Translate

Tampilkan postingan dengan label Pengetahuan Benar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengetahuan Benar. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 November 2025

Panca Niyama Dhamma ( 5 Hukum Kesunyataan )

Pendahuluan :
Panca Niyama Dhamma adalah lima hukum universal yang menjelaskan keteraturan alam semesta, kehidupan, dan fenomena batin. Hukum ini bukan ciptaan Buddha, melainkan penemuan beliau sebagai kebenaran yang sudah ada.
 
Pengertian Umum Panca Niyama Dhamma :
Niyama = hukum atau keteraturan. Panca Niyama Dhamma adalah lima hukum kesunyataan yang mengatur segala fenomena, baik fisik maupun mental. Buddha menekankan bahwa hukum ini berjalan secara alami, tidak bergantung pada kehendak suatu Satva = Makhluk atau kehendak “Sosok” yang maha kuasa.
 

Panca Niyama Dhamma terdiri dari :
1.    Utu Niyama : Hukum fisik / iklim. Mengatur fenomena alam seperti panas, dingin, musim, gempa, dan hukum fisika. Contoh : Pergantian musim, hukum gravitasi, siklus air.
2.    Bīja Niyama : Hukum biologis. Mengatur pertumbuhan dan reproduksi makhluk hidup sesuai benihnya. Contoh : Biji mangga tumbuh jadi pohon mangga, bukan pohon jambu. Hukum ini juga menentukan bagaimana tubuh fisik dari manusia atau Binatang itu terbentuk dan berkembang.
3.    Kamma Niyama : Hukum moral sebab-akibat. Perbuatan (pikiran, ucapan, tindakan) membawa akibat sesuai kualitasnya. Contoh : Perbuatan baik mendatangkan kebahagiaan, perbuatan buruk mendatangkan penderitaan.
4.    Citta Niyama : Hukum batin / psikologis. Mengatur aliran pikiran, kesadaran, dan proses mental. Contoh : Munculnya persepsi, ingatan, mimpi, hubungan antara pikiran dan emosi, termasuk munculnya Jhana dan kemampuan Abhiññā.
5.    Dhamma Niyama : Hukum universal yang melampaui keempat hukum di atas. Mengatur fenomena kosmik dan kebenaran mutlak. Contoh : Kemunculan seorang Buddha, gempa bumi saat pencerahan, dan hukum ketidakkekalan. Hancur dan terbentuknya kembali jagad raya termasuk dalam ketentuan hukum ini.
 
Penekanan atas Panca Niyama Dhamma :
1.    Tidak ada campur tangan eksternal, semua fenomena terjadi sesuai hukum alam, bukan karena kehendak satva adikodrati.
2.    Kamma Niyama sering dianggap paling penting karena berkaitan langsung dengan etika, moralitas, dan kelahiran kembali.
3.    Dhamma Niyama menjelaskan fenomena luar biasa (misalnya keajaiban kosmik saat Buddha lahir) sebagai bagian dari hukum alam, bukan mukjizat supranatural.
4.    Keselarasan antar hukum, dimana kelima hukum ini saling melengkapi, membentuk keteraturan total dalam Samsāra, keteraturan kosmos, sehingga manusia dapat memahami bahwa hidup tidak acak, melainkan mengikuti hukum sebab-akibat.
 
Makna Praktis Panca Niyama Dhamma dalam kehidupan :
1.    Kesadaran etis : Memahami Kamma Niyama menumbuhkan tanggung jawab moral, dan menyadari bahwa Karma hanyalah salah satu hukum, sehingga tidak menyalahkan Karma atas semua peristiwa alam.
2.    Ketenangan batin : menyadari Citta Niyama membantu melatih meditasi dan mengendalikan pikiran.
3.    Penghormatan pada alam : Utu dan Bīja Niyama menumbuhkan sikap ekologis dan keselarasan dengan lingkungan.
4.    Kebijaksanaan praktis : Menghargai ilmu pengetahuan (fisika, biologi, psikologi) sebagai bagian dari Niyama.
5.    Keyakinan pada hukum alam : Dhamma Niyama menegaskan bahwa fenomena luar biasa tetap tunduk pada hukum universal, bukan keajaiban semata.
6.    Spiritualitas : Dhamma Niyama menegaskan bahwa kemunculan Buddha dan ajaran beliau adalah bagian dari hukum alam, bukan kebetulan.
 
Kesimpulan :
Panca Niyama Dhamma adalah kerangka hukum universal yang menjelaskan keteraturan alam, kehidupan, batin, dan fenomena kosmik. Dengan memahami kelima hukum ini, seseorang dapat melihat bahwa segala sesuatu berjalan sesuai hukum alam, hukum sebab-akibat yang pasti, bukan karena kebetulan atau campur tangan satva adikodrati, sehingga menumbuhkan kebijaksanaan, tanggung jawab moral, dan ketenangan batin.  

Minggu, 23 November 2025

MAAF - MEMAAFKAN

Di dalam masyarakat sering kita jumpai seseorang meminta maaf dan dimaafkan. Kalau ditinjau dari Hukum Karma, apakah maaf memaafkan ini benar adanya sebagaimana umum memahaminya?
- Karma adalah hukum sebab-akibat : setiap perbuatan (baik atau buruk) meninggalkan jejak (vipāka) yang di kemudiannya akan berbuah atas dukungan kondisi yang ada. Perbuatan memaafkan orang lain itu tidak secara otomatis menghapus Karma Buruk yang sudah diperbuat oleh yang bersangkutan. Buah Karma itu tetap akan muncul bila kondisinya mendukung.
- Yang benar, memaafkan itu mengubah kondisi batin si pemberi maaf, ia terbebas dari kebencian, dendam, dan penderitaan batin. Dan itu adalah merupakan Karma Baik bagi dirinya.
Dampak bagi pelaku yang dimaafkan, tidak langsung mengurangi Karma Buruk-nya. Tetapi : ia bisa merasa lega, menumbuhkan rasa syukur, dan terdorong untuk bertobat atau berbuat baik, yang akan menjadikan perubahan dari niat-niat yang selama ini sering ia lakukan pelan-pelan akan berubah menjadi niat-niat yang baik yang mendorong yang bersangkutan melakukan perbuatan-perbuatan baik sebagai Karma Baik.
- Jadi, yang berkurang bukan Karma Buruk yang sudah diperbuat, tetapi akan muncul peluang untuk melakukan Karma Baik baru.
Dalam Dhammapada disebutkan : "Tidak ada perbuatan buruk yang hilang begitu saja, seperti susu yang tidak segera menjadi asam; tetapi ia akan berbuah ketika waktunya tiba." Artinya, memaafkan tidak menghapus buah Karma, tetapi bisa menciptakan kondisi batin yang lebih baik bagi kedua belah pihak.
Jadi, dimaafkan tidak mengurangi Karma Buruk orang yang meminta maaf secara langsung, tetapi bisa menjadi katalis yang mendorong perubahan batin untuk berbuat baik, sehingga jalan hidupnya bisa lebih ringan.  

Jumat, 17 Oktober 2025

SIKLUS KEHANCURAN DAN PEMBENTUKAN KEMBALI DUNIA

Satu siklus lengkap dari kehancuran hingga pembentukan kembali Dunia disebut satu mahākappa (kalpa agung), dan lamanya tidak bisa dihitung secara pasti, hanya dikatakan sebagai waktu yang sangat-sangat panjang. Dalam tradisi Buddhis Theravāda, satu mahākappa mencakup empat fase utama, masing-masing berlangsung selama satu asaṅkheyya kappa (kalpa tak terhitung).

Menurut penjelasan dalam teks-teks Buddhis seperti Visuddhimagga dan kitab komentar Theravāda, satu siklus dunia terdiri dari empat fase, yang masing-masingnya sangat Panjang, yaitu :

1.  Fase Vivattakappa, lamanya 1 asaṅkheyya kappa : proses dunia mulai terbentuk, makhluk mulai terlahir, hingga bumi menjadi utuh dan stabil (proses terbentuknya dunia).

2. Fase Samvattavivattakappa, lamanya 1 asaṅkheyya kappa : dunia stabil, makhluk hidup berkembang, muncul ajaran Buddha (dunia stabil).

3.  Fase Samvattakappa, lamanya 1 asaṅkheyya kappa : proses dunia mulai mengalami kehancuran secara bertahap (bisa oleh api, air, atau angin) hingga hancur total (proses hancurnya dunia).

4.  Fase Samvattavivattakappa, lamanya 1 asaṅkheyya kappa : dunia dalam masa transisi antara kehancuran dan pembentukan kembali (transisi dari hancurnya dunia lama ke terbentuknya dunia yang baru).

Jadi, satu siklus penuh = 4 asaṅkheyya kappa = 1 mahākappa. Untuk memberi gambaran 1 mahākappa, Sang Buddha pernah menggunakan analogi : Jika ada batu padat berukuran satu mil kubik, dan setiap 100 tahun seseorang menggosoknya sekali dengan sehelai kain sutra, maka batu itu akan habis lebih cepat daripada satu mahākappa.” Artinya :

·       Satu mahākappa jauh melampaui jutaan atau bahkan miliaran tahun.

·     Tidak ada angka pasti, karena konsep waktu dalam Buddhisme bersifat kualitatif dan simbolik, bukan kuantitatif.

Siklus mahākappa tersebut berulang tanpa awal dan tanpa akhir. Dunia mulai terbentuk, Dunia stabil, Dunia mulai hancur, Dunia dalam transisi dari hancur ke terbentuk kembali – itu terjadi dipengaruhi oleh karma kolektif makhluk hidup, dan dalam setiap mahākappa, bisa muncul satu hingga lima Buddha, tergantung kondisi spiritual umat.

Setiap siklus mahākappa tidak selalu identik, tergantung pada :

·       Kondisi karma kolektif makhluk-makhluknya.

·       Jenis kehancuran sebelumnya (oleh api, air, atau angin).

·      Tingkat kemerosotan moral yang terjadi dalam siklus tersebut.

Hubungan antara Karma Kolektif dan Kondisi Dunia :

Dalam ajaran Buddhis, Karma tidak hanya bersifat individual, tetapi juga bisa bersifat kolektif, yaitu hasil dari tindakan, pikiran, dan kebiasaan yang dilakukan oleh banyak makhluk secara bersama-sama. Ini memengaruhi :

1.    Kondisi sosial dan moral masyarakat

2.    Stabilitas alam dan lingkungan

3.    Terjadinya bencana besar atau kehancuran dunia

Karma kolektif dapat menjelaskan mengapa suatu komunitas mengalami penderitaan bersama, seperti perang, wabah, atau bencana alam. Dalam skala kosmis, ini juga mencakup kehancuran dan pembentukan kembali Dunia. Ini bukan hukuman dari kekuatan eksternal, tetapi konsekuensi alami dari hukum sebab-akibat (Kamma-vipāka). Kesimpulannya, kondisi bumi sangat dipengaruhi oleh kualitas spiritual makhluk hidup, terutama manusia. Dengan meningkatkan kualitas batin dan perilaku, manusia ikut menjaga keseimbangan dunia secara sosial, ekologis, dan spiritual.

Tentang Kelahiran Kembali-nya para makhluk terkait hancurnya Dunia :

Dalam ajaran Buddhis Theravāda, kelahiran kembali terjadi langsung setelah kematian, tanpa jeda waktu. Ketika Dunia hancur, Alam Apaya, Alam Manusia, dan Alam Dewa juga hancur. Makhluk-makhluknya terutama manusia sesuai Karmanya masing-masing akan terlahir di Alam-alam Brahma yang tidak ikut hancur. Yang tidak terlahir di alam-alam tersebut akan terlahir kembali di alam yang baru.

Dalam teks-teks Abhidhamma dan komentar / penjelasan di Visuddhimagga, tertulis mengenai Keahiran Kembali itu sebagai berikut :

·       Kelahiran kembali (paṭisandhi citta) terjadi seketika setelah kematian.

·     Jika alam tujuan belum tersedia, maka kesadaran kelahiran kembali akan muncul saat alam itu terbentuk kembali, bukan sebelumnya. Tidak ada “penundaan” dalam arti waktu linear seperti yang kita pahami.

·     Kelahiran kembali adalah proses sebab-akibat yang terjadi saat kondisi memungkinkan.

Kelahiran kembali di alam kehidupan yang baru bukan merupakan penundaan kelahiran, kelahiran terjadi pada momen pertama ketika kondisi yang sesuai tersedia.

Analogi Sederhana : benih karma seperti biji yang siap tumbuh, jika tanah belum tersedia, biji tidak akan tumbuh. Jika alam manusia sudah terbentuk, sudah memadai, maka sesuai dengan Karmanya ada manusia yang terlahir kembali. Tidak ada “kesadaran mengambang” atau makhluk yang menunggu secara sadar.

Kamis, 16 Oktober 2025

Ringkasan Dīgha Nikāya 27 : Aggañña Sutta (Pengetahuan tentang Asal-usul)

1.   Menurut kebanyakan kaum kasta Brahmana, mereka lahir dari mulut Brahma. Kasta lain   rendah, para Petapa rendah & hina, lahir dari kaki Brahma.

2.  Buddha menjelaskan, para Brahmana perempuan, istri-istri Brahmana, mengalami menstruasi dan hamil, melahirkan bayi dan menyusui. Kasta Brahmana lahir dari Rahim ibu, bukan lahir dari mulut Brahma.

3.  Ada 4 kasta : Khattiya (Penguasa), Brahmana (Pendeta), Vessa (pedagang) dan Sudda (pekerja). Mereka berasal dari makhluk-makhluk yang sama, mereka bisa berpandangan salah / benar, bisa berbuat buruk / baik.

4.  Seorang bhikkhu Arahat telah menghancurkan pengotor batin, terbebaskan melalui pengetahuan-super, dinyatakan tertinggi oleh keluhuran Dhamma - bukan oleh non-Dhamma. Dhamma adalah yang terbaik bagi manusia dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.

5.    Ketika dunia menyusut (hancur), makhluk-makhluk sebagian besar terlahir di alam Brahmā Ābhassara, kegembiraannya sebagai makanan, bercahaya. Yang lain terlahir di alam yang lain yang tidak hancur yang sesuai dengan karma nya. Pada saat Dunia mengembang lagi, mereka setelah meninggal - sebagian besar terlahir kembali di Dunia.

6.  Pada masa itu, di Dunia hanya ada air, gelap, tidak ada bulan, matahari, bintang, siang, malam, musim, laki-laki atau perempuan, makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk. Setelah waktu yang sangat lama - tanah yang lezat muncul dengan sendirinya di atas permukaan air, rasanya sangat manis.

7.   Selanjutnya para makhluk memakan tanah dan ketagihan, akibatnya cahaya tubuh lenyap sehingga bulan dan matahari muncul, ada malam ada siang, ada musim.

8.   Selanjutnya jasmani mereka menjadi lebih kasar, perbedaan penampilan mulai terbentuk, Ada yang rupawan, ada yang buruk-rupa. Yang rupawan merendahkan yang lainnya. Karena sombong dan angkuh – akhirnya tanah yang lezat lenyap.

9. Kemudian jamur sejenis cendawan tumbuh, rasanya manis. Makhluk-makhluk memakannya, akhirnya tubuh mereka menjadi lebih kasar lagi. Karena sombong dan angkuh maka jamur itu lenyap. Tanaman merambat yang bagaikan bambu muncul, rasanya manis.

10. Makhluk-makhluk kemudian terus-menerus memakan tanaman rambat itu. Sehingga tubuh mereka menjadi lebih kasar lagi, perbedaan penampilan lebih nyata. Mereka menjadi semakin sombong yang tak disadarinya sehingga tanaman merambat lenyap.

11. Setelah tanaman merambat lenyap, beras tanpa sekam, harum & bersih muncul. Yang mereka ambil untuk makan malam - tumbuh lagi dan masak di pagi harinya. Yang mereka ambil untuk sarapan pagi, masak lagi di malam hari. Tidak ada tanda-tanda dipanen. Makhluk-makhluk melakukan hal itu, maka tubuh mereka menjadi lebih kasar lagi, perbedaan dalam penampilan lebih meningkat. Alat kelamin mereka tumbuh. Laki-laki dan Perempuan saling tertarik.  Mereka terlibat dalam aktivitas seksual. Yang lain marah.

12. Selanjutnya demi memudahkan kerja, makhluk-makhluk membuat lumbung beras. Dedak dan sekam mulai membungkus beras. Ketika dipanen, tidak tumbuh lagi. Kemudian beras tumbuh dalam rumpun-rumpun terpisah. Kemudian mereka membagi beras menjadi lahan-lahan dengan perbatasan.

13. Ada makhluk yang mengambil lahan makhluk lain, kemudian aturan hukum diberlakukan. Kemudian mereka mendatangi yang paling tampan, paling menarik, paling menyenangkan, memiliki kemampuan, diminta untuk menghukum mereka.

14. Mereka mendirikan tempat-tempat untuk bermeditasi. Mereka pergi ke desa, pemukiman atau ibukota untuk mencari makanan, dan kemudian kembali.

15. Kemudian ada orang-orang yang tidak mampu bermeditasi, mereka menyusun buku. Ini yang menjadi asal-usul dari kasta Brahmana.

16. Beberapa dari makhluk-makhluk itu, setelah berpasangan, melakukan berbagai jenis perdagangan, Inilah kemudian, yang menjadi asal-usul dari kasta Vessa. Makhluk-makhluk yang tetap melakukan perburuan adalah kasta Sudda.

17. Kemudian, kasta Khattiya, Brahmana, Vessa, dan Sudda meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah. Dari empat kasta ini, muncullah kasta Petapa.

18. Seorang Khattiya, Brahmana, Vessa atau Sudda yang menjalani kehidupan yang buruk dalam jasmani, ucapan dan pikiran, dan yang memiliki pandangan salah, saat kematian akan terlahir kembali di alam sengsara. Sebaliknya, mereka yang menjalani kehidupan yang baik dalam jasmani, ucapan dan pikiran, dan yang memiliki pandangan benar, saat kematian akan terlahir kembali di alam bahagia, di alam surga. Dan yang telah melakukan kedua jenis perbuatan itu, saat kematian mengalami kesenangan dan kesakitan.

19. Seorang Khattiya, Brahmana, Vessa atau Sudda yang terkendali dalam jasmani, ucapan dan pikiran, dan yang mengembangkan tujuh prasyarat pencerahan, akan mencapai Parinibbāna dalam kehidupan ini juga.

20. Siapapun di antara 4 kasta, sebagai seorang bhikkhu dan mencapai Arahat, telah menghancurkan kekotoran, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan tertinggi, telah menghancurkan belenggu penjelmaan, dan menjadi terbebaskan melalui pandangan terang tertinggi, ia dinyatakan sebagai yang tertinggi di antara mereka sesuai Dhamma dan bukan sebaliknya.

21. Brahmā Sanankumāra mengucapkan syair ini : Khattiya adalah yang terbaik di antara semua kasta; Ia dengan pengetahuan dan perilaku yang baik adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia.

Rabu, 15 Oktober 2025

ASAL MULA DUNIA & MASYARAKAT

Asal mula dunia & masyarakat ini dijelaskan berdasarkan Aggañña Sutta  (Dīgha Nikāya 27), mencakup penjelasan bahwa kebajikan dan moralitas itu nilainya lebih tinggi daripada Status / Kasta yang berasal dari kelahiran seseorang.

Sutta ini merupakan dialog antara Buddha dan dua calon bhikkhu dari kasta Brahmana, yaitu Vāseṭṭha dan Bhāradvāja, yang dihina karena memilih meninggalkan status kasta mereka demi menjalani kehidupan suci.

Lebih lanjut Buddha menjelaskan, bahwa yang disebut Brahmana sejati itu bukan karena keturunan dimana yang bersangkutan dilahirkan dari keluarga yang berkasta tinggi : Brahmana, tetapi karena perilaku luhur dan batin yang bersih.

Untuk menjelaskan asal mula terbentuknya Kasta, Buddha menyampaikan Asal Mula Kehidupan dan Alam Semesta, sebagai berikut :

·       Dunia ini mengalami siklus kehancuran dan pembentukan ulang.

·       Pada awalnya, manusia adalah makhluk-makhluk bercahaya (opapātika) dari alam Rupabrahma tingkat 6 yang bernama alam Abhassara. Makhluk-makhluk di alam ini hidup dengan sukacita batin.

·       Setelah dunia mulai terbentuk dari kehancurannya, karena keinginan maka mereka (opapātika) setelah meninggal terlahir di dunia yang baru, bercahaya, melayang-layang turun ke dunia. Kemudian mereka mulai menginginkan materi kasar seperti "rasa bumi" yang sangat manis, dan dari sana muncul keserakahan, perbedaan, dan tubuh jasmani tanpa cahaya.

·      Egoisme tetap muncul dan ada pembagian peran : petani, pedagang, penguasa, dan brahmana.

·       Akhirnya sistem kasta terbentuk karena keserakahan dan konvensi sosial, bukan karena kehendak ilahi.

·       Saat kejahatan muncul, manusia memilih seseorang dari antara mereka untuk menertibkan - itulah asal mula raja (Mahāsammata).

·       Raja dipilih, bukan berasal dari dewa, dan kekuasaannya berasal dari persetujuan rakyat, bukan hak ilahi.

·       Buddha kemudian menegaskan bahwa jalan suci menuju kebuddhaan lebih unggul daripada status kelahiran sebagai Kasta tinggi.

·       Buddha dan murid-muridnya para bhikkhu adalah "yang paling unggul secara Dhamma", bukan karena kelahiran, tetapi karena pelatihan batin dan kebijaksanaan.

Kesimpulan :

·       Kasta bukan penentu nilai (spiritual) manusia.

·       Etika, batin, dan kebijaksanaan adalah dasar spiritual sejati.

·       Vāseṭṭha dan Bhāradvāja akhirnya secara resmi ditahbiskan sebagai bhikkhu oleh Buddha. 

·       Sutta ini menyajikan pandangan Buddhis yang rasional dan etis tentang asal-usul masyarakat dan dunia.

Baka Brahmā, makhluk yang mengaku Tuhan Pencipta

Ketika dunia mengalami kehancuran besar (sesuai Kosmologi Buddhis - pada akhir satu Kappa), makhluk-makhluk dari alam Apaya, alam Manusia dan sebagian alam Dewa punah. Punah disini artinya sesuai Karma masing-masing - ada yang terlahir di alam yang lebih tinggi termasuk alam Abhasara, dan ada yang terlahir kembali ketika alam kehidupan yang baru sudah terbentuk secara memadai, ini bukan berarti kehidupannya terputus ketika sedang menunggu waktu kelahiran kembalinya yang tepat pada kondisi yang tepat. Ketika dunia mengalami kehancuran (kiamat) tersebut, makhluk-makhluk di alam Rupabrahma dan Arupabrahma tetap eksis karena alamnya tidak  hancur.


Ketika dunia (dalam kosmologi Buddhis) terbentuk kembali, maka makhluk-makhluk dari alam Abhasara (alam Rupabrahma tingkat keenam) setelah kematian terlahir kembali di alam Mahābrahmā (alam Rupabrahma tingkat ketiga) dan di alam-alam yang lebih rendah lainnya termasuk alam manusia.

Baka Brahmā adalah makhluk pertama yang terlahir di alam Mahābrahmā yang masih kosong. Ia terlahir di alam Mahābrahmā tersebut setelah meninggal dari alam Abhasara - yang mana adalah alam kehidupan bagi makhluk peraih Jhana pertama.

Lahir di alam Mahābrahmā tersebut kemudian Baka Brahmā memiliki kesalahpahaman, ia menyatakan bahwa ia adalah pencipta segalanya. Sebabnya adalah karena saat itu di alam Mahābrahmā belum ada makhluk lain. Baka Brahma merasa : “Aku adalah yang pertama, aku adalah pencipta semua ini.” Baka Brahmā tidak menyadari kehidupan sebelumnya, dan tidak melihat asal-usul para makhluk lain, sehingga Baka Brahmā berpikir bahwa : “Akulah Tuhan, akulah Pencipta. Semua makhluk berasal dari kehendakku.

Sang Buddha menolak klaim Baka Brahmā. Dalam Brahmanimantanika Sutta (Majjhima Nikaya-49), Buddha mengunjungi Baka Brahmā dan menyatakan dengan tegas :

·       Bahwa alamnya (alam Mahābrahmā) itu tidak kekal.

·       Bahwa ia bukan pencipta, hanya makhluk yang lahir lebih dulu.

·       Bahwa ada alam yang lebih tinggi dan lebih rendah dari Alam Mahabrahma.

·       Bahwa klaim Baka Brahmā itu muncul dari delusi dan kesombongannya.

Demikianlah ceritanya tentang makhluk Baka Brahmā yang mengaku sebagai Tuhan Pencipta.