Translate

Tampilkan postingan dengan label Pengetahuan Benar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengetahuan Benar. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Maret 2023

KEBODOHAN BATIN

Tahukan Anda - bahwa kebodohan batin itu hendaknya tidak kita miliki. Makin besar kebodohan batin seseorang makin besar pula ketidak-beruntungannya. Kebodohan batin bukanlah kebodohan intelektual. Orang yang memiliki kebodohan batin adalah orang yang batinnya gelap. Yang tidak memahami hukum alam. Yang tidak memahami kesunyataan. Yang tidak memahami pengetahuan spiritual yang baik dan benar. Yang gampang percaya, yang gampang diperdaya. Yang tidak memiliki keingin-tahuan yang dalam. Yang tidak terbiasa berpikir kritis. Yang sejak dini menjadi korban penerima informasi yang tidak benar dari pendahulunya. Kenyataannya banyak pula para intelektual - orang-orang yang pendidikan formalnya tinggi tetapi batin-nya bodoh, batinnya gelap. Para intelektual banyak yang perilakunya buruk, tidak bijaksana. Orang yang memiliki kecerdasan intelektual sangat tinggi ; bisa saja memiliki kegelapan batin yang sangat dalam, karena kecerdasan itelektual itu tidak selalu sejajar dengan kecerdasan spiritual. Tergantung dari informasi-informasi  yang diterima dan besarnya keingin-tahuan atas segala sesuatu yang dimiliki. Seseorang yang memiliki kegelapan batin – hampir dapat dipastikan bersifat serakah dan membenci. Pikiran-pikiran buruk dan pikiran-pikiran jahatnya ditindak-lanjuti dengan perbuatan-perbuatan jahat yang mencelakai banyak orang sebagai korbannya. Seseorang yang batinnya gelap, serakah dan membenci itu tidak paham dengan akibat yang timbul, yang merugikan diri sendiri. Ia tidak memiliki kebijaksanaan.
Demi keselamatan dimanapun dan kapanpun seseorang hendaknya selalu berupaya untuk mengurangi perbuatan jahat, menambah perbuatan baik dan tidak memiliki batin yang bodoh. Mengapa demikian? Karena hukum sebab-akibat yang merupakan salah satu dari 5 hukum universal alam semesta yang tidak bisa dinegosiasi itu - hendaknya disikapi dengan baik dan benar. Pembuat kejahatan sebagai sebab - maka kemudian penderitaanlah akibatnya. Pembuat kebaikan sebagai sebab - maka kemudian kebahagiaanlah akibatnya.

Jika di hidup ini seseorang banyak berbuat jahat ; maka di alam kehidupan berikutnya dia akan berada di alam penderitaan. Demikian pula sebaliknya, barang siapa di hidup ini banyak berbuat baik ; maka di alam kehidupan berikutnya dia akan berada di alam bahagia. Hukum alam universalnya begitu. Seseorang yang hidup di alam kehidupan apapun - akhirnya akan mati juga jika karma yang sedang dia jalani dalam kehidupannya itu sudah habis, dan akan terlahir kembali masuk ke alam kehidupan berikutnya yang kondisinya sesuai dengan karma lain sebelumnya yang dia miliki. Demikianlah yang terjadi secara terus-menerus hingga penyebab dari kelahiran kembalinya telah berhasil dihancur-leburkan tanpa sisa.

Sesungguhnya semua alam kehidupan meski disebut alam bahagia adalah alam yang tidak luput dari penderitaan – karena tidak ada sesuatu pun di alam kehidupan apapun yang tidak berubah. Perubahan adalah penderitaan, semua akan berakhir meskipun kemudian akan timbul kembali. Alam-alam kehidupan yang terdiri dari alam-alam penderitaan dan alam-alam bahagia itu jumlahnya dikelompokkan menjadi 31 alam kehidupan.

Jika Anda ingin bahagia sejati selamanya, setelah meninggal nanti - Anda harus tidak terlahir kembali ke alam kehidupan manapun. Sudah terlepas atau terbebas dari kungkungan alam kehidupan. Sudah berhasil menghancur-leburkan penyebab hidup. Caranya adalah dengan menjadi orang suci, tidak memiliki keserakahan, tidak memiliki kebencian dan tidak memiliki kebodohan batin lagi. Apakah bisa? Bisa - asalkan memiliki keseriusan berlatih meditasi Samatha dan atau meditasi Vipassana untuk melengkapi perilaku tidak serakah, tidak membenci dan tidak gelap batin sebagai penutupnya - yaitu merealisasi hasil tertinggi dari berlatih meditasi Vipassana, yaitu merealisasi capaian pencerahan sempurna, yaitu merealisasi Nibbana. Merealisasi Nibbana adalah tujuan dari kehidupan semua makhluk.

Untuk merealisasi Nibbana - kita harus berlatih meditasi Vipassana dengan serius, yaitu serius berjuang, bersemangat, berlatih terus-menerus berkesinambungan secara bijaksana, tidak dengan hawa nafsu, melainkan mengambil jalan tengah, yaitu berupaya secara serius tapi rileks.

Demikianlah pengetahuan spiritual ini. Semoga bermanfaat. 

Kamis, 02 Februari 2023

Punna dan Parami

Tulisan ini disunting dari karya bhikkhu Revata.

Apakah perbedaan antara Parami atau kesempurnaan dan perbuatan baik atau Punna? Istilah lain untuk punna adalah kusala kamma atau kamma baik. Kusala kamma dan Parami tidaklah sama. Pemeluk agama lain juga melakukan perbuatan baik, apakah mereka memupuk Parami?

Buddhis dan non-Buddhis melakukan kamma bajik dalam hidup mereka. Sewaktu hidup, Tathagata kadang-kadang mengunjungi alam dewa. Mereka yang terlahir di alam dewa bertemu dengan Tathagata adalah karena kamma bajik masa lampau mereka.

Buddhis adalah orang yang percaya pada hukum kamma. Ketika mereka memupuk kamma bajik, mereka melakukannya dengan keyakinan pada hukum kamma. Mereka mengumpulkan kamma bajik yang bersekutu dengan kebijaksanaan.

Non-Buddhis juga mengumpulkan kamma bajik meskipun mereka mempunyai pandangan yang keliru. Jika, kamma bajik ini membuahkan hasil pada saat menjelang ajal, mereka mungkin terlahir di alam dewa juga. Akan tetapi karena dalam melakukannya tanpa keyakinan pada hukum kamma, maka istana surgawi mereka dan tingkat kemakmuran mereka akan lebih inferior dibandingkan dengan yang Buddhis. Dan meskipun mereka tidak mempunyai keyakinan pada hukum kamma, mereka tetap saja bertanggung jawab terhadap kamma mereka dan mengalami hasil kamma mereka. Hanya mereka, dan bukan orang lain yang bertanggung jawab terhadap kamma-nya. Kamma anda pada gilirannya merupakan alasan bagi kebahagiaan dan ketidakbahagiaan anda.

Sang Tathagata juga kadang-kadang mengunjungi alam neraka, beliau melihat mereka yang terlahir disana adalah karena mereka telah mengumpulkan kamma buruk. Mereka terlahir disana bukan disebabkan oleh orang lain tetapi semata-mata karena kamma buruk mereka sendiri, seperti membunuh, mencuri, melakukan seks yang salah, berbohong, dan mengkonsumsi yang memabukkan. Semua perbuatan buruk ini bisa mengakibatkan kelahiran kembali di empat alam penderitaan. Itulah sebabnya mengapa anda harus bertanggung jawab pada diri anda sendiri. Jangan berharap orang lain bertanggung jawab untuk anda, karena tidak ada seorang pun yang bisa mengambil tanggung jawab Anda.

Sekarang, apa perbedaan antara kamma bajik dan Parami?. Ketika Anda melakukan kamma bajik, Anda mungkin melakukan itu dengan niat untuk terlahir di alam bahagia, atau menjadi seorang yang kaya, makmur, berkedudukan sosial tinggi, dan lain sebagainya. Jika itu adalah niat yang melandasi perbuatan baik anda, maka anda hanya melakukan kamma bajik. Ini bukanlah cara memenuhi Parami.

Di sisi lain, anda bisa memberi dana, menjalankan moralitas atau duduk bermeditasi dengan niat mengakhiri penderitaan, atau untuk meninggalkan sebab penderitaan. Ini adalah cara untuk memupuk Parami.

Niat terlahir di alam bahagia, atau terlahir sebagai orang kaya, makmur, berkedudukan sosial tinggi, dan lain sebagainya. Itu adalah mengambil, bukan melepas. Ini adalah karena "Saya ingin! Saya ingin! Melakukan hal itu hanya memupuk lebih banyak kamma baik.

Kita harus melakukan kebaikan dengan niat untuk pelepasan dan berpikir : 'Saya ingin meninggalkan sebab penderitaan, membersihkan kotoran batin. Saya ingin mengakhiri penderitaan.' Cara berdana dan melakukan perbuatan baik seperti ini tidaklah mengambil, tetapi melepas - melepaskan sebab kemelekatan pada makhluk hidup dan benda mati. Ini adalah pelepasan kotoran batin.

Yang mana yang lebih baik, mengambil atau memberi? Sudah tentu, memberi adalah lebih baik. Oleh karena itu, mulai saat ini, apa pun yang akan anda lakukan, agar itu menjadi cara untuk memenuhi Parami, anda hendaknya membuat suatu aspirasi seperti berikut ini, 'Dengan melakukan ini, semoga saya bisa meninggalkan sebab dari penderitaan.' Maka perbuatan anda akan menjadi cara memenuhi Parami untuk perealisasian Nibbāna, mengakhiri penderitaan, dan mencapai pembebasan.

Demikianlah tulisan ini. Semoga bermanfaat.



Jumat, 27 Januari 2023

AMBISI PENYEBAB KERUNTUHAN

Seseorang yang memiliki sedikit modal namun bernafsu untuk mendapatkan posisi yang sangat tinggi merupakan penyebab kehancuran. Itu karena orang tersebut akan mengerahkan segenap upaya dengan segala cara untuk mewujudkan ambisinya. Biasanya orang seperti itu tidak akan bersaing dengan cara yang sehat dan adil, akan tetapi menggunakan cara-cara yang tidak baik misalnya memfitnah dan lain-lain. Memfitnah adalah salah satu dari sepuluh kamma buruk yang mempunyai kekuatan untuk menghasilkan kelahiran kembali di alam yang menyedihkan, itulah mengapa perilaku seperti ini disebut sebagai sebab untuk keruntuhan. Hal seperti itu sering terjadi di zaman sekarang. Ada orang-orang yang berambisi besar untuk mendapatkan posisi tertentu dengan menggunakan segala cara tanpa memikirkan akibat kamma-nya.

Apabila seseorang memenangkan suatu perlombaan namun tidak berlomba dengan cara yang benar dan adil, apa yang dapat dibanggakan dari kemenangan yang diperoleh dengan cara seperti itu? Bukankah kebanggaan dan kebahagiaan akan muncul bila seseorang menang dengan cara yang berintegritas, adil dan benar? Hal itu merupakan salah satu penyebab keruntuhan, menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan.

Bila kita merenungkan dengan bijaksana, apa sebenarnya tugas utama di dalam kehidupan kita ini? Apakah untuk meraih posisi yang penting? Tentu bukan. Tugas utama kita dalam kehidupan ini adalah memanfaatkan semua pengalaman kehidupan kita sehari-hari untuk memupuk pāramī (kesempurnaan tertinggi hal-hal baik) kita, melemahkan semua kilesa – yaitu kotoran batin dan kemudian menghancurkannya.

Sepuluh parami itu dapat diilustrasikan seperti otot-otot tubuh, misalnya otot bisep, trisep, dan lain-lain yang harus dilatih agar menjadi kuat dan besar. Demikian juga kita harus melatih otot-otot kesempurnaan berdana, kesempurnaan menjaga sīla, dan kesempurnaan lainnya supaya menjadi semakin kuat dan sempurna. Inilah sesungguhnya tugas penting di dalam kehidupan ini. Kita sekarang ini masih berputar-putar di dalam saṃsāra - yaitu mati dan terlahir kembali terus-menerus. Ada kemungkinan perjalanan tersebut tanpa akhir.

Jika Anda harus memilih antara mencapai cita-cita tetapi dengan mengorbankan kesempatan untuk menanam pāramī - dengan tidak mencapai cita-cita tetapi dapat memupuk pāramī - maka pilihlah yang kedua yaitu kesempatan untuk memupuk pāramī - karena hal ini yang dapat membuahkan ketenteraman dan kebahagiaan dalam kehidupan Anda.

Jadi, bila Anda berambisi untuk mendapatkan posisi sebagai seorang pemimpin atau apa pun, dan apabila untuk mencapainya Anda harus bersaing dengan orang lain - maka bersainglah dengan cara yang benar dan sehat tanpa disertai dengan kilesa, bersainglah dengan disertai tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa) dan tanpa delusi (amoha). Dengan demikian Anda dapat memanfaatkan semua kejadian di dalam kehidupan ini sebagai ajang untuk melatih pāramī Anda, melatih hati Anda sehingga setiap kejadian dalam kehidupan Anda dapat digunakan untuk mengembangkan kualitas spiritual Anda. Inilah yang paling penting, bukan justru mencapai kesuksesan duniawi yang didapat dengan melanggar sīla atau melakukan kamma buruk.

Demikianlah tulisan ini - Semoga bermanfaat.

Senin, 23 Januari 2023

MELEPAS GENGGAMAN PADA DUNIA

Pada umumnya manusia memiliki pemahaman yang keliru, mereka merasa memilikinya, padahal tidak, apakah itu?

1. Badan jasmani.

2. Perasaan.

3. Persepsi.

4. Bentukan-bentukan pikiran yang menciptakan tindakan.

5. Kesadaran.

 

Tathagata Sakyamuni mengatakan : Tinggalkanlah apapun di dunia ini, sebab itu bukanlah milikmu. Maksud Beliau adalah sebagai manusia kita hendaknya tidak melekati apapun. Apabila sesuatu yang ada pada kita itu sudah tidak ada lagi - maka ikhlaskanlah itu meninggalkan kita.


Bagi kita yang telah bisa memahami, mengapa “pelepasan” ini adalah hal mutlak, maka kita akan dengan sukarela melepaskan genggaman erat kita pada dunia ini, sebab semua hanyalah kosong, rendah, derita, tidak-kekal, dan tanpa-diri karena selalu berubah.


Oleh karena itu wahai para manusia, apa pun yang bukan milikmu, tinggalkanlah; bila kalian telah meninggalkannya, hal itu akan membawa menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kalian untuk waktu yang lama.


Yang harus ditinggalkan adalah kemelekatan pada Panca-Khanda – yaitu kemelekatan pada lima kelompok kehidupan.

Tidak melekati apapun di dunia ini - dalam kehidupan sehari-hari kita – adalah dengan cara mengambil jalan tengah. Segala sesuatu yang ada pada kita hendaknya kita manfaatkan untuk kebaikan, untuk ha-hal yang baik, untuk tujuan yang baik. Jika tujuan baik tercapai, OK, kita bersyukur, tujuan tidak tercapai tidak mengapa, kita berusaha lagi. Janganlah berlebih-lebihan dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi.

Demikianlah, mengapa kita hendaknya melepaskan keduniawian, melenyapkan nafsu-indriya. Karena, ketika kita senantiasa mentoleransi bagi berkembangnya nafsu-indriya di dalam diri kita, serta memberikan pemuasan-pemuasannya, sesungguhnya kita adalah orang-orang “bodoh” yang tidak menyadari bahaya dari nafsu-indriya, perangkap yang disediakan olehnya hanyalah penderitaan. Suatu masa penderitaan yang panjang diakibatkan oleh pemuasan nafsu indriya tersebut, yakni terlahirnya kita berulang-ulang di dalam alam-alam keberadaan ; di dalam SAMSARA.

Semoga semua makhluk berbahagia, bebas dari penderitaan, bebas dari kebencian, permusuhan, pertentangan, niat jahat, kesakitan, dan kesukaran. Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka masing-masing.

Demikianlah tulisan ini - semoga bermanfaat.


Senin, 28 November 2022

kehidupan Manusia

Manusia yang telah mencapai Nibbana itu hawa nafsu / kotoran batin / Kilesa nya telah padam, hancur lebur tanpa sisa. Kalau dia meninggal dunia tidak akan terlahir kembali di alam kehidupan manapun. Bagaikan api yang telah padam. Disebut Parinibbana. Api yang telah padam itu ada dimana? Kalau ada yang menyalakan api, api itu datangnya dari mana? Itu adalah Hukum Sebab-Akibat yang bekerja. Orang yang telah Parinibbana tak akan kembali, sehingga api yang menyala tadi adalah api yang lain. Mencapai Nibbana itu adalah mencapai kebahagiaan sejati / hakiki / abadi. Ada juga yang bilang mencapai kedamaian abadi. Yang dimaksud dengan kebahagiaan sejati itu karena sudah tidak mengalami Dukkha (penderitaan) lagi. Sudah tidak mengalami perubahan lagi. Sudah tidak berada didalam pusaran Samsara. Kebahagiaan sejati itu rasanya bagaimana? Tidak tahu! Harus dialami sendiri. Pada akhirnya kedepan nanti semua makhluk dapat mencapai Nibbana meski memerlukan waktu yang tak terhingga lamanya.


Kehidupan Manusia


 

Mencapai Nibbana

 


Mengupload: 111281 dari 111281 byte diupload.

Senin, 14 November 2022

Harta Karun Yang Tak Bisa Dicuri

Uraian mengenai Harta Karun Yang Tak Bisa Dicuri ini berumber dari tulisan Bhikkhu Dhammaratano, dan ada kalimat-kalimatnya yang sedikit dirubah agar menjadi lebih halus.

“Gabbhaṁ eke uppajjanti,

Nirayaṁ pāpakammino

Saggaṁ sugatino yanti,

Parinibbanti anāsavā’ti”

 

“Beberapa makhluk hidup dilahirkan melalui rahim,

pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam neraka,

pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam surga,

yang telah terbebas dari noda setelah kematiannya mencapai Nibbāna”

(Dhammapada IX : 126)

 

Alkisah di suatu desa, hiduplah sebuah keluarga yang makmur, sejahtera, dan berkekayaan melimpah. Pemiliknya adalah seorang pedagang yang sangat sukses dalam bisnis perdagangan. Seorang milyarder, pebisnis hebat, seorang yang sangat beruntung di dunia  ini. Dia ditemani  oleh keempat orang istri. Seorang istri tua dan tiga istri yang muda belia. Ia hidup bagaikan raja ditemani oleh para dayang-dayang, sangat bahagia, membuat orang lain yang melihatnya iri.

Istri pertama adalah istri paling tua, namun sangat disayangkan pedagang ini jarang sekali memberi perhatian, baik pakaian, perhiasan apalagi kasih sayang kepada istri pertamanya ini. Wanita ini tampak kumuh dan kusam karena kebutuhannya tidak pernah diperhatikan dan dipenuhi.

Sedangkan untuk istri-istrinya yang lain, ia berikan perhatian lebih bahkan selalu memanjakan mereka.

Untuk istri keduanya, ia selalu memberikan pakaian dan perhiasan yang mahal serta parfum dengan merk terkenal.

Istri ketiga, selalu dimanjakan dengan penuh perhatian, dijaga dengan penuh kasih sayang. Tidak membiarkannya sakit atau menderita walaupun hanya sesaat.

Dan istri yang keempat, selalu ditraktir dengan makanan yang enak dan diajak jalan-jalan ke tempat-tempat yang menyenangkan.

Hari berganti hari, tahun demi tahun berlalu dengan cepat. Kini di usia tuanya, sang pedagang sukses ini mengalami sakit keras dan telah mendekati kematian. Pada menit-menit terakhirnya, sang pedagang memanggil keempat orang istrinya meminta mereka berkumpul menemaninya.

Dengan penuh harap, sang pedagang bertanya kepada istrinya yang kedua ;

“sayangku, aku telah begitu memanjakanmu dengan segala perhiasan, dan lain sebagainya agar engkau selalu nampak cantik, dan gemerlap, sekarang aku butuh bantuanmu, apakah engkau mau menemaniku menghadap raja kematian, ikut bersamaku mati." Istri kedua menjawab : “Maaf suamiku, aku tidak bisa ikut denganmu,  aku masih muda dan aku bisa mencari suami baru untuk menghidupiku.” Mendengar jawaban ini, sang pedagang menjadi bersedih, merasa terpukul, istri yang selalu dimanjakannya itu ternyata tidak peduli padanya.

Kemudian ia beralih bertanya kepada istri ketiga dengan pertanyaan yang sama, dan mendapat jawaban yang sama pula.

Kini ia bertanya kepada istri keempat dan mendapat jawaban : “Maafkan aku sayang, aku tidak bisa ikut mati bersamamu, tetapi aku hanya bisa menemani dan mengantarkanmu sampai ke pemakaman, tidak lebih dari itu.”

Betapa sedih dan terpukulnya sang pedagang mendengar jawaban dari istri-istri yang sangat disayangnya itu, tetapi ternyata sekarang mereka tidak peduli dan tidak setia kepadanya.

Dalam kesedihannya itu, tiba-tiba tanpa ditanya, istri pertama yang selalu ia sia-siakan dan tidak pernah ia perhatikan itu berkata : “Suamiku, sekalipun engkau tidak pernah peduli kepadaku, aku akan tetap setia menemanimu, sekalipun untuk pergi menghadap kematian - aku akan ikut bersamamu menjadi pendamping setiamu - tak ada yang dapat memisahkan kita.”

Mendengar perkataan ini, sang pedagang merasa malu, ia menyesal tidak pernah mau peduli dan kurang perhatian terhadap istrinya yang pertama itu. Penyesalan memang selalu datang  terlambat.

Keempat orang istri merupakan simbolisasi  yang nyata dalam kehidupan ini.

Istri kedua adalah simbol dari tubuh yang selalu kita beri perhiasan, memandikannya, memberi pakaian bagus, dan memberi minyak agar wangi. Tetapi ketika kematian datang, tubuh ini tidak berguna, tidak bisa menemani kita, justru terbujur kaku di tanah pekuburan, membusuk, dan habis di makan belatung.

Istri ketiga merupakan simbol harta kekayaan duniawi yang kita miliki, sebanyak apapun yang kita miliki semuanya akan ditinggalkan tidak akan mungkin ikut ke liang lahat. Harta kekayaan itu akan diambil alih oleh orang lain, dihabiskan oleh ahli waris, menjadi milik orang lain. Seumur hidup kita mencari dan mengumpulkannya, pada akhirnya hanya akan dinikmati oleh orang lain.

Istri keempat adalah simbol sanak keluarga, karib kerabat dan teman-teman. Mereka setia menemani kita ketika kita masih hidup. Tetapi ketika kita sudah menjadi mayat, paling banter mereka hanya bisa mengantar sampai ke tanah pekuburan kemudian pergi, tidak lebih dari itu.

Istri pertama adalah simbol jasa kebajikan - amal kebaikannya sangat jarang kita perhatikan - tidak kita pedulikan, dan cenderung kita abaikan. Padahal ia teman yang paling bisa diandalkan di kala kematian di ambang pintu - sahabat yang sangat setia - kemanapun kita pergi, ia akan selalu ikut bersama kita.

Dalam pandangan Buddhis, kematian adalah hal yang sangat wajar dalam kehidupan suatu makhluk. Karena hal ini sebagai akibat kita dilahirkan. Kematian dan kelahiran merupakan suatu siklus yang terus-menerus berputar selama kita masih melekat pada dunia ini. Dan juga kematian bukanlah akhir segalanya. Seperti halnya seseorang yang berada di luar ruangan dan ia ingin masuk ke dalamnya tentu harus melewati sebuah pintu, dan setelah melewati pintu ia kini berada di dalam ruangan. Demikian pula kematian adalah  pintu menuju kehidupan berikutnya. Jadi janganlah meratap menangisi jenazah orang yang kita sayangi secara berlebihan, selain tidak bermanfaat juga tidak melatih kita untuk menjadi tegar dan menghambat upaya kita dalam melepas kemelekatan yang menimbulkan penderitaan.

Inilah dunia, ketika ada seorang bayi dilahirkan, kita begitu gembira dan merayakannya. Padahal kita tahu bahwa bayi itu dilahirkan kelak hanya untuk mengalami kematian, ia akan menjadi korban raja kematian berikutnya. Kita begitu bersedih apabila orang yang sangat kita sayangi meninggal dunia. Harusnya kita merelakannya karena ia telah bebas dari sengsara dunia. Kematian hanyalah sementara, karena kesadarannya akan terus berlanjut dalam kehidupan berikutnya. Ia hanya membawa kesadaran baik atau kesadaran buruk, membawa bekal kebajikan atau membawa segudang keburukan. Inilah yang akan menentukan ke alam mana seseorang akan bertumimbal-lahir.

Sang Bhagava bersabda; “sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya, ia yang berbuat baik akan menerima kebaikan dan kebahagiaan, serta ia yang berbuat jahat akan menerima penderitaan dan kesengsaraan”. (Saṁyutta Nikāya I : 293).

Perbuatan yang dilakukan ketika masih hidup akan menentukan kemana seseorang akan pergi dilahirkan setelah kematian. Dan juga kekuatan pikiran terakhir yang mendominasi pada saat menjelang kematian, mungkin saja pikiran keserakahan atau kemelekatan, pikiran kebencian ketidak-senangan atau pikiran ketidak-tahuan dan kebodohan batin, yang akan menentukan kelahiran berikutnya.

Sesuai syair Dhammapada 126 diatas, terdapat beberapa jenis kelahiran dan perbuatan apakah yang mengarahkan mereka untuk terlahir seperti apa.

 

1. “Gabbhaṁ eke uppajjanti” = Beberapa makhluk dilahirkan melalui rahim / kandungan.

2. ”Nirayaṁ pāpakammino” = Pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam Neraka.

3. “Saggaṁ sugatino yanti” = Pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam surga.

4. “Parinibbanti anāsavā” = Yang telah terbebas dari semua noda setelah kematiannya mencapai Nibbāna.

 

Apabila kita ingin melihat masa lampau, maka lihat dan perhatikan apa yang terjadi pada diri kita saat ini. Dan apabila ingin melihat dan mengetahui masa yang akan datang, berkacalah pada perbuatan yang kita lakukan pada saat sekarang. Apapun yang kita perbuat baik ataupun buruk kita sendiri yang akan merasakannya. Baik yang kita perbuat baik pula akibatnya, demikian pula buruk yang kita perbuat buruk pula akibatnya. Kita semua sedang mengarungi lautan kehidupan Samsara dalam kehidupan ini. Kita butuh bekal cukup untuk mengatasi segala rintangan di dalam perjalanan panjang kita sebelum sampai di tempat tujuan akhir.

Apakah bekal itu? Yaitu : jasa perbuatan baik. Hanya inilah yang akan selalu menjadi sahabat kita yang paling setia menemani kemanapun kita pergi. Dialah harta sejati yang tak akan mungkin bisa dicuri, dirampok, kena banjir atau kebakaran. Ia akan menjadi harta simpanan yang kekal yang sangat membantu hingga sampai pada tujuan akhir kita, yaitu Nibbāna / Nirwana.

 

Demikianlah tulisan ini - Semoga bermanfaat.

Kebahagiaan Sejati Kekal

Untuk bisa selamat (bahagia) di dunia dan selamat (bahagia) setelah meninggal dunia (hidup di alam berikutnya) – seseorang hendaknya menyikapi dengan baik dan benar berlakunya hukum alam, terutama Hukum Karma. Banyak memberi (tenaga atau materi dan juga pikiran / pandangan benar), berupaya keras tidak  melanggar sila, terutama : tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berbohong dan tidak mabuk-mabukan. Untuk merealisasi pencapaian yang lebih tinggi dan tertinggi adalah sering berlatih meditasi yang tepat secara bijaksana untuk mengikis terus-menerus kotoran batin hingga menjadi orang suci - merealisasi kebahagiaan sejati kekal, tidak terlahir kembali di alam kehidupan manapun.


Sabtu, 29 Oktober 2022

Pewaris Dalam Dhamma

Tulisan ini menyampaikan perihal Pewaris dalam Dhamma dalam Majjhima Nikaya 3 : Dhammadāyāda Sutta – yang sulit dipahami karena memerlukan pemikiran dan perenungan yang berulang. Tulisan ini menyingkat Dhammadāyāda Sutta agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti meskipun masih memerlukan perhatian penuh yang berulang.

Dhammadāyāda Sutta – menceritakan - pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta - Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu dan berkata kepada mereka yang jika disingkat adalah sebagai berikut :

 

Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir : Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi? Jika kalian menjadi pewarisKu dalam benda-benda materi, maka kalian dan Aku akan dicela sebagai berikut : Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru, bukan sebagai pewaris dalam Dhamma.

 

Jika kalian menjadi pewarisKu dalam Dhamma, maka kalian dan Aku tidak akan dicela [sebagaimana akan dikatakan] : Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewaris dalam Dhamma, bukan sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru. Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi.

 

Sekarang, para bhikkhu, misalkan Aku telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang Kubutuhkan, dan ada makanan tersisa dan akan dibuang. Kemudian dua orang bhikkhu tiba, lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka : Para bhikkhu, Aku telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang Kubutuhkan, tetapi masih ada makanan tersisa dan akan dibuang. Makanlah jika kalian menginginkan; jika kalian tidak memakannya maka Aku akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.

 

Kemudian seorang bhikkhu berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan. Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā : Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Tetapi makanan ini adalah salah satu benda materi. Bagaimana jika seandainya tanpa memakan makanan ini aku melewatkan malam dan hari ini dalam keadaan lapar dan lemah. Dan tanpa memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu dalam keadaan lapar dan lemah.

 

Kemudian bhikkhu ke dua berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang. Bagaimana jika aku memakan makanan ini dan melewatkan malam dan hari ini tanpa merasa lapar dan lemah. Dan setelah memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah. Sekarang walaupun bhikkhu itu dengan memakan makanan itu melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah, namun bhikkhu pertama lebih terhormat dan dipuji olehKu. Mengapakah? Karena hal itu dalam waktu lama akan berdampak pada keinginannya yang sedikit, kepuasan, pemurnian, mudah disokong, dan membangkitkan kegigihannya. Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi.

 

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal tersebut, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke kediamanNya. Segera setelah Beliau pergi, Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu dan berkata sebagai berikut :

 

Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Dan dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan?

 

Para bhikkhu berkata sebagai berikut :

Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para bhikkhu akan mengingatnya.

 

Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut :

Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan.

 

Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan. Ketiga : mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan.

Dalam cara ini inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan.

 

“Dalam cara bagaimanakah, teman-teman, para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai, mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.

 

“Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan. Ketiga : mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.

Dalam cara inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan.

 

“Teman-teman, kejahatan di sini adalah keserakahan dan kebencian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian, menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.

 

Teman-teman, kejahatan di sini adalah kemarahan dan kekesalan, sikap meremehkan dan congkak, iri hati dan kekikiran, kecurangan dan penipuan, sifat keras kepala dan persaingan, keangkuhan dan kesombongan, kepongahan dan kelalaian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan kepongahan dan kelalaian, menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu puas dan gembira mendengarnya.

 

Demikianlah Tulisan ini yang menyampaikan tentang Dhammadāyāda Sutta yang dipersingkat agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti. Semoga bermanfaat.


Rabu, 26 Oktober 2022

Segala Noda

Tulisan ini menyampaikan perihal Segala Noda dalam Majjhima Nikaya-2 : Sabbāsava Sutta – yang sulit dipahami karena memerlukan pemikiran dan perenungan yang berulang. Tulisan ini menyingkat Sabbāsava Sutta agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti meskipun masih memerlukan perhatian penuh yang berulang.

Sabbāsava Sutta – menceritakan - pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta - Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu dan berkata banyak kepada mereka yang jika disingkat adalah sebagai berikut :

 

“Para Bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda adalah untuk seorang yang mengetahui dan melihat perhatian bijaksana dan perhatian tidak bijaksana. Ketika seseorang memperhatikan dengan tidak bijaksana, noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dan noda-noda yang telah muncul menjadi bertambah. Ketika seseorang memperhatikan dengan bijaksana, noda-noda yang belum muncul tidak akan muncul dan noda-noda yang telah muncul ditinggalkan.

 

“Para bhikkhu, ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat, dengan mengendalikan, dengan menggunakan, dengan menahankan, dengan menghindari, dengan melenyapkan, dan dengan mengembangkan.

 

“Apakah noda-noda, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melihat?

Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia, yang tidak menghargai manusia sejati, yang tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma, dia tidak memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, dan memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan.

 

Ketika ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak untuk diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan  noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan  noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul menjadi bertambah.

 

Ketika ia memperhatikan hal-hal yang layak untuk diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan  noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan  noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul ditinggalkan.

 

“Seorang biasa yang tidak terpelajar memperhatikan dengan tidak bijaksana : ‘Apakah aku ada di masa lampau? Apakah aku tidak ada di masa lampau? Apakah aku di masa lampau? Bagaimanakah aku di masa lampau? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau? Apakah aku akan ada di masa depan? Apakah aku akan tidak ada di masa depan? Akan menjadi apakah aku di masa depan? Akan bagaimanakah aku di masa depan? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’ Atau kalau tidak seperti itu, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang : ‘Apakah aku ada? Apakah aku tidak ada? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari manakah makhluk ini datang? Ke manakah makhluk ini akan pergi?’

 

“Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana tersebut, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya. Yaitu pandangan ‘ada diri bagiku’ , atau pandangan ‘tidak ada diri bagiku’ , atau pandangan ‘aku melihat diri dengan diri’ , atau pandangan ‘aku melihat bukan-diri dengan diri’ , atau pandangan ‘aku melihat diri dengan bukan-diri’ - muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau kalau tidak seperti itu, ia memiliki beberapa pandangan sebagai berikut : ‘adalah diriku ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’ Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan.

 

“Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar dengan baik, yang menghargai para mulia dan terampil, yang menghargai manusia sejati, yang terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, memahami hal-hal yang layak diperhatikan dan memahami hal-hal yang tidak layak diperhatikan. Oleh karena itu, ia tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.

 

Ketika ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak diperhatikan, yang tidak ia perhatikan.

 

Ketika ia memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya, dan noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak diperhatikan, yang ia perhatikan.

 

“Ia memperhatikan dengan bijaksana : ‘Ini adalah penderitaan’; ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ketika ia memperhatikan dengan bijaksana seperti itu, tiga belenggu ditinggalkan dalam dirinya : pandangan akan diri, keragu-raguan, dan keterikatan pada ritual dan upacara. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, berdiam dengan indria mata terkendali, indria telinga terkendali, indria hidung terkendali, indria lidah terkendali, indria badan terkendali, indria pikiran terkendali, maka tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria mata tidak terkendali, indria telinga tidak terkendali, indria hidung tidak terkendali, indria lidah tidak terkendali, indria badan tidak terkendali, indria pikiran tidak terkendali. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menggunakan?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menggunakan jubah hanya untuk perlindungan dari dingin, dari panas, dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menutupi bagian tubuh yang pribadi.

 

“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan dana makanan bukan untuk kenikmatan, bukan untuk kemabukan, bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan badan ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk mendukung kehidupan suci, dengan pertimbangan : ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan sebelumnya tanpa memunculkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dengan nyaman.’

 

“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan tempat tinggal hanya untuk perlindungan dari dingin, dari panas, dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menangkis bahaya iklim dan untuk menikmati latihan.

 

“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan obat-obatan hanya untuk perlindungan dari penyakit yang telah muncul dan demi kesehatan.

 

Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak menggunakan benda-benda kebutuhan seperti tersebut. Sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menggunakan benda-benda kebutuhan seperti tersebut. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menahankan?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menahan dingin dan panas, lapar dan haus, kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan kata-kata kasar dan tidak ramah, dan perasaan jasmani yang timbul yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam kehidupan. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak menahankan hal-hal tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menahankan hal-hal tersebut. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menghindari?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menghindari gajah liar, kuda liar, sapi liar, anjing liar, ular, tunggul pohon, semak berduri, jurang, ngarai, lubang kakus, dan saluran pembuangan. Merenungkan dengan bijaksana, ia menghindari duduk di tempat yang tidak sesuai, menghindari bepergian ke tempat yang tidak sesuai, dan menghindari bergaul dengan teman-teman yang tidak baik, karena jika ia melakukan hal itu maka teman-teman bijaksana dalam kehidupan suci akan mencurigainya berperilaku buruk. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak menghindari hal-hal tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menghindari hal-hal tersebut. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, tidak menolerir pikiran keinginan indria yang muncul; pikiran bermusuhan yang muncul; pikiran kejam yang muncul; dan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat; ia meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya, dan membasminya. Sementara noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak melenyapkan pikiran-pikiran tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang melenyapkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan.

 

“Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan?

Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, mengembangkan faktor pencerahan perhatian, mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi, mengembangkan faktor pencerahan kegigihan, mengembangkan faktor pencerahan sukacita, mengembangkan faktor pencerahan ketenangan, mengembangkan faktor pencerahan konsentrasi, dan mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak mengembangkan faktor-faktor pencerahan tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang mengembangkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan.

 

Kesimpulan

“Para bhikkhu, ketika noda-noda oleh seorang bhikkhu telah ditinggalkan dengan melihat, dengan mengendalikan, dengan menggunakan, dengan menahankan, dengan menghindari, dengan melenyapkan, dan telah ditinggalkan dengan mengembangkan – maka ia disebut seorang bhikkhu yang berdiam dengan terkendali oleh pengendalian segala noda. Ia telah memotong ketagihan, melepaskan belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan, ia telah mewujudkan akhir dari penderitaan.”

 

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

 

Demikianlah intisari tentang : “Segala Noda” dari Majjhima Nikaya-2 : Sabbāsava Sutta. Semoga bermanfaat.