Translate

Jumat, 31 Desember 2021

Perbedaan Antara Meditasi Samatha dan Meditasi Vipassana

Kata para guru spiritual, meditasi adalah jalan pintas untuk mencapai pencerahan. Meditasi dalam banyak tradisi memang sangat dianjurkan. Terutama dalam Buddhisme.

Ada dua jenis meditasi, pertama Samatha Bhavana atau Meditasi Ketenangan, dan yang kedua adalah Vipassana Bhavana atau Meditasi Pandangan Terang.

Ada pandangan yang berbeda di kalangan pengajar meditasi. Ada yang mengatakan bahwa seseorang harus melakukan dan mahir meditasi Samatha Bhavana terlebih dahulu. Baru setelah itu mereka masuk ke meditasi Vipassana Bhavana. Ada juga yang mengatakan, bahwa untuk mencapai pencerahan tidak perlu dengan melakukan meditasi Samatha Bhavana terlebih dahulu, tapi langsung meditasi Vipassana Bhavana.

Meditasi Samatha Bhavana adalah pemusatan konsentrasi atau perhatian pada objek tertentu, misalnya napas. Ada empat puluh objek yang bisa digunakan untuk menditasi. Napas hanya salah satunya.

Tujuan dari meditasi ini adalah untuk melatih pikiran sehingga terkendali dan akhirnya diam dan hening. Saat kondisi pikiran benar-benar terpusat sangat kuat, hening, diam, dan tercerap sepenuhnya pada objek meditasi, maka pada saat itu meditator mencapai kondisi Jhana.

Sedangkan meditasi Vipassana Bhavana adalah meditasi perhatian penuh, introspeksi, observasi realitas, kewaspadaan objektif, dan belajar dari pengalaman setiap momen. Inti dari meditasi ini adalah mengamati segala proses mental atau fisik yang paling dominan pada saat sekarang. Dengan kata lain, menyadari, mencatat, ingat ketika lenyap.

Tulisan ini tidak dalam posisi untuk mengatakan mana atau siapa yang benar. Apakah perlu Samatha dulu baru Vipassana, ataukah tidak perlu Samatha tapi langsung Vipassana? Tulisan ini ingin menyampaikan apakah sebenarnya yang terjadi dalam pikiran seseorang yang melakukan meditasi, baik itu Samatha maupun Vipassana ditinjau dari riset di barat, dengan mengukur pola gelombang otak.

Ada seseorang yang belajar kepada Anna Wise, satu hal yang sangat mencerahkan dia adalah saat Anna Wise berkata, "Meditation is a state of consciousness, a spesific brain-wave pattern, not a technique", yang artinya, meditasi adalah keadaan kesadaran, pola gelombang otak tertentu, bukan teknik. Anna Wise juga berkata bahwa, "There is state of consciousness and content of consciousness", artinya : ada keadaan kesadaran dan isi kesadaran.

Wow… ini sungguh suatu pencerahan luar biasa. Anna Wise sampai pada kesimpulan ini setelah mengukur, dengan menggunakan Mind Mirror, begitu banyak pola gelombang otak orang, termasuk para master dan guru meditasi Zen.

Dari pengukuran Anna Wise didapat satu data yang sangat menarik, yaitu semua master dan guru meditasi itu punya gelombang otak yang sama. Pola ini disebut dengan pola Awakened Mind, artinya, pikiran yg bangun, yang terdiri dari beta, alfa, theta, dan delta dengan komposisi yang pas. Beta di sini adalah low beta dan hanya sedikit saja, karena hanya digunakan untuk menyadari, mengetahui, mencatat.

Alfa berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan pikiran sadar dan bawah sadar. Theta adalah pikiran bawah sadar dan delta adalah pikiran Nirsadar.

Kita tetap membutuhkan beta, walaupun hanya sedikit saja, adalah untuk bisa mengetahui atau menyadari apa yang sedang kita alami. Bila tidak ada beta maka kita sama sekali tidak akan tahu, tidak ingat yang terjadi, yang dialami saat meditasi.

Lalu, apa hubungannya dengan meditasi Samatha dan Vipassana?

Meditasi Samatha, bila dilihat dari pola gelombang otak, bertujuan untuk meng-OFF-kan gelombang beta. Beta adalah gelombang pikiran sadar dengan kisaran frekuensi antara 12  sampai dengan 25 Hertz. Gelombang ini aktif bila kita berpikir, memberikan penilaian, atau memberikan makna pada sesuatu, mengkritik, membuat daftar, menganalisa, atau berbicara pada diri sendiri.

High Beta, frekuensinya diatas 25 Hertz, berhubungan dengan stress dan kecemasan. Semakin aktif high beta seseorang maka semakin "liar" pikirannya. Pikiran akan lari ke sana ke mari, melompat dari satu hal ke hal lain, tidak bisa diam, sulit atau hampir tidak mungkin untuk dikendalikan. Kesulitan ini yang dialami oleh semua meditator pemula.

Banyak orang menghabiskan begitu banyak waktu hanya untuk belajar mendiamkan pikiran mereka namun tidak berhasil. Akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti bermeditasi karena tidak merasakan manfaat.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat seseorang mahir meng-OFF-kan pikirannya? Ini semua bergantung pada waktu dan teknik yang digunakan. Umumnya, untuk meng-OFF-kan pikiran sadar, orang menggunakan objek napas.

Pikiran dilatih untuk diam dengan cara difokuskan pada napas. Dan pada saat pikiran lari ke objek lain maka pikiran ditarik kembali ke napas, demikian selanjutnya sampai dicapai kekuatan konsentrasi yang sangat tinggi.

Sulitnya meditator mendiamkan pikirannya, selain karena aktifnya high beta, juga disebabkan tubuh yang tegang. Posisi duduk yang tidak tepat, apa lagi kalau sampai melakukan postur full lotus, membuat otot paha dan tubuh menjadi begitu tegang, sehingga tidak mungkin bisa mencapai kondisi pikiran yang rileks.

Masih berdasar riset Anna Wise, untuk bisa merilekskan pikiran, menurunkan beta dengan cepat, bisa dilakukan dengan merilekskan tubuh terlebih dahulu. Ada teknik spesifik yang beliau kembangkan untuk bisa mendiamkan pikiran dalam waktu yang sangat singkat.

Saat seseorang telah mampu meng-OFF-kan pikiran sadarnya, meng-off-kan gelombang beta, maka pada saat itu ia telah masuk ke kondisi meditatif yang sangat dalam. Jadi, meditasi sebenarnya adalah gelombang otak yang terdiri dari alfa, theta, dan atau tanpa delta. Disini tampak jelas bahwa beta tidak dibutuhkan untuk meditasi. Justru beta perlu dihilangkan.

Lalu, apa hubungannya dengan meditasi Vipassana?

Dari pengalaman pribadi, cukup sulit atau bahkan tidak mungkin bisa melakukan pengamatan pada bentuk-bentuk pikiran, perasaan, atau sensasi fisik yang muncul saat pikiran sadar masih sangat aktif. Apalagi jika yang aktif adalah high beta.

Jelas sangat sulit melakukan pengamatan jika piranti yang digunakan untuk melakukan pengamatan yaitu pikiran sadar masih sangat aktif dan sibuk sendiri.

Yang diamati dalam meditasi Vipassana, khususnya pada aspek bentuk-bentuk pikiran dan perasaan yang muncul, sebenarnya berasal dari pikiran bawah sadar dan Nirsadar.

Dari pikiran bawah sadar biasanya muncul memori atau ingatan mengenai kejadian tertentu, yang berasal dari pengalaman di kehidupan saat ini, dan biasanya berisi muatan emosi dengan intensitas tinggi, baik positif maupun negatif.

Jadi, saat memori ini muncul, baik dalam bentuk gambar atau film, maka sebenarnya pada saat yang sama emosi yang berhubungan dengan memori ini juga aktif. Sedangkan dari pikiran Nirsadar akan muncul memori dan emosi yang berasal dari kehidupan lampau.

Itulah sebabnya adalah sangat penting bagi seorang meditator untuk tidak masuk ke dalam pengalaman itu, karena biasanya mengandung emosi yang intens, dan cukup hanya mengetahui, menyadari, mencatat, dan mengingatnya saja ketika lenyap atau hilang.

Meditator tidak larut ke dalamnya. Akan sangat riskan bila meditator masuk ke dalam pengalaman itu, terutama jika pengalaman itu mengandung emosi negatif yang intens, misalnya akibat dari trauma masa lalu. Jika sampai terjadi hal ini, maka meditator akan mengalami kembali kejadian atau pengalaman itu. Istilah teknisnya revivification atau kebangkitan, dan akan berdampak negatif pada kondisi mental dan emosinya.

Kemampuan untuk bisa menjadi observer dan tidak masuk ke dalam objek yang diamati, hanya bisa dicapai bila pengendalian diri kita baik dan juga pikiran sadar - beta, tidak terlalu aktif dan tidak memberikan penilaian atau penghakiman.

Saat kita mampu melihat atau hanya menjadi pengamat, maka kita telah mampu melakukan disosiasi sehingga tidak dipengaruhi emosi yang melekat pada suatu memori. Saat kita mampu tenang, hanya menyadari, mencatat, dan mengingat kejadian atau pengalaman yang muncul, maka kita akan tahu dan sadar bahwa kita bukanlah pengalaman atau emosi kita. Pengalaman atau emosi itu muncul dan tenggelam atau hilang. Dan saat kita memberi jarak, atau memisahkan diri dari pengalaman atau emosi itu, maka mereka tidak bisa mempengaruhi diri kita.

Banyak yang berpikir, "Jika tidak ada beta, lalu bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan insight atau mengerti?"

Insight atau kebijaksanaan yang sesungguhnya berasal dari theta atau pikiran bawah sadar. Kedalamam meditasi ditentukan oleh kedalaman theta yang berhasil kita capai. Theta adalah tempat terjadinya koneksi spiritual paling dalam. Saat seseorang berada dalam deep theta, maka ia akan merasakan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan yang luar biasa.

Pikiran bawah sadar mempunyai proses berpikir sendiri yang terpisah dari pikiran sadar. Jadi, saat kita bermeditasi Vipassana, saat pikiran sadar yang tidak terlalu aktif, maka informasi atau insight yang berasal dari pikiran bawah sadar akan naik melalui jembatan alfa ke pikiran sadar beta, dan kita menyadari atau tahu dan ingat informasi ini.

Jadi, yang dilakukan oleh meditator yang bertahun-tahun melakukan meditasi Samatha, sebenarnya adalah persiapan untuk awakening atau pencerahan. Para meditator ini biasanya setelah bertahun-tahun berlatih meditasi, berhasil mengembangkan pola gelombang otak Awakened Mind.

Namun meditasi Samatha walaupun telah lama dilakukan, walaupun telah berhasil mencapai pola Awakened Mind, tidak mampu memfasilitasi pencapaian pencerahan.

Mengapa? Karena meditasi Samatha sebenarnya adalah cara untuk mencapai kondisi kesadaran, state of consciousness yang spesifik. Kondisi kesadaran ini selanjutnya perlu ditindaklanjuti dengan melatih meditasi Vipassana, karena Vipassana sebenarnya adalah content-based meditation atau meditasi berdasarkan isi.

Yang dimaksud dengan isi, selain sensasi fisik yang dirasakan, juga adalah konten dari pikiran bawah sadar dalam bentuk-bentuk pikiran dan emosi yang muncul, dirasakan, atau dialami pada saat meditasi berlangsung, pada momen here and now.

Contoh yang paling populer adalah koan dalam meditasi Zen. Saat seorang master Zen bertanya pada muridnya, "Bagaimana bunyinya bila tepuk tangan dilakukan hanya dengan satu tangan?", maka pada saat itu sang master memberikan pertanyaan yang tidak bisa dijawab bila si murid hanya menggunakan pikiran sadar atau beta.

Saat berpikir keras untuk menemukan jawabannya, maka pikiran murid yang terlatih akan begitu fokus, dan ini sebenarnya adalah meditasi Samatha, akan mendapatkan pemahaman atau pengetahuan, yang berasal dari pikiran bawah sadarnya, yang mampu memfasilitasi tercapainya pencerahan.

Ini bukan meditasi dengan "pikiran kosong". Sebaliknya, ini adalah meditasi dengan konten yang sangat spesifik, yang dilakukan oleh praktisi dengan kondisi pikiran yang telah disiapkan dengan sangat baik dan hati-hati sekali, dengan menggunakan teknik yang spesifik.

Sampai sejauh ini, jika anda bermeditasi, teknik mana yang akan anda gunakan? Samatha atau Vipassana? Semua dikembalikan pada diri anda sendiri. Saat bermeditasi kenalilah diri anda sendiri. Anda akan tahu apakah anda akan langsung ke Vipassana ataukah perlu melatih Samatha terlebih dahulu.

Dan yang paling penting adalah; anda perlu belajar di bawah bimbingan seorang guru meditasi yang berpengalaman. Hanya duduk dan memperhatikan napas, memperhatikan pikiran, belum tentu bisa disebut meditasi. Meditasi seperti yang didefinisikan oleh Anna Wise adalah kondisi kesadaran spesifik, bukan sekedar teknik.

Jika anda telah melakukan meditasi sekian lama namun belum bisa masuk atau belum bisa mengalami kondisi kesadaran, state of consciousness yang spesifik itu, maka dapat dikatakan meditasi anda belum berhasil.

Anna Wise pernah membantu seorang kliennya, seorang meditator. Keluhan klien ini adalah walaupun ia telah meditasi Samatha selama 12 tahun non stop, setiap hari 1 jam, ia masih belum bisa masuk ke kondisi meditatif yang dalam.

Saat dilihat pola gelombang otaknya, dengan menggunakan Mind Mirror, tampak bahwa selama 12 tahun meditasi klien ini tidak bisa mendiamkan pikirannya. Hal ini tampak dari high beta yang sangat aktif saat ia melakukan meditasi.

Dengan teknik yang spesifik, Anna Wise berhasil membantu klien ini mendiamkan pikirannya sehingga menjadi tenang dan hening dalam waktu yang relatif singkat. Sungguh sayang bila ketekunan selama 12 tahun ini ternyata tidak berbuah hasil seperti yang diinginkan. Selamat bermeditasi.

Antara Atheis dan yang Beragama tapi Lucu

Suatu hari di Pengadilan Akhirat, menghadap dua orang yang meninggal dunia, yang satu tidak kenal Tuhan atau Atheis, dan yang satu lagi Fanatik Agama Lugu pula.

Tuhan pun memutuskan untuk memasukkan si Atheis ke Sorga, dan si Fanatik ke Neraka.

Si Fanatik protes keras, kenapa aku ke Neraka?

Tuhan menjawab dengan tenang. Anak-anaku, Loe itu introspeksi diri lah.

Saat mendapatkan kesulitan dalam hidup Loe bilangnya Gue beri cobaan, memang Gue suka iseng? terus sebut-sebut nama Gue dan puji-puji Gue, memang Gue sifatnya seperti manusia yang senang dipuji?

Ngerepotin Gue melulu, sakit bukannya minum obat eehhh... malah nyuruh Gue sembuhin Loe.

Loe yang utang, suruh Gue yang lunasin.

Loe holiday, Gue disuruh jadi satpam jagain rumah Loe.

Anak Loe digebukin orang karna narkoba, Loe suruh Gue berikan pertolongan, emang Gue Hakim?

Baru ngasih sedekah Cemban aja, Gue disuruh balikin Cepek Tiau emang Gue direktur Bank Dunia? 

Loe yang enak-enak bikin anak, Gue lagi yang disuruh pelihara dan jagain, dan Loe bilang Gue yang Beri.

Kemarin Loe sekarat gara-gara darah tinggi, karena keenakan makan sate kambing dan makan durian, Loe bilang cobaan dari Gue.

Sekarang Loe mati, seluruh keluarga Loe bilang Gue yang manggil Loe, lantas berharap Gue terima Loe di Surga. Sekarang Loe ke sini mau apa?

Loe cuma mau rumah Gue kan? Enak aja! Loe liat tuh si Atheis! Kagak pernah ngerepotin Gue! Tiap hari kerja giat, kesulitan hidup dihadapin dan dijalanin dengan gunain akal budi yang udah Gue bekalin. Meski dulu dia belum tau Gue siapa, tapi sekarang dia pasrah gak nuntut apa-apa, menghadap Gue sebagai TUHAN-nya. Hatinya tulus tanpa pamrih.

Ya jelas Gue pilih dia daripada Loe yang beragama, tapi kagak ngerti maunya Gue apa!

Percuma Loe ngaku anak Gue, tapi kagak pernah jadi kayak Gue! Loe ama Gue kagak ada mirip2nya! Jadi sorry lah yauw! tempat Loe gak pantes di Surga, tapi di Neraka!

~ Loe Gue end ~

Pesan yang paling gampang yang tersirat dari perkataan Tuhan tadi adalah bahwa yang akan masuk surga, yaitu yang akan melanjutkan hidupnya di alam bahagia itu adalah orang-orang yang baik perilakunya, bukan apa agamanya atau apa ideologinya. Agama itu penunjuk jalan. Yang menjalani atau yang mengikuti petunjuk harus menggunakan akal sehatnya juga, supaya tidak salah jalan, atau yang terpenting adalah bijaksana dalam memahami petunjuk, yaitu memahami ayat-ayat yang tertulis, supaya sampai ke tujuan, tidak tersesat.

Petunjuk jalan itu banyak dan cem macem, tapi intinya sama, arahnya sama, yaitu bahagia dunia dan bahagia setelah meninggal dunia, makanya si pemakai petunjuk harus tahu arah yang ditunjukkan, tahu inti persoalan yang ada.

Rabu, 15 Desember 2021

Tidak Menista Agama

Kita patut bersyukur, seputaran tulisan ini dibuat rasanya tidak ada persoalan penistaan agama yang muncul di media. Berhubung persoalan penistaan agama itu masih mungkin muncul lagi, dan dalam upaya mengurangi penistaan agama maka video ini dibuat. Penistaan agama itu secara moral tidak dibenarkan. Meskipun demikian, kalau agama kita dinista, sebaiknya kita tidak marah. Akan tetapi kalau memungkinkan artinya dalam pelaksanaannya tidak memerlukan effort yang besar, kita bisa menegur secara baik-baik kepada yang dianggap menista agama tersebut. Bahwa apa yang dilakukannya itu salah. Menyebabkan ketidaknyamanan pihak lain. Soal ada pengaruhnya atau tidak itu bukan merupakan masalah.

Mengapa tidak marah? Karena dengan tidak marah, kita telah menunjukkan kebesaran jiwa kita, juga menjaga nama baik agama kita. Kita tidak kerdil. Kita faham benar bahwa agama tidak mengajarkan orang untuk menjadi kerdil, tapi untuk menjadi besar, berjiwa besar, supaya memiliki kualitas batin yang baik, kuat dan tahan banting. Apakah penistaan yang dibalas dengan kemarahan itu bisa menyelesaikan masalah? Tentu tidak. Tidak ada persoalan yang bisa diselesaikan dengan amarah. Marah kepada orang yang bersalah bahkan marah kepada bawahan yang bersalahpun ada tekniknya, bagaimana caranya agar bawahan bisa menerima kemarahan kita itu dengan baik, tidak menimbulkan perasaan tidak senang yang berlebihan, dendam dan sebagainya.

Agama itu bukan milik seseorang atau golongan, tapi milik semua orang yang mempercayainya, yang meyakininya, yang memeluk agama tersebut, milik para penganut agama tersebut. Jadi miliknya orang banyak, sehingga kalau kita marah berarti kemarahan kita itu mewakili banyak orang yang belum tentu semuanya setuju. Tapi kalau kita melakukan teguran secara baik-baik, dan kalau yang tidak setuju marah kepada kita dan marah kepada yang menista agama, itu bukan menjadi urusan kita kalau kita tidak bereaksi lebih lanjut. Kita sudah melakukan hal yang baik, yang sebaiknya kita lakukan.

Memeluk agama itu bukan seperti memiliki suatu benda yang tidak boleh disentuh, dikritisi, atau disalahkan. Silahkan saja mau diapakan, agama tidak akan berkurang atau berubah bentuk. Agama tetap utuh. Kalau tetap utuh mengapa pemiliknya mesti marah?? Apalagi lapor ke Polisi, hal itu tidak terlalu perlu. Nanti kalau sudah menjadi delik umum Polisi yang akan bertindak. Kita sabar saja, agama itu mendidik kesabaran. Pada saatnya nanti yang menista agama itu akan diam sendiri. Kalau diwaktu berikutnya ada yang menista agama lagi, terus kita diam, maka mereka nanti akan mengerti sendiri bahwa menista agama itu tidak ada manfaatnya, membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran saja. Demikianlah caranya menyelesaikan masalah, sebagaimana halnya kita semua tahu, bahwa api tidak bisa dipadamkan dengan api, melainkan dengan air misalnya.

Kesensitifan Agama

Kesensitifan agama timbul karena kemajemukan agama-agama yang ada dalam suatu negara. Pemeluknya memiliki kefanatikan yang berlebihan, tanpa dibarengi dengan kebijaksanaan yang cukup memadai. Meyakini bahwa agamanyalah yang paling benar dan sempurna tanpa kekurangan sedikitpun, dan agama lain sangatlah salah, kafir dan sesat. Tanpa berpikir seandainya dia ada di posisi pihak lain, yang dikarenakan takdir, kelahirannya telah menentukan demikian, yaitu lahir dikalangan orang-orang yang agamanya berbeda, yang juga meyakini bahwa agamanyalah yang paling benar dan sempurna.

“Kebijaksanaan” itu sangat diperlukan bagi para pemeluk agama yang hidup di negara dengan beragam agama. Bukan hanya "perlu" melainkan juga merupakan hasil dari gemblengan guru agamanya yang dapat menghasilkan murid-murid atau menghasilkan para pemeluk agama yang tahan banting, tidak mudah terprovokasi, dan tidak fanatik sempit, melainkan bijaksana, sabar, lapang dada, cerdas, bajik dan arif.

Yang kita anggap salah, kafir dan sesat itu janganlah dibenci, melainkan justru patut dikasihani,  karena dia atau mereka itu sudah tersesat. Tidak seperti orang yang tersesat di jalan bisa kita beritahu jalan yang benar. Sesat keyakinan itu tidak mudah, bahkan tidak bisa diberitahu. Kecuali jika atas kesadaran atau atas pengetahuan yang dia peroleh sendiri. Kita patut bersyukur, agama-agama yang ada di Indonesia ini semuanya mengajarkan kebaikan. Mengajarkan kebaikan itu tidak ada yang salah, hanya kebetulan saja berbeda. Yang bisa kita lakukan kepada yang kita anggap sesat hanyalah mengasihaninya saja, karena sudah tersesat. Bukan membenci, apalagi memusuhinya. Orang yang sudah jatuh janganlah kita timpakan tangga lagi. Kasian bukan? Biarlah kita masing-masing menanggung resiko masing-masing atas perilaku kita masing-masing terhadap hukum negara dan hukum “milik” Yang Maha Kuasa. Yang Maha Kuasa itu berkenan atas semua yang sudah terjadi, buktinya bisa terjadi bukan? Mengapa kita manusia justru tidak mau berdamai? Tugas kita sebagai manusia adalah menggalang kerukunan, bekerjasama, bahu-membahu mengatasi kesulitan hidup di dunia secara bersama-sama. Jangan diperberat lagi dengan urusan-urusan yang tidak jelas, yang debatable, yang spekulatif. Urusan akhirat menjadi urusan masing-masing pribadi. Binatang saja bisa kita sayangi apalagi sesama manusia, mengapa tidak bisa?

Jika ada yang menyinggung perasaan, apalagi jika tanpa sengaja, tanpa disadarinya, atau tanpa ada maksud-maksud tertentu yang lain, maka patutlah kita maafkan. Kita beritahu, atau kita tegur secara baik-baik dan sopan, supaya yang bersangkutan menyadari kesalahannya. Syukur-syukur dia mau meminta maaf. Mari kita lihat sebentar kebelakang kasus Ahok dulu, bahwa dengan hanya mengucapkan satu kalimat atau menyebutkan satu judul ayat saja, tanpa memasukkan peran elit-elit politik busuk, ternyata bisa mengobarkan kebencian, bisa mengobarkan sekian juta orang untuk membenci Ahok. Padahal lihatlah apa saja yang sudah dia perbuat untuk rakyat Jakarta, bukankah sudah banyak karya-karya membangun yang sudah dia perbuat untuk kemasalahatan masyarakat Jakarta, dan juga antara lain membantu orang-orang yang tidak mampu, yang tidak seagama dengan dia, yaitu memberangkatkan haji kepada mereka yang pengabdiannya dalam merawat tempat ibadah layak diacungi jempol. Kalau mau, kita juga bisa membandingkan dengan karya-karya pejabat penggantinya. Jangan terlalu kawatir, mudah saja menyelesaikan jika ada minoritas yang berbuat macam-macam. Yang penting Tentara Nasioal Indonesia tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Janganlah setitik tuba dapat dianggap merusak susu sebelanga. Marilah kita semua tidak mudah terprovokasi oleh orang-orang yang  punya kepentingan khusus. Hendaknya kita bisa lebih baik, lebih bijaksana demi untuk kebaikan kita semua. Bukan menjadi penyebab kemungkinan rusaknya apa-apa yang sudah kita bangun bersama-sama dengan perjuangan dan susah payah. Percayalah Yang Maha Kuasa "tidak menutup mata" jika kita berperilaku baik, kemudahan akan menyertai kita  sebagaimana bayangan yang selalu mengikuti kemana saja kita pergi melangkah. Jangan macam-macam, jangan menyusahkan orang lain. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. MERDEKA.!!!

Doa dan Hukum Karma

Pertama disampaikan kesan, bahwa pada umumnya para pemeluk agama itu cukuplah rajin beribadah, yang meliputi rajin menyembah dan rajin berdoa, namun tidak terlalu menitik beratkan kepada selalu berperilaku bijak dan sering berbuat baik. Semua itu tanpa disadarinya dianggap sudah cukup. Tanpa disadarinya mereka menganggap sudah cukup memadai sebagai seorang pemeluk agama yang baik jika ingin selamat di dunia dan selamat di akhirat, atau selamat dunia dan selamat adi dunia. Kalau kesan tadi dikatakan pada umumnya, berarti tidak semuanya seperti itu, banyak juga yang menitik beratkan tentang sangat pentingnya berperilaku bijak dan bajik.

Yang kedua disampaikan kesan bahwa lumayan banyak pula yang menyadari bahwa dalam menjalani hidup ini, demi keselamatan dunia dan keselamatan adi dunia, yang perlu disikapi dengan baik dan benar itu adalah berlakunya hukum sebab-akibat, hukum tabur-tuai atau hukum Karma yang bekerja terus-menerus secara otomatis.

Disini akan ditinjau kedua kodisi yang mengesankan tadi.

Pertama mari kita tinjau kondisi atau golongan yang pertama, khususnya yang beragama tetapi tidak terlalu menitik beratkan kepada perilaku bijak dan bajik atau perlunya sering berbuat baik. Tidak mungkin kan Tuhan akan selalu memenuhi keinginan hambanya yang rajin beribadah, menyembah dan berdoa, namun tidak terlalu menitik beratkan kepada perilaku bijak dan bajik? Jangankan kepada Tuhan, kepada orang tua atau kepada atasan pun harus tahu diri, harus dapat menyesuaikan antara harapan dan tindakan agar disayang oleh orang tua ataupun oleh atasan. Katakan Tuhan itu maha penyayang, tapi apakah itu berarti semua harapan atau permohonan yang  naik ke hadiratnya semuanya dapat dipenuhi? Kalau iya maka tidak ada orang yang susah, tidak ada orang yang menderita. Padahal kenyataanya di dunia ini ada susah ada senang, ada yang rajin ada yang malas, ada siang ada malam dan seterusnya. Dengan kenyataan seperti itu maka dapat dipahami bahwa tidak mungkin semua permohonan akan dikabulkan Tuhan. Selain itu meskipun dikatakan Tuhan itu maha kuasa, tetap saja Tuhan akan mengalami kesulitan jika tidak mempertimbangkan azas keadilan. Beliau akan malu kepada diri sendiri, terlebih kepada umat ciptaannya yang memiliki pikiran cerdas kalau tidak konsekuen, kalau tidak adil dan pilih kasih. Dikatakan Tuhan atau yang maha kuasa itu maha tahu, jadi kalau seseorang mempunyai harapan, tanpa diucapkan atau tanpa disampaikan kepada Tuhan pun Tuhan mengetahuinya. Sehingga dengan azas keadilan itu, kalau seseorang banyak berbuat baik maka harapan orang tersebut akan terwujud, tanpa harus rajin menyembah, rajin memohon ampun dan rajin memohon sesuatu. Oleh karena itu, diingatkan betapa pentingnya kesesuaian antara rajin beribadah dengan rajin berbuat baik.

Yang kedua sekarang, mari kita tinjau kondisi atau golongan yang kedua, yaitu mereka yang memahami Dhamma, yang paham bahwa dalam menjalani hidup ini, demi keselamatan dunia dan keselamatan adi dunia, yang perlu disikapi dengan baik dan benar itu utamanya adalah berlakunya hukum Karma. Para praktisi Dhamma, tahu persis apa yang harus dikerjakannya, meskipun yang dikerjakannya tidak selalu berjalan mulus sesuai harapan, yaitu belum mampu mengerjakannya dengan baik karena saking susahnya, tapi mereka tetap berusaha dan berlatih. Mereka tidak menyembah kepada Yang Maha Kuasa seperti apapun Yang Maha Kuasa itu eksis. Mereka tahu persis kalau Yang Maha Kuasa itu tidak memerlukan persembahan, disembah dan dipuja. Namun yang perlu disikapi adalah kemaha kuasaannya itu, yang manifestasinya berupa hukum alam yang berlaku. Yang salah satunya adalah hukum Karma. Mengapa hukum karma? Karena segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi itu ada sebabnya. Bukan tanpa sebab. Didalam golongan ini, secara fisik perilaku menyembah itu tetap dilakukan. Namun didalam batin yang bersangkutan memahaminya sebagai berlindung kepada Tiratana atau berlindung kepada Tiga Mutiara. Yaitu berlindung kepada Guru Agung Sang Tathagata, yaitu sang pembawa dan pembabar Dhamma yang pertama kali, berlindung kepada Dhamma itu sendiri, dan berlindung kepada Sangha atau himpunan para rahib yang menjadi acuan, yang diangkat dan disepakati sebagai panutan, sebagai para penerus Guru Agung. Berlindung itu bukan berati kalau ada ancaman fisik atau acaman metafisik lalu lari menyelamatkan diri kepada Tiratana. Bukan seperti itu. Berlindung disini artinya adalah hidupnya mengambil teladan dari perilaku Guru Agung, mempraktekkan ajarannya-Dhamma secara benar, dan patuh kepada arahan serta tuntunan para Rahib Sangha. Dalam golongan ini, ibadah itu tetap ada. Tetap dilakukan. Dengan tujuan berlatih mengembangkan kerelaan, kemoralan dan konsentrasi atau perenungan. Berupa mendengarkan khotbah Dhamma, pembacaan Paritta, Meditasi dan mungkin juga ada doanya. Semua itu dilakukan dalam upaya menghilangkan kilesa atau meghilangkan kotoran batin.

Pembacaan atau pengucapan Paritta itu secara sepintas sama dengan berdoa. Yang berbeda adalah arti ucapan dan maknanya. Kalau doa, pada umumnya berupa permohonan untuk kebaikan atau kesejahteraan, untuk diri sendiri maupun pihak lain. Paritta adalah pengulangan ucapan khotbah Sang Guru Agung Tathagata yang berisikan uraian-uraian Dhamma, dan dihayatinya sebagai harapan yang baik, untuk kondisi yang lebih baik. Harapan itu berbeda dengan permohonan. Karena harapan itu diawali dengan kata semoga, yang adalah tidak meminta tapi berharap.

Seperti yang disinggung tadi, dalam Dhamma, doa itu juga ada dan dilakukan, namun berupa harapan, bukan permohonan. Salah satu contoh doa dalam Dhamma adalah sebagai berikut : Semoga dengan kekuatan jasa baik yang saya lakukan pada saat ini, hari ini dan juga di waktu yang lain membuahkan kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Semoga semua makhluk berbahagia. Semoga Tiratana memberkahi.

Selasa, 14 Desember 2021

Kisah Tentang Kura-kura Buta

Kehidupan ini penuh dengan penderitaan. Tanpa disadari, kita melakukan perbuatan buruk dan menciptakan karma buruk. Dari kehidupan ke kehidupan, karma buruk kita semakin berat. Orang pada zaman dahulu memegang teguh nilai moralitas, menghormati semua orang di keluarga, masyarakat, dan orang-orang yang lebih tua. Selain itu, mereka juga sangat rendah hati. Akan tetapi, anak muda zaman sekarang semakin tidak menghormati orang yang lebih tua.

Kini, populasi manusia semakin lama semakin banyak dan hubungan antar sesama di masyarakat juga semakin lama semakin rumit, sehingga karma buruk yang tercipta pun semakin hari semakin banyak dan semakin berat. Setiap teringat hal ini, saya sangat khawatir. Berhubung telah terlahir sebagai manusia dan berkesempatan untuk mendengar Dhamma, kita hendaknya tekun dan bersemangat untuk melatih diri. Janganlah kita berhenti di tengah jalan. Berhenti di tengah jalan itu lebih melelahkan untuk melangkah maju. Karena itu, kita harus bersungguh hati.

Di dalam Sutta ada sebuah kisah seperti ini. Ada sebidang papan yang tengahnya bolong dan terombang-ambing di tengah laut. Ada seekor kura-kura buta yang berenang di laut. Saat mengangkat kepala, kebetulan kepalanya masuk ke tengah lubang papan tersebut. Ini sungguh tidak mudah. Sama halnya dengan manusia. Untuk bertemu dengan ajaran kebenaran, sungguh hal yang sulit.

Ada seorang anak muda yang ingin mencoba memasukkan kepalanya di lubang papan. Dia lalu mencari sebidang papan dan melubangi bagian tengahnya agar dapat dimasuki kepala. Dengan membawa papan itu, dia pergi ke sebuah kolam yang sangat besar. Dia lalu melempar papan itu ke dalam kolam. Setelah itu, dia juga masuk ke dalam kolam. Semakin dia berusaha keras berenang, gelombang airnya semakin besar sehingga papan itu pun ikut bergerak. Lama-kelamaan, papan itu terbawa semakin jauh darinya. Dia merasa sangat lelah.

Setelah mencoba sepanjang hari, anak muda itu gagal terus. Dia berpikir di dalam hati, "Mata saya dapat melihat. Kolam ini juga tidak terlalu besar. Akan tetapi, setelah mencoba sepanjang hari, saya masih tidak dapat memasukkan kepala saya ke lubang papan itu. Tentu lebih sulit bagi kura-kura buta di tengah lautan itu hingga kepalanya dapat masuk ke lubang papan saat kepalanya terangkat. Sungguh, sangat sulit juga terlahir sebagai manusia dan bertemu dengan ajaran Dhamma. Karena itu, kita harus memanfaatkan waktu untuk melatih diri.

Demikianlah, anak muda itupun kemudian meninggalkan keduniawian. Setelah menjadi Rahib, meski telah meninggalkan keduniawian, dia kerap berbagi Dhamma di tengah masyarakat. Ini adalah salah satu kisah di dalam Sutta. Kini Guru Agung Tathagata sudah tidak ada di dunia, tetapi ajaran Beliau masih bersama kita.

Kita hendaknya memahami tentang Empat Kebenaran Mulia. Setiap hari ajaran Guru Agung Tathagata hendaknya menjadi pengingat bagi kita. Tak peduli betapa kayanya seseorang, kehidupannya tetap tak terlepas dari ketidakkekalan dan penderitaan. Dalam kehidupan masa sekarang ini, apakah Anda tidak merasa bahaya selalu mengintai? Semakin berkembangnya masyarakat, bahaya yang mengintai  pun semakin besar.

Para ilmuwan sangat khawatir karena suhu bumi kian hari kian meningkat, dan kondisi iklim pun semakin ekstrem. Populasi manusia yang semakin lama semakin bertambah menyebabkan bumi ini semakin padat. Manusia menciptakan berbagai polusi terhadap udara dan lingkungan, sehingga banyak terjadi bencana akibat ketidakselarasan unsur alam. Dilihat dari sisi Buddhisme, ini adalah hukum alam. Ini semua bersumber dari sebersit pikiran manusia. Ketamakan menyebabkan populasi manusia semakin bertambah.

Di sisi lain, banyak negara yang mengkhawatirkan masalah lansia di  masyarakat. Jumlah anak muda semakin sedikit karena mereka tidak ingin melahirkan bayi. Namun jika sebaliknya, apa yang akan terjadi jika angka kelahiran semakin meningkat? Inilah kontradiksi yang terjadi di masyarakat. Kini kontradiksi di masyarakat semakin lama semakin banyak. Ini terjadi akibat kebodohan dan ketidaktahuan.

Dalam hidup ini, setahun rasanya sangat lama. Namun, sadarilah, berapa tahun kita dapat hidup di dunia ini? Banyak hal di dalam hidup ini yang berjalan tak sesuai dengan harapan. Selain itu, ada banyak hal yang tak dapat kita prediksi. Sebelum sesuatu terjadi, kita tidak dapat memprediksinya terlebih dahulu. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidup kita, dan berapa lama usia kehidupan kita. Kita tidak tahu semuanya. Karena itu, kita harus tekun dan bersemangat menapaki jalan Dhamma. Memperbanyak perbuatan bajik, mengurangi perbuatan yang tidak baik dan senantiasa berupaya mensucikan hati dan pikiran dengan banyak belajar agar tidak menjadi orang yang dungu, fanatiknya sempit, hingga fanatik buta.

Kita harus menenangkan dan meneguhan hati kita di dalam Dhamma. Kita harus melakukan segala kebajikan dan memutuskan jalinan jodoh buruk. Setiap hari, kita harus berupaya melenyapkan noda batin, dan melepaskan diri dari kemelekatan dalam hubungan antar sesama. Kita harus berusaha untuk mencapai pembebasan. Bagaimana cara kita untuk  mencapai pembebasan batin? Kita dapat melakukannya dengan cara menjalin jodoh baik dengan orang baik dan bijaksana setiap hari. Dengan menjalin jodoh baik, maka kita akan bebas dari kerisauan. Dengan begitu, kita dapat melewati hari-hari setiap hari dengan hati yang tenang dan penuh sukacita. Inilah yang disebut pembebasan batin. Melenyapkan noda batin dan menambah jalinan jodoh baik merupakan cara kita untuk mempraktikkan ajaran Dhamma secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Tolong perhatikan pemahaman ini. Demikianlah kisah tentang kura-kura buta. Semoga bermanfaat.

Mengapa Meditasi Menempati Urutan Ketiga Dari Sepuluh Karma Baik?

Uraian berikut ini sekedar mengemukakan pendapat tentang meditasi Buddhis, mengapa meditasi menempati urutan ketiga dari sepuluh karma baik. Tentu ada alasannya. Tapi sebelum lanjut terlebih dahulu akan disinggung sedikit mengenai meditasi itu sendiri.

Meditasi itu adalah pemusatan pikiran terhadap obyek, adalah mengamati obyek, misalnya mengamati keluar masuknya nafas di ujung kedua lubang hidung tanpa berharap memperoleh sesuatu yang terlalu jauh, kecuali berupaya untuk mampu menjadi tenang dan pikiran yang terpusat tidak kemana-mana. Kalau pikiran terlepas dan memikirkan hal lain, maka harus segera dikembalikan lagi ke pengamatan keluar masuknya nafas. Dengan hanya memusatkan pikiran mengamati obyek meditasi tanpa berharap sesuatu yang besar diperoleh, maka secara otomatis meditasi itu melatih batin untuk menjadi tenang dan sabar.

Jika dirinci lagi yang lebih luas, maka meditasi itu adalah pembudayaan mental, yaitu pengembangan batin secara luas, yang bertujuan untuk membersihkan pikiran dari ketidakmurnian dan gangguan-gangguan, seperti nafsu keinginan, kebencian, niat buruk, kemalasan, kecemasan, kegelisahan, keragu-raguan, serta untuk mengembangkan kualitas-kualitas seperti konsentrasi, kesadaran yang kuat, kecerdasan, kekuatan kemauan, kemampuan analitis yang tajam, kesukacitaan, ketenangseimbangan serta pada puncaknya pencapaian kebijaksanaan tertinggi yang menembus hakikat sejati kenyataan, dan merealisaikan kesunyataan mutlak (Nibbana).

Dari uraian singkat tentang meditasi diatas jelas bahwa meditasi itu dilatih atau dipraktekkan dalam upaya pengembangan diri,  untuk kepentingan sendiri, bukan untuk orang lain. Namun dalam arti yang lebih luas sebenarnya nanti pada gilirannya akan bermanfaat pula buat orang lain, karena dengan seringnya berlatih meditasi maka kualitas batin akan meningkat, menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi lebih bajik dan bijaksana. Pribadi yang baik ini tentunya dapat memberikan aura atau pengaruh baik saat bersosialisasi dengan orang lain, misalnya dengan sahabat atau mungkin dengan bawahan. Bersosialisasi dengan orang baik dan bijaksana akan membuat hati menjadi tenang, sejuk dan merasakan kedamaian. Belum lagi kalau orang baik tersebut mampu melakukan dengan baik 9 karma baik yang lain.

Posisi urutan ketiga dari sepuluh karma baik dari meditasi tersebut kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. 

Urutan pertama adalah "Gemar beramal dan bermurah hati". Mengapa menempati urutan pertama? Karena perbuatan ini langsung dapat membantu orang lain, atau membantu organisasi, sehingga yang mendapat bantuan bebannya langsung menjadi ringan.

Urutan kedua adalah "Hidup bersusila". Mengapa menempati urutan kedua? Karena dengan hidup bersusila selain yang bersangkutan bisa menjadi contoh bagi orang lain, juga yang bersangkutan tidak mengganggu atau menyusahkan orang lain. Perilaku seperti ini baik sekali dan dibutuhkan oleh orang lain. Jika perilaku ini manfaatnya berada dibawah urutan pertama tadi, itu benar karena tidak langsung membantu pihak lain, sehingga pihak lain langsung memperoleh nilai tambah.

Melakukan meditasi, dalam hal ini menempati urutan ketiga, karena mediasi utamanya bermanfaat bagi diri sendiri terlebih dahulu sebelum pada gilirannya nanti akan bermanfaat pula buat orang lain.

Urutan keempat adalah "Selalu berendah hati dan hormat". Mengapa menempati urutan keempat? Karena meski hal tersebut baik untuk orang lain, tetapi jika tidak dilakukanpun tidak merugikan orang lain. Oleh karena itu rendah hati dan hormat ini manfaatnya ada dibawah manfaat bermeditasi.

Urutan kelima adalah "Berbakti". Mengapa menempati urutan kelima? Karena seseorang itu lebih menyukai jika orang lain itu rendah hati dan menghormati orang lain yang merupakan urutan keempat, dibandingkan orang lain yang berbakti kepadanya, misal baktinya para bawahan kepadanya, karena hal tersebut menimbulkan hutang budi. Kecuali jika yang berbakti itu adalah anak sendiri dan cucu-cucu misalnya, akan tetapi tetap saja yang bersangkutan lebih menyukai jika anak atau cucu ini rendah hati, hormat, tidak selalu mengusik melainkan tetap mengahargai orang tua dan kakek nenek mereka.

Urutan keenam adalah "Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain". Mengapa menempati urutan keenam? Karena meskipun kecenderungan tersebut adalah sikap yang baik, dan akan lebih baik lagi jika dipraktekan menjadi tindakan nyata yaitu berbagi. Namun sikap cenderung ini kualitasnya masih dibawah perilaku nyata seperti rendah hati dan hormat, yang merupakan urutan kelima.

Urutan ketujuh adalah "Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain". Mengapa menempati urutan ketujuh? Karena meskipun bersimpati itu adalah sikap yang baik, tetapi bukan merupakan suatu tindakan, misalnya tindakan berbagi yang didahului dengan memiliki kecenderungan untuk berbagi kebahagiaan yang merupakan urutan keenam.

Urutan kedelapan adalah "Sering mendengarkan Dhamma". Mengapa menempati urutan kedelapan? Karena mendengarkan Dhamma itu hanya bermanfaat untuk diri pribadi, belum tertuju kepada orang lain, seperti misalnya bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain yang merupakan urutan ketujuh. Sebagai tambahan, mendengarkan Dhamma itu serupa dengan berlatih meditasi. Dimana mendengarkan Dhamma adalah merupakan cikal bakal dari gemar berlatih meditasi.

Urutan kesembilan adalah "Gemar menyebarkan Dharma". Mengapa menempati urutan kesembilan?

Karena untuk mampu menyebarkan Dhamma itu harus menguasai pengetahuan Dhamma itu sendiri, yang didahului dengan sering mendengarkan Dhamma yang merupakan urutan kedelapan.

Urutan kesepuluh adalah "Meluruskan pandangan orang lain yang keliru". Mengapa menempati urutan kesepuluh? Karena meluruskan pandangan orang lain yang keliru itu memerlukan pemahaman yang cukup tentang Dhamma terlebih dahulu, sehingga mampu menyebarkan Dhamma yang merupakan urutan kesembilan.

Sampai disini dapat disimpulkan bahwa ternyata karma baik itu bukan saja perbuatan baik yang dilakukan terhadap pihak lain, tetapi juga perbuatan baik yang berguna bagi diri sendiri, contohnya adalah meditasi. Terlebih meditasi adalah satu-satunya jalan untuk merealisasi Nibbana.

Dari uraian diatas juga dapat sedikit menambah bukti bahwa ajaran Dhamma itu memang sempurna adanya, ucapan Tathagata selalu benar, sangat runtut dan rapi, pokoknya sempurna, sesempurna beliau yang telah merealisasi penerangan sempurna itu sendiri.

Sebagai tambahan, telepas dari tujuan utama dari meditasi yang adalah pengembangan batin seperti yang sudah disebutkan diatas tadi, maka meditasi juga mempunyai manfaat untuk kehidupan manusia di jaman modern ini. Kebisingan, stress dan ketegangan sebagai ciri dari era sekarang yang dapat menimbulkan banyak kerugian melalui berbagai macam penyakit, seperti penyakit jantung, penyakit lambung, ketegangan saraf dan susah tidur. Kebanyakan penyakit ini disebabkan oleh kecemasan, ketegangan syaraf, tekanan ekonomi dan kegelisahan emosi. Selain itu ritme hidup yang cepat, membuat energi manusia modern terperah habis, sehingga menimbulkan kelelahan fisik dan rohani, manusia menjadi mudah tersinggung, konsentrasi melemah, efisiensi menurun, dan perselisihan menjadi sering terjadi. Salah satu cara ampuh untuk mengatasi hal ini adalah dengan meditasi.

Senin, 13 Desember 2021

Agama, Sensitif atau Damai?

Bagaimana cara meyakini kebenaran agama kita masing-masing dengan baik diantara agama-agama lain yang berbeda-beda itu tanpa menimbulkan gesekan atau bentrokan antar umat beragama; melainkan justru bisa mewujudkan kerukunan berbangsa dan bernegara yang sejati dan tidak semu? Pertama-tama tentu kita harus sadar betul bahwa pemeluk agama lainpun seperti kita juga, mereka meyakini sepenuhnya kebenaran agama mereka. Jadi dalam hal ini tentu masing-masing kita harus bisa memaklumi keyakinan masing-masing, dan bisa menjaga hubungan baik antar sesama yang berbeda agama. Katakanlah Tuhan berkenan atas perbedaan-perbedaan tersebut. Buktinya perbedaan-perbedaan itu selalu ada. Tuhan itu maha kuasa, jadi jika Tuhan tidak berkenan atas perbedaan-perbedaan tersebut, maka tentunya hanya akan ada satu agama saja di dunia ini. Jika Tuhan saja berkenan dengan perbedaan-perbedaan, mengapa kita yang manusia justru risih atau tidak nyaman dengan adanya perbedaan tersebut? yang mana terbukti sering timbul gesekan antar umat beragama, menyalahkan agama lain, ketersinggungan, sensitif tidak pada tempatnya dan sebagainya.

Di dunia ini akan terasa nyaman, menjadi baik, benar dan berkah jika tercipta kerukunan antar sesama manusia. Mengamalkan ajaran agama yang baik itu adalah jika bisa menciptakan kerukunan tersebut, meskipun mungkin saja agak bertentangan atau tidak selaras dengan suatu ayat yang tertulis dalam kitab suci kita, tapi yakinlah jika di telaah lebih lanjut maka maksud yang terkandung dalam ayat tersebut jika dikaitkan dengan semua ayat-ayat yang ada pastilah ayat tersebut sebenarnya menuntun kita bagi kebaikan dan kerukunan umat manusia, tidak ada kan satu ayatpun yang mengajarkan permusuhan maupun kebencian? Kalau ada ayat yang seperti itu jangan kita telan mentah-mentah, tapi carilah makna sesungguhnya yang tersirat dalam ayat tersebut. Ajaran agama itu menunjukkan kepada kita jalan keselamatan di dunia dan di akhirat. Saat ini dimana kita sedang hidup di dunia; keselamatan dunia itu adalah jika tercipta kebaikan di dunia, tercipta kerukunan di dunia. Untuk masalah keselamatan di akhirat, pada umumnya orang mengatakan bahwa masing-masing kita belum pernah mengalami di akhirat itu seperti apa, maka agamalah yang menunjukkan jalan keselamatannya. 

Terkait dengan agama yang berbeda-beda itu, maka pemilihan jalan keselamatan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada kita masing-masing, jalan mana yang kita yakini menyelamatkan. Masalah keselamatan di akhirat itu menjadi urusan kita masing-masing, menjadi resiko kita masing-masing. Tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti jalan yang kita tempuh, kalau cuma memberitahu ya silahkan. Sebaiknya memberitahu melalui tulisan atau video, tidak ada paksaan harus membaca atau menonton video. Sekali lagi masing-masing kita ini katakan belum pernah mengalami berada di akhirat, sehingga dengan demikian persoalan keselamatan di akhirat itu, jalan yang akan kita tempuh kita pilih yang kita anggap terbaik, yang sesuai dengan penalaran kita. Cepat lambatnya sampai ke tujuan melalui jalan yang kita pilih menjadi resiko kita masing-masing.

Sebagai tambahan, jika kita berperilaku baik di dunia ini sebagai pengejawentahan, sebagai wujud nyata dari pengamalan ajaran agama kita, maka di akhirat nanti sebagai kelanjutan dari hidup kita di dunia ini, maka kita akan memperoleh keselamatan di akhirat sana, yang mana adalah sesuai dengan hukum Yang Maha Kuasa, berupa hukum tabur-tuai, hukum sebab-akibat atau hukum karma yang berlaku dan yang bekerja secara otomatis. Sekali lagi agama itu adalah penunjuk jalan keselamatan dunia akhirat, terserah masing-masing kita akan melalui, memilih atau menempuh jalan yang mana. Hal ini selaras dengan yang sudah disebutkan tadi bahwa Tuhan atau Yang Maha Kuasa itu "berkenan" atas adanya banyak agama, atas adanya banyak jalan keselamatan. Yang membedakan dari jalan-jalan yang ada tersebut hanyalah cepat lambatnya sampai ke tujuan. Kalau dalam hidup ini kita banyak berbuat kejahatan, ibaratnya kita menempuh jalan dengan cara merangkak, tidak sampai-sampai ke tujuan, dan tidak menutup kemungkinan mampir dulu ke rumah sakit, artinya mampir ke neraka dulu. Mengapa hanya mampir? Karena masuk neraka itu tidak selamanya. Meski mungkin sangat lama tapi ada akhirnya. Ada kesempatan untuk memperbaiki diri kalau semua sudah terbayar lunas. Sadis itu ada batasnya. Semua ada batasnya. Kalau demikian, apakah alam semesta ini ada batasnya? Pertanyaan spekulatif ini tidak perlu dibahas. Yang menganggap ada batasnya silahkan, dan yang menganggap tidak ada batasnya silahkan juga. Kedua-duanya tidak terkait dengan upaya mewujudkan keselamatan dunia akhirat.


Selasa, 16 November 2021

Pikiran Sehat Hidup Selamat Dunia Akhirat

Mengapa kita hendaknya berpikiran sehat? Pertama karena kita memiliki pikiran itu sendiri, kedua sebagaimana badan jasmani pikiranpun hendaknya dijaga kesehatannya. Apa keuntungan memiliki cara berpikir yang sehat? Keuntungannya adalah memperkecil kemungkinan kita mengalami celaka. Bisa terhindar dari salah bicara, dan jauh dari kemungkinan celaka-celaka yang lain, dan kita bisa menjadi bijaksana dan arif. Kalau dibidang agama kita akan terhindar dari mabuk agama, terhindar dari mengamalkan ajaran agama secara salah atau keblinger, menjadi intoleran dan radikal negatif yang tidak menutup kemungkinan bisa berlanjut menjadi teroris.

Lalu bagaimana caranya untuk bisa memiliki pikiran yang sehat? Caranya adalah membiasakan berpikir secara kritis, senantiasa berlatih berpikir yang jernih, melihat atau menganalisa sesuatu jangan menggunakan kacamata berwarna, atau menggunakan pikiran yang berwarna juga, artinya pikiran yang tidak bersih. Buang jauh-jauh terlebih dahulu yang selama ini dirasa benar, cobalah sekarang kita menggunakan logika yang benar, berpikir kritis. Untuk memahami atau menganalisa sesuatu gunakanlah akal yang jernih dan kritis, jangan mudah percaya begitu saja tanpa dinalar dengan baik terlebih dahulu, tanpa berpikir seribu kali, tanpa pertimbangan yang dalam dan matang.

Hal-hal apakah yang bisa kita peroleh jika kita selalu menggunakan akal sehat? Sebagaimana badan yang sehat yang tidak membuat kita menderita dan merepotkan, maka pikiran sehat akan menghasilkan hal-hal yang baik, akan menghasilkan karya-karya yang baik, terhindar dari hal-hal yang menyakitkan, terhindar dari hal-hal yang menyusahkan.

Contoh-contoh nyata yang bisa kita peroleh jika kita selalu menggunakan akal sehat adalah : 

Yang pertama kita akan bisa berbicara dengan baik, dengan benar, tidak bohong, tidak ketus, tidak kasar, tidak memaki, tidak marah, tidak menghujat, tidak memfitnah, tidak memprovokasi, tidak menyakiti hati pihak lain, sopan santun, bertata-krama dan lain-lain sebagainya yang merupakan perbuatan-perbuatan buruk. 

Yang kedua kita akan bisa berperilaku baik, tidak serakah, tidak menipu, tidak mencopet, tidak mencuri, tidak merampok, tidak mau disuap, tidak korupsi, tidak berzina, tidak mabuk-mabukan dan lain-lain sebagainya yang merupakan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan kita bisa membantu atau menolong orang lain yang sedang membutuhkan bantuan, baik itu bantuan berupa tenaga, pikiran maupun berupa materi. Kita tidak pelit tetapi tergerak untuk berdana sesuai dengan kemampuan yang ada.

Jika kita selalu menggunakan akal sehat sehingga kita bisa berkata-kata dan berbuat segala macam secara baik dan benar, maka kita tidak akan dibenci oleh orang lain, dan tidak akan terjerat oleh hukum, sehingga hidup kita di dunia ini menjadi aman dan selamat. Apakah hidup kita yang selamat di dunia ini akan menjadikan juga kita akan selamat di akhirat? Jawabnya iya, atau paling tidak kita akan menjadi lebih baik dibanding jika kita ketika hidup di dunia selalu dibenci oleh orang lain, dan sering berurusan dengan hukum, yang mengakibatkan sering dihukum atau dipenjara karena perbuatan-perbuatan buruk yang kita lakukan. Bagaimana kalau kita rajin berdoa, rajin menyembah dan rajin memohon ampun, apakah tidak berpengaruh, artinya di akhirat kita tetap tidak selamat dan akan tetap mengalami penderitaan? Berdoa yang baik itu bukan untuk diri sendiri tetapi harapan-harapan yang baik untuk pihak lain, dan memohon ampun sehingga tidak akan mengulangi perbuatan buruk yang pernah dilakukan, atau setidaknya bisa mengurangi perbuatan-perbuatan buruk berikutnya hanya bisa sedikit mengurangi penderitaan di akhirat, yaitu penderitaan di alam kehidupan berikutnya setelah kita meninggal dunia. Mengapa demikian? Karena jika penderitaan di Akhirat bisa dieliminir hanya dengan cara berdoa, memohon ampun dan menyembah, maka tidak akan ada orang yang menderita di Akhirat atau menderita di kehidupan berikutnya setelah meninggal dunia. Contoh yang paling sederhana dan paling singkat dari doa atau harapan yang baik itu misalnya adalah dengan mengucapkan secara ikhlas, secara tulus dan penuh penghayatan kata-kata sebagai berikut : Semoga semua makhluk berbahagia. Doa yang baik itu adalah perbuatan baik.

Yang Maha Kuasa itu berlaku adil, ada sebab ada akibat, jika menginginkan akibat yang baik maka perbuatlah sebab-sebab yang baik. Cara membujuk Yang Maha Kuasa satu-satunya jalan adalah dengan cara berbuat baik. Berbuat baik adalah doa yang sebenarnya, adalah doa yang baik dan manjur. Kalau berdoa, berdoalah yang baik, tepatnya ucapkanlah harapan-harapan yang baik buat pihak lain, bukan buat diri sendiri. Hal ini sama saja dengan memberi bukan meminta, karena memberi itu akan mengakibatkan kita menerima. Menanam benih buah mangga yang manis di ladang yang subur dan merawatnya dengan baik akan menghasilkan buah mangga yang manis dan yang lebat. Lakukanlah selalu sesuai dengan perumpamaan tersebut. 

Ritual-ritual keagamaan yang dilakukan itu sesungguhnya adalah untuk mendidik atau melatih batin dan pikiran untuk mampu berkembang menjadi lebih baik dan lebih baik lagi sehingga dapat menghasilkan perbuatan baik dan perbuatan yang lebih baik lagi. Peluklah agama yang cocok dihati, jalankan dan amalkanlah agama itu dengan mengedepankan akal sehat supaya amalannya benar, supaya selamat dunia akhirat atau selamat dunia dan selamat adi dunia.

Dikatakan, bahwa kalau kita berpikiran sehat, maka akan terhindar dari celaka, terhindar dari hal-hal yang merepotkan diri kita sendiri di dunia ini maupun nanti di kehidupan berikutnya setelah kita meninggal dunia. Hal tersebut bisa terjadi gara-gara tidak berpikiran sehat yang dapat menyebabkan salah bicara, telah memfitnah, telah berbohong, serakah, membenci, membunuh, mencuri, berzina, dan mabuk-mabukan. Jika hal-hal buruk tersebut sering kita lakukan, atau pernah membunuh karena kebencian, maka di kehidupan berikutnya kita akan terlahir di alam penderitaan. Akan tetapi jika kita memiliki pikiran yang sehat sehingga mampu melakukan hal-hal yang sebaliknya, yaitu dapat menjaga Sila, sering berdana dan bermeditasi, maka di kehidupan berikutnya kita akan terlahir di alam bahagia.  

Alam penderitaan dan alam kebahagiaan yang mana yang mungkin akan kita masuki setelah kita meninggal dunia tergantung dari besar dan kecilnya perbuatan-perbuatan buruk maupun perbuatan-perbuatan baik yang pernah atau sering kita lakukan semasa hidup di dunia ini. Ada 4 alam kemerosotan atau 4 alam penderitaan, 1 alam manusia, 6 alam dewa, 16 alam brahma yang masih berbentuk dan 4 alam brahma tanpa bentuk.

Kalau kita pernah melakukan akkusala garuka kamma atau kamma buruk yang berat, yaitu membunuh ibu, membunuh ayah, membunuh seorang Arahat, melukai seorang Buddha, atau memecah-belah Sangha, maka setelah meninggal dunia akan terlahir secara spontan di Neraka Avici, yaitu neraka yang paling rendah, neraka yang paling mengerikan. Neraka merupakan salah satu dari 4 alam kemerosotan. Ada 16 tingkat alam neraka. 





Minggu, 10 Oktober 2021

Yang Kekal & Yang Mutlak Itu Ada

Tersebutlah bahwa Guru Agung Tathagata Sakyamuni berkata dan tertulis 
dalam Kitab Suci sebagai berikut : "Ketika bumi ini mulai berevolusi dalam pembentukan, alam Brahma masih kosong. Ada mahluk dari alam dewa Abhassara yang ‘masa hidupnya’ atau ‘pahala karma baiknya’ untuk hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma. Di sini ia hidup ditunjang oleh kekuatan pikirannya yang diliputi kegiuran, tubuhnya bercahaya dan melayang-layang di angkasa, hidupnya diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali. Karena terlalu lama dan hidup sendirian, maka dalam dirinya muncul rasa ketidakpuasan, juga muncul suatu keinginan, ‘Oh semoga ada mahluk lain yang datang dan hidup bersama saya di sini'. Dan pada saat itu ada mahluk lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala karma baiknya telah habis, mereka meninggal dari alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya dan dalam banyak hal sama dengan dia. Berdasarkan itu, maka mahluk pertama yang terlahir di alam Brahma berpendapat : “Saya Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Semua mahluk ini adalah ciptaanku. Mengapa demikian? Karena baru saja terpikir, semoga mereka datang, dan berdasarkan pada keinginanku itu maka mahluk-mahluk ini muncul. Sementara mahluk-mahluk itupun berpikir, dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Kita semua adalah ciptaannya. Mengapa? Sebab, kita muncul sesudahnya. Dalam hal ini mahluk pertama yang berada disitu memiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada mahluk-mahluk yang datang sesudahnya. Selanjutnya ada beberapa mahluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi. Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah-tangga dan menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka berkata : Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang ada dan yang akan ada. Dialah yang menciptakan kami, ia tetap kekal, keadaannya tidak berubah, ia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang kesini adalah tidak kekal, berubah dan memiliki usia yang terbatas.

Dengan perkataan Guru Agung diatas, diketahui bahwa Guru Agung menolak pemahaman orang bahwa Maha Brahma adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta. Pemahaman Maha Brahma sebagai Yang Maha Kuasa dan Pencipta ini adalah salah satu dari 62 pandangan salah yang diuraikan dalam Kitab Suci yang terdapat pada Brahmajala Sutta.

Penjelasan tentang Maha Brahma yang menganggap dirinya Maha Kuasa dan Pencipta, adalah karena hidup di alam surga utamanya di alam dewa Maha Brahma itu sangat lama sekali, maka banyak mahluk di alam tersebut yang salah mengerti dan berpendapat bahwa mereka itu kekal, padahal kehidupan di alam tersebut tidak kekal. Maha Brahma yang disebutkan dalam Brahmajala Sutta tersebut adalah mahluk yang belum mencapai tingkat kesucian, dan pada suatu waktu kelak bila karma baiknya telah habis, maka mereka itu akan meninggal dan terlahir kembali di alam yang lebih rendah, yaitu alam para dewa atau terlahir sebagai manusia sebelum akhirnya berhasil merealisasi Nibbana.

Guru Agung juga berkata dan tertulis dalam Kitab Suci, yang dalam hal ini  merupakan hal yang paling penting untuk dipahami apa yang dimaksud. Kata Guru Agung tersebut adalah sebagai berikut :

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Pemahaman dari perkataan Guru Agung tersebut adalah demikian, bahwa sesuatu yang disebut oleh Guru Agung tadi adalah sesuatu yang tanpa aku atau tanpa diri atau dalam bahasa Pali disebut Anatta. Yaitu sesuatu yang tidak dapat dipersonifikasikan. Sesuatu yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Dan bahwa dengan adanya sesuatu Yang Mutlak, yang tidak berkondisi atau Asamkhata, maka manusia yang berkondisi atau Samkhata dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan atau lingkaran Samsara, yaitu merealisasi Nibbana dengan cara bermeditasi. Nibbana itu oleh orang Jawa disebut atau dipahamni sebagai Sangkan Paraning Dumadi. Yang artinya kira-kira adalah : Tujuan akhir dari semua makhluk hidup.

Kesimpulan dari video ini adalah telah menyampaikan 3 hal, yaitu :

1. Tentang Tuhan Yang Maha Kuasa Sang Pencipta.

2. Pemahaman yang keliru tentang Maha Brahma adalah Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta.

3. Adanya sesuatu yang mutlak, yang kekal tak berkondisi, sehingga manusia dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan, yaitu merealisasi Nibbana dengan cara bermeditasi.

Selasa, 05 Oktober 2021

Awal Samsara Tidak Bisa Ditemukan

Sebelum lanjut perlu di review kembali disini bahwa, Samsara adalah keadaan menderita yang dialami oleh semua makhluk dalam menjalani rentetan kehidupannya di berbagai alam kehidupan ketika lahir, mati, lahir dan mati kembali secara terus-menerus di berbagai alam kehidupan. Penderitaan itu sendiri bisa dirasakan karena segala sesuatu itu selalu berubah, kebahagiaan akan berubah menjadi penderitaan dan sebaliknya.  

Berikut adalah kutipan penjelasan Guru Agung Tathagata di Savatthi mengenai bumi dan kehidupan kita, sebagai berikut : 

Para Bhikkhu, Samsara ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh mahluk-mahluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh delusi dan terbelenggu oleh keinginan. Air mata yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan, ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya (SN 15.3)

Samsara atau lingkaran kelahiran dan kematian adalah tanpa awal yang dapat ditemukan, dengan kata lain kehidupan ini sudah berlangsung sangat lama sekali. Tiap-tiap dari kita sudah hidup di alam semesta ini untuk jangka waktu yang panjang sekali.

Tathagata menggunakan dimensi waktu yang disebut 'kappa' atau kalpa untuk menjelaskan satu rentang waktu yang sangat panjang, yang mungkin jika memakai standar angka sekarang ini setara dengan bermiliar atau bahkan bertriliun-triliun tahun.

Kehidupan kita kali ini bukan kehidupan yang pertama. Sudah banyak sekali kehidupan yang sudah kita jalani. Kita terus menerus berputar-putar lahir, meninggal dunia, lahir lagi, meninggal dunia lagi, lahir lagi, meninggal dunia lagi demikian seterusnya hingga hari ini. Selama belum bisa menyelesaikan pelajaran kita, yaitu menghancur-leburkan kilesa atau kotoran batin, maka kita masih akan terus terlahir lagi. Tidak hanya semata-mata terlahir lagi tetapi perbuatan atau karma karma kita bahkan akan memperpanjang kehidupan, menambah jumlah kelahiran dan kematian. Oleh karena itu, samsara ini bisa jadi tanpa akhir. Apabila kita tidak berjuang untuk menghancurkan kilesa, maka kehidupan dan penderitaan ini bisa jadi tanpa akhir!

Sebagai praktisi Dhamma, seharusnya kita memahami ciri penderitaan yang ada di dalam samsara. Dalam salah satu Sutta, Tathagata bertanya kepada muridNya, Apakah tubuh jasmani ini kekal atau tidak kekal? Kemudian para murid menjawab: Tidak kekal Bhante. Selanjutnya, apapun yang tidak kekal itu penderitaan atau kebahagiaan? Para murid menjawab: Penderitaan Bhante. Jadi, kita memahami penderitaan atau dukkha muncul karena segala sesuatu terus berubah, memiliki sifat muncul dan lenyap. Tathagata tidak menolak adanya kebahagiaan dalam kehidupan, tetapi kebahagiaan yang kita alami juga masuk dalam kategori dukkha, karena kebahagiaan tersebut cepat atau lambat akan lenyap, seiring dengan lenyapnya kebahagiaan maka penderitaan pun muncul.

Bila seseorang merasa bahagia saat ini dan menginginkan kebahagiaan ini tidak lepas dari dirinya, lalu apa yang akan dia lakukan? Dia akan mengeluarkan segala upaya untuk mempertahankan kebahagiaan tersebut. Saat melakukan upaya tersebut, penderitaan akan timbul sebagai efek dari batinnya yang selalu terganggu dan terguncang. Kalau kita merenungkan hal ini maka akan terlihat betapa didalam kehidupan ini terdapat banyak sekali penderitaan.

Berkali-kali kita mendengar ramalan tentang kiamat. Akan tetapi menurut Buddhisme atau menurut ajaran Dhamma, tidak ada kiamat dalam arti sebagai akhir dari segala kehidupan. Selama kita berlum tercerahkan maka kehidupan akan terus berputar. Kiamat menurut Buddhisme hanyalah kehancuran sementara dari alam semesta ini. Kehancuran tersebut adalah awal terbentuknya lagi alam semesta yang baru. Pada saat alam semesta tersebut siap untuk di tempati lagi, maka makhluk akan masuk dan hidup kembali di alam alam tersebut.

Kehancuran alam semesta menurut Buddhisme, baru akan terjadi kalau ajaran Dhamma dari Buddha Gotama lenyap, untuk jangka waktu yang lama tidak akan ada ajaran Dhamma hingga akhirnya muncullah ajaran Dhamma oleh Buddha Metteyya. Dan setelah jangka waktu yang lama juga, ajaran Dhamma oleh Buddha Metteyya juga lenyap. Setelah kelenyapannya maka terjadilah kehancuran alam semesta. Alam semesta berevolusi dan kemudian terbentuk lagi. Memang ajaran Dhamma harus lenyap. Kita harus berlapang dada dengan kenyataan bahwa agama Buddha harus lenyap suatu hari nanti. Pemahaman seperti ini sangat indah karena membuat kita tidak melekat lagi terhadap Ajaran Buddha yang berupa ajaran Dhamma itu, dan sebaliknya akan memanfaatkan waktu yang ada untuk berjuang merealisasi Empat Kebenaran Mulia yang diajarkanNya.

Kembali lagi, awal dari kehidupan kita ini sudah tidak bisa ditemukan lagi. Kenyataan ini hanya bisa terlihat oleh mereka yang bermeditasi. Sementara itu disepanjang kehidupan batin kita bergerak dengan cepat sekali. Di dalam teks dikatakan bahwa di dalam satu jentikan jari, batin kita muncul hancur, muncul hancur bermiliar miliar kali. Cepat sekali. Dan sekarang ilmuwan juga menemukan fakta bahwa tubuh kita dalam satu detik diproduksi dan juga hancur dalam kecepatan yang tinggi sekali, sepersekian miliar detik. Mereka sampai hari ini hanya bisa menemukan fakta yang bersifat mental atau non materi yang disebut sebagai batin. Hanya Buddha atau Guru Agung Tathagata yang bisa menemukannya dan kemudian mengajarkannya kepada para muridNya.

Bayangkan apabila di dalam satu jentikan jari saja bermiliar-miliar kesadaran muncul dan lenyap maka hal ini juga berarti ketika seseorang melakukan karma, di dalam satu detik saja, biji karma yang dia tanam di arus kesadaran juga sudah bermiliar miliar banyaknya. Oleh karena bisa tercipta dalam waktu yang sangat cepat seperti itu, sementara kehidupan kita ini sudah tanpa awal, maka inilah mengapa kombinasi karma yang telah diciptakan oleh setiap mahluk berbeda-beda. Dengan demikian sekarang makin mudah dipahami mengapa kita semua berbeda-beda.

Para Bhikkhu, Kata Tathagata, kata Buddha, Aku tidak melihat kelompok mahluk hidup lain yang begitu beragam seperti kelompok mahluk di alam binatang. Species binatang yang ada di dunia ini tidak terhitung jumlahnya. Akan tetapi 2.600 tahun yang lalu Tathagata mengatakan bahwa keragaman mahluk-mahluk di alam binatang tersebut dibuat oleh pikiran mereka sendiri. Dulu mungkin mereka adalah manusia juga dan saat ini menjadi binatang, besok menjadi manusia lagi karena memang kehidupan ini berputar-putar. Namun, pikiran bahkan jauh lebih beragam dari mahluk-mahluk di alam binatang. Mengapa? Karena pikiran tidak hanya bisa membentuk binatang binatang tadi tetapi pikiran juga bisa membentuk mahluk yang terlahir sebagai manusia, sebagai dewa, sebagai brahma dan sebagainya. Di karenakan oleh pikiran inilah maka masing-masing mahluk yang ada di alam semesta, di berbagai sistem tata dunia atau sistem cakkavala, di 31 alam kehidupan itu mempunyai kehidupan yang berbeda-beda. Jadi, yang membuat semua perbedaan ini, sekali lagi, adalah Karma.