Blog ini menampilkan tulisan-tulisan yang dapat dikategorikan sebagai tulisan : Pengetahuan Benar, Wawasan, Kata-Kata Bijak, Lain-lain. Jika pembaca tidak sependapat dengan tulisan yang ada dalam blog ini, tolong abaikan saja dan lupakan! Terima kasih.
Translate
Rabu, 20 Maret 2024
Sabtu, 02 Maret 2024
Minggu, 07 Januari 2024
Sabtu, 06 Januari 2024
Sabtu, 25 Maret 2023
KEBODOHAN BATIN
Jika di hidup
ini seseorang banyak berbuat jahat ; maka di alam kehidupan berikutnya dia akan
berada di alam penderitaan. Demikian pula sebaliknya, barang siapa di hidup ini
banyak berbuat baik ; maka di alam kehidupan berikutnya dia akan berada di alam
bahagia. Hukum alam universalnya begitu. Seseorang yang hidup di alam kehidupan
apapun - akhirnya akan mati juga jika karma yang sedang dia jalani dalam
kehidupannya itu sudah habis, dan akan terlahir kembali masuk ke alam kehidupan
berikutnya yang kondisinya sesuai dengan karma lain sebelumnya yang dia miliki.
Demikianlah yang terjadi secara terus-menerus hingga penyebab dari kelahiran
kembalinya telah berhasil dihancur-leburkan tanpa sisa.
Sesungguhnya
semua alam kehidupan meski disebut alam bahagia adalah alam yang tidak luput
dari penderitaan – karena tidak ada sesuatu pun di alam kehidupan apapun yang
tidak berubah. Perubahan adalah penderitaan, semua akan berakhir meskipun
kemudian akan timbul kembali. Alam-alam kehidupan yang terdiri dari alam-alam
penderitaan dan alam-alam bahagia itu jumlahnya dikelompokkan menjadi 31 alam
kehidupan.
Jika Anda
ingin bahagia sejati selamanya, setelah meninggal nanti - Anda harus tidak
terlahir kembali ke alam kehidupan manapun. Sudah terlepas atau terbebas dari
kungkungan alam kehidupan. Sudah berhasil menghancur-leburkan penyebab hidup.
Caranya adalah dengan menjadi orang suci, tidak memiliki keserakahan, tidak
memiliki kebencian dan tidak memiliki kebodohan batin lagi. Apakah bisa? Bisa -
asalkan memiliki keseriusan berlatih meditasi Samatha dan atau meditasi
Vipassana untuk melengkapi perilaku tidak serakah, tidak membenci dan tidak
gelap batin sebagai penutupnya - yaitu merealisasi hasil tertinggi dari
berlatih meditasi Vipassana, yaitu merealisasi capaian pencerahan sempurna,
yaitu merealisasi Nibbana. Merealisasi Nibbana adalah tujuan dari kehidupan
semua makhluk.
Untuk
merealisasi Nibbana - kita harus berlatih meditasi Vipassana dengan serius,
yaitu serius berjuang, bersemangat, berlatih terus-menerus berkesinambungan
secara bijaksana, tidak dengan hawa nafsu, melainkan mengambil jalan tengah,
yaitu berupaya secara serius tapi rileks.
Demikianlah pengetahuan spiritual ini. Semoga bermanfaat.
Kamis, 02 Februari 2023
Punna dan Parami
Tulisan ini disunting dari karya bhikkhu Revata.
Apakah perbedaan antara Parami atau kesempurnaan dan perbuatan baik atau
Punna? Istilah lain untuk punna adalah kusala kamma atau kamma baik. Kusala
kamma dan Parami tidaklah sama. Pemeluk agama lain juga melakukan perbuatan
baik, apakah mereka memupuk Parami?
Buddhis dan non-Buddhis melakukan kamma bajik dalam hidup mereka. Sewaktu
hidup, Tathagata kadang-kadang mengunjungi alam dewa. Mereka yang terlahir di
alam dewa bertemu dengan Tathagata adalah karena kamma bajik masa lampau
mereka.
Buddhis adalah orang yang percaya pada hukum kamma. Ketika mereka memupuk
kamma bajik, mereka melakukannya dengan keyakinan pada hukum kamma. Mereka
mengumpulkan kamma bajik yang bersekutu dengan kebijaksanaan.
Non-Buddhis juga mengumpulkan kamma bajik meskipun mereka mempunyai
pandangan yang keliru. Jika, kamma bajik ini membuahkan hasil pada saat
menjelang ajal, mereka mungkin terlahir di alam dewa juga. Akan tetapi karena
dalam melakukannya tanpa keyakinan pada hukum kamma, maka istana surgawi mereka
dan tingkat kemakmuran mereka akan lebih inferior dibandingkan dengan yang
Buddhis. Dan meskipun mereka tidak mempunyai keyakinan pada hukum kamma, mereka
tetap saja bertanggung jawab terhadap kamma mereka dan mengalami hasil kamma
mereka. Hanya mereka, dan bukan orang lain yang bertanggung jawab terhadap
kamma-nya. Kamma anda pada gilirannya merupakan alasan bagi kebahagiaan dan
ketidakbahagiaan anda.
Sang Tathagata juga kadang-kadang mengunjungi alam neraka, beliau melihat
mereka yang terlahir disana adalah karena mereka telah mengumpulkan kamma
buruk. Mereka terlahir disana bukan disebabkan oleh orang lain tetapi
semata-mata karena kamma buruk mereka sendiri, seperti membunuh, mencuri,
melakukan seks yang salah, berbohong, dan mengkonsumsi yang memabukkan. Semua
perbuatan buruk ini bisa mengakibatkan kelahiran kembali di empat alam
penderitaan. Itulah sebabnya mengapa anda harus bertanggung jawab pada diri
anda sendiri. Jangan berharap orang lain bertanggung jawab untuk anda, karena
tidak ada seorang pun yang bisa mengambil tanggung jawab Anda.
Sekarang, apa perbedaan antara kamma bajik dan Parami?. Ketika Anda
melakukan kamma bajik, Anda mungkin melakukan itu dengan niat untuk terlahir di
alam bahagia, atau menjadi seorang yang kaya, makmur, berkedudukan sosial
tinggi, dan lain sebagainya. Jika itu adalah niat yang melandasi perbuatan baik
anda, maka anda hanya melakukan kamma bajik. Ini bukanlah cara memenuhi Parami.
Di sisi lain, anda bisa memberi dana, menjalankan moralitas atau duduk
bermeditasi dengan niat mengakhiri penderitaan, atau untuk meninggalkan sebab
penderitaan. Ini adalah cara untuk memupuk Parami.
Niat terlahir di alam bahagia, atau terlahir sebagai orang kaya, makmur,
berkedudukan sosial tinggi, dan lain sebagainya. Itu adalah mengambil, bukan
melepas. Ini adalah karena "Saya ingin! Saya ingin! Melakukan hal itu
hanya memupuk lebih banyak kamma baik.
Kita harus melakukan kebaikan dengan niat untuk pelepasan dan berpikir :
'Saya ingin meninggalkan sebab penderitaan, membersihkan kotoran batin. Saya
ingin mengakhiri penderitaan.' Cara berdana dan melakukan perbuatan baik
seperti ini tidaklah mengambil, tetapi melepas - melepaskan sebab kemelekatan
pada makhluk hidup dan benda mati. Ini adalah pelepasan kotoran batin.
Yang mana yang lebih baik, mengambil atau memberi? Sudah tentu, memberi
adalah lebih baik. Oleh karena itu, mulai saat ini, apa pun yang akan anda
lakukan, agar itu menjadi cara untuk memenuhi Parami, anda hendaknya membuat
suatu aspirasi seperti berikut ini, 'Dengan melakukan ini, semoga saya bisa
meninggalkan sebab dari penderitaan.' Maka perbuatan anda akan menjadi cara
memenuhi Parami untuk perealisasian Nibbāna, mengakhiri penderitaan, dan
mencapai pembebasan.
Demikianlah tulisan ini. Semoga bermanfaat.
Jumat, 27 Januari 2023
AMBISI PENYEBAB KERUNTUHAN
Apabila seseorang memenangkan suatu perlombaan namun tidak berlomba dengan cara yang benar dan adil, apa yang dapat dibanggakan dari kemenangan yang diperoleh dengan cara seperti itu? Bukankah kebanggaan dan kebahagiaan akan muncul bila seseorang menang dengan cara yang berintegritas, adil dan benar? Hal itu merupakan salah satu penyebab keruntuhan, menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan.
Bila kita merenungkan dengan bijaksana, apa sebenarnya tugas utama di dalam kehidupan kita ini? Apakah untuk meraih posisi yang penting? Tentu bukan. Tugas utama kita dalam kehidupan ini adalah memanfaatkan semua pengalaman kehidupan kita sehari-hari untuk memupuk pāramī (kesempurnaan tertinggi hal-hal baik) kita, melemahkan semua kilesa – yaitu kotoran batin dan kemudian menghancurkannya.
Sepuluh parami itu dapat diilustrasikan seperti otot-otot tubuh, misalnya
otot bisep, trisep, dan lain-lain yang harus dilatih agar menjadi kuat dan
besar. Demikian juga kita harus melatih otot-otot kesempurnaan berdana,
kesempurnaan menjaga sīla, dan kesempurnaan lainnya supaya menjadi semakin kuat
dan sempurna. Inilah sesungguhnya tugas penting di dalam kehidupan ini. Kita
sekarang ini masih berputar-putar di dalam saṃsāra - yaitu mati dan terlahir
kembali terus-menerus. Ada kemungkinan perjalanan tersebut tanpa akhir.
Jika Anda harus memilih antara mencapai cita-cita tetapi dengan
mengorbankan kesempatan untuk menanam pāramī - dengan tidak mencapai cita-cita
tetapi dapat memupuk pāramī - maka pilihlah yang kedua yaitu kesempatan untuk
memupuk pāramī - karena hal ini yang dapat membuahkan ketenteraman dan
kebahagiaan dalam kehidupan Anda.
Jadi, bila Anda berambisi untuk mendapatkan posisi sebagai seorang
pemimpin atau apa pun, dan apabila untuk mencapainya Anda harus bersaing dengan
orang lain - maka bersainglah dengan cara yang benar dan sehat tanpa disertai
dengan kilesa, bersainglah dengan disertai tanpa keserakahan (alobha), tanpa
kebencian (adosa) dan tanpa delusi (amoha). Dengan demikian Anda dapat
memanfaatkan semua kejadian di dalam kehidupan ini sebagai ajang untuk melatih
pāramī Anda, melatih hati Anda sehingga setiap kejadian dalam kehidupan Anda
dapat digunakan untuk mengembangkan kualitas spiritual Anda. Inilah yang paling
penting, bukan justru mencapai kesuksesan duniawi yang didapat dengan melanggar
sīla atau melakukan kamma buruk.
Senin, 23 Januari 2023
MELEPAS GENGGAMAN PADA DUNIA
Pada umumnya manusia memiliki pemahaman yang keliru,
mereka merasa memilikinya, padahal tidak, apakah itu?
1. Badan jasmani.
2. Perasaan.
3. Persepsi.
4. Bentukan-bentukan
pikiran yang menciptakan tindakan.
5. Kesadaran.
Tathagata Sakyamuni mengatakan : Tinggalkanlah apapun di dunia ini, sebab
itu bukanlah milikmu. Maksud Beliau adalah sebagai manusia kita hendaknya tidak
melekati apapun. Apabila sesuatu yang ada pada kita itu sudah tidak ada lagi -
maka ikhlaskanlah itu meninggalkan kita.
Bagi kita yang telah bisa memahami, mengapa “pelepasan” ini adalah hal
mutlak, maka kita akan dengan sukarela melepaskan genggaman erat kita pada
dunia ini, sebab semua hanyalah kosong, rendah, derita, tidak-kekal, dan tanpa-diri
karena selalu berubah.
Oleh karena itu wahai para manusia, apa pun yang bukan milikmu,
tinggalkanlah; bila kalian telah meninggalkannya, hal itu akan membawa menuju
kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama.
Yang harus ditinggalkan adalah kemelekatan pada Panca-Khanda – yaitu
kemelekatan pada lima kelompok kehidupan.
Tidak melekati apapun di dunia ini - dalam kehidupan sehari-hari kita –
adalah dengan cara mengambil jalan tengah. Segala sesuatu yang ada pada kita
hendaknya kita manfaatkan untuk kebaikan, untuk ha-hal yang baik, untuk tujuan
yang baik. Jika tujuan baik tercapai, OK, kita bersyukur, tujuan tidak tercapai
tidak mengapa, kita berusaha lagi. Janganlah berlebih-lebihan dalam menyikapi
segala sesuatu yang terjadi.
Demikianlah, mengapa kita hendaknya melepaskan keduniawian, melenyapkan
nafsu-indriya. Karena, ketika kita senantiasa mentoleransi bagi berkembangnya
nafsu-indriya di dalam diri kita, serta memberikan pemuasan-pemuasannya,
sesungguhnya kita adalah orang-orang “bodoh” yang tidak menyadari bahaya dari
nafsu-indriya, perangkap yang disediakan olehnya hanyalah penderitaan. Suatu
masa penderitaan yang panjang diakibatkan oleh pemuasan nafsu indriya tersebut,
yakni terlahirnya kita berulang-ulang di dalam alam-alam keberadaan ; di dalam
SAMSARA.
Semoga semua makhluk berbahagia, bebas dari penderitaan, bebas dari
kebencian, permusuhan, pertentangan, niat jahat, kesakitan, dan kesukaran.
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka masing-masing.
Demikianlah tulisan ini - semoga bermanfaat.
Senin, 28 November 2022
kehidupan Manusia
Senin, 14 November 2022
Harta Karun Yang Tak Bisa Dicuri
Uraian mengenai Harta Karun Yang Tak Bisa Dicuri ini berumber dari tulisan Bhikkhu Dhammaratano, dan ada kalimat-kalimatnya yang sedikit dirubah agar menjadi lebih halus.
“Gabbhaṁ eke uppajjanti,
Nirayaṁ pāpakammino
Saggaṁ sugatino yanti,
Parinibbanti anāsavā’ti”
“Beberapa makhluk hidup dilahirkan melalui rahim,
pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam neraka,
pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam surga,
yang telah terbebas dari noda setelah kematiannya mencapai Nibbāna”
(Dhammapada IX : 126)
Alkisah di suatu desa, hiduplah sebuah keluarga yang makmur, sejahtera,
dan berkekayaan melimpah. Pemiliknya adalah seorang pedagang yang sangat sukses
dalam bisnis perdagangan. Seorang milyarder, pebisnis hebat, seorang yang
sangat beruntung di dunia ini. Dia
ditemani oleh keempat orang istri.
Seorang istri tua dan tiga istri yang muda belia. Ia hidup bagaikan raja ditemani
oleh para dayang-dayang, sangat bahagia, membuat orang lain yang melihatnya
iri.
Istri pertama adalah istri paling tua, namun sangat disayangkan pedagang
ini jarang sekali memberi perhatian, baik pakaian, perhiasan apalagi kasih
sayang kepada istri pertamanya ini. Wanita ini tampak kumuh dan kusam karena
kebutuhannya tidak pernah diperhatikan dan dipenuhi.
Sedangkan untuk istri-istrinya yang lain, ia berikan perhatian lebih
bahkan selalu memanjakan mereka.
Untuk istri keduanya, ia selalu memberikan pakaian dan perhiasan yang
mahal serta parfum dengan merk terkenal.
Istri ketiga, selalu dimanjakan dengan penuh perhatian, dijaga dengan
penuh kasih sayang. Tidak membiarkannya sakit atau menderita walaupun hanya
sesaat.
Dan istri yang keempat, selalu ditraktir dengan makanan yang enak dan
diajak jalan-jalan ke tempat-tempat yang menyenangkan.
Hari berganti hari, tahun demi tahun berlalu dengan cepat. Kini di usia
tuanya, sang pedagang sukses ini mengalami sakit keras dan telah mendekati
kematian. Pada menit-menit terakhirnya, sang pedagang memanggil keempat orang
istrinya meminta mereka berkumpul menemaninya.
Dengan penuh harap, sang pedagang bertanya kepada istrinya yang kedua ;
“sayangku, aku telah begitu memanjakanmu dengan segala perhiasan, dan lain
sebagainya agar engkau selalu nampak cantik, dan gemerlap, sekarang aku butuh
bantuanmu, apakah engkau mau menemaniku menghadap raja kematian, ikut bersamaku
mati." Istri kedua menjawab : “Maaf suamiku, aku tidak bisa ikut denganmu, aku masih muda dan aku bisa mencari suami
baru untuk menghidupiku.” Mendengar jawaban ini, sang pedagang menjadi
bersedih, merasa terpukul, istri yang selalu dimanjakannya itu ternyata tidak
peduli padanya.
Kemudian ia beralih bertanya kepada istri ketiga dengan pertanyaan yang
sama, dan mendapat jawaban yang sama pula.
Kini ia bertanya kepada istri keempat dan mendapat jawaban : “Maafkan aku
sayang, aku tidak bisa ikut mati bersamamu, tetapi aku hanya bisa menemani dan
mengantarkanmu sampai ke pemakaman, tidak lebih dari itu.”
Betapa sedih dan terpukulnya sang pedagang mendengar jawaban dari
istri-istri yang sangat disayangnya itu, tetapi ternyata sekarang mereka tidak
peduli dan tidak setia kepadanya.
Dalam kesedihannya itu, tiba-tiba tanpa ditanya, istri pertama yang selalu
ia sia-siakan dan tidak pernah ia perhatikan itu berkata : “Suamiku, sekalipun
engkau tidak pernah peduli kepadaku, aku akan tetap setia menemanimu, sekalipun
untuk pergi menghadap kematian - aku akan ikut bersamamu menjadi pendamping
setiamu - tak ada yang dapat memisahkan kita.”
Mendengar perkataan ini, sang pedagang merasa malu, ia menyesal tidak
pernah mau peduli dan kurang perhatian terhadap istrinya yang pertama itu.
Penyesalan memang selalu datang
terlambat.
Keempat orang istri merupakan simbolisasi
yang nyata dalam kehidupan ini.
Istri kedua adalah simbol dari tubuh yang selalu kita beri perhiasan,
memandikannya, memberi pakaian bagus, dan memberi minyak agar wangi. Tetapi
ketika kematian datang, tubuh ini tidak berguna, tidak bisa menemani kita,
justru terbujur kaku di tanah pekuburan, membusuk, dan habis di makan belatung.
Istri ketiga merupakan simbol harta kekayaan duniawi yang kita miliki,
sebanyak apapun yang kita miliki semuanya akan ditinggalkan tidak akan mungkin
ikut ke liang lahat. Harta kekayaan itu akan diambil alih oleh orang lain,
dihabiskan oleh ahli waris, menjadi milik orang lain. Seumur hidup kita mencari
dan mengumpulkannya, pada akhirnya hanya akan dinikmati oleh orang lain.
Istri keempat adalah simbol sanak keluarga, karib kerabat dan
teman-teman. Mereka setia menemani kita ketika kita masih hidup. Tetapi ketika
kita sudah menjadi mayat, paling banter mereka hanya bisa mengantar sampai ke
tanah pekuburan kemudian pergi, tidak lebih dari itu.
Istri pertama adalah simbol jasa kebajikan - amal kebaikannya sangat
jarang kita perhatikan - tidak kita pedulikan, dan cenderung kita abaikan.
Padahal ia teman yang paling bisa diandalkan di kala kematian di ambang pintu -
sahabat yang sangat setia - kemanapun kita pergi, ia akan selalu ikut bersama
kita.
Dalam pandangan Buddhis, kematian adalah hal yang sangat wajar dalam
kehidupan suatu makhluk. Karena hal ini sebagai akibat kita dilahirkan.
Kematian dan kelahiran merupakan suatu siklus yang terus-menerus berputar
selama kita masih melekat pada dunia ini. Dan juga kematian bukanlah akhir
segalanya. Seperti halnya seseorang yang berada di luar ruangan dan ia ingin
masuk ke dalamnya tentu harus melewati sebuah pintu, dan setelah melewati pintu
ia kini berada di dalam ruangan. Demikian pula kematian adalah pintu menuju kehidupan berikutnya. Jadi
janganlah meratap menangisi jenazah orang yang kita sayangi secara berlebihan,
selain tidak bermanfaat juga tidak melatih kita untuk menjadi tegar dan
menghambat upaya kita dalam melepas kemelekatan yang menimbulkan penderitaan.
Inilah dunia, ketika ada seorang bayi dilahirkan, kita begitu gembira dan
merayakannya. Padahal kita tahu bahwa bayi itu dilahirkan kelak hanya untuk
mengalami kematian, ia akan menjadi korban raja kematian berikutnya. Kita
begitu bersedih apabila orang yang sangat kita sayangi meninggal dunia.
Harusnya kita merelakannya karena ia telah bebas dari sengsara dunia. Kematian
hanyalah sementara, karena kesadarannya akan terus berlanjut dalam kehidupan
berikutnya. Ia hanya membawa kesadaran baik atau kesadaran buruk, membawa bekal
kebajikan atau membawa segudang keburukan. Inilah yang akan menentukan ke alam
mana seseorang akan bertumimbal-lahir.
Sang Bhagava bersabda; “sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah
yang akan dipetiknya, ia yang berbuat baik akan menerima kebaikan dan
kebahagiaan, serta ia yang berbuat jahat akan menerima penderitaan dan
kesengsaraan”. (Saṁyutta Nikāya I : 293).
Perbuatan yang dilakukan ketika masih hidup akan menentukan kemana
seseorang akan pergi dilahirkan setelah kematian. Dan juga kekuatan pikiran
terakhir yang mendominasi pada saat menjelang kematian, mungkin saja pikiran
keserakahan atau kemelekatan, pikiran kebencian ketidak-senangan atau pikiran
ketidak-tahuan dan kebodohan batin, yang akan menentukan kelahiran berikutnya.
Sesuai syair Dhammapada 126 diatas, terdapat beberapa jenis kelahiran dan
perbuatan apakah yang mengarahkan mereka untuk terlahir seperti apa.
1. “Gabbhaṁ eke uppajjanti” = Beberapa makhluk dilahirkan melalui rahim /
kandungan.
2. ”Nirayaṁ pāpakammino” = Pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam
Neraka.
3. “Saggaṁ sugatino yanti” = Pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam
surga.
4. “Parinibbanti anāsavā” = Yang telah terbebas dari semua noda setelah
kematiannya mencapai Nibbāna.
Apabila kita ingin melihat masa lampau, maka lihat dan perhatikan apa
yang terjadi pada diri kita saat ini. Dan apabila ingin melihat dan mengetahui
masa yang akan datang, berkacalah pada perbuatan yang kita lakukan pada saat
sekarang. Apapun yang kita perbuat baik ataupun buruk kita sendiri yang akan
merasakannya. Baik yang kita perbuat baik pula akibatnya, demikian pula buruk
yang kita perbuat buruk pula akibatnya. Kita semua sedang mengarungi lautan
kehidupan Samsara dalam kehidupan ini. Kita butuh bekal cukup untuk mengatasi
segala rintangan di dalam perjalanan panjang kita sebelum sampai di tempat
tujuan akhir.
