Translate

Rabu, 15 Oktober 2025

Baka Brahmā, makhluk yang mengaku Tuhan Pencipta

Ketika dunia mengalami kehancuran besar (sesuai Kosmologi Buddhis - pada akhir satu Kappa), makhluk-makhluk dari alam Apaya, alam Manusia dan sebagian alam Dewa punah. Punah disini artinya sesuai Karma masing-masing - ada yang terlahir di alam yang lebih tinggi termasuk alam Abhasara, dan ada yang terlahir kembali ketika alam kehidupan yang baru sudah terbentuk secara memadai, ini bukan berarti kehidupannya terputus ketika sedang menunggu waktu kelahiran kembalinya yang tepat pada kondisi yang tepat. Ketika dunia mengalami kehancuran (kiamat) tersebut, makhluk-makhluk di alam Rupabrahma dan Arupabrahma tetap eksis karena alamnya tidak  hancur.


Ketika dunia (dalam kosmologi Buddhis) terbentuk kembali, maka makhluk-makhluk dari alam Abhasara (alam Rupabrahma tingkat keenam) setelah kematian terlahir kembali di alam Mahābrahmā (alam Rupabrahma tingkat ketiga) dan di alam-alam yang lebih rendah lainnya termasuk alam manusia.

Baka Brahmā adalah makhluk pertama yang terlahir di alam Mahābrahmā yang masih kosong. Ia terlahir di alam Mahābrahmā tersebut setelah meninggal dari alam Abhasara - yang mana adalah alam kehidupan bagi makhluk peraih Jhana pertama.

Lahir di alam Mahābrahmā tersebut kemudian Baka Brahmā memiliki kesalahpahaman, ia menyatakan bahwa ia adalah pencipta segalanya. Sebabnya adalah karena saat itu di alam Mahābrahmā belum ada makhluk lain. Baka Brahma merasa : “Aku adalah yang pertama, aku adalah pencipta semua ini.” Baka Brahmā tidak menyadari kehidupan sebelumnya, dan tidak melihat asal-usul para makhluk lain, sehingga Baka Brahmā berpikir bahwa : “Akulah Tuhan, akulah Pencipta. Semua makhluk berasal dari kehendakku.

Sang Buddha menolak klaim Baka Brahmā. Dalam Brahmanimantanika Sutta (Majjhima Nikaya-49), Buddha mengunjungi Baka Brahmā dan menyatakan dengan tegas :

·       Bahwa alamnya (alam Mahābrahmā) itu tidak kekal.

·       Bahwa ia bukan pencipta, hanya makhluk yang lahir lebih dulu.

·       Bahwa ada alam yang lebih tinggi dan lebih rendah dari Alam Mahabrahma.

·       Bahwa klaim Baka Brahmā itu muncul dari delusi dan kesombongannya.

Demikianlah ceritanya tentang makhluk Baka Brahmā yang mengaku sebagai Tuhan Pencipta.

Jumat, 10 Oktober 2025

MENGUNCARKAN PARITTA

Menguncarkan Paritta berguna sebagai perlindungan spiritual, penenang batin, dan pelimpahan berkah, ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, dan semua makhluk. Paritta bukan sekadar ritual, tetapi latihan batin yang penuh makna dan manfaat.


Kegunaan Menguncarkan Paritta
1. Perlindungan dari Bahaya dan Energi Negatif : Paritta seperti Ratana Sutta,
    Metta Suttadan Mahā Maṅgala Sutta dipercaya mampu menangkal 
    gangguan fisik maupun non-fisik.
2. Menenangkan Batin dan Meningkatkan Konsentrasi : Melafalkan paritta 
    dengan penuh kesadaran membantu menenangkan pikiran, melatih fokus, dan 
    mengurangi stres.
3. Mengembangkan Cinta Kasih dan Kebajikan : Paritta seperti Karaniya Metta
    Sutta mengajarkan cinta kasih universal kepada semua makhluk, memperkuat
    empati dan welas asih.
4. Memperkuat Keyakinan kepada Triratna : Membaca paritta memperdalam 
    Saddhā (keyakinan) kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, serta 
    menumbuhkan rasa syukur.
5. Pelimpahan Jasa dan Berkah : Paritta dapat dilafalkan / dibaca untuk 
    mendoakan orang lain, termasuk keluarga, sahabat, bahkan makhluk tak 
    terlihat. Banyak umat membacanya untuk anak, orang sakit, atau makhluk
    yang telah meninggal.
6. Meningkatkan Kesehatan Mental dan Emosional : Getaran suara paritta dan 
    makna spiritualnya memberi efek menenangkan dan menyembuhkan bagi 
    tubuh dan batin.
Menguncarkan Paritta ditujukan Kepada Siapa?
1. Diri sendiri : Untuk perlindungan, ketenangan, dan penguatan spiritual.
2. Keluarga dan orang terdekat : Sebagai doa dan pelimpahan jasa.
3. Makhluk lain : Termasuk makhluk halus, hewan, dan semua makhluk di 
    alam semesta.
4. Lingkungan sekitar : Untuk menciptakan suasana harmonis dan damai.
Paritta itu semacam doa, siapa yang bisa mengabulkan doa Paritta?
Dalam Buddhisme, Paritta memang mirip doa, tetapi dengan makna dan 
mekanisme yang sedikit berbeda dari konsep doa dalam tradisi Teistik.
Siapa yang “Mengabulkan” Paritta?
Dalam ajaran Buddha, tidak ada sosok yang secara aktif “mengabulkan” doa 
seperti Tuhan dalam agama Teistik. Sebaliknya, Paritta bekerja melalui :
1. Kekuatan Kebaikan (Puñña)
    ~ Ketika seseorang membaca Paritta dengan keyakinan dan niat baik, ia 
       menciptakan kekuatan kebajikan (Puñña) yang berdampak pada batin dan
       lingkungan.
    ~ Kebajikan ini bisa “berbuah” dalam bentuk perlindungan, ketenangan, atau
       keberuntungan.
2. Kekuatan Dhamma
    ~ Paritta berisi kata-kata Dhamma yang telah terbukti membawa ketenangan 
       dan perlindungan sejak zaman Sang Buddha.
    ~ Dhamma itu sendiri adalah hukum alam. Ketika kita selaras dengannya, 
       kita terlindungi.
3. Kekuatan Saddhā (Keyakinan)
    ~ Keyakinan yang tulus kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha membuka 
       batin untuk menerima berkah.
    ~ Dalam Ratana Sutta, perlindungan terjadi karena kekuatan Tiratana dan 
       keyakinan umat.
4. Kekuatan Getaran dan Konsentrasi
    ~ Melafalkan Paritta dengan penuh kesadaran menciptakan getaran batin 
       yang menenangkan dan harmonis.
    ~ Ini berdampak pada tubuh, pikiran, dan bahkan lingkungan sekitar.
5. Pelimpahan Jasa kepada Makhluk Lain.
    ~ Paritta juga bisa ditujukan untuk makhluk lain, termasuk makhluk halus. 
       Mereka bisa “menerima” berkah jika batin mereka terbuka dan selaras.
Jadi, siapa yang mengabulkan?
Bukan sosok eksternal, melainkan buah dari kebajikan, keyakinan, dan 
keselarasan batin dengan Dhamma. Dalam beberapa tradisi, para Dewa atau 
makhluk halus bisa ikut melindungi, tetapi mereka bukan pengabul utama, 
mereka hanya merespons kekuatan kebajikan yang kita pancarkan.

Selasa, 09 September 2025

TIDAK MENGELOLA KEHIDUPAN BERDASARKAN PIKIRAN SENDIRI

💫🔆 Seseorang hendaknya tidak mengelola kehidupan berdasarkan pikiran sendiri, karena apa yang menurut pikiran sendiri itu benar belum tentu benar menurut Buddha. Buddha yang telah datang dan pergi dengan baik menuju ke semua tempat tujuan kelahiran manusia setelah meninggal dunia, Beliau mengetahui dengan jelas sesuai realitas praktek yang Beliau lakukan. Oleh karena itu Budha juga mengetahui dengan jelas perilaku-perilaku atau perbuatan-perbuatan yang bagaimana yang dapat mengantar ke tempat kelahiran yang baru seseorang setelah meneinggal dunia. Ini adalah bagus, sebagai umat Buddha maka kita semakin paham. Bahwa kita hendaknya tidak mengelola kehidupan ini berdasarkan pikiran sendiri, karena apa yang menurut kita benar belum tentu benar menurut Buddha. Apa yang menurut kita salah belum tentu salah menurut Budha. Buddha memahami Karma-karma tertentu yang bisa menghasilkan kelahiran di salah satu dari 31 alam kehidupan yang ada. Kalau tidak diberitahu Buddha kita tidak tahu. Saat ini kita mengerti karena kita belajar Tipitaka. Coba bayangkan apabila kita tidak belajar dari Tipitaka, memangnya kita paham Karma-karma mana yang mengantarkan kita menuju ke alam kehidupan mana nanti setelah kita meninggal dunia? Mereka yang berada di luar Buddhism atau tepatnya mereka yang tidak mempelajari ajaran Dhamma akan tidak paham Karma-karma mana yang dapat mengantar ke kelahiran kembali di Neraka, Karma-karma mana yang dapat mengantar ke kelahiran di alam Binatang, alam Manusia, Surga, Brahma, dan Karma-karma mana yang bisa membuat seseorang bisa keluar dari alam kehidupan ini. Mereka tidak akan tahu. Dan kita saat ini tahu karena ada Buddha, ajarannya masih eksis dengan baik hingga sekarang. Itulah mengapa kita jangan mengelola kehidupan berdasarkan pikiran-pikiran kita sendiri.


Banyak Sutta dan Liturgi Buddhis yang lain yang menunjukkan Karma-karma mana sebagai penyebab kelahiran kembali di alam yang mana, ke alam Bahagia atau ke alam Penderitaan. Setidaknya ada 3 sumber yang menyampaikan Karma beserta buahnya, sbb : 

1. Atthakatha - Dhammapada, syair 176 : Menyebutkan bhwa Ciñcamāṇavikā yang memfitnah Sang Buddha tidak lama kemudian terperosok masuk ke Neraka Avici.

2. Aṅguttara Nikāya 5,129 menyebutkan : Ada 5 luka yang tidak dapat disembuhkan mengarah menuju  neraka (Avici), yaitu : membunuh ibu (Ajātasattu); membunuh ayah (Ajātasattu); membunuh seorang Arahant; melukai Tathāgata (Devadatta); dan memecah belah Saṅgha (Devadatta).

3. Majjhima Nikāya 130 menyebutkan : Perilaku baik (tubuh, ucapan, pikiran) karena memiliki pandangan benar dan tidak mencela para mulia, maka ybs. akan terlahir di alam bahagia : alam Surga atau alam Manusia. Perilaku buruk (tubuh, ucapan, pikiran) karena memiliki pandangan salah dan mencela para mulia, maka ybs. akan terlahir di alam sengsara : alam peta / hantu kelaparan, alam binatang, alam asyura atau bahkan alam neraka 🪷✨

Kamis, 28 Agustus 2025

MEDITASI VIPASSANA

"Vipassana" berarti wawasan jernih tentang karakteristik sejati tubuh dan pikiran. Vipassana bhavana (meditasi wawasan) terkadang disebut meditasi kesadaran. Teknik vipassana menggunakan kesadaran untuk mencatat setiap detail pengalaman mental dan fisik kita dari waktu ke waktu, dengan sikap yang tidak memihak. Dengan mempraktikkan meditasi kesadaran, kita dapat melihat dan benar-benar menghilangkan penyebab penderitaan, yang ada di dalam diri kita sendiri.

Memusatkan perhatian yang tidak memihak pada saat ini adalah ciri khas vipassana. Ada kesadaran dan penerimaan atas apa pun yang terjadi saat ini, tanpa menghakimi atau menambahkan apa pun. Kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bebas dari asosiasi subjektif. Latihan vipassana yang sistematis pada akhirnya akan menghilangkan penyebab rasa sakit mental dan fisik, memurnikan pikiran, dan menghasilkan kebahagiaan yang stabil yang tidak terpengaruh oleh suasana hati atau keadaan eksternal.

Meditasi vipassana berasal dari tradisi Buddhisme Theravada. (Mazhab Theravada didasarkan pada sekelompok teks yang disebut "Kanon Pali," yang secara luas dianggap sebagai catatan tertua ajaran Buddha yang masih ada). Namun, Anda tidak harus beragama Buddha untuk mempraktikkan vipassana atau mendapatkan manfaat dari pengembangan kesadaran. Vipassana bukanlah sebuah agama. Vipassana adalah teknik sederhana dan lembut yang cocok untuk pria dan wanita dari segala usia, ras, atau keyakinan.

Sabtu, 09 Agustus 2025

“Asevanā ca bālānaṁ, etammaṅgalamuttamaṁ” (tak bergaul dengan orang dungu, itulah berkah utama)

Makna Buddhasubhasita diatas adalah pedoman untuk pembelajaran dan praktik lebih lanjut dari ajaran Sang Buddha.

Yang dimaksud dengan “Orang Dungu (Bāla)” adalah : orang yang tidak bisa membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang merugikan, secara moral dan spiritual.


Yang dimaksud “Tak bergaul” adalah : tidak menjalin hubungan akrab, tidak tinggal bersama, dan tidak mengikuti.

Yang dimaksud dengan “Berkah Utama” adalah : kualitas dan tindakan yang benar-benar membawa keselamatan batin, menghindarkan dari penderitaan, dan membimbing menuju Nibbāna.”

Tak bergaul dengan orang dungu itu bukan berati membenci, melainkan menjaga jarak batin dan kedekatan sosial agar tidak ikut terseret dalam kebodohan dan perbuatan buruk. Agar tidak binasa seperti seekor ikan busuk yang mencemari sekendi air bersih. Hal ini sesuai dengan sabda Sang Budhha yang terdapat dalam Kitab Suci Dhammapada - Syair 61, sebagai berikut :

"Carañ ce nādhigaccheyya, seyyaṁ sadisamattano, ekacariyaṁ daḷhaṁ kayirā, natthi bāle sahāyatā" = Apabila dalam pengembaraan seseorang tak menemukan sahabat yang lebih baik, atau sebanding dengan dirinya, maka hendaklah ia tetap melanjutkan pengembaraannya seorang diri, janganlah bergaul dengan orang bodoh.

 

Kalimat Subhasita ini memiliki makna bahwa dalam menjalani kehidupan ini, kita cenderung ingin memiliki teman, pasangan, dan juga komunitas. Tapi Sang Buddha mendorong kita untuk tidak sembarangan memilih teman dan bergaul dengannya. Sang Buddha mengajarkan bahwa pergaulan yang salah (Pāpamitta) dapat menghancurkan kebajikan, menumbuhkan pandangan salah, dan dapat menjerumuskan terlahir di alam menderita. Sebaliknya, pergaulan dengan sahabat yang bajik (Kalyāṇamitta) adalah akar dari pertumbuhan spiritual. Akan tetapi, jika tidak ada sahabat semacam itu, lebih baik hidup sendiri, kuat dan teguh, daripada disesatkan oleh kebodohan orang dungu.

 

Kesimpulannya, jika kita bergaul dengan orang yang salah, dimana jaman sekarang semakin banyak orang memiliki perilaku jauh dari ajaran Dhamma, kita dapat terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat. Sekarang ini banyak orang yang memiliki sifat hedonis, suka bergosip, mencela, gaya hidup tidak selaras dengan Sila & Samādhi, dlsb. ditambah lagi adanya media sosial yang dapat memperkuat pandangan salah. Oleh karena itu menjaga jarak dari kebodohan adalah berkah utama sebagimana dinyatakan dalam Buddhasasana Subhasita di awal :

 

“Asevanā ca bālānaṁ, etammaṅgalamuttamaṁ” = Tak bergaul dengan orang dungu, itulah Berkah Utama.

Demikian uraian dan penjelasan yang disampaikan, semoga semua makhluk berbahagia.

~ oOo ~

Jumat, 08 Agustus 2025

KEINGINAN KARMA DAN JALAN TENGAH

Penyebab penderitaan adalah Tanha (Kegandrungan), yaitu kemelekatan atau keinginan penuh dengan hawa nafsu. Akar dari Tanha ini adalah Loba (keserakahan), Dosa (Kebencian) dan Moha (kebodohan batin). Contohnya adalah keinginan untuk selalu bisa menikmati kesenangan inderawi yang kenyataannya tidak selalu mudah untuk diperoleh, dan ini menimbulkan penderitaan. Seperti misalnya ingin cepat kaya, cepat tenar, cepat berkuasa, dsb. Selain itu karena segala sesuatu itu setiap saat berubah, maka kebahagiaan iderawi / duniawi itu bisa berubah menjadi kebosanan (penderitaan).

Akan tetapi tidak semua Keinginan (Chanda) itu buruk, contohnya adalah Kusala Chanda (keinginan berbuat baik) itu baik adanya, seperti keinginan untuk berlatih Dhamma, berlatih Meditasi (Mengembangkan batin), ingin Berdana, ingin membantu sesama, atau bahkan ingin mencapai Pembebasan (bebas dari penderitaan, merealisasi Nibbana). Kusala Chanda itu bukan berasal dari Kebodohan (Moha), Kebencian (Dosa), atau Keserakahan (Lobha). Apakah Chanda (keinginan baik) itu tetap Karma? Ya, semua kehendak adalah Karma. Tetapi Karma dari Kusala Chanda akan menghasilkan buah Karma yang baik, yaitu kebahagiaan karena berasal dari akar yang baik (Alobha / tanpa Keserakahan, Adosa / tanpa Kebencian, Amoha / tanpa kebodohan batin). Namun demikian, pada saatnya nanti Chanda atau Keinginan ini dapat dikatakan akan terlepas juga ketika seseorang telah merealisasi kesucian karena tiadanya Kemelekatan pada seorang yang suci, semua yang dilakukan oleh orang suci adalah hal yang baik.

Jalan Tengah adalah cara untuk mengatasi penderitaan. Jalan Tengah ini disebut Ariya Aṭṭhaṅgika Magga (Jalan Mulia Berunsur Delapan), yaitu Pandangan benar, Pikiran benar, Ucapan benar, Perbuatan benar, Mata pencaharian benar, Daya-upaya benar, Perhatian benar dan Konsentrasi benar (Meditasi / Citta Bhavana / Pengembangan batin benar). Keinginan untuk mengikuti Jalan Tengah itu adalah Kusala Chanda, bukan Taṇhā.

Kusala Chanda dilakukan untuk mengikis Taṇhā yang dasarnya adalah Keserakahan dan Kebencian yang timbul dari adanya Kebodohan batin.

Orang yang suci telah melepaskan Chanda (Keinginan) duniawi, bukan karena Keinginan itu buruk, tapi karena segala bentuk kehendak adalah kondisi bagi suatu kemunculan, sedangkan kondisi padam atau Nibbāna itu tak berkondisi (Asaṅkhata).