"Attā Have Jitaṁ Seyyo" ( Menaklukkan Diri Sendiri Adalah Yang Terbaik )
Makna Buddhasubhasita yang disebutkan diatas adalah pedoman untuk pembelajaran dan praktik lebih lanjut dari ajaran Sang Buddha.Menaklukkan diri sendiri itu adalah menaklukkan tendensi egosentris, menaklukkan pengotor batin, utamanya adalah : hawa nafsu (kāmacchanda), kemarahan (vyāpāda), kemalasan (thina), kegelisahan (uddhacca), keraguan (vicikicca), keakuan (ahaṅkāra) dan kebanggaan (māna) yang pada dasarnya disebabkan oleh kemelekatan.
"Diri" adalah pusat dari kecenderungan batin yang bisa menghalangi kemajuan spiritual. Diri ini perlu dikendalikan, agar “kemelekatan” dapat dilepas. Melepas kemelekatan dengan mengelola batin dengan baik - dapat mempercepat kemajuan spiritual yang dilakukan dalam upaya terealisasinya bebas dari penderitaan. Tanpa melepas kemelekatan tidak mungkin kedepan bisa merealisasi Nibbana / bebas dari penderitaan, karena Kilesa tidak mungkin tercabut secara total dari dalam diri. Oleh karena itu menaklukkan diri dengan melepas kemelekatan adalah yang terbaik sebagaimana disabdakan Buddhasasana subhasita dalam Upādāna Sutta pada Saṁyutta Nikāya 12.52 , tertulis sebagai berikut :
Upādānanirodhā bhavanirodho; bhavanirodhā jātinirodho
( Dengan lenyapnya kemelekatan, maka bhava / proses untuk lahir - lenyap;
dengan lenyapnya bhava maka kelahiranpun lenyap )
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sangat terikat pada kesenangan tubuh, yaitu
kemelekatan atau pegangan batin yang kuat terhadap sesuatu. Sang Buddha
mengajarkan bahwa selama kita masih melekat, bahkan sekecil apapun, itu artinya
kita sedang menyiram api kehidupan agar terus menyala. Karena kemelekatan
inilah, kita terus ingin menjadi sesuatu, ingin memiliki, ingin lahir lagi.
Dari
kemelekatan, muncullah bhava, yaitu dorongan untuk "menjadi", entah
menjadi seseorang yang kaya, yang cantik, dihormati, atau bahkan menjadi
makhluk di alam lain setelah kematian. "Bhava" bukan hanya
eksistensi jasmani, tapi juga kondisi batin penuh hasrat untuk menjadi dan
memiliki. Selama bhava ini masih hidup, benih untuk lahir kembali akan selalu
ada.
Dari bhava,
muncullah Jāti atau kelahiran. Bukan kelahiran fisik di dunia ini saja,
tapi juga kelahiran di salah satu dari alam Samsara.
Apa yang diajarkan Sang Buddha itu luar biasa. Beliau tidak menyuruh kita memberantas kelahiran langsung, tetapi mengajak kita melihat akar masalahnya. Menghapus Upādāna atau kemelekatan - maka bhava pun sirna. Bhava sirna, maka tak ada lagi jāti atau kelahiran kembali, tak ada lagi dukkha, tak ada lagi penderitaan. Inilah cara Buddha memadamkan penderitaan dari akarnya.
Kesimpulannya, kalimat “Upādānanirodhā bhavanirodho; bhavanirodhā jātinirodho” itu bukan sekedar teori, tetapi peta pembebasan, adalah cetak biru menuju Nibbāna. Selama kita masih memeluk apa yang tidak kekal, kita akan terus lahir, menderita, dan mati. Jadi, melepas kemelekatan itu yang dalam hal ini sebagai cetak biru menuju Nibbāna - adalah pokok persoalan penting yang harus dilakukan, sekaligus dapat dikatakan bahwa melepas kemelekatan itu adalah menaklukkan diri sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam Buddhasasana subhasita di awal, yaitu :
"Attā
Have Jitaṁ Seyyo"
Menaklukkan
Diri Sendiri Adalah Yang Terbaik
Demikian penjelasan dan uraian yang disampaikan, semoga semua makhluk berbahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar