Translate

Selasa, 11 Oktober 2022

Kekhawatiran dan Ketakutan


Tulisan ini menyampaikan tentang Kekhawatiran dan Ketakutan pada Majjhima Nikaya 4 - Bhayabherava Sutta – penyampaiannya dipermudah menjadi sedikit singkat namun tidak mengurangi arti.

Bhayabherava Sutta - menceritakan mengenai seorang brahmana bernama Janussoni yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Sang Buddha ketika Sang Buddha sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Jawaban-jawaban dan penjelasan Sang Buddha dalam Sutta tersebut adalah sebagai berikut :

 

“Begitulah, Brahmana, begitulah. Ketika para anggota keluarga meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah karena berkeyakinan padaKu, mereka menjadikan Aku sebagai pemimpin mereka, penolong mereka, dan penuntun mereka. Dan mereka mengikuti teladanKu.”

 

Tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan adalah sulit ditahankan, keterasingan adalah sulit dilatih, dan adalah sulit untuk menikmati kesunyian. Seseorang akan berpikir hutan pasti akan merampas pikiran seorang bhikkhu, jika ia tidak memiliki konsentrasi.

 

Para petapa atau brahmana yang tidak murni dalam ucapan, tidak murni dalam pikiran, tidak murni dalam penghidupan - mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan - karena cacat dari ketidak-murnian perbuatan jasmani mereka - para petapa dan brahmana yang baik itu memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba – aku memiliki perbuatan jasmani dan penghidupan yang murni, aku datang sebagai satu di antara para mulia dengan penghidupan yang murni.’ Melihat kemurnian penghidupan, kemurnian perbuatan jasmani – aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di hutan.

 

Para petapa atau brahmana tamak dan penuh nafsu, memiliki pikiran bermusuhan dan kehendak membenci, dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan, dikuasai oleh kegelisahan dan pikiran yang tidak tenang, bimbang dan ragu, memuji diri sendiri dan menghina orang lain, tunduk pada ketakutan dan teror, menginginkan perolehan, penghormatan, dan kemasyhuran, malas dan kurang gigih, tanpa perhatian dan tidak waspada, tidak terkonsentrasi dan pikirannya mengembara - aku tidak tamak, aku memiliki pikiran cinta kasih, aku adalah tanpa kelambanan dan ketumpulan, aku memiliki pikiran yang tenang, aku telah melampaui keraguan, aku tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain, aku bebas dari kegentaran, aku memiliki sedikit keinginan, aku bersemangat, aku kokoh dalam perhatian, aku memiliki konsentrasi.

 

Para petapa atau brahmana tanpa kebijaksanaan, pembual, mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara terpencil di dalam hutan, karena cacat dari ketiadaan kebijaksanaan dan pengucap omong kosong, para petapa dan brahmana yang baik ini akan memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan dengan kebijaksanaan, tidak sebagai seorang pengucap omong kosong. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan sebagai satu di antara para mulia yang memiliki kebijaksanaan.’ Melihat kebijaksanaan ini dalam diriKu, Aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di hutan.

 

‘Ada malam-malam yang secara khusus sangat baik yaitu malam ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan dalam dwiminggu. Pada malam-malam yang sangat baik itu aku berdiam di tempat-tempat keramat, menakutkan seperti altar-altar di kebun, altar-altar di hutan, dan altar-altar pohon. Dan sewaktu Aku berdiam di sana, seekor binatang buas akan muncul, atau seekor burung merak akan mematahkan dahan, atau angin mendesaukan dedaunan. Aku berpikir: ‘Bagaimana sekarang jika kekhawatiran dan ketakutan itu datang?’ Aku berpikir: ‘Mengapa Aku berdiam dengan selalu menanti kekhawatiran dan ketakutan? Bagaimana jika Aku menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu sambil mempertahankan postur yang sama dengan ketika hal itu mendatangiKu?

 

“Sewaktu Aku berjalan, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berdiri atau duduk atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku berdiri, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau duduk atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku duduk, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau berdiri atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku berbaring, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau berdiri atau duduk hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu.

 

“Terdapat, Brahmana, beberapa petapa dan brahmana yang melihat siang pada malam hari dan melihat malam pada siang hari. Aku katakan bahwa di pihak mereka ini adalah kediaman dalam delusi. Tetapi aku melihat malam pada malam hari dan siang pada siang hari. Sebenarnya, jika dikatakan sehubungan dengan seseorang: ‘Makhluk yang tidak tunduk pada delusi telah muncul di dunia demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia,’ sesungguhnya adalah sehubungan dengan Aku ucapan benar itu diucapkan.

 

“Kegigihan tanpa lelah muncul dalam diriKu dan perhatian tanpa kendur ditegakkan, tubuhku tenang dan tidak terganggu, pikiranku terkonsentrasi dan terpusat.

 

“Dengan cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

 

“Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

 

“Dengan meluruhnya sukacita, Aku berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’

 

“Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

 

“Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: ‘Di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya Aku mengingat banyak kehidupan lampau.

 

“Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehKu pada jaga pertama malam itu. Ketidak-tahuan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

 

“Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan mereka, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kehancuran, bahkan di dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang baik, bahkan di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

 

“Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehKu pada jaga ke dua malam itu. Ketidak-tahuan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

 

“Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya : ‘Ini adalah penderitaan’; ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ ‘Ini adalah noda-noda’; ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

 

“Ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, pikiranKu terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda Ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan.’ Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi makhluk apapun.’

 

“Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehKu pada jaga ke tiga malam itu. Ketidak-tahuan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

 

“Sekarang, Brahmana, engkau mungkin berpikir: ‘Mungkin Petapa Gotama belum terbebas dari nafsu, kebencian, dan delusi bahkan sampai hari ini, sehingga Beliau masih mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan.’ Tetapi engkau jangan berpikir demikian. Adalah karena Aku melihat dua manfaat maka Aku masih mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan: Aku melihat kediaman yang menyenangkan bagi diriKu di sini dan saat ini, dan Aku berbelas kasih pada generasi mendatang.”

 

Dalam Sutta ini akhirnya brahmana Janussoni mengatakan demikian : “Tentu saja, adalah karena Guru Gotama adalah seorang yang sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sepenuhnya, maka Beliau berbelas kasih pada generasi mendatang. Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”


Demikianlah tulisan ini yang menyampaikan Bhayabherava Sutta dalam Majjhima Nikaya 4 yang bertujuan agar lebih mudah dipahami. Semoga bermanfaat.

BOLEHKAH MENINGGALKAN KELUARGA BARU UNTUK MENJADI BHIKKHU?

Bolehkah meninggalkan keluarga baru untuk menjadi Bhikkhu? Pertanyaan ini lumayan singkat namun sulit untuk dijawab. Jawabannya tentu lumayan panjang, dan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang harus disampaikan. Pertanyaan tadi harus singkat karena merupakan judul sebuah tulisan. Nanti yang lumayan panjang adalah jawabannya. Saya sebagai orang yang masih awam akan mencoba mengurai permasalahan ini menurut pemikiran atau menurut pendapat pribadi saya. jika sekiranya nanti paparan ini dinilai salah - atau kurang tepat - silakan mengkoreksi nya - atau memberikan saran dan komentar - agar pembaca tulisan ini memperoleh pencerahan yang lebih banyak lagi. Jika anda bersedia mengkoreksi atau memberikan saran dan komentar anda - sebelumnya saya menyampaikan banyak terima kasih. 
Keluarga baru disini tentunya bukan keluarga yang baru saja dibentuk - atau baru saja menjalani pernikahan - tetapi katakanlah keluarga yang sudah memiliki satu atau dua orang anak - kemudian sang ayah pamit pergi - setelah sebelumnya tentu telah mendapat restu dari sang istri - untuk pergi menjalani Jalan Dhamma - menjalani kehidupan sebagai seorang Bhikkhu. 
Jalan hidup yang hampir sama telah ditempuh oleh guru Agung Buddha Gotama - tentu beda cerita - kalau Guru Agung melakukan itu karena pada waktu itu ajaran Dhamma sudah tidak ada lagi di bumi ini - sudah ditinggal mati oleh para pemeluknya - dan sudah tidak ada lagi pemeluk baru. Tentu kepunahan dari ajaran Dhamma sampai guru Agung terlahir di dunia ini sekitar 2600 tahun yang lalu itu - adalah waktu yang sangat lama sekali - hingga tanda-tanda peninggalan bahwa pernah ada ajaran Dhamma di dunia ini sebelumnya pun sudah tidak ada lagi tanda-tandanya - sudah hilang semua. Jadi dengan kondisi yang seperti itu alampun menentukan atau tepatnya menyaksikan sudah tiba saatnya terlahir di dunia ini seorang calon Buddha - yaitu Sang Bodhisatta - telah lahir ke dunia ini untuk menjadi Buddha - telah lahir Siddharta Gotama di taman lumbini - di kaki gunung Himalaya - India bagian Utara - pada tahun 623 sebelum masehi - di bawah pohon Sala - yang tiba-tiba berbunga pada saat bukan musimnya berbunga - tapi berbunga demi menyambut kedatangan seorang calon Buddha - yang mana bayi Siddharta Gotama langsung bisa berjalan tujuh langkah ke arah utara - dan tanah bekas yang diinjakinya tumbuh bunga teratai. 
Tahun-tahun berikutnya setelah Siddharta gotama menikah - dan memiliki seorang anak yang diberi nama Raulla - singkat cerita setelah Siddharta Gotama melihat kejadian-kejadian yang membuat beliau tidak bisa tenang - mengapa harus ada seorang yang sakit, yang kondisinya tua, yang mati, dan melihat seorang petapa - maka dengan tekad untuk mencari jawab mengapa semua itu bisa terjadi - dan bagaimana solusinya, maka diputuskanlah untuk meninggalkan keluarga tercinta : istri dan anak - pergi mencari solusinya dengan menempuh hidup sebagai Petapa. 
Hal tersebut bisa terjadi - pertama karena Sidharta adalah anak seorang raja - jika keluarga ditinggalkan tidak akan sengsara karena kekayaan telah menjadi bagian dari keluarga besar. Hal tersebut bisa terjadi karena hukum alam yang bekerja, karena ketentuan alam, karena ajaran Dhamma sudah punah. Siddharta Gotama sudah waktunya untuk menemukan kembali ajaran Dhamma yang telah punah - yang kemudian Sidharta menjadi Buddha. Jalan Karma Sidharta lah yang membuat Sidharta Gotama pergi meninggalkan keluarga untuk hidup sebagai Pertapa - atau sebagai seorang Rahib untuk menemukan kembali ajaran Dhamma yang telah lama punah. Jadi kepergian Sidharta ini untuk menjadi petapa menguntungkan - atau menjadi berkah buat seluruh umat manusia - termasuk keluarganya sendiri - bukan merugikan dan menyengsarakan keluarga - yang mana akhirnya memang anak – istri - dan ayahnya Raja Suddhodana semuanya telah berhasil menjadi seorang Aranhanta - merealisasi Nibbana - yaitu merealisasi suatu kebahagiaan yang sejati - yang menjadi tujuan akhir dari semua kehidupan semua makhluk - adalah berkat ajaran Dhamma yang telah ditemukan kembali oleh Buddha Gotama Sang Guru Agung manusia dan Dewa. 
Sekarang kembali ke pokok persoalan - untuk sekarang ini dimana ajaran Dhamma masih ada - masih dapat kita pelajari - maka meninggalkan keluarga untuk menjadi seorang rahib itu memerlukan banyak pertimbangan - dan banyak persyaratan. Persyaratan persyaratan tersebut kalau menurut saya adalah sebagai berikut : 
1. Apakah sudah dipertimbangkan masak-masak sehingga yang bersangkutan akan mampu meninggalkan keluarga selamanya - dalam arti tidak hidup bersama lagi - dan mampu menjalani hidup sebagai seorang Bhikkhu - dimana harus mampu melepas kemelekatan - melepas rasa sedih dan rasa rindu kepada keluarga. 
2. Apakah istri secara ikhlas mengizinkan. 
3. Apakah biaya hidup anak istri bisa tercukupi - hingga istri meninggal dunia - dan hingga anak-anak berhasil meraih pendidikan yang memadai - dan memperoleh pekerjaan yang layak - misalnya dengan cara istri telah diberi warisan usaha yang baik, dan yang memadai, atau istri telah memiliki suami baru - terlebih suami yang kaya. 
Saya kira tiga syarat itulah yang paling penting harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memutuskan meninggalkan keluarga untuk menjadi seorang Rahib. Soal anak-anak yang tidak mengijinkan ayahnya menjadi seorang Rahib dan yang rindu ayah, itu kan sifatnya hanya sementara, dengan berjalannya waktu mereka akan berhasil mengatasinya demi bakti seorang anak kepada seorang ayah, dan buat seorang ayah adalah demi mendidik anak-anak sejak dini untuk mampu melepas kemelekatan. Lagian sewaktu-waktu anak-anak dan mantan istri masih boleh ketemu kan dengan ayah dan mantan suami? 
Yang harus menjadi perhatian buat seorang rahib itu adalah tidak boleh larut dalam kebahagiaan dan kesedihan inderawi saat bertemu dan berpisah dengan anak-anak dan mantan istri. Saya setuju dengan pendapat bahwa tidak harus menjadi seorang rahib untuk bisa menapaki Jalan Dhamma - bisa saja diambil jalan yang juga baik - yaitu Jalan Tengah - yaitu misalnya tidak menjadi seorang Rahib tapi menjadi Romo - membangun wihara, mengurusi umat - supaya tiga pihak yaitu yang bersangkutan, istri dan anak-anak tidak kecewa dan tidak dikecewakan. Ini juga merupakan solusi - terutama jika masih ragu - apakah warisan usaha yang akan diberikan kepada keluarga akan dapat berjalan dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga dengan cukup - dan dapat bertahan lama. 
Demikianlah paparan singkat mengenai : Bolehkah Meninggalkan Keluarga Baru Untuk Menjadi Bhikkhu? Semoga tulisan ini bermanfaat, bila berkenan silahkan memberikan koreksi, saran dan komentar Anda. Terima kasih.

Akar Segala Sesuatu

Tulisan ini menyampaikan intisari tentang : “Akar Segala Sesuatu” dari Majjhima Nikaya – 1 : Mūlapariyāya Sutta. Mūlapariyāya Sutta - menceritakan ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ukkaṭṭhā di Hutan Subhaga di bawah pohon sāla besar. Beliau memanggil para bhikkhu dan kemudian berkata bahwa beliau akan mengajarkan sebuah khotbah kepada Para bhikkhu tentang akar dari segala sesuatu.

Intisari dari ajaran Sang Bhagava yang disampaikan kepada para bhikkhu tentang : “Akar Segala Sesuatu” dari Majjhima Nikaya – 1 : Mūlapariyāya Sutta - menurut tulisan ini adalah mengenai penguasaan pemahaman dan pencapaian tertinggi dari praktik mengakhiri Dua belas mata rantai sebab-musabab yang saling bergantungan (Paticcasamuppada) mulai dari orang biasa, Arahat sampai dengan yang disebut Tathagata-2, dimana rincian singkatnya yang dikatakan oleh - Sang Bhagava adalah sebagai berikut :


Orang biasa :

Orang biasa menganggap [dirinya sebagai] sesuatu, ia menganggap [dirinya] dalam sesuatu, ia menganggap [dirinya terpisah] dari sesuatu, ia menganggap sesuatu sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam sesuatu, karena ia belum sepenuhnya memahami sesuatu yang dimaksud. Dimana sesuatu tersebut adalah tentang : tanah, air, api, dan udara yang membentuk Ruppa atau badan jasmani dan mengenai : makhluk-makhluk, dewa-dewa, Pajāpati, Brahmā, para dewa dengan Cahaya Gemerlap, para dewa dengan Keagungan Gemilang, para dewa dengan Buah Besar, raja, landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, landasan bukan persepsi juga bukan tanpa-persepsi, yang terlihat, yang terdengar, yang terindra, yang dikenali, kesatuan, keberagaman, keseluruhan, dan Nibbāna. Mengapa demikian? Karena seperti yang disebut tadi, orang biasa itu belum sepenuhnya memahami tentang sesuatu itu : tanah, air, api dan sebagainya sebagaimana mestinya.


Siswa Dalam Latihan Yang Lebih Tinggi :

Siswa Dalam Latihan Yang Lebih Tinggi seharusnya tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Siswa Dalam Latihan Yang Lebih Tinggi itu sudah dapat memahami sepenuhnya tentang sesuatu, yaitu tanah, air, api dan seterusnya...


Arahat – 1 :

Arahat – 1 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Arahant – 1 telah memahami sepenuhnya tentang tanah, air, api dan seterusnya...


Arahat – 2 :

Arahat – 2 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Arahant-2 telah terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.


Arahat – 3 :

Arahat – 3 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Arahat-3 telah terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.


Arahat – 4 :

Arahat – 4 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Arahant-4 telah terbebaskan dari delusi melalui hancurnya delusi.


Tathāgata – 1 :

Tathāgata – 1 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir.


Tathāgata – 2 :

Tathāgata – 2 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Tathagata-2 telah memahami bahwa kesenangan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan [sebagai kondisi] maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian. Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan ketagihan sepenuhnya, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi.


Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Tetapi para bhikkhu itu tidak bergembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Demikianlah intisari tentang : “Akar Segala Sesuatu” dari Majjhima Nikaya – 1 : Mūlapariyāya Sutta. Semoga bermanfaat. 

SEKELUMIT PERCAKAPAN MENARIK

Percakapan tersebut dimulai dari si A yang berkata demikian : Orang bodoh itu ternyata memiliki peran penting juga ya di dunia ini. Dibutuhkan oleh orang lain. Contoh : "kaum radikalis salah" - dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingan pribadi dan golongan. Waspadalah.! jangan sampai kaum "radikal salah" tersebut dipelihara dan dilestarikan.!

Si B menimpali : Kalau itu menyangkut agama, sebetulnya agama bukan untuk membodoh-bodohin orang, tapi sebaliknya... hhh...

Disambut oleh si C : Bila tidak ada orang bodoh, pastilah dunia ini sangat sepi...

Kembali si A berkomentar : Hanya saja janganlah kita ini menjadi bagian dari orang-orang bodoh yang dimaksud. Biarlah yang lain saja.

Akhirnya percakapan tersebut ditutup oleh si D sebagai berikut : Betul, betul, betul, setuju sekali... Bodoh itu tidak berarti tidak memiliki berlembar-lembar ijazah hingga ijazah doktor. Tapi nalarnya saja yang tertutup oleh kepercayaan yang salah yang dijejalkan oleh guru dan atau orang tua hingga otaknya seolah tercuci sedemikian rupa. Sejak kecil didoktrin terus-menerus, tidak dibebaskan untuk bertanya secara kritis. Contoh yang pernah terjadi adalah – dulu – kasus Dimas Kanjeng, yang mampu menggandakan uang - dipercayai oleh seseorang yang berpendidikan PhD, pastilah karena sejak kecil beliau itu dijejali oleh keyakinan dengan pemahaman yang salah, salah tapi tidak boleh dibantah. Kini sudah tiba saatnya anak-anak itu dibebaskan untuk bertanya apapun, dan jawablah sesuai kitab tapi yang logis - agar jika terjadi diskusi – maka diskusinya baik, bebas tapi damai. Mengamalkan ajaran agama apapun yang dipercayainya - yang diakui oleh negara itu - sangat diperbolehkan, yang tidak boleh adalah jika amalannya itu menyakiti dan atau memojokkan orang lain atau menyakiti hati orang yang berbeda keyakinan. Keyakinan yang berbeda itu dapat terjadi karena masing-masing orang itu memiliki jodohnya masing-masing yang bisa saja berbeda.

Demikianlah tulisan ini, semoga bermanfaat. 


Diskusi Menarik (3)


Diskusi atau penyampaian pemahaman dalam video ini dimulai dengan pernyampaian si A sebagai berikut : SEMUA BENDA DAN SEGALA SESUATU PASTI ADA ORANG YANG MENCIPTAKAN ATAU MEMBUATNYA. DEMIKIAN JUGA ALAM SEMESTA YANG AGUNG DAN MULIA ITU JUGA PASTI ADA "PENCIPTANYA", YAITU TUHAN ALLAH YANG "MAHA KUASA", YANG TANPA "AWAL DAN AKHIR " DAN EKSISTENSINYA "DARI KEKAL SAMPAI KEKAL" KEBENARAN INI SANGAT JELAS TERTULIS DIDALAM ALKITAB YANG DIILHAMKAN / DIWAHYUKAN OLEH ALLAH SENDIRI. DAN "KEPASTIAN KESELAMATAN" BAGI SEMUA ORANG YANG BERIMAN KEPADA TUHAN ALLAH YESUS KRISTUS ITU JUGA DIJANJIKAN DAN DIJAMIN OLEH DIA. TERJADI ATAU BERAWALNYA ALAM SEMESTA JUGA SANGAT JELAS TERCANTUM DIDALAM ALKITAB YAITU DICIPTAKAN OLEH TUHAN ALLAH DAN AKAN DIMUSNAHKAN OLEH TUHAN JUGA PADA HARI KIAMAT - YAITU PADA WAKTU KEDATANGAN TUHAN YESUS KELAK. KARENA ITU - SEMOGA SEMUA ORANG BISA DENGAN RENDAH HATI UNTUK PERCAYA DAN BERIBADAH KEPADA DIA - TUHAN YANG MAHA KUASA - MAHA PENGASIH DAN MAHA PENYAYANG - MAHA ADIL DAN MAHA HIDUP ITU - SUPAYA BISA SUNGGUH- SUNGGUH MEMPEROLEH KESELAMATAN, PENGHARAPAN, KEBAHAGIAAN DAN HIDUP KEKAL YANG DIJANJIKAN DAN DIJAMIN OLEH TUHAN ALLAH YESUS KRISTUS ITU.

Kemudian si B menyampaikan pandangannya pula sebagai berikut : Anda menyampaikan pemahaman Anda dengan huruf kapital, tidak apa-apa, saya anggap itu untuk memudahkan saja karena tidak harus pindah-pindah huruf kecil dan besar. Saya tidak sependapat dengan pemahaman Anda. Sebenarnya saya bisa mengabaikan pemahaman Anda itu dan melupakannya. Tapi baiklah mungkin ada baiknya juga kita sedikit memberikan pandangan masing-masing dan mungkin teman lain juga tertarik dengan diskusi ini. Saya sangat menghormati keyakinan Anda, silahkan dijalani & semoga Anda berbahagia.

Agama itu banyak, demikian juga Kitab Suci itu banyak. Masing-masing orang punya jodohnya masing-masing. Punya pilihan - mau memilih agama yang mana untuk dipeluk, toh sudah diakui oleh negara 6 agama. Yang penting mereka mampu bersosialisasi dengan baik dengan yang beragama lain. Mampu berbuat baik, mampu saling membantu jika yang lain mengalami kesulitan dan lain sebagainya. Jika kita tidak bersaudara dalam iman – kita tetap bersaudara dalam kemanusiaan.

Setiap benda ada yang menciptakan, pada banyak contoh OK. Alam semesta yang terdiri dari milyaran galaksi – jadi berapa banyak tatasurya dan berapa banyak planet dan bumi? Kita hanya berada dalam satu bumi yang dapat diibaratkan setitik debu, masih banyak sekali bumi yang lain. Kalau Alam Semesta yang tanpa batas ini diciptakan - lalu pertanyaannya siapa yang menciptakan si pencipta? Kalau sang pencipta itu tanpa awal tanpa akhir - saya lebih sependapat jika Alam Semesta yang tanpa batas ini adalah juga tanpa awal dan tanpa akhir - meskipun selalu bergerak dan selalu berubah sesuai dengan hukumnya - yaitu Hukum Alam. Alam semesta ini ada - terjadinya bukan karena hanya satu sebab - melainkan karena banyak sekali sebab dan juga karena kondisi yang mendukung. Kalau kondisinya tidak mendukung - sesuatu itu tidak bisa terjadi. Contoh : kalau Anda memanen padi itu harus ada yang menanam padi, harus ada tanah, harus ada pengairan, harus ada cuaca atau iklim yang baik, tidak diserang tikus, harus ada yang merawat, yang merawat harus punya tenaga, punya kemauan, harus makan dan minum dan lain sebagainya. Jadi tidak ada Causa Prima - artinya tidak ada sebab yang tunggal, banyak sebabnya hingga sesuatu itu terjadi. Tidak terlalu penting buat saya Alam Semesta itu diciptakan atau tidak, sebab-sebabnya apa dengan kondisi yang bagaimana sehingga Alam Semesta itu ada, dan lain sebagainya - tidak penting buat saya. Yang terpenting adalah menyikapi dengan baik dan benar berlakunya Hukum Alam, kalau mau disebut Hukum Tuhan juga boleh. Dimana salah satu dari Hukum Alam itu adalah Hukum Sebab-Akibat, Hukum Tabur-Tuai atau Hukum Karma yang sebaiknya disikapi dengan baik dan benar supaya selamat di dunia dan selamat setelah meninggal dunia.

Saya tidak sependapat kalau Tuhan itu mempunyai hajat menciptakan Alam Semesta, dan memusnahkannya kembali pada hari kiamat. Untuk apa Tuhan memiliki hajat seperti itu? Supaya memiliki pekerjaan? Tuhan menginginkan manusia untuk beribadah kepadaNya, Tuhan kok memiliki keinginan yang remeh-temeh begitu? Maha penyayang ; mengapa ada orang bisa masuk Neraka? Apalagi kalau masuk nerakanya kekal itu kan sadis - tidak berperikemanusiaan. Dengan maha kasih, maha tahu, maha kuasa - bukakah beliau bisa menyelamatkan seluruh umat manusia masuk ke Surga? Katanya Tuhan menjamin, lalu dimana jaminannya? Tuhan tidak seperti itu, seperti manusia saja sifatnya. Dan menciptakan produk gagal karena ada yang masuk neraka. Kalau masuk neraka karena tidak menuruti perintah, kenapa Tuhan bermain gambling begitu? Bukankah beliau maha tahu? Hukum Alam itu maha kuasa juga, siapa yang bisa mengubah Hukum Alam yang salah satunya adalah Hukum Tabur-Tuai, Hukum Sebab-Akibat atau Hukum Karma yang maha adil itu? Supaya kita selamat di dunia dan selamat di alam berikutnya setelah meninggal dunia - maka kita harus menyikapi dengan baik dan benar berlakunya Hukum Karma atau Hukum Tuhan juga boleh - itu saja....

Sekali lagi saya menghormati keyakinan Anda dan juga keyakinan agama lain yang diakui di Indonesia. Masing-masing orang mempunyai jodoh agama masing-masing, silahkan dianut dan diamalkan dengan baik. Diskusi atau penyampaian pandangan ini supaya kita mampu memiliki toleransi, memaklumi keyakinan lain, dan juga kita bisa memiliki pengetahuan yang luas, itu saja... Mari kita semua hidup rukun, saling menghormati, bantu-membantu satu sama lain. Berbeda-beda itu indah. Indonesia bisa bersahabat dengan negara manapun karena Indonesia memiliki warna dan potensi yang lengkap.

Si C menimpali kedua pandangan tadi sebagai berikut :

Betul saya setuju dengan argumen ibu. Kalau memang Tuhan itu maha penyayang seperti yang disampaikan oleh bapak A itu, coba terangkan kenapa masih banyak orang menderita. Katanya penyayang dan tidak pilih kasih - kenyataannya di dunia seperti apa? Kalau memang Tuhan Yesus bisa membantu ; mengapa masih ada orang yang menderita. Jadi kesimpulannya kita hidup di dunia jangan saling merasa hebat dalam agama yang dianut. Ibarat kita beli mobil, saya suka-nya mobil Pajero, tapi orang lain tidak suka, suka-nya Fortuner, jadi masing-masing orang mempunyai kecocokan masing-masing dalam memilih agama. Tidak saling merasa hebat dan benar. Tolong Anda renungkan.

Si A tetap menyampaikan pandangannya sendiri dengan tetap mempergunakan huruf kapital sebagai berikut : PADA WAKTU TUHAN ALLAH MENCIPTAKAN MANUSIA DAN LAIN LAIN, SEBENARNYA SEMUANYA BAIK-BAIK DAN "TANPA CACAT CELA" APAPUN. NAMUN SAYANG SEKALI MEREKA ITU TIDAK TAHU BERSYUKUR - MALAHAN MELANGGAR PERINTAH TUHAN DAN BERDOSA KEPADA TUHAN - ITULAH ASAL MULA KEJATUHAN MANUSIA YANG MENGAKIBATKAN BANYAK CACAT CELA DAN HAL HAL YANG NEGATIF. BAHKAN KESUSAHAN, KEJAHATAN DAN KEMATIAN BAGI UMAT MANUSIA. DAN BUKAN KARENA TUHAN YANG MENGINGINKAN SEMUA HAL ITU TERJADI.

Si B menanggapi demikian : OK saya rasa sudah jelas pemikiran dan pemahaman kita masing-masing. Silahkan saudara A teguh dengan keyakinan yang dipilih dan silahkan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari saudara yang disertai dengan banyak berbuat baik, tidak serakah dan tidak membenci. Semoga saudara A memperoleh keselamtan, kebahagaiaan dan hidup kekal yang dijanjikan dan dijamin oleh Tuhan Yesus.

Kemudian dengan mantapnya si A melanjutkan tanggapannya sebagai berikut : TERIMA KASIH ATAS UCAPAN BERKAT YANG ANDA SAMPAIKAN KEPADA SAYA! SEMOGA ANDA JUGA DIBERIKAN OLEH TUHAN YESUS KESELAMATAN, DAMAI, KEBAHAGIAAN DAN HIDUP KEKAL YANG MULIA KELAK DIDALAM SORGA! SANGAT SENANG BERTEMAN DAN BERDISKUSI DENGAN ANDA SEORANG INTELEKTUAL DAN BERPENGETAHUAN SECARA LOGIS DAN RASIONIL TENTANG HAL-HAL YANG MUNGKIN BISA BERMANFAAT JUGA BAGI TEMAN TEMAN YANG LAIN SEPERTI YANG ANDA KATAKAN DALAM KOMENTAR TADI!

Si B maklum dengan pemikiran dan pemahaman si A dengan tidak melanjutkan diskusi. Diskusi selesai...

Demikianlah catatan diskusi yang berjudul : Diskusi Menarik (3) ini - Semoga bermanfaat.


Diskusi Menarik (2)

Badu memulai pembicaraan dengan menyampaikan sabda Tuhan Yesus yang tertulis dalam Matius 18 ayat 2 sebagai berikut : Sebab dimana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, disitu Aku ada di tengah-tengah mereka. Kemudian Badu melanjutkan perkataannya sebagai berikut : kita yakin Tuhan Yesus menginginkan banyak orang berkumpul atau beribadah kepada Dia dalam namaNya dan jiwa yang diselamatkan bisa makin bertambah di dalam Gereja! Namun biarpun sedikit orang di dalam Gereja yang berkumpul – tetapi yang penting ialah jemaat bisa dengan sungguh-sungguh – dan dengan segenap hati percaya – bersandar dan mengasihi Tuhan, maka Tuhan juga akan berkenan dan memberkati. Tentu jemaat juga harus lebih rajin dan semangat mengabarkan Injil.

Polan menjawab : Bukankah Tuhan Yesus itu maha kuasa yg berarti segala sesuatu is OK, No Problem buat Tuhan, dan juga Tuhan maha kasih bukan? Tapi mengapa pula untuk menyelamatkan manusia menurut pemahaman Anda Tuhan Yesus mensyaratkan manusia harus berkumpul dan beribadah di dalam namaNya? - bersandar dan mengasihi Tuhan? Ooo... Tuhan punya hajat / memiliki keinginan yang remeh-temeh? Saya ulangi : maha kasih tapi memiliki syarat - dimana untuk bisa selamat manusia harus berkumpul beribadah atas namaNya, bersandar dan mengasihi Tuhan. Bukankah Tuhan maha kuasa, artinya apapun yang beliau inginkan langsung bisa terwujud, termasuk untuk menyelamatkan manusia - ya selamatkan saja tidak usah pakai syarat - memiliki keinginan - mempermainkan hingga menyiksa manusia ciptaanya sendiri? Itu kesimpulan dari pemahaman Anda - saya tidak menganggap Tuhan seperti itu. Menurut Anda Tuhan itu mirip manusia? - punya hajat dan punya iseng. Dimana Tuhan akan memberkati manusia dengan syarat dikasihi - seperti orang dagang saja. Saya rasa Anda salah dalam mempersepsikan Tuhan, bisa berdosa mempersepsikan Tuhan seperti manusia! Akan lebih fair kalau Tuhan itu adalah yang mutlak, sehingga kita ini yang tidak mutlak bisa menjadi mutlak juga (abadi) dengan syarat bisa menghancur-leburkan hawa nafsu tanpa sisa. Pemahaman Matius 18 ayat 12 Anda itu barangkali salah... bukan secara harafiah begitu pemahamannya... Maaf ya brother kalau komentar saya ini tidak menyenangkan Anda, saya hanya ingin berkomentar tidak ada maksud lain...

Badu berkata lagi : Betul, Matius 18 ayat 12 bukan tafsir secara harafiah, jawabnya bisa dihubungkan dengan Matius 18 ayat 11 : karena anak manusia yaitu Yesus Kristus datang untuk menyelamatkan umat manusia yang hilang. Semoga Anda juga bisa diselamatkan dan diberkati oleh Tuhan Yesus Kristus!

Polan berkata : OK jika demikian itu tanggapan Anda - saya menghargainya, semoga Anda senantiasa berbahagia dan mampu banyak berbuat kebajikan.

Demikianlah Diskusi Menarik ini - Semoga bermanfaat 

Diskusi Menarik (1)


Badu memulai pembicaraan dengan mengutip surat Amsal nomor 22 ayat 2 yang bunyinya sebagai berikut : “Orang kaya dan orang miskin bertemu di dunia ini, dan mereka dijadikan oleh Tuhan”.

Oleh karena itu, orang kaya tidak boleh sombong, tetapi harus dengan rendah hati bersyukur dan menyembah Tuhan, karena Tuhan memiliki otoritas untuk memberi penghargaan dan mengambil kembali!

Tetapi jika Anda menjadi miskin, jangan salahkan orang lain. Jika Anda memiliki makanan dan pakaian, Anda harus puas. Kedamaian dan kesehatan adalah berkat. Ini juga merupakan anugerah dan berkat yang diberikan oleh Tuhan. Anda harus bersyukur kepada Tuhan dan percaya kepada-Nya!

 

Polan berkomentar : Mengapa Tuhan tidak adil? Jika saya punya pilihan, saya akan memilih untuk dilahirkan dalam keluarga kaya.

 

Badu menanggapi : Bukan Tuhan yang tidak adil! Mungkin banyak orang seperti Anda akan memilih untuk lahir di keluarga kaya, tetapi fakta memberitahu kita bahwa banyak orang kaya sebenarnya gelisah, tidak bahagia, kosong, tidak puas dan terganggu! Seperti kata pepatah: "Hati manusia tidak cukup, ular menelan gajah." Karena itu, "Aman dan sehat adalah berkah", kaya atau tidak bukan yang terpenting. Lebih penting lagi, ketika kita masih hidup, kita dapat percaya kepada Kristus, sehingga kita memiliki "pengharapan di kehidupan ini dan harapan di kehidupan selanjutnya" dan dapat memperoleh kehidupan kekal dan kebahagiaan yang Tuhan berikan kepada kita di surga. Hidup ini adalah yang paling berarti dan berharga!

 

Polan berkomentar : Saya tidak bisa menerima argumen anda. Yang anda sampaikan itu adalah jika semuanya sudah terjadi, dimana kita sudah dilahirkan kemudian menjadi seperti kita yang sekarang ini. Yang menjadi pertanyaan saya itu adalah pertanyaan yang selalu muncul dalam benak orang banyak, dan pasti selalu muncul - sebelum jawaban yang sulit untuk dibantah diterima oleh yang bersangkutan. Yang dipertanyakan adalah sebelum semuanya terjadi. Alasan apa yang melatar belakangi mengapa kita ini ada yang dilahirkan dalam keluarga kaya, dalam keluarga miskin, lahir dalam kondisi jasmani yang baik, wajah cantik, ganteng, berkulit putih, berkulit hitam, terlahir dengan kondisi cacat, dan lain sebagainya. Pasti ada alasan yang benar yang sulit untuk disanggah. Kalau hal tersebut merupakan kehendak Tuhan harus ada keadilan disana, bukan tanpa sebab, bukan tanpa alasan yang tidak bisa diterima oleh akal yang baik. Mohon maaf saya meyakini kebenaran Hukum Sebab-Akibat. Ada baiknya anda juga mempelajari keyakinan yang lain, keyakinan atas "kesunyataan" yang ada. Tanggapan anda diatas sudah saya duga seperti itu.

Orang kaya yang gelisah, tidak bahagia, kosong, tidak puas dan terganggu – itu adalah orang kaya yang belum piawai bagaimana mengelola pikiran / batinnya secara benar. Dia harus belajar tentang “Dhamma” atau hukum alam yang berlaku dan bagaimana cara menyikapinya dengan baik dan benar. Kaya atau tidak memang bukan yang terpenting, akan tetapi jika memiliki pilihan – pilihlah menjadi orang kaya karena akan lebih mudah berbuat bajik – contoh : banyak-banyaklah berdana kepada orang yang membutuhkan bantuan, misalnya memberi uang kepada orang miskin – supaya di kehidupan berikutnya lebih baik lagi karena hukum sebab-akibat itu nyata. Saya sependapat dengan pernyataan Anda bahwa hidup ini adalah yang paling berarti dan berharga, tepatnya hidup sebagai manusia adalah yang paling berharga dibanding misalnya hidup sebagai binatang ataupun sebagai setan.

 

Badu menanggapai : Maaf, ijinkan saya untuk merespon sekedar hal yang saya rasa penting untuk anda mengerti. Mengenai "perbedaan-perbedaan" yang terjadi dalam kondisi kelahiran, kehidupan, pengalaman dan sebagainya bagi manusia didalam dunia ini, menurut catatan Alkitab, pada mulanya ketika Tuhan Allah menciptakan alam semesta dan segala isinya semuanya itu memang baik adanya, dan manusia pertama yaitu suami isteri Adam dan Hawa sebenarnya juga adalah manusia yang tanpa dosa, tanpa cacat cela apapun dan bisa menikmati hidup yang penuh kebahagiaan dan kemuliaan, tanpa kekurangan dan kesusahan apapun didalam Taman Eden yang Tuhan tempatkan mereka disana! Namun sangatlah sayang, karena kemudian mereka melanggar perintah Tuhan Allah dan berdosa kepada Tuhan, maka itulah "sebabnya yang mengakibatkan" mereka, termasuk semua keturunannya kehilangan keadaan semula yang sangat bernilai itu, sehingga akhirnya harus lahir, hidup serta mengalami berbagai masalah, kekurangan, cacat dan tercela, kesusahan, penderitaan bahkan kematian! Tetapi syukur kepada Tuhan yang tetap mengasihi manusia, sehingga turunlah Yesus Kristus dari sorga dan rela menderita dan mati diatas kayu, supaya manusia yang mau percaya dan menerima keselamatan-Nya itu masih diberikan kesempatan untuk mendapatkan keselamatan, hidup yang damai, bahagia, penuh pengharapan, kebahagiaan dan hidup yang kekal disorga kelak! Itulah sekedar respon saya terhadap argumen yang anda sampaikan, mudah mudahan bisa bermanfaat bagi anda dan diberkati oleh Tuhan!

 

Polan berkomentar : Taman Eden itu posisinya dimana? Dan saya tidak sependapat kalau orang tua yang melanggar perintah Tuhan Allah dan berdosa kepada Tuhan, maka anak-anaknya apalagi semua keturunannya harus lahir, dan hidup dengan berbagai masalah, seperti kekurangan, cacat cela, kesusahan, dan penderitaan? Kalau yang berdosa adalah orang tua – mengapa pula keturunannya harus terseret ikut menderita? Itu tidak adil. Karena hukum alam yang salah satunya adalah hukum sebab & akibat itu murni - bekerja secara adil. OK - untuk sementara saya cukupkan sampai disini dulu. Ketahuilah bahwa sekarang ini hampir semua persoalan ataupun pertanyaan dapat ditemukan solusi dan jawabannya yang benar di media-media yang ada, yang sudah tersedia banyak sekali. Tapi harus ingat jangan kita lupa menggunakan akal sehat kita - supaya tidak salah mengerti dan tidak terprovokasi oleh berita-berita atau jawaban yang salah yang masih bisa dibantah.

 

Demikianlah Diskusi Menarik (1) ini - Semoga bermanfaat.