Diṭṭhi adalah pandangan, opini, teori,
dogma atau kepercayaan. Tetapi di dalam Abhidhamma, faktor-mental diṭṭhi
merujuk pada pandangan-salah (micchādiṭṭhi), yaitu pandangan atau opini yang
keliru (vitathā diṭṭhi), tidak berdasar atau tidak sesuai dengan realitas.
Pandangan-salah membuat kesan dan
pendapat yang keliru terhadap objek, seperti halnya seseorang menganggap
fatamorgana sebagai genangan air. Pandangan-salah juga diibaratkan seperti
pesulap yang mampu mengelabui penonton dengan merubah tanah menjadi emas.
Demikianlah, pandangan-salah membuat
kita melekat pada pemahaman keliru tentang adanya diri atau roh yang solid dan
kekal, di mana sesungguhnya yang ada hanyalah proses batin-dan-materi yang
terus menerus berubah dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Pandangan-salah adalah juga pandangan
yang dihindari oleh orang-orang yang bijaksana karena membawa
ketidak-beruntungan. Ketidak-beruntungan yang dimaksud disini berupa
ketidak-mampuan makhluk yang masih mempunyai pandangan-salah untuk keluar dari
saṃsāra. Inilah mengapa Guru Agung Tathagata mengatakan bahwa tidak ada dhamma yang lebih
merusak daripada pandangan-salah.
Sedemikian hebatnya dampak yang ditimbulkan
oleh pandangan-salah, hingga mampu mendorong manusia untuk saling membunuh demi
mempertahankan kepercayaannya masing-masing. Lebih hebatnya lagi,
pandangan-salah meyakinkan dia bahwa dengan melakukan hal tersebut maka dia
akan terlahir di surga yang kekal dan abadi.
Seseorang yang melekati pandangan-salah
menjadi sangat fanatik terhadap dogma dan menutup diri terhadap
kemungkinan-kemungkinan yang lain. Menurut dia, dogma adalah ajaran yang
sempurna dan harus dijaga kemurniannya dengan resiko apa pun. Bahkan, nyawa pun
siap untuk dikorbankan demi mempertahankan ajaran-ajaran mereka. Buat dia, apa
pun yang terjadi di muka bumi harus sama persis dengan apa yang menjadi
keyakinannya. Apabila seluruh isi bumi belum sama dengan apa yang diyakini, maka
dia akan berjuang untuk membuat dan memanipulasi bumi dan isinya supaya bisa
sesuai dengan idealismenya. Buat dia hanya ini saja yang benar, yang lain
salah. Karena kefanatikannya, dia menjadi seorang yang fundamentalis, seseorang
yang ingin membuat bumi dan seluruh isinya sesuai dengan yang dia idam-idamkan.
Menurut keyakinannya, kebahagiaan baru
akan tercapai apabila bumi dan isinya bisa disusun sesuai dengan dogma yang dia
terima. Karena pengaruh delusi, dia tidak sadar bahwa kebahagiaan ada di dalam
hati. Dunia dan seisinya bukan merupakan penyebab munculnya kebahagiaan. Sikap
dan perilaku kita dalam menyikapi pengalaman kehidupan di dunia inilah yang
sesungguhnya menjadi sumber kebahagiaan.
Karena kebodohan, dia memakai dogma
sebagai “alat pukul” untuk menakut-nakuti dan menyakiti makhluk lain, yang
berbeda pandangan dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar