Translate

Rabu, 08 September 2021

Saddha, Keyakinan dalam Buddhisme

Saddha adalah keyakinan berdasarkan pengetahuan dari hasil verifikasi atau penyelidikan awal berupa hipotesis, yaitu anggapan benar terhadap ajaran, konsep, gagasan dan lain lain, yang terbentuk karena keterbatasan bukti dan merupakan titik awal yang perlu ditindaklanjuti.
Kata Saddha memiliki makna dan pengertian yang tidak sederhana, dan tidak memiliki padanan kata yang tepat dan sesuai dalam kosakata bahasa lain untuk menggantikannya.  Untuk itu Saddha tidak bisa hanya sekedar diartikan sebagai “keyakinan”. Saddha bukanlah keyakinan membuta, yaitu kepercayaan terhadap sesuatu sebagai kebenaran tanpa verifikasi dan yang tidak memicu tindak lanjut berupa usaha membuktikan sesuatu itu.
Saddha juga bukanlah iman dalam kepercayaan lain, karena Saddha memerlukan penindakan selanjutnya berupa pembuktian dan tidak berdasarkan pada kepercayaan membuta serta rasa takut. Untuk itu menerjemahan Saddha sebagai iman dipertanyakan dan ditentang oleh para sarjana bahasa Pali Buddis. Dan alih-alih diterjemahkan sebagai iman, Saddha bisa diterjemahkan sebagai kepercayaan diri.
Iman dalam agama atau kepercayaan lain adalah rasa percaya yang berdasarkan pada ketakutan terhadap apa yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dan juga tanpa diawali dengan verifikasi serta tidak memerlukan penindakan selanjutnya yang berupa pembuktian. Dalam iman, apa yang dipercaya dianggap sebagai kebenaran, dan cenderung berkeyakinan membuta.
Sebagai contoh mengenai iman : dalam suatu agama tertentu menyatakan bahwa seseorang harus memiliki iman kepada Tuhan dan utusannya agar ia dapat memperoleh keselamatan, jika tidak, ia akan masuk neraka setelah ia meninggal. Karena rasa takut tidak diselamatkan dan masuk neraka, seseorang memilih percaya kepada keberadaan Tuhan dengan segala perintahnya tanpa mempertanyakan, tanpa memeriksa pernyataan tersebut, dan tanpa menindaklanjuti dengan usaha membuktikan kebenaran keberadaannya. Dan karenanya pemikiran untuk mengkritisi menjadi terhenti.
Sebaliknya, pengertian Saddha secara panjang adalah sikap batin yang yakin dan menerima hasil verifikasi atau penyelidikan awal berupa anggapan benar atau hipotesis terhadap ajaran, konsep, gagasan dan lain lain, yang pada tahap pengembangan diri seseorang saat sekarang ini belum dapat dibuktikan karena keterbatasan bukti yang ada, dan merupakan titik awal tindak lanjut berikutnya berupa usaha pengujian untuk pembuktian menuju terwujudnya kebenaran.
Secara singkat, Saddha adalah keyakinan berdasarkan hipotesis. Digunakannya kata “hipotesis” ini dikarenakan kata ini memiliki makna atau pengertian yang mendekati dengan pengertian dari Saddha.
Hipotesis sendiri adalah sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat, teori, proposisi dan sebagainya meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan. Hipotesis juga berarti anggapan atau penjelasan yang diusulkan, yang dibuat atas dasar bukti yang terbatas sebagai titik awal untuk penyelidikan lebih lanjut. Hipotesis juga disebut sebagai dasar penyelidikan, dan dalam berbagai penelitian sebuah hipotesis akan berdasarkan pada penelitian sebelumnya.
Sebagai contoh mengenai Saddha : seorang umat disebut memiliki Saddha terhadap Buddha meskipun belum bertemu terlebih dahulu, karena sebelumnya ia telah melakukan verifikasi, dan penyelidikan terhadap ajaran-Nya untuk selama beberapa waktu, serta setiap saat dapat melihat dan memastikan adanya hal-hal positif, seperti belas kasih, berkurangnya nafsu dan sebagainya yang ada pada diri orang lain yang telah mempraktikkan ajaran-Nya secara benar. Sehingga setelah melihat itu semua akhirnya menimbulkan sukacita, inspirasi, dan muncul keyakinan pada diri umat tersebut dengan menganggap benar apa yang telah ia verifikasi dan selidiki sebagai ajaran dari seseorang yang telah tercerahkan, yaitu Buddha, dan sesuai untuk dirinya. Dan untuk selanjutnya ia akan berusaha membuktikannya dengan mempraktekkan ajaran tersebut.
Saddha merupakan salah satu dari lima hal yang dapat menghasilkan dua hal yang berbeda, yaitu menghasilkan hal yang benar atau hal yang salah. Dengan kata lain, sesuatu yang diterima berdasarkan Saddha nantinya bisa benar atau salah, bisa merupakan fakta atau sebaliknya.
Karena kondisi Saddha yang dapat menghasilkan dua hal yang berbeda tersebut, maka tidak selayaknya bagi seorang bijaksana yang melestarikan atau menjaga kebenaran untuk menyimpulkan secara pasti apa yang diterimanya melalui Saddha tersebut dengan mengatakan, “Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah“, hingga ia membuktikan kebenarannya. Namun ia berhak untuk menyatakan, “Demikianlah keyakinan saya“.
Terdapat dua jenis Saddha, yaitu : Saddha yang memiliki pokok alasan atau berdasar  Mulika Saddha, dan Saddha yang tidak memiliki pokok alasan atau tidak berdasar Amulika Saddha.
Mulika Saddha adalah keyakinan yang muncul dari penilaian yang hati-hati dari hasil verifikasi atau penyelidikan yaitu Ehipassiko, yang memiliki dasar terhadap sebuah pernyataan, ajaran, dan sebagainya. Sedangkan Amulika Saddha adalah keyakinan yang muncul tanpa didahului dengan penilaian yang hati-hati dari hasil verifikasi atau penyelidikan yang juga tanpa memiliki dasar terhadap sebuah pernyataan, ajaran, dan sebagainya.
Keyakinan atau Saddha yang mengakar secara dalam pada wawasan yang berdasar Akaravata Saddha Dassanamulika, adalah keyakinan yang kokoh yang tidak terkalahkan oleh siapapun. Keyakinan ini merupakan keyakinan yang didasari oleh kebijaksanaan atau Panna; Dengan kebijaksanaan atau disebut indria kebijaksanaan atau Pannindriya maka Saddha pada diri seseorang akan stabil.
Itulah jenis keyakinan atau Saddha yang dianjurkan dalam meyakini Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha), karena Saddha seperti itu bermanfaat untuk mengokohkan, menguatkan, memfokuskan, dan sebagai pedoman sebuah niat untuk mencapai tujuan, yang dalam konteks Buddhis tujuan tersebut adalah Kebebasan Sejati atau merealisasi Nibbana.
Untuk itu, Saddha terhadap Tiratana merupakan hal yang penting pada awal perkembangan batin, dan karenanya Saddha diperumpamakan sebagai benih. Dan untuk itu juga Saddha perlu dikembangkan dengan cara berlatih dan mempraktikkan ajaran Buddha sambil mengujinya, agar seseorang dapat lebih menguatkan dan memfokuskan diri mencapai tujuan.
Pada tingkat akhir, pada diri mereka yang telah melihat, mengetahui, menembus, mewujudkan, dan mencapai Kebenaran oleh dirinya sendiri secara langsung terhadap sesuatu, misalnya terhadap salah satu ajaran Buddha, maka Saddha terhadap Tiratana tersebut tidak diperlukan lagi, sehingga mereka menjadi tanpa Saddha atau asSaddha; Hal ini sama seperti seseorang yang telah membuktikan kebenaran, melihat sebuah fakta yang nyata ada dan teruji, maka ia tidak memerlukan sebuah hipotesis atau anggapan benar lagi.
Dari pengertian diatas, maka Saddha memiliki ciri-ciri, yaitu : merupakan hasil verifikasi berupa hipotesis, bukan kebenaran final atau akhir, tetapi merupakan titik awal perjalanan menuju perwujudan kebenaran melalui pengujian, dan perlu diiringi dengan kebijaksanaan.
Fungsi dari Saddha sendiri adalah untuk mengarahkan seseorang melakukan sesuatu, berkomitmen, bertekad dalam mendapatkan kejernihan, kejelasan dan pembuktian kebenaran dari ajaran, konsep, gagasan, dan lain lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar