Translate

Rabu, 18 Desember 2019

Dua Golongan Agama



Kita tahu bahwa agama-agama yang ada di Indonesia itu berbeda satu dengan yang lainnya, bahkan jika akan disamakan pun maka tidak akan ketemu-ketemu. Akan tetapi harus diakui bahwa benang merah dari ajaran agama itu adalah kebaikan; yaitu tidak serakah, tidak membenci dan juga sebaiknya tidak dungu atau delusi. Dungu adalah satu kata yang sering disebut-sebut oleh Rocky Gerung si pakar filsafat itu. Namun dari agama yang berbeda-beda itu dapatlah digolongkan menjadi 2 golongan agama saja.

Golongan yang pertama adalah golongan yang disebut sebagai golongan agama Abrahamik, Agama Wahyu atau Agama Langit, yang pemeluknya merupakan golongan terbanyak di Indonesia. Golongan agama ini menekankan wajib menyembah kepada Tuhan yang diyakininya sebagai Yang Maha Kuasa, pencipta segala sesuatu, pengatur segala sesuatu & penentu segala sesuatu, sehingga manusia wajib menyembahnya karena manusia sangat terikat erat dengan Tuhan. Kalau perlu manusia mengiba-iba mohon diampuni atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya dengan cara berdoa, karena mereka tahu ajaran agamanya mengajarkan agar manusia itu banyak berbuat baik yang lumayan susah & memerlukan perjuangan agar terhindar dari api neraka. Bukan berbuat jahat yang mudah sekali dilakukan, tapi mempunyai resiko setelah meninggal dunia masuk kedalam api neraka. Golongan pemeluk agama ini biasanya atau dengan perkataan lain banyak yang kaku mengartikan ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab suci, mereka akan sangat marah sekali & mungkin saja akan bereaksi keras jika agamanya dinistakan, jika Tuhannya dihina atau dipersekutukan, padahal Tuhan yang maha kuasa itu kan tidak perlu dibela, karena sesuai dengan keyakinan mereka sendiri bahwa mudah sekali Tuhan melaknat kepada siapa saja jika Tuhannya dihina, dipersekutukan dan lain sebagainya. Para pemeluk agama yang suka marah & bereaksi keras dari golongan pertama ini adalah mereka-mereka yang kurang mempunyai kebijaksanaan & kearifan yang cukup, mereka itu mungkin juga terpelajar, berijazah pendidikan S3 namun di hatinya tidak ada kedamaian, tidak memiliki kearifan, nafsunya besar tak terkendali. Dengan marah & bereaksi keras, para pemeluk golongan agama ini pastilah lalai jika berbuat baik itu adalah inti ajaran agama, sehingga bisa saja marah-marah & bereaksi keras kepada orang yang menghina Tuhan & menghina agamanya. Reaksi seperti inilah sebenarnya yang bisa memicu kekacauan & kerusuhan. Mereka tidak bijaksana melainkan bijaksini. Tidak piawai mengupayakan jalan damai.

Golongan yang kedua adalah golongan agama Ardhi atau Agama Bumi, yang tidak terlalu menitik beratkan atau tidak terlalu fokus kepada Tuhan, karena Tuhan yang maha kuasa, maha adil dan maha bijaksana, sudah tidak memerlukan apa-apa lagi. Tuhan adalah yang mutlak, yang tak dapat di apa & siapakan, dan tak terpikirkan. Istilah yang disematkan kepada Tuhan semua pastilah salah. Bagaimana mungkin kita bisa mendefinisikan Tuhan dengan benar sedangkan jagad raya ini saja tanpa batas, besar itu bisa tanpa batas besarnya, besarnya tak terhingga, tanpa batas & juga kecil itu tanpa batas pula kecilnya, batasnya adalah sampai tidak ada. Oleh karena itu pemeluk agama golongan kedua ini lebih fokus terhadap inti ajaran agamanya, yang adalah juga merupakan inti ajaran semua agama, intinya yaitu berbuat baik. Bahkan pemeluk agama golongan kedua ini berupaya menjadi orang suci yang tidak lagi memproduksi dosa baru. Karena ingin menjadi orang baik maka mereka berupaya lebih sungguh-sungguh untuk mampu selalu berbuat baik, dan lebih sungguh-sungguh berupaya tidak melakukan tindakan-tindakan yang buruk, tindakan yang jahat, semua tindakan diusahakan sebijaksana mungkin. Mereka tahu persis bahwa ada hukum-hukum universal yang bekerja secara otomatis atas segala sesuatu, ada kepastian konsekuensi dari setiap perbuatan. Mereka mengetahui bahwa perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan, dan sebaliknya perbuatan jahat akan menghasilkan penderitaan, baik di hidup ini maupun dihidup berikutnya setelah meninggal dan hidup di alam berikutnya, yaitu hidup di alam yang sesuai dengan perilaku di hidup sebelumnya. Surga & Neraka itu alam kehidupan. Hukum yang bekerja secara otomatis dalam proses hidup & mati tersebut disebut hukum karma, biasa disebut juga sebagai hukum tabur-tuai atau hukum sebab-akibat.
Pemeluk agama dari golongan yang kedua ini faham betul bahwa perbuatan baik adalah doa yang sebenarnya. Berdoa terus-menerus tanpa berupaya maka doanya tidak akan terkabul. Akan sangat realistis jika berupaya terlebih dahulu untuk memperoleh hasil & kemudian baru berdoa. Sering dikatakan bahwa Hasil Tak Akan Pernah Mengkhianati Usaha?
Pemeluk agama golongan kedua ini banyak mengganti doa dengan mengucapkan parrita atau membaca parrita bagi yang belum hafal. Parrita itu bukan mantra. Sering membaca atau mengucapkan parrita dengan penuh penghayatan akan memperbaiki kualitas batin. Batin yang berkualitas baik akan mudah melakukan perbuatan baik. Seperti yang sudah disampaikan diatas, banyak berbuat baik akan memetik kebahagiaan. Berbuat baik adalah doa yang sebenarnya.
Kalau sudah begitu lalu posisi Tuhan ada dimana? Dan kontribusi Tuhan untuk kebahagiaan umat manusia apa? Supaya tidak menjadi kontroversi antara dua golongan agama ini, maka bisa diambil jalan tengah, bahwa Tuhan di golongan agama yang kedua ini adalah Tuhan yang impersonal, bukan Tuhan yang personal yang mempunyai banyak kehendak. Katakanlah Tuhan adalah fasilitator atas segala hal sehingga segala hal itu bisa ada & bisa terjadi.
Hukum-hukum universal alam semesta yang bekerja secara otomatis yang tadi sudah disinggung, contohnya adalah bumi, bulan, bintang, yang adalah planet2 matahari itu beredar di garis edar masing-masing tanpa bertabrakan atau besinggungan, ada hujan turun, ada panas matahari, medan magnit yang terpotong oleh putaran kumparan kawat tembaga menghasilkna arus listrik, pohon anggur membuahkan anggur, pohon pisang berbuah pisang, proses mutasi gen manusia, proses pembuahan pada sel telur wanita, proses perkembangbiakkan pada tumbuh-tumbuhan, proses bekerjanya kesadaran pada manusia dan lain sebgainya. Semua proses tersebut bekerja sesuai dengan hukum universal alam semesta yang berlaku. Jagad raya ini akan rusak atau kiamat, tapi memerlukan waktu yang sangat lama sekali, yaitu jika sudah tidak ada lagi orang baik, tidak ada lagi ajaran agama yang baik & benar, namun akan muncul atau terbentuk kembali jagad raya yang baru yang juga memerlukan waktu yang sangat lama sekali, begitu seterusnya dan semua itu katakanlah fasilitatornya adalah Tuhan yang tak terpikirkan itu, yang diluar nalar manusia biasa itu.Pemeluk agama golongan kedua ini tidak menghendaki orang lain memeluk agama ini tanpa pertimbangan yang benar, tanpa paham dengan benar ajarannya, agar pemeluk agama ini tahu persis kebenaran dari agama ini. Sehingga anjurannya adalah Ehipassiko yang artinya adalah ajakan atau undangan untuk datang dan melihat, melakukan verifikasi, pemeriksaan atau penyelidikan  untuk mendapatkan bukti, daripada hanya sekadar percaya begitu saja.

Persoalan berikutnya adalah bagaimana caranya dengan agama yang berbeda-beda itu kita bisa bersatu dengan baik sehingga terwujudlah persatuan & kesatuan yang kokoh dari pada bangsa Indonesia.?, bukan bersatu secara semu & suatu ketika bisa timbul perseteruan hingga dapat menimbulkan perpecahan.? Sudah benar itu istilah dalam agama Islam “Lakum dinukum waliyadin” yang artinya kurang lebih adalah, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”, maka mari kita sadari itu dengan baik sebaik-baiknya. Tidak boleh ada yang melakukan pemaksaaan kepada pihak lain untuk menerima apa-apa yang dilakukan oleh para pemeluk agama tertentu. Untuk kalangan sendiri boleh bahkan hendaknya dilakukan, tapi untuk kalangan umum atau dalam hal bersosialisai dengan masyarakat banyak, maka agamalah yang harus “menyesuaikan” dengan apa-apa yang berlaku umum, yang berlaku di masyarakat banyak. “Menyesuaikan” itu “tepa slira” yang artinya “tahu diri”, "sadar diri", atau ada “toleransi” yaitu menghormati atas apa yang dilakukan oleh pihak lain, tidak melarangnya tapi mempersilahkan melakukannnya asalkan tidak menganggu ketertiban umum meskipun dia sendiri tidak mau melakukannya karena sudah bertentangan atau dilarang oleh ajaran agama yang diyakininya, yang diyakini kebenarannya. Sebagai salah satu contoh adlah ; silahkan memakan daging babi tapi saya tidak mau memakannya karena tidak diperbolehkan oleh agama saya, silahkan adzan di masjid menggunakan Loudspeaker TOA asalkan tidak terlalu keras karena bisa mengganggu kenyamanan pihak lain, silahkan beribadah & bersembahyang sesuai agama masing-masing asalkan tidak terlalu berisik & dilakukan pada tempatnya sehingga tidak mengganggu kepentingan umum, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain. Jika “tepa slira” tersebut dijalankan dengan baik maka niscaya terwujudlah secara nyata persatuan & kesatuan bangsa Indonesia ini dengan sepenuh-penuhnya, bukan hanya semu belaka...

Andai saja seseorang tahu persis manfaat besar dari Berdana...


Orang yang berdana, sesungguhnya dana tersebut tidak hilang dari dirinya. Kelak baik di hidup ini atau nanti setelah meninggal dunia, buah baiknya akan kembali kepada diri sendiri. Andai saja semua orang tahu persis betapa besar manfaat dari berdana, pastilah orang akan berlomba-lomba dalam menyalurkan dananya. Terlebih bagi orang kaya yang lebih mudah berdana dalam bentuk materi.

Andai saja, orang Indonesia sejak mempunyai Income dua kali lipat dari kebutuhan normalnya, rela mendanakan 25% dari Income-nya, yakinlah setelah meninggal dunia dia akan masuk Surga tanpa syarat harus memeluk agama tertentu. Selain dari itu, juga sangat membantu pemerintah dalam upayanya mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat, sangat membantu upaya pemerintah menurunkan angka kemiskinan. 50% untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga. 25% untuk membantu orang lain, organisasi atau yayasan yang sangat membutuhkan. 25% Income sisanya digunakan untuk usaha atau  menambah modal usaha.

Ringkasnya begini : Income 100%, 50% dipakai, 25% untuk membantu orang lain, organisasi atau yayasan yang sangat membutuhkan pada saat itu, dan 25% sisanya digunakan untuk usaha atau menambah modal usaha. Orang yang sering berdana, maka pekerjaan, karier atau bisnisnya cenderung akan mengalami kemajuan lebih cepat, dengan kata lain akan membuahkan kebahagiaan. 

Sekali lagi, bahwa dana yang kita berikan ke pihak lain itu tidak akan hilang, melainkan akan kembali ke diri kita sendiri. Ini pasti dan dijamin 100% kebenarannya. Hal ini sesuai dengan hukum sebab-akibat, hukum tabur-tuai atau hukum karma. Hukum-hukum tersebut sebagaimana halnya sains, bahwa hukum-hukum alam atau hukum-hukum fisika itu nyata. Namun demikian kembalinya dana kita tersebut istilahnya tidak aple to aple, karena masih tergantung dari situasi dan kondisi yang ada.

Berdana itu sebaiknya diskriminatif, karena berdana kepada orang mampu dengan berdana kepada orang miskin itu buah karmanya berbeda. Ibaratnya kita menabur benih di tanah tandus dengan menabur benih di tanah yang subur, maka buah yang akan kita petik akan berbeda. Selain kondisi tanah, maka perawatan juga perlu. Berdana itu perlu disertai dengan keikhlasan atau suka cita. Keikhlasan dan suka cita ini termasuk perawatan. Setelah berdana perlu ditindak lanjuti dengan perbuatan-perbuatan baik lainnya yang juga merupakan perawatan. Contoh kecil-kecil misalnya, tidak memikirkan kembalinya dana, tidak marah-marah melainkan murah senyum. Murah senyum itu mudah dilakukan. Perawatan ini dapat memaksimalkan buah karma baik yang sudah kita tanam, yang sudah kita perbuat. Setiap benih yang kita tanam akan berbuah, lebat atau tidak lebat buah tersebut tergantung dari dimana kita menanam benih tersebut. Di tanah tandus atau di tanah subur, dan tergantung dari perawatan yang kita lakukan.

Buah karma baik atau karma buruk yang kita petik di hidup ini, atau kita petik nanti di alam lain setelah kita meninggal dunia, itu bisa terjadi karena faktor situasi dan kondisi yang mendukung telah tiba.