Apakah bekal itu? Yaitu : jasa perbuatan baik. Hanya inilah yang akan
selalu menjadi sahabat kita yang paling setia menemani kemanapun kita pergi.
Dialah harta sejati yang tak akan mungkin bisa dicuri, dirampok, kena banjir
atau kebakaran. Ia akan menjadi harta simpanan yang kekal yang sangat membantu
hingga sampai pada tujuan akhir kita, yaitu Nibbāna / Nirwana.
Demikianlah tulisan ini - Semoga bermanfaat.
Kebahagiaan Sejati Kekal
Untuk bisa selamat (bahagia) di dunia dan selamat (bahagia) setelah meninggal dunia (hidup di alam berikutnya) – seseorang hendaknya menyikapi dengan baik dan benar berlakunya hukum alam, terutama Hukum Karma. Banyak memberi (tenaga atau materi dan juga pikiran / pandangan benar), berupaya keras tidak melanggar sila, terutama : tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berbohong dan tidak mabuk-mabukan. Untuk merealisasi pencapaian yang lebih tinggi dan tertinggi adalah sering berlatih meditasi yang tepat secara bijaksana untuk mengikis terus-menerus kotoran batin hingga menjadi orang suci - merealisasi kebahagiaan sejati kekal, tidak terlahir kembali di alam kehidupan manapun.
Sabtu, 29 Oktober 2022
Pewaris Dalam Dhamma
Tulisan ini menyampaikan perihal Pewaris dalam Dhamma dalam Majjhima Nikaya 3 : Dhammadāyāda Sutta – yang sulit dipahami karena memerlukan pemikiran dan perenungan yang berulang. Tulisan ini menyingkat Dhammadāyāda Sutta agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti meskipun masih memerlukan perhatian penuh yang berulang.
Dhammadāyāda Sutta – menceritakan - pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang
menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta - Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā
memanggil para bhikkhu dan berkata kepada mereka yang jika disingkat adalah
sebagai berikut :
Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam
benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir : Bagaimanakah
agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam
benda-benda materi? Jika kalian menjadi pewarisKu dalam benda-benda materi,
maka kalian dan Aku akan dicela sebagai berikut : Para siswa Sang Guru hidup
sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru, bukan sebagai pewaris dalam
Dhamma.
Jika kalian menjadi pewarisKu dalam Dhamma, maka kalian dan Aku tidak
akan dicela [sebagaimana akan dikatakan] : Para siswa Sang Guru hidup sebagai
pewaris dalam Dhamma, bukan sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru.
Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu
dalam benda-benda materi.
Sekarang, para bhikkhu, misalkan Aku telah makan, menolak makanan
tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang
Kubutuhkan, dan ada makanan tersisa dan akan dibuang. Kemudian dua orang
bhikkhu tiba, lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka : Para bhikkhu, Aku
telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup,
telah memakan apa yang Kubutuhkan, tetapi masih ada makanan tersisa dan akan
dibuang. Makanlah jika kalian menginginkan; jika kalian tidak memakannya maka
Aku akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air
di mana tidak ada kehidupan.
Kemudian seorang bhikkhu berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang
Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan
dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya ke mana
tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.
Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā : Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam
Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Tetapi makanan ini adalah
salah satu benda materi. Bagaimana jika seandainya tanpa memakan makanan ini
aku melewatkan malam dan hari ini dalam keadaan lapar dan lemah. Dan tanpa
memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu dalam keadaan lapar dan
lemah.
Kemudian bhikkhu ke dua berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang
Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan
dibuang. Bagaimana jika aku memakan makanan ini dan melewatkan malam dan hari
ini tanpa merasa lapar dan lemah. Dan setelah memakan makanan itu ia melewatkan
malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah. Sekarang walaupun bhikkhu itu
dengan memakan makanan itu melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan
lemah, namun bhikkhu pertama lebih terhormat dan dipuji olehKu. Mengapakah?
Karena hal itu dalam waktu lama akan berdampak pada keinginannya yang sedikit,
kepuasan, pemurnian, mudah disokong, dan membangkitkan kegigihannya. Oleh
karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam
benda-benda materi.
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal
tersebut, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke kediamanNya. Segera
setelah Beliau pergi, Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu dan berkata
sebagai berikut :
Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup
terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Dan dalam cara bagaimanakah para
siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan?
Para bhikkhu berkata sebagai berikut :
Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna
pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta
sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para
bhikkhu akan mengingatnya.
Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut :
Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup
terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru tidak
meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan kepada mereka untuk ditinggalkan;
mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam
keterasingan.
Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para
bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru
yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka
tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan.
Ketiga : mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran,
lengah dalam keterasingan.
Dalam cara ini inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak
berlatih dalam keterasingan.
“Dalam cara bagaimanakah, teman-teman, para siswa Sang Guru yang hidup
terasing berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru meninggalkan
apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka tidak hidup
dalam kemewahan dan tidak lalai, mereka tekun menghindari kemunduran, dan
adalah pemimpin dalam keterasingan.
“Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para
bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru
yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka
meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan.
Ketiga : mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun
menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.
Dalam cara inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam
keterasingan.
“Teman-teman, kejahatan di sini adalah keserakahan dan kebencian.
Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian,
menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian,
menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna. Dan apakah
Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar,
kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar,
perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang
menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian,
menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.
Teman-teman, kejahatan di sini adalah kemarahan dan kekesalan, sikap
meremehkan dan congkak, iri hati dan kekikiran, kecurangan dan penipuan, sifat
keras kepala dan persaingan, keangkuhan dan kesombongan, kepongahan dan
kelalaian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan kepongahan dan kelalaian,
menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju
kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan
apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan
benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha
benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang
menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju
kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu
puas dan gembira mendengarnya.
Demikianlah Tulisan ini yang menyampaikan tentang Dhammadāyāda Sutta yang
dipersingkat agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti. Semoga
bermanfaat.
Rabu, 26 Oktober 2022
Segala Noda
Sabbāsava
Sutta – menceritakan - pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di
Sāvatthī di Hutan Jeta - Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para
bhikkhu dan berkata banyak kepada mereka yang jika disingkat adalah sebagai
berikut :
“Para Bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda
adalah untuk seorang yang mengetahui dan melihat perhatian bijaksana dan
perhatian tidak bijaksana. Ketika seseorang memperhatikan dengan tidak
bijaksana, noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dan noda-noda yang telah
muncul menjadi bertambah. Ketika seseorang memperhatikan dengan bijaksana,
noda-noda yang belum muncul tidak akan muncul dan noda-noda yang telah muncul
ditinggalkan.
“Para bhikkhu, ada noda-noda yang harus ditinggalkan
dengan melihat, dengan mengendalikan, dengan menggunakan, dengan menahankan,
dengan menghindari, dengan melenyapkan, dan dengan mengembangkan.
“Apakah noda-noda, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan melihat?
Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak
terpelajar, yang tidak menghargai para mulia, yang tidak menghargai manusia
sejati, yang tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma, dia tidak
memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, dan memperhatikan hal-hal yang
tidak layak diperhatikan.
Ketika ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak
untuk diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan,
dan noda-noda ketidak-tahuan yang belum
muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria, noda-noda
penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan
yang telah muncul menjadi bertambah.
Ketika ia memperhatikan hal-hal yang layak untuk
diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul
tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria, noda-noda
penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan
yang telah muncul ditinggalkan.
“Seorang biasa yang tidak terpelajar memperhatikan
dengan tidak bijaksana : ‘Apakah aku ada di masa lampau? Apakah aku tidak ada
di masa lampau? Apakah aku di masa lampau? Bagaimanakah aku di masa lampau?
Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau? Apakah aku
akan ada di masa depan? Apakah aku akan tidak ada di masa depan? Akan menjadi
apakah aku di masa depan? Akan bagaimanakah aku di masa depan? Setelah menjadi
apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’ Atau kalau tidak seperti itu,
ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang : ‘Apakah aku ada? Apakah aku
tidak ada? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari manakah makhluk ini datang? Ke manakah
makhluk ini akan pergi?’
“Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana
tersebut, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya. Yaitu pandangan ‘ada
diri bagiku’ , atau pandangan ‘tidak ada diri bagiku’ , atau pandangan ‘aku
melihat diri dengan diri’ , atau pandangan ‘aku melihat bukan-diri dengan diri’
, atau pandangan ‘aku melihat diri dengan bukan-diri’ - muncul dalam dirinya
sebagai benar dan kokoh; atau kalau tidak seperti itu, ia memiliki beberapa
pandangan sebagai berikut : ‘adalah diriku ini yang berbicara dan merasakan dan
mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku ini
adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan
selamanya.’ Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan,
belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu
pandangan. Karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang
biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan
kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia
tidak terbebas dari penderitaan.
“Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar
dengan baik, yang menghargai para mulia dan terampil, yang menghargai manusia
sejati, yang terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, memahami hal-hal yang
layak diperhatikan dan memahami hal-hal yang tidak layak diperhatikan. Oleh
karena itu, ia tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia
memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.
Ketika ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak
diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan
noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan
noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan
yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak
diperhatikan, yang tidak ia perhatikan.
Ketika ia memperhatikan hal-hal yang layak
diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan
noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya,
dan noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda
ketidak-tahuan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak
diperhatikan, yang ia perhatikan.
“Ia memperhatikan dengan bijaksana : ‘Ini adalah
penderitaan’; ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ‘Ini adalah lenyapnya
penderitaan’; ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ketika ia
memperhatikan dengan bijaksana seperti itu, tiga belenggu ditinggalkan dalam
dirinya : pandangan akan diri, keragu-raguan, dan keterikatan pada ritual dan
upacara. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, berdiam dengan indria mata terkendali, indria telinga terkendali,
indria hidung terkendali, indria lidah terkendali, indria badan terkendali,
indria pikiran terkendali, maka tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak
muncul. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang berdiam
dengan indria mata tidak terkendali, indria telinga tidak terkendali, indria
hidung tidak terkendali, indria lidah tidak terkendali, indria badan tidak
terkendali, indria pikiran tidak terkendali. Ini disebut noda-noda yang harus
ditinggalkan dengan mengendalikan.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan menggunakan?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, menggunakan jubah hanya untuk perlindungan dari dingin, dari panas,
dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang
melata, dan hanya bertujuan untuk menutupi bagian tubuh yang pribadi.
“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan dana
makanan bukan untuk kenikmatan, bukan untuk kemabukan, bukan demi kecantikan
dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan badan ini,
untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk mendukung kehidupan suci, dengan
pertimbangan : ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan sebelumnya tanpa
memunculkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat
hidup dengan nyaman.’
“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan tempat
tinggal hanya untuk perlindungan dari dingin, dari panas, dari kontak dengan
lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya
bertujuan untuk menangkis bahaya iklim dan untuk menikmati latihan.
“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan
obat-obatan hanya untuk perlindungan dari penyakit yang telah muncul dan demi
kesehatan.
Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri
seorang yang tidak menggunakan benda-benda kebutuhan seperti tersebut.
Sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang
yang menggunakan benda-benda kebutuhan seperti tersebut. Ini disebut noda-noda
yang harus ditinggalkan dengan menggunakan.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan menahankan?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, menahan dingin dan panas, lapar dan haus, kontak dengan lalat,
nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan kata-kata
kasar dan tidak ramah, dan perasaan jasmani yang timbul yang menyakitkan,
menyiksa, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam
kehidupan. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang
tidak menahankan hal-hal tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan,
dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menahankan hal-hal tersebut. Ini
disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan menghindari?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, menghindari gajah liar, kuda liar, sapi liar, anjing liar, ular,
tunggul pohon, semak berduri, jurang, ngarai, lubang kakus, dan saluran
pembuangan. Merenungkan dengan bijaksana, ia menghindari duduk di tempat yang
tidak sesuai, menghindari bepergian ke tempat yang tidak sesuai, dan
menghindari bergaul dengan teman-teman yang tidak baik, karena jika ia
melakukan hal itu maka teman-teman bijaksana dalam kehidupan suci akan
mencurigainya berperilaku buruk. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam
diri seorang yang tidak menghindari hal-hal tersebut, sebaliknya tidak ada
noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menghindari
hal-hal tersebut. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan
menghindari.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, tidak menolerir pikiran keinginan indria yang muncul; pikiran
bermusuhan yang muncul; pikiran kejam yang muncul; dan kondisi-kondisi jahat
yang tidak bermanfaat; ia meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya, dan
membasminya. Sementara noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri
seorang yang tidak melenyapkan pikiran-pikiran tersebut, sebaliknya tidak ada
noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang melenyapkannya.
Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, mengembangkan faktor pencerahan perhatian, mengembangkan faktor
pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi, mengembangkan faktor pencerahan
kegigihan, mengembangkan faktor pencerahan sukacita, mengembangkan faktor
pencerahan ketenangan, mengembangkan faktor pencerahan konsentrasi, dan
mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan,
kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Noda-noda, gangguan, dan
gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak mengembangkan faktor-faktor
pencerahan tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak
muncul dalam diri seorang yang mengembangkannya. Ini disebut noda-noda yang
harus ditinggalkan dengan mengembangkan.
Kesimpulan
“Para bhikkhu, ketika noda-noda oleh seorang bhikkhu
telah ditinggalkan dengan melihat, dengan mengendalikan, dengan menggunakan,
dengan menahankan, dengan menghindari, dengan melenyapkan, dan telah
ditinggalkan dengan mengembangkan – maka ia disebut seorang bhikkhu yang
berdiam dengan terkendali oleh pengendalian segala noda. Ia telah memotong
ketagihan, melepaskan belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus
keangkuhan, ia telah mewujudkan akhir dari penderitaan.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā.
Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Demikianlah intisari tentang : “Segala Noda” dari
Majjhima Nikaya-2 : Sabbāsava Sutta. Semoga bermanfaat.