Translate

Sabtu, 26 Januari 2019

Pikiran


Ada dua pengembara. Dua pengembara ini berjalan, jauh sekali, zaman dulu tidak ada kendaraan. Suatu malam dalam perjalanannya, mereka mencari tempat untuk berteduh. Ada sebuah gua, mereka berniat untuk bermalam di sana.

Mereka masuk agak dalam dan beristirahat. Mereka capek sekali, dan haus. Mereka ingin mencari air, tapi dimana? Keadaannya gelap gulita, tidak ada lampu, tidak ada penerangan. Dan pada saat akan berbaring, salah seorang pengembara tersebut meraba-raba sekelilingnya, dan tak sengaja menemukan air. Hatinya pun berbunga-bunga. Airnya tertampung di wadah yang seperti mangkuk, dan mereka pun berbagi air tersebut untuk diminum. Aahh... nyaman sekali, segar.

Mereka meletakkan kembali mangkuk tersebut, kemudian tertidur, pulas sekali. Pagi-pagi mereka bangun, dan saat secercah sinar masuk ke dalam gua, mereka melihat kalau mangkuk yang airnya mereka minum semalam, itu tidak lain adalah tempurung tengkorak manusia.

Kalau semalam ada secercah sinar yang menerangi gua tersebut, dan mereka menemukan tempurung kepala manusia itu, mungkin semalam mereka tidak bisa tidur, mereka lari dari gua itu. Semalam mereka tidur nyenyak, sangat nyenyak.

Tidak mimpi apa-apa, tidak didatangi makhluk halus yang tengkoraknya mereka pakai untuk minum, tenang, bahagia. Karena pikirannya tidak macam-macam, pikirannya itu membuatnya tentram, membuatnya tenang. Tapi kalau pikirannya bergerak, yah... dia gelisah, tidak bisa tidur, takut.
Tengkoraknya siapa? Jangan-jangan tempat keramat. Nanti kalau kita sudah pindah, jangan-jangan makhluk halus itu nempel di saya. Apalagi kalau airnya sudah terlanjur diminum, macam-macam pikiran datang silih berganti, tidak akan berhenti-berhenti.

Dari cerita ini kita bisa melihat, pikiranlah yang membuat kita gelisah, khawatir, was-was, tidak tentram, takut, takut mati, takut hari depan, takut gagal, takut tidak bisa makan, takut hari kiamat. Yah... kalau kiamat ya sudah, kan semuanya juga mati. Kalau namanya kiamat semuanya mati, tapi nanti kalau Anda sendiri yang hidup malah menjadi susah. Jadi tidak usah dipikirkan, kalau dipikirkan Anda malah menambah beban pikiran Anda.

Pandangan-pandangan, uraian-uraian seperti ini sangatlah universal. Yang bukan praktisi Dhamma pun mendengar uraian ini juga dapat mengerti. Peranan pikiran itu sangat penting, sangat berpengaruh dalam kehidupan ini.

Sabtu, 19 Januari 2019

Samatha & Vipassana


Samatha atau samadhi, dan vipassana atau panna, merupakan satu kesatuan.
Sebenarnya hal ini amat mudah dimengerti. Samatha atau samadhi, dan vipassana atau panna, haruslah saling berhubungan, dan saling mendukung. Pada awalnya batin mencapai ketenangan dengan samatha bhavana. Dengan berdasarkan ketenangan ini, batin melaksanakan penganalisaan yang menghasilkan panna (kebijaksanaan). Panna inilah yang bisa membuat batin hening di saat menutup mata maupun berada dalam keramaian.
Kita ibaratkan, dulu Anda adalah seorang anak, tapi kini sebagai orang dewasa. Anak dan orang dewasa tersebut sebagai seorang yang sama atau tidak? Anda mungkin berpikir bahwa keduanya adalah orang yang sama. Di lain sisi, mungkin Anda akan berpikir bahwa keduanya adalah orang yang berbeda.
Satu ibarat lagi, seperti makanan dan kotoran [tinja]. Bisa dikatakan sesuatu yang sama. Namun di sisi lain bisa dikatakan sebagai sesuatu yang berbeda.
Persoalan ini sama dengan samatha dan vipassana.
Bisa dikatakan berbeda, bisa pula tidak, tapi tetap saling ada kaitannya. Merupakan suatu proses [arus] yang tak terelakkan. Bisakah orang dewasa muncul, bila tidak menjadi anak lebih dulu? Adakah kotoran [tinja] bila tak ada makanan yang dimakan?
Bagaimanapun, jangan hanya percaya pada apa yang dikatakan. Laksanakanlah sendiri, Anda akan tahu kebenarannya. Bila Anda telah mengetahui dan mengerti bagaimana samadhi <melalui samatha> dan panna <melalui vipassana> muncul, Anda akan bisa mengetahui kesunyataan yang sebenarnya.
Masa kini, MASYARAKAT PENGANUT DHAMMA SEDANG TERIKAT DAN MELEKAT PADA NAMA DAN SEBUTAN. Ada yang menyebut meditasi mereka dengan nama ‘Vipassana’, maka samatha pun tidak dihargai. Telah diterangkan, samatha dan vipassana bukanlah sesuatu yang bisa dipisah-pisahkan. Kita tak perlu pusing dengan pengkotak-kotakan semacam itu. Laksanakan ajaran dengan baik, maka Anda akan tahu sendiri.
Berusahalah untuk mencapai konsentrasi yang memusat [ekaggata]. Dengan landasan yang kokoh ini, periksa dan analisa diri sendiri. Jangan terikat pada konsentrasi yang memusat [jhana] yang akan bisa membuat Anda terlarut dan terbuai.

Minggu, 13 Januari 2019

Contoh Tentang Anatta (Tanpa Jati Diri).


Contoh pertama. 
Ketika kita melihat sebuah sofa, maka kita akan melihatnya sebagai hal yang biasa, dan menyebutnya sebagai sofa. Tetapi ketika sofa yang terbuat dari kayu, busa, kain, lem, tenaga manusia, dan sebagainya itu kita bongkar, maka yang kita lihat sekarang hanyalah beberapa potong kayu bekas, kain, busa dan sebagainya, yang tidak lagi sama persis dengan bahan awal pembuat sofa, melainkan sudah berubah. Kita hanya menyebutnya sebagai sisa sofa, atau bekas sofa, yaitu kain bekas sofa, kayu bekas sofa, dan sebagainya. Benda-benda tersebut, sekali lagi tidak sama dengan bahan awal untuk membuat sofa. Kita juga tidak lagi melihat sofa. Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa, tidak ada sofa atau inti dari sofa tersebut yang keberadaan atau eksistensinya kekal abadi, sofa atau unsur-unsur pembentuknya akan berubah, selalu berubah. Dengan berjalannya waktu, maka segala sesuatu, baik yang berkondisi maupun yang tak berkondisi, yang merekat didalam maupun diluar segala fenomena fisik & mental dari setiap eksistensi atau keberadaan, semuanya adalah tanpa inti atau tanpa jati diri. Tidak ada diri, individu atau roh yang kekal, karena setiap saat akan berubah, lenyap & timbul kembali dengan bentuk atau kondisi yang lain.

Contoh kedua. 
Ketika kita membuat roti. Roti dibuat dengan memakai tepung, ragi, gula, garam, mentega, susu, air, api, tenaga kerja dan lain-lain. Tetapi setelah menjadi roti, tidak mungkin kita akan menunjuk satu bagian tertentu dari roti tersebut, dan mengatakan : ini adalah tepungnya, ini adalah garamnya, ini menteganya, ini airnya, ini apinya, ini tenaga kerjanya, dan seterusnya. Karena setelah bahan-bahan itu diaduk menjadi satu dan dibakar di oven, maka bahan-bahan itu telah berubah sama sekali, yang dalam contoh ini menjadi roti. Meskipun roti itu terdiri dari bahan-bahan tersebut di atas, namun setelah melalui proses pembuatan dan pembakaran di oven telah menjadi sesuatu yang baru sama sekali, dan tidak mungkin lagi untuk mengembalikannya dalam bentuknya yang semula. Jadi dengan demikian, dimanakah jadi diri dari roti, atau jati diri dari bahan-bahan pembentuk roti tersebut, yang keberadaannya kekal abadi? Mereka atau bahan-bahan tersebut, setiap saat berubah, lenyap atau timbul kembali dalam bentuk yang lain yang berbeda, tidak pernah sama, yang keberadannya kekal abadi.

Contoh ketiga. 
Jika kita dihadapkan dengan benda-benda seperti ban, jok, pedal, kanvas rem, lampu, kabel-kabel, skrup, accu, sekering, kabel kopling, shock breaker, rangkaian mesin, dynamo, stang stir, dan sebagainya. Dapatkah kita  mengatakan itu adalah sebuah Sepeda Motor? Tentu saja Tidak!. Namun setelah keseluruhan benda-benda itu dirangkai menjadi satu, barulah kita dapat mengatakannya : Oh... itu adalah Sepeda Motor! Jadi apa yang dilihat, dan yang kita namakan sebagai sepeda motor, sebenarnya hanyalah gabungan dari unsur-unsur pembentuk. Sepeda motor itu pada hakikatnya tidak memiliki inti (jati diri), tidak ada satupun dari spare-parts tersebut yang dapat disebut sebagai sepeda motor, sebelum semua unsur pembentuknya disatu-padukan.

Demikian pula dengan segala hal, termasuk diri kita, pada dasarnya adalah perpaduan dari berbagai unsur, yang masing-masing bersifat tidak kekal. Jika unsur-unsur pembentuknya dipisah-pisah maka segala hal tersebut akan menjadi tiada, kosong. Oleh karena itu tidak ada yang disebut dengan diri yang hakiki, yang independen, baik itu diri kita maupun diri lainnya seperti segala mahluk, benda-benda, maupun hal-hal fenomenal lainnya.
Pemahaman mengenai anatta ini, dapat juga dianalisa dan direnungkan pada ajaran tentang Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan.

Jumat, 04 Januari 2019

Agama.


Agama, kalau mau benar-benaran, agama apa yang benar? (orang awam).
Agama itu ibarat pakaian, si pemakai yakin kalau pakaian pilihan yang dikenakannya adalah yang terbaik (pemikir).
Alam semesta ini lengkap, setiap masalah pasti ada jawabnya, pakaian yang benar yang sesuai dengan keindahan, keserasian & kesehatan itu ada (orang yang tahu).

Senin, 31 Desember 2018

Hidup ini sangat berarti.

Hidup ini sangat berarti, jangan sia-siakan hidup kita ini untuk hal-hal yang tidak baik, yang tidak berguna & yang merugikan. Marilah kita senantiasa berupaya meningkatkan kualitas batin kita dengan cara :
1. Selalu berusaha mengendalikan emosi & berusaha bertindak bijaksana.
2. Selalu berusaha berbuat hal-hal baik, hal-hal yang berguna, menghindari perbuatan yang mengecewakan, menyakiti atau merugikan orang lain, merusak lingkungan dan lain sebagainya.
3. Rutin berlatih meditasi, sebaiknya menggunakan guru yang piawai (Bhikkhu, Bhikkuni).
Ketiga hal diatas demi kehidupan kita ke depan yang lebih baik, lebih bahagia, yang artinya tidak merugi, untuk akhirnya mencapai Nibbana yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan.
Tidak ada kekuatan apapun yang bisa mengintervensi, menambah atau mengurangi nasib hidup kita atau takdir kita, kecuali diri kita sendiri yang tidak bisa lepas dari hukum alam yang berlaku.
Alam Surga atau Alam Neraka yang mungkin kita tinggali nanti setelah kita mati, itu adalah kita sendiri yang menciptakan. “Siapa menanam benih, dia sendirilah yang akan memetik buahnya”. Artinya, kita tinggal di Surga atau tinggal di Neraka itu tidak selamanya. Situasi akan berganti jika waktunya telah tiba, dimana kondisi yang mendukung telah datang.
"Tuhan" itu merupakan kata ganti dari "hukum alam". Yang maha kuasa itu hukum alam. Semua bisa terjadi karena hukum alam. Hukum karma atau hukum tabur-tuai atau hukum sebab-akibat itu termasuk salah satu dari hukum alam atau hukum universal yang berlaku. Kalau Anda lebih cocok dengan pernyataan bahwa, Tuhanlah yang menciptakan hukum alam & menciptakan segalanya, silahkan saja, karena pemahaman seperti itu sudah ditanamkan kepada khalayak ramai secara terus-menerus, turun-temurun & berlangsung ribuan tahun lamanya. Perlu diingat bahwa kata "Tuhan" itu berkonotasi sosok, person, atau entitas, yang mana "entitas" itu prosesnya muncul, berkembang & kemudian rusak, dan akhirnya akan lenyap, sedangkan "hukum alam" atau "hukum universal" itu merupakan kata sifat bukan kata benda. "Sifat" itu kekal sedangkan "benda" atau entitas itu akan rusak & punah.

Sabtu, 29 Desember 2018

Percakapan orang awam.

A : Hidup ini menderita, lantas siapa yang menyuruh menghidupkan kita?
B : Sudah tidak usah ngedumel, tidak ada gunanya. Anggap saja "Given".
A : Loh...? lantas bagaimana?
B : Ya tidak bagaimana bagaimana, kalau ada penderitaan pasti ada kebahagiaan, nah cari saja sana... tapi hati-hati salah mencari, tersesat kau...
A : Sebegitu bahayanya kah
?
B : Tidak juga sih... tenang... asal jangan melanggar rambu-rambu utamanya...
A : Rambu apa?
B : Jangan suka menyakiti atau merugikan pihak lain.
A : Yakin.???
B : Ya iya lah, masak ya iya dong..??

Selasa, 25 Desember 2018

Realita kehidupan.

Kita tidak mungkin mengubah dunia ini sesuai dengan kehendak hati kita. Yang dapat kita lakukan adalah mengubah cara berpikir kita dalam melihat kehidupan ini. Kita ubah cara pandang yang subyektif menjadi obyektif. Artinya melihat hidup ini sebagaimana mestinya. Hidup itu harus realistis. Kehidupan ini bukan hanya manisnya saja. Tapi terkadang juga bertemu dengan pahitnya - meskipun kita tidak menyukainya. Pandangan realistis inilah yang akan mengubah cara pandang kita terhadap kehidupan ini, sehingga kita tidak akan salah langkah dalam mengambil sikap terhadap kehidupan ini.
~ Bhante Abhayanando, thera ~