Bolehkah meninggalkan keluarga baru untuk menjadi Bhikkhu? Pertanyaan
ini lumayan singkat namun sulit untuk dijawab. Jawabannya tentu lumayan
panjang, dan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang harus disampaikan.
Pertanyaan tadi harus singkat karena merupakan judul sebuah tulisan. Nanti yang
lumayan panjang adalah jawabannya. Saya sebagai orang yang masih
awam akan mencoba mengurai permasalahan ini menurut pemikiran atau menurut
pendapat pribadi saya. jika sekiranya nanti paparan ini
dinilai salah - atau kurang tepat - silakan mengkoreksi nya - atau memberikan
saran dan komentar - agar pembaca tulisan ini memperoleh pencerahan yang lebih
banyak lagi. Jika anda bersedia
mengkoreksi atau memberikan saran dan komentar anda - sebelumnya saya
menyampaikan banyak terima kasih.
Keluarga baru disini tentunya bukan keluarga
yang baru saja dibentuk - atau baru saja menjalani pernikahan - tetapi
katakanlah keluarga yang sudah memiliki satu atau dua orang anak - kemudian
sang ayah pamit pergi - setelah sebelumnya tentu telah mendapat restu dari sang
istri - untuk pergi menjalani Jalan Dhamma - menjalani kehidupan sebagai
seorang Bhikkhu.
Jalan hidup yang hampir sama telah ditempuh oleh guru Agung
Buddha Gotama - tentu beda cerita - kalau Guru Agung melakukan itu karena pada
waktu itu ajaran Dhamma sudah tidak ada lagi di bumi ini - sudah ditinggal mati
oleh para pemeluknya - dan sudah tidak ada lagi pemeluk baru. Tentu kepunahan
dari ajaran Dhamma sampai guru Agung terlahir di dunia ini sekitar 2600 tahun
yang lalu itu - adalah waktu yang sangat lama sekali - hingga tanda-tanda
peninggalan bahwa pernah ada ajaran Dhamma di dunia ini sebelumnya pun sudah
tidak ada lagi tanda-tandanya - sudah hilang semua. Jadi dengan kondisi yang
seperti itu alampun menentukan atau tepatnya menyaksikan sudah tiba saatnya
terlahir di dunia ini seorang calon Buddha - yaitu Sang Bodhisatta - telah
lahir ke dunia ini untuk menjadi Buddha - telah lahir Siddharta Gotama di taman
lumbini - di kaki gunung Himalaya - India bagian Utara - pada tahun 623 sebelum
masehi - di bawah pohon Sala - yang tiba-tiba berbunga pada saat bukan musimnya
berbunga - tapi berbunga demi menyambut kedatangan seorang calon Buddha - yang
mana bayi Siddharta Gotama langsung bisa berjalan tujuh langkah ke arah utara -
dan tanah bekas yang diinjakinya tumbuh bunga teratai.
Tahun-tahun berikutnya
setelah Siddharta gotama menikah - dan memiliki seorang anak yang diberi nama
Raulla - singkat cerita setelah Siddharta Gotama melihat kejadian-kejadian yang
membuat beliau tidak bisa tenang - mengapa harus ada seorang yang sakit, yang
kondisinya tua, yang mati, dan melihat seorang petapa - maka dengan tekad untuk mencari jawab mengapa
semua itu bisa terjadi - dan bagaimana solusinya, maka diputuskanlah untuk
meninggalkan keluarga tercinta : istri dan anak - pergi mencari solusinya
dengan menempuh hidup sebagai Petapa.
Hal tersebut bisa terjadi - pertama
karena Sidharta adalah anak seorang raja - jika keluarga ditinggalkan tidak
akan sengsara karena kekayaan telah menjadi bagian dari keluarga besar. Hal
tersebut bisa terjadi karena hukum alam yang bekerja, karena ketentuan alam,
karena ajaran Dhamma sudah punah. Siddharta Gotama sudah waktunya untuk
menemukan kembali ajaran Dhamma yang telah punah - yang kemudian Sidharta
menjadi Buddha. Jalan Karma Sidharta lah yang membuat Sidharta Gotama pergi
meninggalkan keluarga untuk hidup sebagai Pertapa - atau sebagai seorang Rahib
untuk menemukan kembali ajaran Dhamma yang telah lama punah. Jadi kepergian
Sidharta ini untuk menjadi petapa menguntungkan - atau menjadi berkah buat
seluruh umat manusia - termasuk keluarganya sendiri - bukan merugikan dan
menyengsarakan keluarga - yang mana akhirnya memang anak – istri - dan ayahnya
Raja Suddhodana semuanya telah berhasil menjadi seorang Aranhanta - merealisasi
Nibbana - yaitu merealisasi suatu kebahagiaan yang sejati - yang menjadi tujuan
akhir dari semua kehidupan semua makhluk - adalah berkat ajaran Dhamma yang
telah ditemukan kembali oleh Buddha Gotama Sang Guru Agung manusia dan Dewa.
Sekarang kembali ke pokok persoalan - untuk sekarang ini dimana ajaran Dhamma
masih ada - masih dapat kita pelajari - maka meninggalkan keluarga untuk
menjadi seorang rahib itu memerlukan banyak pertimbangan - dan banyak
persyaratan. Persyaratan persyaratan tersebut kalau menurut saya adalah sebagai
berikut :
1. Apakah sudah dipertimbangkan masak-masak sehingga yang
bersangkutan akan mampu meninggalkan keluarga selamanya - dalam arti tidak
hidup bersama lagi - dan mampu menjalani hidup sebagai seorang Bhikkhu - dimana
harus mampu melepas kemelekatan - melepas rasa sedih dan rasa rindu kepada
keluarga.
2. Apakah istri secara ikhlas mengizinkan.
3. Apakah biaya hidup anak
istri bisa tercukupi - hingga istri meninggal dunia - dan hingga anak-anak
berhasil meraih pendidikan yang memadai - dan memperoleh pekerjaan yang layak -
misalnya dengan cara istri telah diberi warisan usaha yang baik, dan yang memadai,
atau istri telah memiliki suami baru - terlebih suami yang kaya.
Saya kira tiga
syarat itulah yang paling penting harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum
memutuskan meninggalkan keluarga untuk menjadi seorang Rahib. Soal anak-anak
yang tidak mengijinkan ayahnya menjadi seorang Rahib dan yang rindu ayah, itu
kan sifatnya hanya sementara, dengan berjalannya waktu mereka akan berhasil
mengatasinya demi bakti seorang anak kepada seorang ayah, dan buat seorang ayah
adalah demi mendidik anak-anak sejak dini untuk mampu melepas kemelekatan.
Lagian sewaktu-waktu anak-anak dan mantan istri masih boleh ketemu kan dengan
ayah dan mantan suami?
Yang harus menjadi perhatian buat seorang rahib itu
adalah tidak boleh larut dalam kebahagiaan dan kesedihan inderawi saat bertemu
dan berpisah dengan anak-anak dan mantan istri. Saya setuju dengan pendapat
bahwa tidak harus menjadi seorang rahib untuk bisa menapaki Jalan Dhamma - bisa
saja diambil jalan yang juga baik - yaitu Jalan Tengah - yaitu misalnya tidak
menjadi seorang Rahib tapi menjadi Romo - membangun wihara, mengurusi umat -
supaya tiga pihak yaitu yang bersangkutan, istri dan anak-anak tidak kecewa dan
tidak dikecewakan. Ini juga merupakan solusi - terutama jika masih ragu -
apakah warisan usaha yang akan diberikan kepada keluarga akan dapat berjalan
dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga dengan cukup - dan dapat
bertahan lama.
Demikianlah paparan singkat mengenai : Bolehkah Meninggalkan
Keluarga Baru Untuk Menjadi Bhikkhu? Semoga tulisan ini
bermanfaat, bila berkenan silahkan memberikan koreksi, saran dan komentar Anda. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar