Translate

Senin, 04 Oktober 2021

Perlakuan untuk orang Murtad

Tulisan ini dimaksudkan menyampaikan pendapat perihal tindakan yang dipilih buat orang yang murtad. Dalam salah satu videonya saat menjawab pertanyaan, seorang buya mengatakan bahwa hukuman buat orang yang murtad dari Islam, yang masuk ke Ahmadyah, maka hukumnya harus dibunuh kalau tidak mau tobat, mayatnya dikubur di tempat orang kafir, tidak boleh ditempatnya kaum muslimin. Yang murtad diingatkan dulu, dinasehati, diminta untuk bertobat kembali ke Islam, kalau mau kembali selesai, kalau tidak mau  kembali diupayakan dulu, janganlah yang murtad malah mengangkat pedang mengajak perang. Yang boleh menyuruh orang memenggal kepala orang murtad adalah Imam, pemimpin Islam. Ada aturan, ada prosedurnya, bukan sembarang penggal kepala. Tidak boleh sembarang orang menuduh kafir, menuduh murtad kemudian membunuh. Apalagi kepada orang Islam yang awam yang murtad, mereka harus dinasehati terlebih dahulu oleh seorang ustadz, diminta untuk bertobat. Sungguh sangat salah kalau ada sekelompok orang yang mengatas namakan Islam, mengaku pejuang dan tiba-tiba kalau tidak cocok sama orang, menganggap murtad, langsung ngebom, itu tidak benar. Islam tidak semacam itu. Orang Islam dibunuh oleh orang Islam dengan alasan murtad, telah menjalankan bukan hukum Allah, maka presidenpun harus dibunuh, bupati dibunuh. Tidak begitu aturan Islam. Islam adalah indah. Diminta bertobat, dinasehati, diingatkan, kalau orang  Ahmadyah tetap semacam itu, tidak mau bertobat maka boleh dihukum, yang menghukum bukan anda tapi petugas dari pemerintah, bukan sembarang orang, kalau sembarang orang nanti terjadi bunuh-bunuhan. Buya melanjutkan uraiannya semoga Allah menjaga saudara kita  yang masuk ke Ahmadyah segera kembali kepada Agama yang diridhoi Allah, agama nabi Muhammad dan tidak ada nabi setelah nabi Muhammad. Demikianlah jawaban seorang buya dalam menjawab pertanyaan.

Bukan karena agama tertentu tulisan ini dibuat. Pemeluk agama lainpun bisa dikoreksi jika perbuatannya menyimpang. Tulisan ini bertujuan untuk membangun kebaikan bersama, membangun kebersamaan dan persatuan bangsa yang kokoh demi Indonesia maju.

Menurut kelayakan dan nalar yang baik, murtad atau keluar dari agama tertentu kemudian memeluk agama yang lain itu bisa dan biasa. Hal tersebut merupakan hak pribadi seseorang untuk melakukannya. Merupakan hak azasi manusia. Hal ini bisa terjadi karena memilih  memeluk agama tertentu itu diperbolehkan, termasuk Ahmadyah sebenarnya, karena hidup di dunia ini yang paling penting adalah kedamaian. Resiko dari memilih suatu agama atau keyakinan itu bukan datang dari sesama manusia, melainkan merupakan tanggungjawab masing-masing kepada yang maha kuasa. Yang maha kuasa itu adalah Allah, namun banyak pula yang memahaminya bahwa yang maha kuasa itu adalah hukum alam. Hukum alam yang terkait dengan perbuatan manusia adalah hukum karma. Bukan hukumnya kaum pemeluk agama lain. Pilihan untuk memeluk agama atau keyakinan tertentu itu dilakukan berdasarkan kecocokan, dimana kebaikan atau kebenaran agama yang dipilih tersebut masuk di logika yang bersangkutan.

Kenyataannya lebih banyak pemeluk dari agama yang sama yang tidak setuju dengan tindakan hukum memenggal kepala orang murtad yang tidak bisa dinasehati. Katakan saja perbedaan pendapat dalam hal pemenggalan kepala ini bisa terjadi karena adanya perbedan penafsiran dari yang tertulis dalam kitab suci. Apakah Allah itu sadis karena memperbolehkan atau justru menganjurkan manusia untuk memenggal kepala manusia lain? Apakah Allah tidak berkehendak menciptakan suasana damai? Apakah Allah tidak dapat mencegah adanya penggal memenggal kepala? Secara logika dan sunyata, Allah tidak ikut campur dengan urusan tetek-bengek manusia. Sudah ada hukum universal alam semesta yang berlaku dan bekerja secara otomatis, yaitu hukum tabur-tuai, hukum sebab–akibat atau hukum karma. Sudah dilengkapi pula dengan hukum negara. Apalagi? Manusia tinggal menyikapinya saja dengan baik dan benar bekerjanya hukum karma dan hukum negara kalau mau selamat dunia dan selamat adi dunia. Ayolah mennggunakan akal sehat dan paham bahwa agama itu tercipta adalah untuk kebaikan, bukan untuk kerusuhan. Ini yang harus dipedomani. Jangan berbuat sadis. Jangan mabuk agama. Jangan keblinger.

Tadi dikatakan pemimpin agamalah yang berhak memerintah untuk memenggal kepala orang murtad yang tidak bisa dinasehati. Iya, itu bisa terjadi di jaman dulu di luar sana. Di jaman sekarang di Indonesia, pemerintah, hukum atau tepatnya hakimlah yang berhak memutuskan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada seseorang. Warga negara Indonesia tidak boleh main hakim sendiri atas nama agama. Pemeluk agama yang benar tidak akan main hakim sendiri. Jika tidak mau tunduk dengan Undang-undang dan hukum negara yang berlaku, silahkan hengkang ke negara lain.

Orang murtad yang tidak bisa dinasehati atau kalau ada yang menantang mengajak perang, itu menjadi urusan pemerintah, laporkan saja ke polisi jika ada yang seperti itu untuk memperoleh penyelesaian.

Setiap agama memiliki keyakinan sendiri, setiap orang boleh memilih agama yang diyakininya, jadi tidak boleh memaksakan kehendak dan main hakim sendiri.

Sekarang persoalannya justru bagaimana caranya menyadarkan orang-orang beragama yang keblinger. Bagaimana caranya mengeliminir orang-orang yang sakit hati kepada penguasa atau kepada pemerintah agar tidak sakit hati lagi, karena keputusan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pemegang mandat rakyat itu dilakukan berdasarkan ketentuan, atau berdasarkan aturan dan hukum yang berlaku. Penguasa atau pemerintah tidak bisa bertindak sewenang-wenang tanpa aturan yang sudah disepakati bersama dengan DPR sebagai wakil rakyat. Dan juga sekarang ini demi Indonesia maju, bagaimana caranya meniadakan orang-orang yang memanfaatkan orang-orang keblinger untuk tujuan-tujuan politik, untuk tujuan-tujuan ekonomi, untuk tujuan merebut kekuasaan yang sah dengan cara-cara yang tidak sah, untuk tujuan menyelamatkan perbuatan salah tidak mau membayar hutang trilyunan rupiah kepada negara dan lain lain sebagainya.

Demikianlah tulisan ini, semoga dapat dipahami dengan baik sehingga bermanfaat. Marilah kita memberikan contoh mengamalkan ajaran agama dengan mengedepankan akal sehat. Tidak salah bertindak, tidak melanggar hukum, tidak melanggar aturan, tidak melanggar tatakrama, berbudi pekerti baik, sopan dan santun.

Tidak Percaya Apapun

Kalimat berikut ini yang katanya adalah ucapan Guru Agung Tathagata Sakyamuni, sang Bhagava, yaitu :

Tidak Percaya Apa Pun, Di Mana Pun Kamu Membacanya Atau Siapa Pun Yang Telah Mengatakannya, Bahkan Jika Aku Yang Mengatakannya. Kecuali Jika Sesuai Dengan Alasan Dan Akal Sehatmu Sendiri.

Ucapan tadi benar diucapkan oleh sang Bhagava atau tidak?

Banyak yang menyangsikan jika ucapan tersebut persis seperti apa yang pernah diucapkan oleh sang Bhagava, oleh sang Begawan. Banyak yang bertanya sumbernya dari mana, dari sutta yang mana.

Ternyata yang mendekati adalah dari Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 4.65 , yang bunyi terjemahannya demikian :

Adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi bingung, O penduduk Kalama, adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan. Marilah, O penduduk Kalama, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir : Pertapa itu adalah guru kami. Tetapi ketika, penduduk Kalama, kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri : Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini jika diterima dan dijalankan akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan, maka kalian harus meninggalkannya.

Jadi jelas bahwa kalimat Tidak Percaya Apa Pun dan seterusnya itu tidak sama dengan yang diucapkan oleh Begawan, hanya merupakan kesimpulan belaka atau paraphrase yang salah dari ucapan Sang Begawan. Kesimpulan tersebut salah satunya ditulis oleh seorang libertarian bernama John Galt dalam bukunya yang berjudul Dreams Come Due. 

Kalama Sutta itu menunjukkan ajaran yang bebas dari fanatisme, keyakinan membuta, dogmatisme, dan intoleransi. Sutta ini berisi tentang penerapan sikap ehipassiko seperti yang diajarkan sang Begawan di dalam menerima ajaranNya. Sang Begawan dalam sutta ini mengajarkan untuk "datang dan buktikan" ajaranNya, bukan "datang dan percaya".

Kalama Sutta memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh pencari kebenaran dan berisikan standar yang digunakan untuk menilai segala sesuatu. Kalama Sutta merupakan kerangka dasar Dhamma. Sang Begawan menasehati orang-orang suku Kalama untuk meninggalkan hal-hal yang mereka ketahui sendiri adalah hal-hal buruk, dan mengambil hal-hal yang mereka ketahui sendiri adalah hal-hal baik.

Untuk memastikan seperti yang diucapkan sang Begawan dalam Kalama Sutta diatas mengenai hal-hal yang tidak bermanfaat; hal-hal yang tercela; hal-hal yang dicela oleh para bijaksana; hal-hal yang jika diterima dan dijalankan akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan, maka yang harus dilakukan adalah memastikan apakah ajaran yang disampaikan oleh para guru spiritual kepada suku Kalama itu mengandung unsur keserakahan, kebencian dan kebodohan batin atau tidak? Mengarah kepada pembunuhan, pencurian, perzinahan, kebohongan dan mabuk-mabukan atau tidak? Kalau iya, atau salah satu saja yang mengarah ke hal tersebut maka jangan percaya dengan ajaran tersebut dan tinggalkan.

Jadi kata-kata “Sesuai Dengan Alasan Dan Akal Sehatmu Sendiri” itu jika dipedomani maka perilaku yang terjadi belum tentu benar dan belum tentu baik, ajaran yang “Sesuai Dengan Alasan Dan Akal Sehat Sendiri” itu belum tentu ajaran yang benar, ajaran yang benar adalah merupakan hal-hal yang bermanfaat; hal-hal yang tidak tercela; hal-hal yang tidak dicela oleh para bijaksana; hal-hal yang jika diterima dan dijalankan akan mengarah pada kesejahteraan & kebahagiaan jangka panjang. Jika ajarannya seperti itu maka Anda harus masuk & tinggal di dalamnya.

Demikianlah bahasan singkat mengenai kesimpulan atau yang dianggap sebagai paraphrase dari kalama sutta yang berbunyi :

Tidak Percaya Apa Pun, Di Mana Pun Kamu Membacanya Atau Siapa Pun Yang Telah Mengatakannya, Bahkan Jika Aku Yang Mengatakannya. Kecuali Jika Sesuai Dengan Alasan Dan Akal Sehatmu Sendiri.

Ternyata yang dianggap sebagai paraphrase dari Kalama Sutta yang diatas itu salah, karena jika dipedomani maka hasilnya belum tentu sama dengan yang dimaksudkan dalam Kalama Sutta.

Ketidakmelekatan dan Ketidakperdulian

Berikut ini adalah uraian mengenai Ketidakmelekatan dan Ketidakperdulian yang sebagian besar materinya dikutip dari uraian bhante Uttamo Mahatera.

Bagaimana membedakan antara ketidakmelekatan pada suatu hal atau pada suatu objek dengan ketidakpedulian atau sikap yang acuh tak acuh ? Apakah keduanya hal yang sama ?

Bagaimanakah jika latihan untuk mencapai ketidakmelekatan itu dengan menggunakan prinsip "Kalau dapat OK, kalau tidak dapat tidak apa-apa", artinya dalam mengerjakan suatu hal kalau tidak berhasil tidak apa-apa, yang penting telah berusaha, kalau berhasil itu lebih baik.

Penjelasannya adalah demikian. Ketidakmelekatan itu sangat baik jika dimiliki oleh setiap orang, dimiliki oleh setiap pemeluk agama apapun itu, karena dengan ketidakmelekatan seseorang akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tercela, misal menjadi seseorang yang serakah dan pembenci.

Ketidakmelekatan dan ketidakpedulian adalah dua hal yang sangat berbeda. Perbedaan kedua kondisi tersebut dapat digambarkan dengan dua gelas. Ketidakmelekatan seperti gelas yang terisi penuh dengan air bening sehingga dari kejauhan gelas tersebut nampak kosong. Padahal gelas tersebut berisi air jernih dan sangat bermanfaat untuk mengatasi rasa haus bagi si pemilik gelas. Sedangkan ketidakpedulian itu seperti gelas yang memang kosong tanpa isi sama sekali. Tidak bermanfaat untuk mengatasi rasa haus. Kedua gelas tersebut dari kejauhan tampak sama, serupa. Perbedaan di antara kedua gelas baru dapat diketahui dari jarak dekat.

Demikian pula perbedaan antara ketidakmelekatan dan ketidakpedulian. Sepintas dari luar kedua kondisi tersebut nampak serupa. Namun apabila memperhatikan dasar pemikiran yang terjadi dalam diri masing-masing orang yang memiliki sikap tersebut kiranya akan nampak jelas perbedaan di antara keduanya. Ketidakmelekatan menjadikan seseorang selalu siap menghadapi segala kenyataan yang mungkin bertentangan dengan harapan yang dimiliki. Ia mudah menyesuaikan diri dengan kenyataan yang dihadapi saat ini. Ia menjadikan kenyataan saat ini sebagai pelajaran. Kenyataan yang baik menjadi pelajaran untuk ditingkatkan di masa depan. Sebaliknya kenyataan yang buruk menjadi pelajaran untuk diperbaiki di masa depan. Dengan demikian orang yang memiliki prinsip hidup "tidak melekat" akan selalu mendapatkan kemajuan di setiap pengalaman hidupnya.

Sedangkan ketidakpedulian menjadikan seseorang tidak peduli dengan pengalaman apapun yang terjadi pada diri sendiri maupun pada orang lain. Ia bahkan cenderung mengulang kesalahan yang sama yang pernah ia lakukan. Ia tidak berusaha meningkatkan kebahagiaan yang pernah dialami. Ia tidak peduli dengan kemajuan diri sendiri maupun lingkungan tempat ia tinggal. Sikap ini tentunya sangat merugikan semua fihak.

Berlatih ketidakmelekatan haruslah dibarengi dengan pengertian yang benar agar menghindarkan seseorang terjerumus dalam sikap ketidakpedulian. Dengan demikian sikap mengutamakan usaha tanpa memperhatikan hasil akhir hendaknya dibarengi dengan upaya belajar dari pengalaman. Artinya seseorang harus tetap memperhatikan hasil yang dicapai dari suatu usaha. Seseorang hendaknya mencari penyebab hasil yang baik maupun yang buruk atas usaha yang telah dilakukan agar dapat dijadikan pelajaran dalam usaha selanjutnya. Penyebab hasil baik haruslah ditingkatkan agar di masa depan usaha yang dilakukan memberikan hasil yang lebih maksimal. Sedangkan penyebab hasil yang tidak baik haruslah dihindari dalam usaha berikutnya. Tindakan menjadikan pengalaman sebagai pelajaran untuk memperbaiki usaha yang dilakukan saat ini tersebut adalah tindak nyata sikap ketidakmelekatan. Menyikapi berbagai suka duka kehidupan dengan cara seperti inilah yang memperbesar kondisi seseorang dapat mencapai kemajuan serta terhindar dari kemunduran dalam setiap usaha yang dilakukan.

Minggu, 03 Oktober 2021

Jalan Menuju Nirwana

Nirwana adalah bahasa Sanskerta, bahasa Pali nya adalah Nibbana. Untuk merealisasi Nibbana itu jalan yang arus dilalui atau tepatnya dilaksanakan, yaitu dipraktekkan dengan baik, benar, tekun & berkesinambungan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan (JMB-8). JMB-8 itu isinya sangat luas sekali jika diurai sampai terang benderang, diurai sampai hal-hal yang terkecil, sampai dalam, sampai pemahamannya lengkap & sempurna sesuai dengan pengertian Abhidhamma. Jangankan 8 unsur, setiap unsurnyapun jika dipelajari sesuai dengan pengertian Abhidhamma, maka unsur-unsur tersebut mengandung banyak sekali ajaran spiritual yang murni atau mengadung pengertian kesunyataan yang sangat luas sekali. 

Oleh karena itu tulisan ini tidak akan membahas semua unsur. Hanya akan menyinggung sedikit saja tentang suatu hal yang terkait dengan unsur yang kedelapan, yaitu Konsentrasi, kesadaran atau meditasi Benar. Setiap unsur dari JMB-8 itu memang saling terkait satu sama lain, tidak bisa dipisahkan. Untuk paham & kalau ingin mempraktekkan unsur yang kedelapan, yaitu Konsentrasi Benar atau Meditasi Yang Benar tentu tidak terlepas dari unsur yang ke tujuh, yaitu perhatian atau perenungan benar. Unsur yang ketujuh ini juga tidak bisa lepas dari unsur yang keenam yaitu daya upaya benar, begitu seterusnya.

Jadi sekali lagi untuk bisa merealisasi Nibbana atau mencapai penerangan sempurna itu jalannya adalah JMB-8, dimana unsur yang kedelapan adalah yang terpenting, yaitu tidak lain & tidak bukan harus berlatih meditasi, yaitu meditasi Samatha dan atau meditasi Vipassana hingga mencapai hasil tertinggi, yaitu mencapai penerangan sempurna atau enlightened, tercerahkan. Kalau langsung berlatih meditasi Vipassana itu akan lebih sulit memperoleh hasil dibanding berlatih Meditasi Samatha terlebih dahulu.

Persoalannya sekarang tidak semua orang mempunyai kesempatan berlatih meditasi, karena tidak berjodoh. Ada beberapa hal yang merupakan penyebabnya, antara lain yaitu : 

1. Bertempat tinggal jauh dari Vihara, 

2. berada dalam keluarga dan atau lingkungan yang belum mengenal Dhamma. 

Jika mengalami kedua hal tersebut, maka dapat dikatakan belum berjodoh dalam hal dapat menyusuri jalan yang menuju ke Nibbana.

Akan tetapi meskipun sangat berat & sulit, karena tidak berjodoh, yang dapat dilakukan adalah berusaha keras dalam upaya bisa berlatih meditasi dengan situasi & kondisi yang tidak berjodoh tersebut. Misalnya pandai-pandai mengambil waktu untuk berlatih meditasi, seberapa lama waktu yang dipunyainya meski hanya beberapa menit itu sangat bermanfaat dibanding tidak sama sekali, dan usahakan dapat melakukannya secara rutin dengan waktu yang tetap misalnya 2 kali sehari pagi & petang. Sebaiag tambahan informasi, meditasi itu bisa dilakukan dimanapun & disaat apapun, misal disaat kita sedang bekerja, disaat kita sedang makan dan lain-lain. kita bisa melakukan meditasi, yaitu bekerja, makan dan lain-lain dilakukan dengan konsentrasi, atau tepatnya dilakukan dengan kesadaran penuh, usahakan selalu pikiran kita tidak kemana-mana, hanya menyadari, mengamati & memperhatikan secara penuh apa yang sedang kita lakukan. Maka lama-kelamaan akan menghasilkan hati & pikiran kita yang jernih, yang benar, yang bijaksanan, yang tidak kotor, yang tidak serakah & yang tidak membenci. Selain hal-hal tersebut, maka yang kita kejakan tersebut hasilnya akan baik, lebih sempurna, tidak memiliki kesalahan. 

Mengenai teori-teori mediatasi atau ajaran meditasi itu, dan juga pengetahuan Dhamma; sangat banyak sekali yang bisa dipelajari dari banyaknya video-video yang ada di YouTube di Internet. Tentang hal ini buat orang-orang sekarang yang berada dalam keluarga atau lingkungan yang belum mengenal Dhamma, atau bertempat tinggal jauh dari Vihara, dapat dikatakan lebih beruntung dibanding generasi sebelumnya, karena sekarang ini dengan kemajuan teknologi informasi yang sudah memadai, maka semua informasi tentang apapun itu termasuk pengetahuan Dhamma & ajaran meditasi bisa diperoleh dengan mudah dari Internet, yaitu dari YouTube & yang lainnya.

Yang mau dikatakan disini sebenarnya adalah, asal kita tahu apa yang bisa kita lakukan karena semua informasi bisa dengan mudah kita peroleh dari dunia internet, dalam kondisi yang tidak berjodoh tersebut, maka lakukanlah dengan penuh semangat apa yang ingin kita lakukan yaitu berlatih meditasi dalam upaya menapaki jalan menuju ke Nibbana. Jadi dalam hal ini yang penting adalah usahanya, prosesnya, bukan lagi berjodoh atau tidak berjodoh. Mengapa demikian? Karena apapun kebaikan yang kita perbuat akan berdampak di kemudian hari. Dalam hal ini kita telah berbuat mengumpulkan parami untuk kehidupan mendatang, meski sekecil apapun parami yang kita kumpulkan tersebut, pasti akan membuahkan hasil yang baik di kemudian hari, di kehidupan mendatang. Mungkin di kehidupan mendatang kita sudah berjodoh dengan pengetahuan Dhamma & meditasi. Mungkin akan menjadi seorang rahib, sehingga Nibbana menjadi semakin dekat.


Selasa, 21 September 2021

Resep Jitu Menjadi Kaya Tanpa Dosa

Banyak orang yang menginginkan menjadi kaya dengan jalan pintas. Biasanya yang dilakukan adalah dengan cara mencuri, menipu, korupsi, dagang Narkoba dan sebagainya. Semua cara-cara tersebut selain tidak berkah karena merugikan orang lain, juga melanggar larangan agama, melanggar hukum, dan yang pasti tidak akan bertahan lama. Inilah hal terpenting yang tidak disadari oleh yang bersangkutan yaitu yang tidak bertahan lama itu.

Jika saatnya telah tiba yang bersangkutan akan menderita karena perbuatannya itu akan ketahuan, ketangkap, dan akhirnya dihukum atau dipenjara. Hukuman itu tidak hanya terjadi di dunia ini saja. Yang bersangkutan akan menerima hukuman berikutnya di alam lain setelah dia meninggal dunia, yaitu ketika secara matematis metafisika hukuman di dunia yang diterimanya itu belum memadai, masih ringan, secara matematis metafisika belum sepadan. Jika putusan hakim secara perhitungan matematis metafisika atau secara aturan hukum karma terlalu berat maka itu artinya yang bersangkutan yaitu yang terhukum, telah memetik buah karma buruk yang diperbuat sebelumnya. Jika beratnya hukuman yang diputuskan oleh hakim ketua tersebut karena disengaja, maka hakim termasuk tim-nya yang punya niat tidak baik atau tidak adil, mereka itu telah berbuat karma buruk. Oleh karena itu para hakim hendaknya bekerja dengan adil dan bijaksana, karena hakim itu di dunia ini adalah bekerja mewakili yang maha kuasa dan yang maha adil.

Lantas bagaimana caranya bisa menjadi kaya tanpa dosa? Yang pertama tentunya kita harus tahu hukum universal yang berlaku di alam semesta atau di dunia ini seperti apa, yang harus kita sikapi dengan baik dan benar. Hukum tersebut adalah hukum sebab-akibat, hukum tabur tuai atau hukum karma, adalah merupakan hukum Yang Maha Kuasa, hukum yang Adil. Hukum ini menyatakan, barang siapa berbuat baik maka kemudian yang bersangkutan akan memetik buah karma baiknya itu berupa kebahagiaan. Kebahagiaan itu salah satunya adalah berupa kesuksesan, misalnya memperoleh kenaikan jabatan atau menjadi orang kaya, tergantung dari apa yang dilakukannya, tergantung yang diusahakannya secara baik dan benar, yang diusahakannya sesuai dengan ketentuan hukum universal yang berlaku di alam semesta atau di alam dunia ini, yaitu hukum karma.

Sebaliknya hukum karma juga menyatakan, barang siapa berbuat jahat maka pada masa depan yang bersangkutan akan memetik buah karma buruknya itu berupa penderitaan.

Dalam hukum universal ini tidak ada tawar menawar, tidak bisa disuap. Cara menyuap satu-satunya tak lain dan tak bukan adalah dengan banyak berbuat baik, sering menolong atau membantu orang lain. Kalau berdoa, berdoalah yang maksudnya baik. Doa atau harapan yang paling jitu, yaitu doa universal, cocok di segala waktu, di segala tempat, di segala arah dan segala keadaan, adalah jika kita mengatakan atau mengatakan dalam hati dengan tulus ikhlas dan penuh penjiwaan, adalah jika kita mengatakan dan yang lebih baik lagi jika dikatakan secara berulang-ulang adalah dengan mengatakan dan berharap sebagai berikut : “Semoga semua makhluk berbahagia”. Semua makhluk itu meliputi semua, tanpa kecuali, sedangkan bahagia itu  meliputi segala hal pada situasi dan kondisi yang menyenangkan, yang sukses dan berhasil.

Jadi kalau mau menjadi kaya berusahalah mecari uang dengan bekerja keras dan cerdas secara halal, maksudnya secara baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah sains, plus jangan sampai lupa banyak berbuat baik, termasuk berdana. Berdanalah secara ikhlas seuai kemampuan dan kelayakan ekonomi. Jadi kalau mau kaya bukan menjadi pelit tapi justru jadilah dermawan sesuai kemampuan, sesuai perhitungan yang layak.

Kalau mau sukses menjadi boss, bekerjalah dengan keras dan cerdas secara baik dan benar, bijaksana, bukan dengan malas-malasan, perintah sana, perintah sini semau-maunya tanpa ada kerjasama, tanpa ada kebersamaan dan lain sebagainya. Dalam hal ini Anda lebih pintar dan lebih tahu. Plus jangan sampai lupa juga banyak berbuat baik kepada sesama, bahkan ke sesama makhluk.

Jadi dalam hidup ini kalau mau sukses dalam segala hal, bahkan sukses di segala waktu dan tempat yang tak terbatas di hidup ini saja, yang harus dilakukan itu bukanlah meminta atau memohon, hal yang harus dilakukan atau selalu diupayakan adalah banyak berbuat baik, mengurangi perbuatan jahat, berupaya mensucikan hati dan pikiran, banyak belajar semua hal termasuk pengetahuan spiritual yang benar, tidak delusi dan tidak spekulatif.

Berbuat baik itu lebih manjur dari doa biasa, doa yang maksudnya baik adalah berbuat baik.

Sebagai tambahan pengetahuan untuk lebih memantapkan pemahaman dari uraian tadi, berikut ini adalah pengetahuan yang benar, yang perlu diketahui, adalah sebagai berikut :

Keberhasilan yang kita capai, bukanlah dari memohon. Melainkan dari 5 hal yaitu :

1.      Meyakini adanya hukum perbuatan atau hukum karma.

2.      Melaksanakan kemoralan, yaitu berperilaku baik.

3.      Banyak mendengar, banyak belajar khususnya belajar Dhamma, yang merupakan pengetahuan spiritual yang benar.

4.      Mengembangkan kerelaan yang bersifat materi dan non materi, yaitu dengan berdana atau memberi apapun itu yang baik-baik.

5.      Memiliki kebijaksanaan.

Melaksanakan kemoralan dalam upaya memperbaiki perilaku, adalah dengan mengembangkan minimal 5 kemoralan, yaitu :

1.      Tidak membunuh.

2.      Tidak mencuri.

3.      Tidak berzina.

4.      Tidak berbohong.

5.      Tidak mabuk.

Terakhir, saya ulangi lagi, ada 2 hal yang bisa menyebabkan seseorang sukses, bisa menjadi kaya, yaitu :

1.      Bekerja keras dan cerdas sesuai dengan teori sains.

2.      Banyak berbuat baik.

Demikianlah tulisan ini. Semoga bermanfa’at.

Senin, 20 September 2021

BERSYUKUR

Selalu bersyukur itu mudah diucapkan, tapi pelaksanaannya bagaimana? Marilah kita berupaya menjalani hidup ini, pekerjaan ini, dengan ikhlas & suka cita. Marilah kita selalu setiap saat, menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih sengsara dibanding kita. Marilah setiap saat kita bisa fokus dengan apa yang sedang kita kerjakan. Pikiran yang fokus, akan menghasilkan hasil pekerjaan yang baik, bahkan sempurna. Pikiran yang sadar akan menjadikan kita waspada & bijaksana, akan tahu lebih awal, tidak akan pernah terlambat menyadari ketika kita akan melakukan kesalahan dalam bertindak dan berucap, bahkan ketika akan berpikiran negatif. Kalau sudah mampu melakukan hal-hal tersebut diatas, maka semua yang kita kerjakan akan berjalan lancar, menuai hasil yang baik, dan kebahagiaan akan selalu menyertai kita. Lama-kelamaan yang selalu kita lakukan tersebut, "fokus dan sadar setiap saat", akan menjadi kebiasaan (habit). Kita akan menjadi orang yang bersahaja, tenang, seimbang, tahan banting, ulet dan menyejukkan orang-orang disekitar kita. 
Jangan lupa kalau ada kelebihan materi, makanan dan lain-lain, mau membantu orang lain yang sangat membutuhkan, bantulah dengan ikhlas. 
Meskipun kita tahu bahwa berbagi itu adalah merupakan tabungan kita untuk masa depan, dan atau masa depan setelah kita mati, dan kita sendiri yang akan menerima buahnya, namun hendaknya jangan menghitung-hitung buah yang akan kita terima, karena hal tersebut bisa mengurangi lebatnya buah. Berbagilah tanpa memikirkan hasilnya. Orang lain yang senang menerima pemberian kita, hal tersebut sudah merupakan kebahagiaan tersendiri buat kita bukan? Itu merupakan kebahagiaan yang langsung kita terima.

Rabu, 08 September 2021

Saddha, Keyakinan dalam Buddhisme

Saddha adalah keyakinan berdasarkan pengetahuan dari hasil verifikasi atau penyelidikan awal berupa hipotesis, yaitu anggapan benar terhadap ajaran, konsep, gagasan dan lain lain, yang terbentuk karena keterbatasan bukti dan merupakan titik awal yang perlu ditindaklanjuti.
Kata Saddha memiliki makna dan pengertian yang tidak sederhana, dan tidak memiliki padanan kata yang tepat dan sesuai dalam kosakata bahasa lain untuk menggantikannya.  Untuk itu Saddha tidak bisa hanya sekedar diartikan sebagai “keyakinan”. Saddha bukanlah keyakinan membuta, yaitu kepercayaan terhadap sesuatu sebagai kebenaran tanpa verifikasi dan yang tidak memicu tindak lanjut berupa usaha membuktikan sesuatu itu.
Saddha juga bukanlah iman dalam kepercayaan lain, karena Saddha memerlukan penindakan selanjutnya berupa pembuktian dan tidak berdasarkan pada kepercayaan membuta serta rasa takut. Untuk itu menerjemahan Saddha sebagai iman dipertanyakan dan ditentang oleh para sarjana bahasa Pali Buddis. Dan alih-alih diterjemahkan sebagai iman, Saddha bisa diterjemahkan sebagai kepercayaan diri.
Iman dalam agama atau kepercayaan lain adalah rasa percaya yang berdasarkan pada ketakutan terhadap apa yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dan juga tanpa diawali dengan verifikasi serta tidak memerlukan penindakan selanjutnya yang berupa pembuktian. Dalam iman, apa yang dipercaya dianggap sebagai kebenaran, dan cenderung berkeyakinan membuta.
Sebagai contoh mengenai iman : dalam suatu agama tertentu menyatakan bahwa seseorang harus memiliki iman kepada Tuhan dan utusannya agar ia dapat memperoleh keselamatan, jika tidak, ia akan masuk neraka setelah ia meninggal. Karena rasa takut tidak diselamatkan dan masuk neraka, seseorang memilih percaya kepada keberadaan Tuhan dengan segala perintahnya tanpa mempertanyakan, tanpa memeriksa pernyataan tersebut, dan tanpa menindaklanjuti dengan usaha membuktikan kebenaran keberadaannya. Dan karenanya pemikiran untuk mengkritisi menjadi terhenti.
Sebaliknya, pengertian Saddha secara panjang adalah sikap batin yang yakin dan menerima hasil verifikasi atau penyelidikan awal berupa anggapan benar atau hipotesis terhadap ajaran, konsep, gagasan dan lain lain, yang pada tahap pengembangan diri seseorang saat sekarang ini belum dapat dibuktikan karena keterbatasan bukti yang ada, dan merupakan titik awal tindak lanjut berikutnya berupa usaha pengujian untuk pembuktian menuju terwujudnya kebenaran.
Secara singkat, Saddha adalah keyakinan berdasarkan hipotesis. Digunakannya kata “hipotesis” ini dikarenakan kata ini memiliki makna atau pengertian yang mendekati dengan pengertian dari Saddha.
Hipotesis sendiri adalah sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat, teori, proposisi dan sebagainya meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan. Hipotesis juga berarti anggapan atau penjelasan yang diusulkan, yang dibuat atas dasar bukti yang terbatas sebagai titik awal untuk penyelidikan lebih lanjut. Hipotesis juga disebut sebagai dasar penyelidikan, dan dalam berbagai penelitian sebuah hipotesis akan berdasarkan pada penelitian sebelumnya.
Sebagai contoh mengenai Saddha : seorang umat disebut memiliki Saddha terhadap Buddha meskipun belum bertemu terlebih dahulu, karena sebelumnya ia telah melakukan verifikasi, dan penyelidikan terhadap ajaran-Nya untuk selama beberapa waktu, serta setiap saat dapat melihat dan memastikan adanya hal-hal positif, seperti belas kasih, berkurangnya nafsu dan sebagainya yang ada pada diri orang lain yang telah mempraktikkan ajaran-Nya secara benar. Sehingga setelah melihat itu semua akhirnya menimbulkan sukacita, inspirasi, dan muncul keyakinan pada diri umat tersebut dengan menganggap benar apa yang telah ia verifikasi dan selidiki sebagai ajaran dari seseorang yang telah tercerahkan, yaitu Buddha, dan sesuai untuk dirinya. Dan untuk selanjutnya ia akan berusaha membuktikannya dengan mempraktekkan ajaran tersebut.
Saddha merupakan salah satu dari lima hal yang dapat menghasilkan dua hal yang berbeda, yaitu menghasilkan hal yang benar atau hal yang salah. Dengan kata lain, sesuatu yang diterima berdasarkan Saddha nantinya bisa benar atau salah, bisa merupakan fakta atau sebaliknya.
Karena kondisi Saddha yang dapat menghasilkan dua hal yang berbeda tersebut, maka tidak selayaknya bagi seorang bijaksana yang melestarikan atau menjaga kebenaran untuk menyimpulkan secara pasti apa yang diterimanya melalui Saddha tersebut dengan mengatakan, “Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah“, hingga ia membuktikan kebenarannya. Namun ia berhak untuk menyatakan, “Demikianlah keyakinan saya“.
Terdapat dua jenis Saddha, yaitu : Saddha yang memiliki pokok alasan atau berdasar  Mulika Saddha, dan Saddha yang tidak memiliki pokok alasan atau tidak berdasar Amulika Saddha.
Mulika Saddha adalah keyakinan yang muncul dari penilaian yang hati-hati dari hasil verifikasi atau penyelidikan yaitu Ehipassiko, yang memiliki dasar terhadap sebuah pernyataan, ajaran, dan sebagainya. Sedangkan Amulika Saddha adalah keyakinan yang muncul tanpa didahului dengan penilaian yang hati-hati dari hasil verifikasi atau penyelidikan yang juga tanpa memiliki dasar terhadap sebuah pernyataan, ajaran, dan sebagainya.
Keyakinan atau Saddha yang mengakar secara dalam pada wawasan yang berdasar Akaravata Saddha Dassanamulika, adalah keyakinan yang kokoh yang tidak terkalahkan oleh siapapun. Keyakinan ini merupakan keyakinan yang didasari oleh kebijaksanaan atau Panna; Dengan kebijaksanaan atau disebut indria kebijaksanaan atau Pannindriya maka Saddha pada diri seseorang akan stabil.
Itulah jenis keyakinan atau Saddha yang dianjurkan dalam meyakini Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha), karena Saddha seperti itu bermanfaat untuk mengokohkan, menguatkan, memfokuskan, dan sebagai pedoman sebuah niat untuk mencapai tujuan, yang dalam konteks Buddhis tujuan tersebut adalah Kebebasan Sejati atau merealisasi Nibbana.
Untuk itu, Saddha terhadap Tiratana merupakan hal yang penting pada awal perkembangan batin, dan karenanya Saddha diperumpamakan sebagai benih. Dan untuk itu juga Saddha perlu dikembangkan dengan cara berlatih dan mempraktikkan ajaran Buddha sambil mengujinya, agar seseorang dapat lebih menguatkan dan memfokuskan diri mencapai tujuan.
Pada tingkat akhir, pada diri mereka yang telah melihat, mengetahui, menembus, mewujudkan, dan mencapai Kebenaran oleh dirinya sendiri secara langsung terhadap sesuatu, misalnya terhadap salah satu ajaran Buddha, maka Saddha terhadap Tiratana tersebut tidak diperlukan lagi, sehingga mereka menjadi tanpa Saddha atau asSaddha; Hal ini sama seperti seseorang yang telah membuktikan kebenaran, melihat sebuah fakta yang nyata ada dan teruji, maka ia tidak memerlukan sebuah hipotesis atau anggapan benar lagi.
Dari pengertian diatas, maka Saddha memiliki ciri-ciri, yaitu : merupakan hasil verifikasi berupa hipotesis, bukan kebenaran final atau akhir, tetapi merupakan titik awal perjalanan menuju perwujudan kebenaran melalui pengujian, dan perlu diiringi dengan kebijaksanaan.
Fungsi dari Saddha sendiri adalah untuk mengarahkan seseorang melakukan sesuatu, berkomitmen, bertekad dalam mendapatkan kejernihan, kejelasan dan pembuktian kebenaran dari ajaran, konsep, gagasan, dan lain lain.