Yang
kedua disampaikan kesan bahwa lumayan banyak pula yang menyadari
bahwa dalam menjalani hidup ini, demi keselamatan dunia dan keselamatan adi
dunia, yang perlu disikapi dengan baik dan benar itu adalah berlakunya hukum
sebab-akibat, hukum tabur-tuai atau hukum Karma yang bekerja terus-menerus
secara otomatis.
Disini akan ditinjau kedua kodisi yang mengesankan tadi.
Pertama mari kita tinjau
kondisi atau golongan yang pertama, khususnya yang beragama tetapi tidak terlalu menitik
beratkan kepada perilaku bijak dan bajik atau perlunya sering berbuat baik.
Tidak mungkin kan Tuhan akan selalu memenuhi keinginan hambanya yang rajin
beribadah, menyembah dan berdoa, namun tidak terlalu menitik beratkan kepada
perilaku bijak dan bajik? Jangankan kepada Tuhan, kepada orang tua atau kepada
atasan pun harus tahu diri, harus dapat menyesuaikan antara harapan dan
tindakan agar disayang oleh orang tua ataupun oleh atasan. Katakan Tuhan itu
maha penyayang, tapi apakah itu berarti semua harapan atau permohonan yang naik ke hadiratnya semuanya dapat dipenuhi?
Kalau iya maka tidak ada orang yang susah, tidak ada orang yang menderita. Padahal kenyataanya di dunia ini ada susah ada senang, ada yang rajin ada yang
malas, ada siang ada malam dan seterusnya. Dengan kenyataan seperti itu maka
dapat dipahami bahwa tidak mungkin semua permohonan akan dikabulkan Tuhan.
Selain itu meskipun dikatakan Tuhan itu maha kuasa, tetap saja Tuhan akan
mengalami kesulitan jika tidak mempertimbangkan azas keadilan. Beliau akan malu
kepada diri sendiri, terlebih kepada umat ciptaannya yang memiliki pikiran
cerdas kalau tidak konsekuen, kalau tidak adil dan pilih kasih. Dikatakan Tuhan
atau yang maha kuasa itu maha tahu, jadi kalau seseorang mempunyai harapan,
tanpa diucapkan atau tanpa disampaikan kepada Tuhan pun Tuhan mengetahuinya. Sehingga dengan azas keadilan itu, kalau seseorang banyak berbuat baik maka
harapan orang tersebut akan terwujud, tanpa harus rajin menyembah, rajin
memohon ampun dan rajin memohon sesuatu. Oleh karena itu, diingatkan betapa pentingnya kesesuaian antara rajin beribadah dengan rajin
berbuat baik.
Yang kedua sekarang, mari kita tinjau kondisi atau golongan yang kedua, yaitu mereka yang memahami Dhamma, yang paham bahwa dalam menjalani hidup ini, demi keselamatan dunia dan keselamatan adi dunia, yang perlu disikapi dengan baik dan benar itu utamanya adalah berlakunya hukum Karma. Para praktisi Dhamma, tahu persis apa yang harus dikerjakannya, meskipun yang dikerjakannya tidak selalu berjalan mulus sesuai harapan, yaitu belum mampu mengerjakannya dengan baik karena saking susahnya, tapi mereka tetap berusaha dan berlatih. Mereka tidak menyembah kepada Yang Maha Kuasa seperti apapun Yang Maha Kuasa itu eksis. Mereka tahu persis kalau Yang Maha Kuasa itu tidak memerlukan persembahan, disembah dan dipuja. Namun yang perlu disikapi adalah kemaha kuasaannya itu, yang manifestasinya berupa hukum alam yang berlaku. Yang salah satunya adalah hukum Karma. Mengapa hukum karma? Karena segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi itu ada sebabnya. Bukan tanpa sebab. Didalam golongan ini, secara fisik perilaku menyembah itu tetap dilakukan. Namun didalam batin yang bersangkutan memahaminya sebagai berlindung kepada Tiratana atau berlindung kepada Tiga Mutiara. Yaitu berlindung kepada Guru Agung Sang Tathagata, yaitu sang pembawa dan pembabar Dhamma yang pertama kali, berlindung kepada Dhamma itu sendiri, dan berlindung kepada Sangha atau himpunan para rahib yang menjadi acuan, yang diangkat dan disepakati sebagai panutan, sebagai para penerus Guru Agung. Berlindung itu bukan berati kalau ada ancaman fisik atau acaman metafisik lalu lari menyelamatkan diri kepada Tiratana. Bukan seperti itu. Berlindung disini artinya adalah hidupnya mengambil teladan dari perilaku Guru Agung, mempraktekkan ajarannya-Dhamma secara benar, dan patuh kepada arahan serta tuntunan para Rahib Sangha. Dalam golongan ini, ibadah itu tetap ada. Tetap dilakukan. Dengan tujuan berlatih mengembangkan kerelaan, kemoralan dan konsentrasi atau perenungan. Berupa mendengarkan khotbah Dhamma, pembacaan Paritta, Meditasi dan mungkin juga ada doanya. Semua itu dilakukan dalam upaya menghilangkan kilesa atau meghilangkan kotoran batin.
Pembacaan
atau pengucapan Paritta itu secara sepintas sama dengan berdoa. Yang berbeda
adalah arti ucapan dan maknanya. Kalau doa, pada umumnya berupa permohonan
untuk kebaikan atau kesejahteraan, untuk diri sendiri maupun pihak lain.
Paritta adalah pengulangan ucapan khotbah Sang Guru Agung Tathagata yang
berisikan uraian-uraian Dhamma, dan dihayatinya sebagai harapan yang baik,
untuk kondisi yang lebih baik. Harapan itu berbeda dengan permohonan. Karena
harapan itu diawali dengan kata semoga, yang adalah tidak meminta tapi
berharap.
Seperti
yang disinggung tadi, dalam Dhamma, doa itu juga ada dan dilakukan, namun
berupa harapan, bukan permohonan. Salah satu contoh doa dalam Dhamma adalah
sebagai berikut : Semoga dengan kekuatan jasa baik yang saya lakukan pada saat
ini, hari ini dan juga di waktu yang lain membuahkan kemajuan, kesejahteraan dan
kebahagiaan. Semoga semua makhluk berbahagia. Semoga Tiratana memberkahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar