Percakapan tersebut dimulai dari si A yang berkata demikian : Orang bodoh itu ternyata memiliki peran penting juga ya di dunia ini. Dibutuhkan oleh orang lain. Contoh : "kaum radikalis salah" - dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingan pribadi dan golongan. Waspadalah.! jangan sampai kaum "radikal salah" tersebut dipelihara dan dilestarikan.!
Si B menimpali : Kalau itu menyangkut agama, sebetulnya agama bukan untuk
membodoh-bodohin orang, tapi sebaliknya... hhh...
Disambut oleh si C : Bila tidak ada orang bodoh, pastilah dunia ini
sangat sepi...
Kembali si A berkomentar : Hanya saja janganlah kita ini menjadi bagian dari
orang-orang bodoh yang dimaksud. Biarlah yang lain saja.
Akhirnya percakapan tersebut ditutup oleh si D sebagai berikut : Betul, betul, betul, setuju sekali... Bodoh itu tidak berarti tidak memiliki berlembar-lembar ijazah
hingga ijazah doktor. Tapi nalarnya saja yang tertutup oleh kepercayaan yang salah
yang dijejalkan oleh guru dan atau orang tua hingga otaknya seolah tercuci sedemikian
rupa. Sejak kecil didoktrin terus-menerus, tidak dibebaskan untuk bertanya secara
kritis. Contoh yang pernah terjadi adalah – dulu – kasus Dimas Kanjeng, yang
mampu menggandakan uang - dipercayai oleh seseorang yang berpendidikan PhD, pastilah
karena sejak kecil beliau itu dijejali oleh keyakinan dengan pemahaman yang
salah, salah tapi tidak boleh dibantah. Kini sudah tiba saatnya anak-anak itu
dibebaskan untuk bertanya apapun, dan jawablah sesuai kitab tapi yang logis - agar
jika terjadi diskusi – maka diskusinya baik, bebas tapi damai. Mengamalkan ajaran
agama apapun yang dipercayainya - yang diakui oleh negara itu - sangat
diperbolehkan, yang tidak boleh adalah jika amalannya itu menyakiti dan atau
memojokkan orang lain atau menyakiti hati orang yang berbeda keyakinan. Keyakinan
yang berbeda itu dapat terjadi karena masing-masing orang itu memiliki jodohnya
masing-masing yang bisa saja berbeda.
Demikianlah tulisan ini, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar