginan di jalan tengah - yaitu menjadi seimbang - maka kita tidak akan terpengaruh dengan kondisi apapun di luar diri – artinya kita menjadi bahagia yang dapat bertahan lama atau selalu merasakan kebahagiaan. Makin tinggi kualitas batin kita, maka akan semakin bahagia dan semakin langgeng bahagia kita. Jika kita sudah berhasil memadamkan keinginan yang salah tanpa sisa – itu artinya telah berhasil merealisasi Nibbana - telah berhasil mencapai penerangan sempurna. Pencapaian penerangan sempurna itu merupakan hasil tertinggi dari berlatih meditasi vipassana atau meditasi pandangan terang, telah menjadi seorang Arahat atau orang suci yang sudah tidak mungkin mundur kembali melakukan hal-hal buruk, dan tidak akan terlahir kembali di alam kehidupan manapun, telah padam, telah merealisasi kebahagiaan kekal.

Demikianlah tulisan ini - Semoga bermanfaat.


Jumat, 14 Oktober 2022

Sudah Baik dan Pintarkah Anda?

Sebagai seorang pemeluk agama hendaknya kita ini tidak bodoh - mampu mengamalkan ajaran agama sendiri dengan baik sehingga bisa berperilaku baik – agar selamat dan bahagia hidup di dunia yang kita jalani sekarang ini - selamat dan bahagia di kehidupan berikutnya setelah meninggal dunia, di alam yang baru, yaitu masuk Surga atau masuk ke alam bahagia lainnya.

Agama itu banyak sekali, yang diakui di Indonesia ada 6 agama, semua memiliki pemeluknya masing-masing, pemeluknya memiliki karakter masing-masing. Sebenarnya agama itu apa sih? Menurut tulisan ini agama itu diciptakan untuk membimbing umatnya agar selamat dan bahagia hidupnya di dunia ini, dan setelah meninggal dunia bahagia di kehidupan berikutnya di alam yang baru. Surga dan Neraka adalah alam kehidupan baru setelah kematian. Karena agama itu banyak maka sudah barang tentu ajarannya berbeda-beda, sumbernyapun berbeda-beda. Kalau sumbernya hanya satu tentu agama itu hanya ada satu. Disini kita berbicara berdasarkan logika, tidak  terkait dengan ajaran agama tertentu karena akan tidak sesuai dengan ajaran agama lain.

Yang sudah jelas - artinya nyata - agama itu dibawa, disebarkan, atau berasal dari seorang manusia. Para pembawa agama memperoleh ajaran agama yang dibawanya itu berasal dari mana tentunya berbeda-beda. Beberapa pembawa agama menyatakan bahwa agama yang dibawanya berasal dari Tuhan. Yaitu berasal dari firman Tuhan atau berasal dari wahyu Tuhan. Beberapa agama lainnya dapat diketahui bahwa ajaran agama tersebut berasal dari si pembawa agama itu sendiri, merupakan temuan dari hasil pencariannya, dari hasil pemikiran atau mungkin pemikiran banyak orang - kemudian disebar luaskan oleh sang pembawa agama.

Tulisan ini tidak membahas misalnya tentang asal mula agama yang berasal dari satu Tuhan tapi mengapa ajarannya berbeda dan sebagainya, ataupun masalah-masalah sensitif lainnya dari aspek agama-agama yang berbeda. Tulisan ini hanya ingin mengajak pembaca untuk masuk ke pemikiran logis agar kita bisa menempatkan diri dengan baik dalam bermasyarakat demi terciptanya satu bangsa Indonesia yang bersatu, harmonis, kuat, sejahtera, dan maju. Harapannya masalah-masalah yang sensitif yang timbul dari aspek agama-agama yang berbeda bisa berkurang atau menjadi tidak ada.

Tidak bersaudara dalam iman tapi bersaudara dalam kemanusiaan, inilah yang menjadi pedoman kita semua agar hidup di dunia ini kita bisa rukun, saling bantu, hormat-menghormati satu sama lain, dan menghormati keyakinan lain. Kalau suatu agama dipahami sebagai membimbing umatnya agar selamat dan bahagia hidupnya di dunia yang sekarang ini, maka hendaknya kita sebagai umat beragama berperilakulah baik, berperilakulah bijaksana. Tidak serakah, tidak membenci dan tidak bodoh - tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik sehingga tidak kita lakukan.

Semua pemeluk agama yang diakui di Indonesia itu mengakui adanya hukum tabur-tuai, oleh karena itu tulisan ini akan lebih banyak membicarakan mengenai Hukum Tabur-Tuai yang sudah dibenarkan oleh semua pemeluk agama. Hukum tabur-tuai sama dengan hukum sebab-akibat atau hukum karma. Kalau kita ingin selamat dan bahagia masuk di kehidupan berikutnya di alam yang baru setelah kematian, yaitu masuk Surga atau masuk ke alam bahagia lainnya, maka masuk akal kalau dalam hidup ini kita berperilaku baik, bajik dan bijaksana, tidak melanggar tata-krama sehingga tidak melaggar hukum – kita akan selamat, tidak berkelahi dan tidak masuk penjara. Kita akan selamat dan bahagia dalam menjalani hidup di dunia ini. Hidup yang baik yang tidak menyakiti dan atau tidak merugikan orang bahkan tidak menyakiti makhluk lain karena tidak serakah, tidak membenci dan tidak bodoh sebagai sebab atau sebagai benih yang kita tabur - maka wajar sebagai akibatnya setelah kematian kita akan selamat masuk di alam kehidupan berikutnya - di alam kehidupan yang baru – di alam bahagia. Kalau suatu agama menjelaskan bahwa itu belum cukup dan harus mengikuti ketentuan lain dari agama yang dimaksud - silahkan perilaku dilengkapi dengan aturan menurut agama masing-masing. Hidup dengan kebersamaan di dunia ini yang paling penting perilaku baik hendaknya diutamakan.

Kita yang berbeda-beda ini, berbeda agama, suku, budaya dan golongan, sebagai satu bangsa yang sama yaitu bangsa Indonesia - marilah kita semua mengupayakan dapat berperilaku baik, yaitu tidak serakah, tidak membenci dan tidak bodoh. Tidak dapat dimanfaatkan oleh politisi yang haus kekuasaan, yang tidak takut dosa, yang tidak memahami esensi ajaran agamanya sendiri.

Jika semasa hidup ini perilakunya baik - maka kehidupan berikutnya akan berada di alam yang baik. Jika perilakunya lebih baik lagi - maka kehidupan berikutnya akan berada di alam yang lebih baik lagi. Demikian seterusnya hingga menjadi manusia suci tanpa dosa - sehingga kondisi berikutnya setelah kematian tidak bertumimbal lahir di alam kehidupan manapun - yang artinya telah padam, telah merealisasi kebahagiaan sejati kekal selamanya, bukan kebahagiaan inderawi lagi. Kebahagiaan inderawi di alam manusia tidak kekal, selalu berubah. Perubahan itu menimbulkan ketidakpuasan, menimbulkan dukkha atau penderitaan. Kondisi yang membahagiakan yang tidak berubahpun akan mendatangkan penderitaan karena yang menikmatinya menjadi bosan, kali ini yang berubah adalah perasaan bahagianya. Kebahagiaan di alam-alam yang lebih tinggi dari alam manusia juga tidak kekal - akan berubah juga. Segala bentukan, benda-benda, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran, dan segala fenomena yang ada setiap saat berubah. Ini adalah hukum alam yang tidak bisa dirubah. Oleh karena itu mau atau tidak mau – kalau mau survive dan bahagia - kita harus menyesuaikan diri – yaitu menyikapi dengan baik dan benar berlakunya hukum alam.

Oleh karena semuanya selalu berubah maka yang namanya roh atau jiwa yang kekal itu tidak ada – karena selalu berubah. Kalau mau merealisasi kebahagiaan sejati - maka penyebab dukkha harus dipotong, harus dipadamkan. Kalau sebabnya padam maka akibatnyapun padam. Roh, jiwa, atau kesadarannya sudah menjadi bijaksana. Badan jasmani atau orangnya menjadi orang suci, kilesa atau kotoran bantinnya sudah berhasil dihancur-lemburkan tanpa sisa. Berhasil merealisasi Nibbana yang menjadi tujuan semua makhluk hidup, tidak bertumimbal lahir kembali di alam kehidupan manapun, telah merealisasi kebahagiaan sejati. Manusia suci yang istilah umumnya tanpa dosa itu ada, sudah banyak sekali yang berhasil mencapainya, yaitu telah berhasil menapaki Jalan Mulia Berunsur Delapan dengan sukses, telah merealisasi hasil tertinggi dari Vipassana Bhavana.

Demikianlah tulisan ini - Semoga bermanfaat.