Translate

Selasa, 11 Oktober 2022

BOLEHKAH MENINGGALKAN KELUARGA BARU UNTUK MENJADI BHIKKHU?

Bolehkah meninggalkan keluarga baru untuk menjadi Bhikkhu? Pertanyaan ini lumayan singkat namun sulit untuk dijawab. Jawabannya tentu lumayan panjang, dan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang harus disampaikan. Pertanyaan tadi harus singkat karena merupakan judul sebuah tulisan. Nanti yang lumayan panjang adalah jawabannya. Saya sebagai orang yang masih awam akan mencoba mengurai permasalahan ini menurut pemikiran atau menurut pendapat pribadi saya. jika sekiranya nanti paparan ini dinilai salah - atau kurang tepat - silakan mengkoreksi nya - atau memberikan saran dan komentar - agar pembaca tulisan ini memperoleh pencerahan yang lebih banyak lagi. Jika anda bersedia mengkoreksi atau memberikan saran dan komentar anda - sebelumnya saya menyampaikan banyak terima kasih. 
Keluarga baru disini tentunya bukan keluarga yang baru saja dibentuk - atau baru saja menjalani pernikahan - tetapi katakanlah keluarga yang sudah memiliki satu atau dua orang anak - kemudian sang ayah pamit pergi - setelah sebelumnya tentu telah mendapat restu dari sang istri - untuk pergi menjalani Jalan Dhamma - menjalani kehidupan sebagai seorang Bhikkhu. 
Jalan hidup yang hampir sama telah ditempuh oleh guru Agung Buddha Gotama - tentu beda cerita - kalau Guru Agung melakukan itu karena pada waktu itu ajaran Dhamma sudah tidak ada lagi di bumi ini - sudah ditinggal mati oleh para pemeluknya - dan sudah tidak ada lagi pemeluk baru. Tentu kepunahan dari ajaran Dhamma sampai guru Agung terlahir di dunia ini sekitar 2600 tahun yang lalu itu - adalah waktu yang sangat lama sekali - hingga tanda-tanda peninggalan bahwa pernah ada ajaran Dhamma di dunia ini sebelumnya pun sudah tidak ada lagi tanda-tandanya - sudah hilang semua. Jadi dengan kondisi yang seperti itu alampun menentukan atau tepatnya menyaksikan sudah tiba saatnya terlahir di dunia ini seorang calon Buddha - yaitu Sang Bodhisatta - telah lahir ke dunia ini untuk menjadi Buddha - telah lahir Siddharta Gotama di taman lumbini - di kaki gunung Himalaya - India bagian Utara - pada tahun 623 sebelum masehi - di bawah pohon Sala - yang tiba-tiba berbunga pada saat bukan musimnya berbunga - tapi berbunga demi menyambut kedatangan seorang calon Buddha - yang mana bayi Siddharta Gotama langsung bisa berjalan tujuh langkah ke arah utara - dan tanah bekas yang diinjakinya tumbuh bunga teratai. 
Tahun-tahun berikutnya setelah Siddharta gotama menikah - dan memiliki seorang anak yang diberi nama Raulla - singkat cerita setelah Siddharta Gotama melihat kejadian-kejadian yang membuat beliau tidak bisa tenang - mengapa harus ada seorang yang sakit, yang kondisinya tua, yang mati, dan melihat seorang petapa - maka dengan tekad untuk mencari jawab mengapa semua itu bisa terjadi - dan bagaimana solusinya, maka diputuskanlah untuk meninggalkan keluarga tercinta : istri dan anak - pergi mencari solusinya dengan menempuh hidup sebagai Petapa. 
Hal tersebut bisa terjadi - pertama karena Sidharta adalah anak seorang raja - jika keluarga ditinggalkan tidak akan sengsara karena kekayaan telah menjadi bagian dari keluarga besar. Hal tersebut bisa terjadi karena hukum alam yang bekerja, karena ketentuan alam, karena ajaran Dhamma sudah punah. Siddharta Gotama sudah waktunya untuk menemukan kembali ajaran Dhamma yang telah punah - yang kemudian Sidharta menjadi Buddha. Jalan Karma Sidharta lah yang membuat Sidharta Gotama pergi meninggalkan keluarga untuk hidup sebagai Pertapa - atau sebagai seorang Rahib untuk menemukan kembali ajaran Dhamma yang telah lama punah. Jadi kepergian Sidharta ini untuk menjadi petapa menguntungkan - atau menjadi berkah buat seluruh umat manusia - termasuk keluarganya sendiri - bukan merugikan dan menyengsarakan keluarga - yang mana akhirnya memang anak – istri - dan ayahnya Raja Suddhodana semuanya telah berhasil menjadi seorang Aranhanta - merealisasi Nibbana - yaitu merealisasi suatu kebahagiaan yang sejati - yang menjadi tujuan akhir dari semua kehidupan semua makhluk - adalah berkat ajaran Dhamma yang telah ditemukan kembali oleh Buddha Gotama Sang Guru Agung manusia dan Dewa. 
Sekarang kembali ke pokok persoalan - untuk sekarang ini dimana ajaran Dhamma masih ada - masih dapat kita pelajari - maka meninggalkan keluarga untuk menjadi seorang rahib itu memerlukan banyak pertimbangan - dan banyak persyaratan. Persyaratan persyaratan tersebut kalau menurut saya adalah sebagai berikut : 
1. Apakah sudah dipertimbangkan masak-masak sehingga yang bersangkutan akan mampu meninggalkan keluarga selamanya - dalam arti tidak hidup bersama lagi - dan mampu menjalani hidup sebagai seorang Bhikkhu - dimana harus mampu melepas kemelekatan - melepas rasa sedih dan rasa rindu kepada keluarga. 
2. Apakah istri secara ikhlas mengizinkan. 
3. Apakah biaya hidup anak istri bisa tercukupi - hingga istri meninggal dunia - dan hingga anak-anak berhasil meraih pendidikan yang memadai - dan memperoleh pekerjaan yang layak - misalnya dengan cara istri telah diberi warisan usaha yang baik, dan yang memadai, atau istri telah memiliki suami baru - terlebih suami yang kaya. 
Saya kira tiga syarat itulah yang paling penting harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memutuskan meninggalkan keluarga untuk menjadi seorang Rahib. Soal anak-anak yang tidak mengijinkan ayahnya menjadi seorang Rahib dan yang rindu ayah, itu kan sifatnya hanya sementara, dengan berjalannya waktu mereka akan berhasil mengatasinya demi bakti seorang anak kepada seorang ayah, dan buat seorang ayah adalah demi mendidik anak-anak sejak dini untuk mampu melepas kemelekatan. Lagian sewaktu-waktu anak-anak dan mantan istri masih boleh ketemu kan dengan ayah dan mantan suami? 
Yang harus menjadi perhatian buat seorang rahib itu adalah tidak boleh larut dalam kebahagiaan dan kesedihan inderawi saat bertemu dan berpisah dengan anak-anak dan mantan istri. Saya setuju dengan pendapat bahwa tidak harus menjadi seorang rahib untuk bisa menapaki Jalan Dhamma - bisa saja diambil jalan yang juga baik - yaitu Jalan Tengah - yaitu misalnya tidak menjadi seorang Rahib tapi menjadi Romo - membangun wihara, mengurusi umat - supaya tiga pihak yaitu yang bersangkutan, istri dan anak-anak tidak kecewa dan tidak dikecewakan. Ini juga merupakan solusi - terutama jika masih ragu - apakah warisan usaha yang akan diberikan kepada keluarga akan dapat berjalan dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga dengan cukup - dan dapat bertahan lama. 
Demikianlah paparan singkat mengenai : Bolehkah Meninggalkan Keluarga Baru Untuk Menjadi Bhikkhu? Semoga tulisan ini bermanfaat, bila berkenan silahkan memberikan koreksi, saran dan komentar Anda. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar