“Kebijaksanaan”
itu sangat diperlukan bagi para pemeluk agama yang hidup di negara dengan beragam
agama. Bukan hanya "perlu" melainkan juga merupakan hasil dari
gemblengan guru agamanya yang dapat menghasilkan murid-murid atau menghasilkan para
pemeluk agama yang tahan banting, tidak mudah terprovokasi, dan tidak fanatik
sempit, melainkan bijaksana, sabar, lapang dada, cerdas, bajik dan arif.
Yang kita anggap
salah, kafir dan sesat itu janganlah dibenci, melainkan justru patut dikasihani,
karena dia atau mereka itu sudah
tersesat. Tidak seperti orang yang tersesat di jalan bisa kita beritahu jalan yang
benar. Sesat keyakinan itu tidak mudah, bahkan tidak bisa diberitahu. Kecuali
jika atas kesadaran atau atas pengetahuan yang dia peroleh sendiri. Kita patut
bersyukur, agama-agama yang ada di Indonesia ini semuanya mengajarkan kebaikan.
Mengajarkan kebaikan itu tidak ada yang salah, hanya kebetulan saja berbeda. Yang
bisa kita lakukan kepada yang kita anggap sesat hanyalah mengasihaninya saja,
karena sudah tersesat. Bukan membenci, apalagi memusuhinya. Orang yang sudah
jatuh janganlah kita timpakan tangga lagi. Kasian bukan? Biarlah kita masing-masing
menanggung resiko masing-masing atas perilaku kita masing-masing terhadap hukum
negara dan hukum “milik” Yang Maha Kuasa. Yang Maha Kuasa itu berkenan atas
semua yang sudah terjadi, buktinya bisa terjadi bukan?
Mengapa kita manusia justru tidak mau berdamai? Tugas kita sebagai
manusia adalah menggalang kerukunan, bekerjasama, bahu-membahu mengatasi kesulitan
hidup di dunia secara bersama-sama. Jangan diperberat lagi dengan urusan-urusan
yang tidak jelas, yang debatable, yang spekulatif. Urusan akhirat menjadi
urusan masing-masing pribadi. Binatang saja bisa kita sayangi apalagi sesama
manusia, mengapa tidak bisa?
Jika ada yang menyinggung
perasaan, apalagi jika tanpa sengaja, tanpa disadarinya, atau tanpa ada maksud-maksud
tertentu yang lain, maka patutlah kita maafkan. Kita beritahu, atau kita tegur
secara baik-baik dan sopan, supaya yang bersangkutan menyadari kesalahannya. Syukur-syukur
dia mau meminta maaf. Mari kita lihat sebentar kebelakang kasus Ahok dulu,
bahwa dengan hanya mengucapkan satu kalimat atau menyebutkan satu judul ayat
saja, tanpa memasukkan peran elit-elit politik busuk, ternyata bisa mengobarkan
kebencian, bisa mengobarkan sekian juta orang untuk membenci Ahok. Padahal lihatlah
apa saja yang sudah dia perbuat untuk rakyat Jakarta, bukankah sudah banyak
karya-karya membangun yang sudah dia perbuat untuk kemasalahatan masyarakat
Jakarta, dan juga antara lain membantu orang-orang yang tidak mampu, yang tidak
seagama dengan dia, yaitu memberangkatkan haji kepada mereka yang pengabdiannya
dalam merawat tempat ibadah layak diacungi jempol. Kalau mau, kita juga bisa
membandingkan dengan karya-karya pejabat penggantinya. Jangan terlalu kawatir,
mudah saja menyelesaikan jika ada minoritas yang berbuat macam-macam. Yang penting
Tentara Nasioal Indonesia tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Janganlah setitik tuba dapat dianggap merusak susu sebelanga. Marilah kita
semua tidak mudah terprovokasi oleh orang-orang yang punya kepentingan khusus. Hendaknya kita bisa
lebih baik, lebih bijaksana demi untuk kebaikan kita semua. Bukan menjadi
penyebab kemungkinan rusaknya apa-apa yang sudah kita bangun bersama-sama dengan
perjuangan dan susah payah. Percayalah Yang Maha Kuasa "tidak menutup
mata" jika kita berperilaku baik, kemudahan akan menyertai kita sebagaimana bayangan yang selalu mengikuti
kemana saja kita pergi melangkah. Jangan macam-macam, jangan menyusahkan orang
lain. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. MERDEKA.!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar