Kata
Saddha memiliki makna dan pengertian yang tidak sederhana, dan tidak memiliki
padanan kata yang tepat dan sesuai dalam kosakata bahasa lain untuk
menggantikannya. Untuk itu Saddha tidak
bisa hanya sekedar diartikan sebagai “keyakinan”. Saddha bukanlah keyakinan
membuta, yaitu kepercayaan terhadap sesuatu sebagai kebenaran tanpa verifikasi dan
yang tidak memicu tindak lanjut berupa usaha membuktikan sesuatu itu.
Saddha
juga bukanlah iman dalam kepercayaan lain, karena Saddha memerlukan penindakan
selanjutnya berupa pembuktian dan tidak berdasarkan pada kepercayaan membuta
serta rasa takut. Untuk itu menerjemahan Saddha sebagai iman dipertanyakan dan
ditentang oleh para sarjana bahasa Pali Buddis. Dan alih-alih diterjemahkan
sebagai iman, Saddha bisa diterjemahkan sebagai kepercayaan diri.
Iman
dalam agama atau kepercayaan lain adalah rasa percaya yang berdasarkan pada
ketakutan terhadap apa yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dan
juga tanpa diawali dengan verifikasi serta tidak memerlukan penindakan
selanjutnya yang berupa pembuktian. Dalam iman, apa yang dipercaya dianggap sebagai
kebenaran, dan cenderung berkeyakinan membuta.
Sebagai
contoh mengenai iman : dalam suatu agama tertentu menyatakan bahwa seseorang
harus memiliki iman kepada Tuhan dan utusannya agar ia dapat memperoleh
keselamatan, jika tidak, ia akan masuk neraka setelah ia meninggal. Karena rasa
takut tidak diselamatkan dan masuk neraka, seseorang memilih percaya kepada
keberadaan Tuhan dengan segala perintahnya tanpa mempertanyakan, tanpa
memeriksa pernyataan tersebut, dan tanpa menindaklanjuti dengan usaha membuktikan
kebenaran keberadaannya. Dan karenanya pemikiran untuk mengkritisi menjadi
terhenti.
Sebaliknya,
pengertian Saddha secara panjang adalah sikap batin yang yakin dan menerima
hasil verifikasi atau penyelidikan awal berupa anggapan benar atau hipotesis
terhadap ajaran, konsep, gagasan dan lain lain, yang pada tahap pengembangan
diri seseorang saat sekarang ini belum dapat dibuktikan karena keterbatasan
bukti yang ada, dan merupakan titik awal tindak lanjut berikutnya berupa usaha
pengujian untuk pembuktian menuju terwujudnya kebenaran.
Secara
singkat, Saddha adalah keyakinan berdasarkan hipotesis. Digunakannya kata
“hipotesis” ini dikarenakan kata ini memiliki makna atau pengertian yang
mendekati dengan pengertian dari Saddha.
Hipotesis
sendiri adalah sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan
pendapat, teori, proposisi dan sebagainya meskipun kebenarannya masih harus
dibuktikan. Hipotesis juga berarti anggapan atau penjelasan yang diusulkan,
yang dibuat atas dasar bukti yang terbatas sebagai titik awal untuk
penyelidikan lebih lanjut. Hipotesis juga disebut sebagai dasar penyelidikan,
dan dalam berbagai penelitian sebuah hipotesis akan berdasarkan pada penelitian
sebelumnya.
Sebagai
contoh mengenai Saddha : seorang umat disebut memiliki Saddha terhadap Buddha
meskipun belum bertemu terlebih dahulu, karena sebelumnya ia telah melakukan
verifikasi, dan penyelidikan terhadap ajaran-Nya untuk selama beberapa waktu,
serta setiap saat dapat melihat dan memastikan adanya hal-hal positif, seperti
belas kasih, berkurangnya nafsu dan sebagainya yang ada pada diri orang lain
yang telah mempraktikkan ajaran-Nya secara benar. Sehingga setelah melihat itu
semua akhirnya menimbulkan sukacita, inspirasi, dan muncul keyakinan pada diri
umat tersebut dengan menganggap benar apa yang telah ia verifikasi dan selidiki
sebagai ajaran dari seseorang yang telah tercerahkan, yaitu Buddha, dan sesuai
untuk dirinya. Dan untuk selanjutnya ia akan berusaha membuktikannya dengan
mempraktekkan ajaran tersebut.
Saddha
merupakan salah satu dari lima hal yang dapat menghasilkan dua hal yang
berbeda, yaitu menghasilkan hal yang benar atau hal yang salah. Dengan kata
lain, sesuatu yang diterima berdasarkan Saddha nantinya bisa benar atau salah,
bisa merupakan fakta atau sebaliknya.
Karena
kondisi Saddha yang dapat menghasilkan dua hal yang berbeda tersebut, maka
tidak selayaknya bagi seorang bijaksana yang melestarikan atau menjaga
kebenaran untuk menyimpulkan secara pasti apa yang diterimanya melalui Saddha
tersebut dengan mengatakan, “Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah“,
hingga ia membuktikan kebenarannya. Namun ia berhak untuk menyatakan,
“Demikianlah keyakinan saya“.
Terdapat
dua jenis Saddha, yaitu : Saddha yang memiliki pokok alasan atau berdasar Mulika Saddha, dan Saddha yang tidak memiliki
pokok alasan atau tidak berdasar Amulika Saddha.
Mulika
Saddha adalah keyakinan yang muncul dari penilaian yang hati-hati dari hasil
verifikasi atau penyelidikan yaitu Ehipassiko, yang memiliki dasar terhadap
sebuah pernyataan, ajaran, dan sebagainya. Sedangkan Amulika Saddha adalah
keyakinan yang muncul tanpa didahului dengan penilaian yang hati-hati dari
hasil verifikasi atau penyelidikan yang juga tanpa memiliki dasar terhadap sebuah
pernyataan, ajaran, dan sebagainya.
Keyakinan
atau Saddha yang mengakar secara dalam pada wawasan yang berdasar Akaravata Saddha
Dassanamulika, adalah keyakinan yang kokoh yang tidak terkalahkan oleh siapapun.
Keyakinan ini merupakan keyakinan yang didasari oleh kebijaksanaan atau Panna;
Dengan kebijaksanaan atau disebut indria kebijaksanaan atau Pannindriya maka Saddha
pada diri seseorang akan stabil.
Itulah
jenis keyakinan atau Saddha yang dianjurkan dalam meyakini Tiratana (Buddha,
Dhamma, dan Sangha), karena Saddha seperti itu bermanfaat untuk mengokohkan,
menguatkan, memfokuskan, dan sebagai pedoman sebuah niat untuk mencapai tujuan,
yang dalam konteks Buddhis tujuan tersebut adalah Kebebasan Sejati atau
merealisasi Nibbana.
Untuk
itu, Saddha terhadap Tiratana merupakan hal yang penting pada awal perkembangan
batin, dan karenanya Saddha diperumpamakan sebagai benih. Dan untuk itu juga Saddha
perlu dikembangkan dengan cara berlatih dan mempraktikkan ajaran Buddha sambil
mengujinya, agar seseorang dapat lebih menguatkan dan memfokuskan diri mencapai
tujuan.
Pada
tingkat akhir, pada diri mereka yang telah melihat, mengetahui, menembus,
mewujudkan, dan mencapai Kebenaran oleh dirinya sendiri secara langsung
terhadap sesuatu, misalnya terhadap salah satu ajaran Buddha, maka Saddha
terhadap Tiratana tersebut tidak diperlukan lagi, sehingga mereka menjadi tanpa
Saddha atau asSaddha; Hal ini sama seperti seseorang yang telah membuktikan
kebenaran, melihat sebuah fakta yang nyata ada dan teruji, maka ia tidak
memerlukan sebuah hipotesis atau anggapan benar lagi.
Dari
pengertian diatas, maka Saddha memiliki ciri-ciri, yaitu : merupakan hasil
verifikasi berupa hipotesis, bukan kebenaran final atau akhir, tetapi merupakan
titik awal perjalanan menuju perwujudan kebenaran melalui pengujian, dan perlu
diiringi dengan kebijaksanaan.
Fungsi
dari Saddha sendiri adalah untuk mengarahkan seseorang melakukan sesuatu,
berkomitmen, bertekad dalam mendapatkan kejernihan, kejelasan dan pembuktian
kebenaran dari ajaran, konsep, gagasan, dan lain lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar