Translate

Jumat, 08 Agustus 2025

KEINGINAN KARMA DAN JALAN TENGAH

Penyebab penderitaan adalah Tanha (Kegandrungan), yaitu kemelekatan atau keinginan penuh dengan hawa nafsu. Akar dari Tanha ini adalah Loba (keserakahan), Dosa (Kebencian) dan Moha (kebodohan batin). Contohnya adalah keinginan untuk selalu bisa menikmati kesenangan inderawi yang kenyataannya tidak selalu mudah untuk diperoleh, dan ini menimbulkan penderitaan. Seperti misalnya ingin cepat kaya, cepat tenar, cepat berkuasa, dsb. Selain itu karena segala sesuatu itu setiap saat berubah, maka kebahagiaan iderawi / duniawi itu bisa berubah menjadi kebosanan (penderitaan).

Akan tetapi tidak semua Keinginan (Chanda) itu buruk, contohnya adalah Kusala Chanda (keinginan berbuat baik) itu baik adanya, seperti keinginan untuk berlatih Dhamma, berlatih Meditasi (Mengembangkan batin), ingin Berdana, ingin membantu sesama, atau bahkan ingin mencapai Pembebasan (bebas dari penderitaan, merealisasi Nibbana). Kusala Chanda itu bukan berasal dari Kebodohan (Moha), Kebencian (Dosa), atau Keserakahan (Lobha). Apakah Chanda (keinginan baik) itu tetap Karma? Ya, semua kehendak adalah Karma. Tetapi Karma dari Kusala Chanda akan menghasilkan buah Karma yang baik, yaitu kebahagiaan karena berasal dari akar yang baik (Alobha / tanpa Keserakahan, Adosa / tanpa Kebencian, Amoha / tanpa kebodohan batin). Namun demikian, pada saatnya nanti Chanda atau Keinginan ini dapat dikatakan akan terlepas juga ketika seseorang telah merealisasi kesucian karena tiadanya Kemelekatan pada seorang yang suci, semua yang dilakukan oleh orang suci adalah hal yang baik.

Jalan Tengah adalah cara untuk mengatasi penderitaan. Jalan Tengah ini disebut Ariya Aṭṭhaṅgika Magga (Jalan Mulia Berunsur Delapan), yaitu Pandangan benar, Pikiran benar, Ucapan benar, Perbuatan benar, Mata pencaharian benar, Daya-upaya benar, Perhatian benar dan Konsentrasi benar (Meditasi / Citta Bhavana / Pengembangan batin benar). Keinginan untuk mengikuti Jalan Tengah itu adalah Kusala Chanda, bukan Taṇhā.

Kusala Chanda dilakukan untuk mengikis Taṇhā yang dasarnya adalah Keserakahan dan Kebencian yang timbul dari adanya Kebodohan batin.

Orang yang suci telah melepaskan Chanda (Keinginan) duniawi, bukan karena Keinginan itu buruk, tapi karena segala bentuk kehendak adalah kondisi bagi suatu kemunculan, sedangkan kondisi padam atau Nibbāna itu tak berkondisi (Asaṅkhata).



Rabu, 30 Juli 2025

Kelahiran di Surga Bukanlah Tujuan Akhir

Banyak orang berpikir bahwa tujuan tertinggi dalam hidup ini adalah terlahir kembali di Surga (alam Dewa). Memang benar, kelahiran di Surga adalah hasil dari perbuatan baik. Namun, Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwa hidup di Surga itu tidak kekal. Sang Buddha bersabda bahwa makhluk-makhluk yang lahir di alam Dewa (alam Surga), setelah menikmati kebahagiaan yang besar, pada akhirnya akan mati juga, dan jika mereka tidak terus berlatih Dhamma, mereka bisa lahir kembali di alam sengsara, banyak factor penyebabnya.

Salah satu contoh yang terkenal adalah Raja Mandhātu (Khudaka Nikaya - Jataka 258), yang karena kebaikannya bisa terlahir di alam surga Tāvatiṁsa dan disana menjadi raja para Dewa. Tapi karena kesombongan dan keserakahannya, setelah kehidupan surgawinya habis, ia terlahir kembali di alam rendah. Ini menjadi peringatan bagi kita semua. Perbuatan baik memang penting, tetapi apakah dalam kehidupan kita sehari-hari sudah sesuai dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan atau tidak? dimana kita dianjurkan untuk berlatih Citta Bhavana (mengembangkan batin).  Citta Bhavana atau Meditasi bisa dilakukan secara rutin meski hanya sebentar-sebenar agar - batin kita ini bisa menjadi bijaksana, sabar, damai, humble, penuh dengan Metta (cinta kasih tanpa batas pada semua makhluk), dengan tujuan akhir merealisasi Nibbana. Kita diajar untuk mengembangkan Kerelaan (Berdana), Kemoralan (menjaga Sila) dan Konsentrasi (Citta Bhavana).

Jika hanya berbuat baik untuk mendapatkan Surga, tanpa mengembangkan pengertian benar tentang kehidupan, kita tetap akan terjebak di alam Samsāra - siklus kelahiran dan kematian tanpa akhir. Maka tujuan kita bukan sekadar Surga, tetapi kebebasan sejati, yaitu Nibbāna, bebas dari lahir, tua, sakit, dan mati.

Rabu, 23 Juli 2025

BHIKKHU = PETAPA


💫🪷 Petapa, Bhikkhu = pengemis? Bhikkhu adalah orang yang meninggalkan kegandrungan duniawi, maksudnya mengambil Jalan Tengah, kalau dirundung penderitaan berusaha untuk tidak bersedih, kalau memperoleh kebahagiaan jangan lupa daratan, ber-euforia, rasakan secukupnya saja, jadi batin ini selalu seimbang, tenang, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh kondisi di luar, dhugdheng, tahan banting. Kalau meninggal bisa dengan tersenyum, tidak berat karena semua beban sudah ditinggalkan, semua kemelekatan duniawi telah dilepaskan. Penderitaan & kebahagiaan inderawi / duniawi itu tidak kekal, selalu berubah, jadi ngapain terpengaruh / tergantung olehnya. Orang yang masih terombang-ambing oleh penderitaan & kebahagiaan dunia itu kalau meninggal akan terlahir kembali di Alam Menderita atau Alam Bahagia tergantung dari perilaku di hidup sebelumnya, demikian seterusnya hingga ybs. berhasil menghancur-leburkan Kilesa / Pengotor batin yang berupa keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, yang artinya ybs. tidak akan terlahirkan kembali di alam kehidupan manapun (merealisasi Nibbana, merealisasi kebahagiaan hakiki / kebahagiaan non inderawi kekal). 

Seorang Bhikkhu tidak meninggalkan keluarga, tetapi terpisah tempat tinggal dengan tempat tinggal ketika masih berkeluarga - dengan syarat keluarga sudah bisa hidup mandiri. Jangankan keluarga, orang lain (umat) pada waktu yang tepat bisa minta nasehat, saran, pengarahan atau solusi atas persoalan hidup yang dialaminya - atau mendengarkan uraian Dhamma kepada Bhikkhu ✨😇


Jumat, 18 Juli 2025

"Attā Have Jitaṁ Seyyo"

"Attā Have Jitaṁ Seyyo" ( Menaklukkan Diri Sendiri Adalah Yang Terbaik )

Makna Buddhasubhasita yang disebutkan diatas adalah pedoman untuk pembelajaran dan praktik lebih lanjut dari ajaran Sang Buddha.

 Yang dimaksud dengan "Diri" dalam hal ini bukanlah entitas kekal, tetapi konvensi Bahasa, atau kesepakatan untuk menyebut : Tubuh dan pikiran seseorang, bukan berarti ada "diri sejati" yang kekal untuk ditaklukkan.

Menaklukkan diri sendiri itu adalah menaklukkan tendensi egosentris, menaklukkan pengotor batin, utamanya adalah : hawa nafsu (kāmacchanda), kemarahan (vyāpāda), kemalasan (thina), kegelisahan (uddhacca), keraguan (vicikicca), keakuan (ahaṅkāra) dan kebanggaan (māna) yang pada dasarnya disebabkan oleh kemelekatan.

 "Diri" adalah pusat dari kecenderungan batin yang bisa menghalangi kemajuan spiritual. Diri ini perlu dikendalikan, agar “kemelekatan” dapat dilepas. Melepas kemelekatan dengan mengelola batin dengan baik - dapat mempercepat kemajuan spiritual yang dilakukan dalam upaya terealisasinya bebas dari penderitaan. Tanpa melepas kemelekatan tidak mungkin kedepan bisa merealisasi Nibbana / bebas dari penderitaan, karena Kilesa tidak mungkin tercabut secara total dari dalam diri. Oleh karena itu menaklukkan diri dengan melepas kemelekatan adalah yang terbaik sebagaimana disabdakan Buddhasasana subhasita dalam Upādāna Sutta pada Saṁyutta Nikāya 12.52 , tertulis sebagai berikut :

 Upādānanirodhā bhavanirodho; bhavanirodhā jātinirodho

( Dengan lenyapnya kemelekatan, maka bhava / proses untuk lahir - lenyap; dengan lenyapnya bhava maka kelahiranpun lenyap )

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sangat terikat pada kesenangan tubuh, yaitu kemelekatan atau pegangan batin yang kuat terhadap sesuatu. Sang Buddha mengajarkan bahwa selama kita masih melekat, bahkan sekecil apapun, itu artinya kita sedang menyiram api kehidupan agar terus menyala. Karena kemelekatan inilah, kita terus ingin menjadi sesuatu, ingin memiliki, ingin lahir lagi.

Dari kemelekatan, muncullah bhava, yaitu dorongan untuk "menjadi", entah menjadi seseorang yang kaya, yang cantik, dihormati, atau bahkan menjadi makhluk di alam lain setelah kematian. "Bhava" bukan hanya eksistensi jasmani, tapi juga kondisi batin penuh hasrat untuk menjadi dan memiliki. Selama bhava ini masih hidup, benih untuk lahir kembali akan selalu ada.

Dari bhava, muncullah Jāti atau kelahiran. Bukan kelahiran fisik di dunia ini saja, tapi juga kelahiran di salah satu dari alam Samsara.

Apa yang diajarkan Sang Buddha itu luar biasa. Beliau tidak menyuruh kita memberantas kelahiran langsung, tetapi mengajak kita melihat akar masalahnya. Menghapus Upādāna atau kemelekatan - maka bhava pun sirna. Bhava sirna, maka tak ada lagi jāti atau kelahiran kembali, tak ada lagi dukkha, tak ada lagi penderitaan. Inilah cara Buddha memadamkan penderitaan dari akarnya.

Kesimpulannya, kalimat “Upādānanirodhā bhavanirodho; bhavanirodhā jātinirodho” itu bukan sekedar teori, tetapi peta pembebasan, adalah cetak biru menuju Nibbāna. Selama kita masih memeluk apa yang tidak kekal, kita akan terus lahir, menderita, dan mati. Jadi, melepas kemelekatan itu yang dalam hal ini sebagai cetak biru menuju Nibbāna - adalah pokok persoalan penting yang harus dilakukan, sekaligus dapat dikatakan bahwa melepas kemelekatan itu adalah menaklukkan diri sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam Buddhasasana subhasita di awal, yaitu :  

 

"Attā Have Jitaṁ Seyyo"

Menaklukkan Diri Sendiri Adalah Yang Terbaik


Demikian penjelasan dan uraian yang disampaikan, semoga semua makhluk berbahagia.

Rabu, 21 Mei 2025

MEWARISI DHAMMA, BUKAN ABU SANG BUDDHA

Banyak umat Buddha yang melaksanakan Atthamipuja di Vihara untuk memperingati hari ke 8 setelah 7 hari Sang Buddha Parinibbana, adalah saat yang penting bagi umat Buddha untuk merenungkan ajaran dan warisan agung Sang Tathāgata.


1. Adalah Realita yang Tak Terhindarkan bahwa “Sabbe saṅkhārā aniccā”, Semua yang terkondisi adalah tidak kekal. Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang bersifat kekal. Tubuh, perasaan, pikiran, hubungan, kekayaan, semuanya mengalami perubahan. Bahkan tubuh agung Sang Buddha pun mengalami usia tua, sakit, dan akhirnya Parinibbāna di Kusinārā. Kematian Sang Buddha bukanlah kehancuran, tetapi pemadaman total dari dukkha, penderitaan. Inilah yang disebut Parinibbāna - bukan kematian biasa, melainkan padamnya kelahiran kembali.

2. Ketika Bhikkhu Ānanda menangis karena tahu akan kehilangan Guru tercintanya, Sang Buddha menasihatinya dengan tegas : “Ānanda, apakah Aku tidak pernah mengatakan bahwa segala sesuatu yang kita cintai, yang kita senangi, pada akhirnya akan terpisah, berpisah, dan berubah?” Sebelum Parinibbāna, Sang Buddha bersabda : Segala yang terkondisi pasti hancur, capailah tujuanmu dengan kewaspadaan yang tinggi.

3. Buddha juga bersabda : Dhamma dan Vinaya yang telah Aku ajarkan akan menjadi Guru kalian setelah Aku tiada. Kita tidak bisa lagi melihat Buddha secara jasmani, tetapi kita masih bisa "melihat" Beliau melalui praktik Dhamma yang sejati. Warisan sejati Sang Buddha bukan abu kremasi, bukan hanya patung atau relik, melainkan ajaran yang membebaskan.

4. Atthamipuja bukan hanya ritual, tetapi undangan batin untuk mempraktikkan Dhamma.

Jika hidup kita belum lurus, luruskanlah dengan sila.
Jika batin masih goyah, teguhkanlah dengan samādhi.
Jika kita belum memahami kehidupan, terangi dengan paññā.

Mari gunakan kesempatan hidup ini untuk berjalan di jalan yang telah ditunjukkan Sang Buddha. Karena : Sukar memperoleh kelahiran sebagai manusia, sukar mendengar Dhamma sejati.

Semoga peringatan Atthamipuja itu tidak hanya menjadi perenungan sesaat, tetapi menjadi titik balik dan penyemangat untuk mendalami Dhamma. Karena hanya dengan praktik, seseorang benar-benar mewarisi Buddha - bukan jasmaninya, tetapi kebijaksanaan dan welas asih-Nya.


Kamis, 15 Agustus 2024

BUDDHISME DAN AGAMA LAIN

Buddhisme dan Kristiani : 

Buddhisme melihat bahwa Yesus adalah seorang guru spiritual atau Bodhisatva. Bodhisattva adalah seseorang yang telah mencapai pencerahan dan berdedikasi untuk membantu semua makhluk mencapai pencerahan juga. Sedikit berbeda dengan Buddhis tradisi Theravada yang mana Bodhisattva dipahami sebagai calon Buddha dan akan menjadi Buddha ketika sudah mencapai pencerahan. Yesus  mengajarkan welas asih dan kebijaksanaan yang mana sejalan dengan nilai-nilai Buddhis. 

Meskipun ada beberapa kesamaan dalam ajaran tentang welas asih dan kebijaksanaan, Buddhisme dan Kekristenan memiliki perbedaan mendasar dalam konsep teologis mereka. Buddhisme cenderung Non-Teistik yang tidak mengakui adanya sosok Adikodrati pencipta dunia, sementara Kekristenan berpusat pada kepercayaan kepada Tuhan sebagai pencipta dan penyelamat.

Dalam Buddhisme alam semesta atau dunia itu terjadi (bisa ada) berdasarkan tertib hukum Uttu Niyama. Sedangkan nasib (keselamatan) manusia (makhluk-makhluk lain) setelah mati terlahir kembali di alam penderitaan (alam neraka, alam setan, alam hantu, alam binatang), alam manusia, alam bahagia (surga = alam dewa, alam brahma berbentuk,  atau alam brahma tanpa bentuk) -> bukan Tuhan yang menentukan tetapi dirinya sendiri berdasarkan tertib hukum Kamma Niyama (berdasarkan perilaku semasa masih hidup).

Dalam Buddhisme, terlahir kembali sebagai binatang, misalnya terlahir sebagai anjing, umumnya disebabkan oleh karma buruk yang telah dilakukan dalam kehidupan sebelumnya. Karma buruk ini bisa berupa tindakan yang didorong oleh kebencian, ketamakan, atau kebodohan. Berikut adalah beberapa contoh karma buruk yang dapat menyebabkan kelahiran kembali sebagai binatang :

1.  Kekejaman terhadap makhluk lain : Tindakan yang menyebabkan penderitaan atau kematian makhluk lain.

2. Kebodohan dan ketidaktahuan : Hidup dengan kebodohan dan tidak berusaha untuk memahami kebenaran atau menjalani kehidupan yang bermoral.

3. Ketamakan dan keserakahan : Tindakan yang didorong oleh keinginan yang berlebihan dan tidak terkendali.

Kelahiran kembali sebagai binatang dianggap sebagai bentuk penderitaan, karena binatang tidak memiliki kemampuan untuk memahami Dhamma (Kesunyataan), dan sulit untuk melakukan perbuatan baik - yang dapat meningkatkan Karma mereka.

Buddhisme dan Islam :

Meskipun berbeda dalam banyak aspek, akan tetapi memiliki beberapa persamaan yang menarik, terutama dalam hal nilai-nilai etika dan spiritual. Berikut adalah beberapa persamaan utama :

  1. Etika dan Moralitas : Kedua agama menekankan pentingnya etika dan moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Islam memiliki 5 Rukun Islam yang mencakup Shalat, Zakat dan Puasa, sementara Buddhisme memiliki  Jalan  Mulia Berunsur Delapan yang mencakup Tindakan benar, Ucapan benar, dan Usaha benar.
  2. Kedermawanan dan Belas Kasihan : Kedua agama mengajarkan pentingnya kedermawanan dan belas kasihan. Dalam Islam konsep zakat dan sedekah adalah bentuk kedermawanan yang dianjurkan, sementara dalam Buddhisme praktik Dana (Pemberian) adalah salah satu cara untuk mengembangkan Karuna (Belas kasihan).  
  3. Kehidupan Sederhana : Kedua agama mendorong kehidupan yang sederhana dan tidak berlebihan. Islam mengajarkan untuk hidup sederhana, tidak berlebihan dalam segala hal, sementara Buddhisme mengajarkan untuk menghindari keinginan yang berlebihan dan hidup sederhana.  
  4. Tujuan Akhir : Meskipun konsepnya berbeda, kedua agama memiliki tujuan akhir yang serupa yaitu mencapai keadaan spiritual yang lebih tinggi. Dalam Islam tujuan akhirnya adalah mencapai Surga dan kedekatan dengan Allah, sementara dalam Buddhisme tujuan akhir praktik spiritualnya adalah mencapai Pencerahan, merealisasi Nibbana (keadaan bebas dari penderitaan), terbebas dari siklus kelahiran kembali yang berulang-ulang, terbebas dari belenggu Samsara, terbebas dari ilusi (memiliki pemahaman yang mendalam tentang kenyataan sejati).  .  

Pencerahan dapat terealisasi dengan cara memahami Empat Kebenaran Mulia dan mempraktikkan Jalan Mulia Berunsur Delapan hingga berhasil secara sempurna.


Empat Kebenaran Mulia itu adalah :

1. Kebenaran tentang Dukkha : Memahami bahwa kehidupan penuh dengan penderitaan dan ketidakpuasan.

2.  Kebenaran tentang Sebab Dukkha : Menyadari bahwa penderitaan disebabkan oleh keinginan dan keterikatan.

3. Kebenaran tentang Akhir Dukkha : Memahami bahwa penderitaan dapat diakhiri dengan menghilangkan keinginan.

4. Kebenaran tentang Jalan Menuju Akhir Dukkha : Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah cara untuk mengakhiri penderitaan.    


Jalan Mulia Berunsur Delapan itu adalah :

  1. Pandangan Benar : Memahami Empat Kebenaran Mulia.
  2. Niat Benar : Memiliki niat yang murni, bebas dari kebencian dan kekerasan.
  3. Ucapan Benar : Berbicara jujur tanpa menyakiti.
  4. Tindakan Benar : Bertindak dengan cara yang etis dan tidak merugikan.
  5. Mata Pencaharian Benar : Memilih pekerjaan yang tidak merugikan makhluk lain.
  6. Usaha Benar : Berusaha untuk mengembangkan pikiran positif.
  7. Perhatian Benar : Mempraktikkan kesadaran penuh dalam setiap tindakan.
  8. Konsentrasi Benar : Mengembangkan konsentrasi melalui Meditasi.  

Konsep Tuhan dalam Islam dan Buddhisme memiliki perbedaan yang signifikan :

1)    Islam :

a)   Monoteisme : Islam adalah agama monoteistik yang percaya pada satu Tuhan, Allah. Allah dianggap sebagai pencipta, pemelihara, dan penguasa alam semesta. Kepercayaan ini adalah inti dari ajaran Islam dan dinyatakan dalam Syahadat, salah satu dari 5 Rukun Islam. 

b)    Wahyu : Ajaran Islam didasarkan pada wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad dari Allah, yang kemudian dicatat dalam Al-Qur’an. Allah dianggap sebagai sumber segala kebaikan dan keadilan. 

2)    Buddhisme:

a)  Non-Teistik : Buddhisme pada dasarnya adalah agama Non-Teistik. Buddha, atau Siddhartha Gautama, tidak mengajarkan tentang adanya Tuhan pencipta. Fokus utama Buddhisme adalah pada pengembangan spiritual pribadi dan pencapaian Pencerahan melalui pemahaman Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia berunsur delapan.

b) Karma dan Tumimbal-lahir  : Buddhisme menekankan konsep Karma (tindakan dan akibatnya) dan Tumimbal-lahir. Keselamatan atau Pembebasan dalam buddhisme dicapai melalui pemahaman dan praktik ajaran Buddha bukan melalui hubungan dengan Tuhan. 

Perbedaan ini mencerminkan pendekatan yang berbeda terhadap spiritualitas dan tujuan akhir dalam kedua agama tersebut.


Kalama Sutta salah satu ajaran terkenal dari Buddha yang terdapat dalam Anguttara Nikaya (AN : 3.65 ) yang disebut sebagai "piagam kebebasan penyelidikan" Buddha, menekankan pentingnya penyelidikan bebas dan pemikiran rasional.

Dalam Kalama Sutta, Buddha mengunjungi desa Kesaputta, tempat tinggal suku Kalama. Mereka bingung karena banyak guru spiritual yang datang dengan ajaran yang berbeda-beda dan saling bertentangan. Mereka meminta nasihat Budha tentang siapa yang harus dipercaya. Kemudian Buddha memberikan nasihat yang terkenal ini :

  1. Jangan percaya hanya karena sesuatu itu merupakan tradisi.
  2. Jangan percaya hanya karena sesuatu itu telah diwariskan dari generasi ke generasi.
  3. Jangan percaya hanya karena sesuatu itu tertulis dalam kitab suci.
  4. Jangan percaya hanya karena sesuatu itu tampak logis.
  5. Jangan percaya hanya karena sesuatu itu sesuai dengan pandangan atau keyakinan pribadi.

Sebaliknya, Buddha menyarankan untuk menguji ajaran tersebut melalui pengalaman pribadi. Jika setelah diuji, ajaran tersebut terbukti mengurangi ketamakan, kebencian, dan kebodohan, serta meningkatkan cinta kasih dan kebijaksanaan, maka ajaran tersebut dapat diterima sebagai benar. 

Buddhisme dan Agama lain :

Buddhisme memiliki sikap yang sangat inklusif dan menghormati agama-agama lain. Berikut beberapa poin penting mengenai pandangan Buddhisme terhadap agama lain :

1.   Keragaman Agama : Buddhisme mengakui bahwa berbagai agama diperlukan untuk menyesuaikan dengan beragam watak dan kebutuhan spiritual manusia. Semua agama memiliki tujuan yang sama yaitu bertindak untuk kesejahteraan umat manusia. 

2.  Kerjasama antar agama : Ada banyak inisiatif dan program pertukaran antara umat Buddha dan pemeluk agama lain seperti Kristen dan Islam untuk saling belajar dan bekerja sama dalam semangat saling menghormati.

3.   Toleransi dan Pengertian : Buddhisme menekankan pentingnya hidup berdampingan secara damai dengan saling menghormati dan memahami keyakinan masing-masing. Ini termasuk menghargai kebebasan setiap individu untuk menganut dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri.

4.  Dialog antar agama : Pemimpin Buddhis seperti Dalai Lama sering terlibat dalam dialog antar agama dengan pemimpin agama lain untuk membahas nilai-nilai bersama seperti kasih sayang, moralitas, dan kesejahteraan manusia.  

5.  Keseimbangan Spiritual dan Material : Buddhisme mengajarkan bahwa kemajuan spiritual dan material harus seimbang. Semua agama dunia berusaha memperbaiki keadaan kemanusiaan dengan mengajarkan perilaku berbudi pekerti, tidak hanya terfokus pada aspek material kehidupan belaka. 


Dalam Buddhisme, pluralisme agama diterima dengan sikap Toleransi kritis. Buddhisme mengakui bahwa berbagai agama dunia diperlukan untuk menyesuaikan dengan beragam watak dan kebutuhan spiritual manusia. Meskipun demikian, semua agama memiliki tujuan yang sama yaitu bertindak untuk kesejahteraan umat manusia.

Buddhisme tidak mengklaim bahwa hanya ajarannya yang benar, tetapi juga mengakui kebenaran dalam ajaran agama lain. Namun, Buddhisme percaya bahwa jalannya adalah salah satu cara yang efektif untuk mencapai Pencerahan. Sikap ini mendorong dialog antar agama dan saling menghormati, yang penting untuk menciptakan masyarakat yang damai dan harmonis.  

Toleransi kritis dalam Buddhisme adalah sikap menghormati dan menerima keberadaan agama lain sambil tetap mempertahankan kemampuan untuk mengevaluasi dan mengkritisi ajaran-ajaran tersebut secara rasional. Ini berarti bahwa seorang Buddhis dapat menghargai nilai-nilai positif dalam agama lain tanpa harus menerima semua ajaran mereka secara membabi buta.

Berikut adalah beberapa aspek penting dari Toleransi kritis dalam Buddhisme :

1.  Penghormatan Terhadap Keberagaman : Buddhisme mengakui bahwa ada banyak jalan menuju kebenaran dan pencerahan. Setiap agama memiliki cara unik untuk membantu pengikutnya mencapai tujuan spiritual mereka.

2.  Dialog Antar Agama : Buddhisme mendorong dialog yang terbuka dan jujur dengan agama lain. Melalui dialog ini, para praktisi dapat belajar dari satu sama lain dan menemukan kesamaan serta perbedaan yang dapat memperkaya pemahaman mereka.

3.  Evaluasi Rasional : Buddhisme menekankan pentingnya penyelidikan dan pemikiran kritis. Ini berarti bahwa ajaran agama lain dapat dievaluasi berdasarkan pengalaman pribadi dan logika, seperti yang diajarkan dalam Kalama Sutta.

4. Kebebasan Beragama : Buddhisme mendukung kebebasan individu untuk memilih dan mempraktikkan agama yang mereka yakini paling sesuai dengan kebutuhan spiritual mereka. Ini mencerminkan sikap non-dogmatis dan inklusif dalam Buddhisme.

5.  Pengembangan Kebijaksanaan dan Welas Asih : Melalui toleransi kritis, Buddhisme berusaha untuk mengembangkan kebijaksanaan dan welas asih dalam diri setiap individu. Ini membantu menciptakan masyarakat yang lebih damai dan harmonis.

Dengan pendekatan ini, Buddhisme tidak hanya menghormati keberadaan agama lain tetapi juga mendorong pengikutnya untuk terus mencari kebenaran dan pencerahan melalui penyelidikan yang mendalam dan rasional.

 

Memeluk agama tertentu :


Dalam Buddhisme, memeluk agama tertentu atau mengikuti ajaran spiritual tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor :

1.  Karma : Karma dari kehidupan sebelumnya dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk memeluk agama tertentu dalam kehidupan saat ini. 

2.  Lingkungan dan Keluarga : Lingkungan tempat seseorang dibesarkan, termasuk pengaruh keluarga dan masyarakat, memainkan peran besar dalam menentukan agama atau keyakinan yang dianut. Anak-anak seringkali mengikuti agama orang tua mereka karena pengaruh dan pendidikan yang mereka terima sejak kecil. 

3.   Pengalaman Pribadi : Pengalaman hidup, termasuk peristiwa penting atau krisis, dapat mendorong seseorang untuk mencari jawaban dalam agama atau ajaran spiritual tertentu. Pengalaman ini bisa menjadi titik balik yang membawa seseorang lebih dekat kepada agama tertentu.  

4.  Pencarian Makna : Banyak orang memeluk agama tertentu karena mereka mencari makna dan tujuan dalam hidup. Ajaran agama yang memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan menawarkan panduan moral seringkali menarik bagi mereka yang mencari kedamaian batin dan pencerahan.

5. Pengaruh Guru atau Tokoh Spiritual : Pertemuan dengan guru atau tokoh spiritual yang karismatik dan inspiratif dapat mempengaruhi seseorang untuk memeluk agama atau ajaran tertentu. 

Sabtu, 27 Juli 2024

" Cattāri Brahmavihārā "

Cattāri Brahmavihārā atau "Brahmavihārā", adalah empat sifat luhur yang patut dikembangkan dalam batin. Adalah sangat penting untuk berlatih Brahmavihara dalam hidup ini, sehingga bisa menciptakan kepribadian luhur yang dipuji oleh para bijaksana. Kita perlu berlatih Brahmavihara untuk tidak berperilaku buruk, dan hidup dengan pikiran yang seimbang untuk kebaikan diri sendiri dan orang lain.

 

Brahmavihara yang pertama adalah Metta (Kasih Sayang).

Mettā adalah cinta kasih universal, adalah cinta kasih yang tanpa pamrih dan ikhlas. Layaknya cinta seorang ibu kepada anaknya yang tunggal. Metta adalah sifat menyayangi sesama makhluk. Tetapi berbuat sesuatu untuk kebaikan orang lain menurut apa yang kita inginkan belum tentu Metta yang sesungguhnya jika berpikiran :  Saya akan berbuat untuk kebaikan orang lain sesuai dengan yang saya inginkan.

Hendaknya berbuat untuk kebaikan orang lain itu adalah setelah mengamati dengan seksama apa yang bisa kita lakukan yang dibutuhkan oleh orang yang dimaksud, apa kelemahan, kekuatan atau potensi orang itu. Semua itu perlu dipertimbangkan dan kemudian barulah kita membantu orang itu sesuai dengan kebutuhannya. Jika kita terlalu banyak menekankan apa yang kita inginkan untuk orang lain lakukan dan capai, maka akan muncul konflik antara kita dengan orang lain.

Orang tua memiliki Metta terhadap anaknya. Kebanyakan orang tua ingin anak-anaknya menjadi ini dan itu. Ketika orang tua mengetahui anaknya memiliki potensi seperti yang diharapkan, itu adalah bagus. Silahkan orang tua mengembangkan potensi anak dengan baik hingga harapan orang tua bisa dicapai oleh sang anak. Dalam kondisi seperti ini, semuanya akan baik-baik saja. Akan tetapi kadang-kadang apa yang diharapkan oleh orang tua tidak sesuai dengan apa yang bisa dilakukan oleh anak. Orang tua seharusnya mendukung anak sesuai dengan kemampuan anak. Inilah cara yang benar menerapkan Metta kepada anak-anak dan murid-murid.

Ada kalanya seseorang memilih tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain karena takut orang yang bersangkutan salah paham atau tidak suka. Kita bisa melakukan Metta dengan cara yang bisa diterima oleh orang lain tanpa rasa benci. Hendaknya kita mengatakan atau melakukan sesuatu yang diperlukan orang lain secara langsung, dan akan sangat bermanfaat apabila kita mengatakan atau memberikan sesuatu dengan cara yang baik, menggunakan kata-kata yang tepat. Jangan menggunakan kata-kata kasar, ucapkanlah dengan kata-kata yang lembut.

 

Brahmavihara yang kedua adalah Karuna (Belas Kasihan).

Karuna dapat timbul karena perasaan iba, karuṇā adalah sifat welas asih. Contohnya adalah ketika Pangeran Siddharta menolong seekor angsa yang terluka, itu membuktikan belas kasihan Sang Pangeran kepada para makhluk.

Karuna adalah belas kasihan terhadap makhluk menderita. Penampakan orang yang sedang menderita kesakitan fisik atau mental akan mengguncang pikiran para bijaksana. Ini adalah sifat alami pikiran para bijaksana. Para bijaksana tidak tahan melihat penderitaan para makhluk. Para bijaksana ingin melakukan sesuatu, ingin membantu dengan cara apapun yang bisa dilakukan, dengan tindakan jasmani maupun dengan perkataan.

Pada umumnya, seseorang akan benci atau tidak suka jika melihat orang lain melakukan perbuatan buruk. Sesungguhnya, orang yang telah melakukan perbuatan buruk itu akan menderita atas perbuatan buruknya itu. Kita seharusnya mengembangkan Karuna (belas kasihan) terhadap orang yang melakukan perbuatan buruk. Kita tidak perlu menghukumnya, dia akan dihukum oleh perbuatannya sendiri. Dia akan menderita di waktu yang akan datang. Namun kita bisa menasehatinya secara baik-baik, secara tepat. Hendaknya kita mengembangkan sebanyak mungkin Karuna terhadap mereka yang berbuat buruk kepada kita atau kepada orang lain. Baik untuk anda ketahui bahwa untuk bisa memiliki Metta dengan efektif itu diperlukan pegembangan Karuna.

Kadang-kadang yang terjadi ketika kita ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain, tapi waktunya masih belum tepat. Perlu menunggu satu tahun, dua tahun, dan seterusnya. Kita ingin mengatakan sesuatu, tetapi waktunya belum tepat. Mereka belum siap. Jadi kita perlu bersabar menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Bahkan diperlukan waktu yang lama sebelum kesempatan yang tepat tersebut muncul. Jika kita tidak sabar agar orang lain melakukan sesuatu, kita tidak bertindak dengan Metta, tapi bertindak dengan Lobha (keserakahan) dan tidak ada Karuna (belas kasihan). Tanpa Karuna kita tidak bisa berbuat sesuatu untuk kebaikan orang lain. Karuna dan Metta saling melengkapi, tidak bisa dipisah-pisahkan.

 

Yang ketiga adalah Mudita (Kegembiraan Simpatik).

Muditā adalah perasaan senang atau ikut bergembira atas kebahagiaan orang lain, meskipun kita tidak berkontribusi langsung. Ini adalah bentuk kegembiraan simpatik. Mengembangkan penghargaan dan kebahagiaan melihat kesuksesan orang lain, adalah memupuk Kamma baik, memupuk Kusala Kamma, mengikis Kilesa (mengikis pengotor-pengotor batin).

Kebanyakan orang iri hati ketika mendengar orang lain sukses, mendengar orang lain beruntung atau terkenal. Sifat seperti ini adalah berlawanan dengan Mudita. Ketika anda mendengar tentang kesuksesan teman anda, bagaimanakah perasaan anda? Apakah anda mengatakan 'Sadhu, Sadhu, Sadhu'? Jika iya, maka itu sangatlah bagus. Jika anda iri hati dengan keberhasilan orang lain, maka itu akan menyulitkan anda sendiri.

Menurut ajaran Sang Tathagata, tidak ada sesuatupun yang terjadi tanpa didahului oleh sebab-sebabnya. Ketika kita ingin Makmur dan tidak terwujud - padahal sudah lama berusaha, itu adalah karena dimasa lampau kita belum mengumpulkan Parami (kebajikan sempurna) yang cukup sebagai sebab, sebagai prasyarat bagi kita menjadi makmur. Oleh karena itu, jika anda melihat seseorang sukses, kesampingkan dulu kebiasaan iri hati anda, tolong segera ubah pikiran anda. Kembangkanlah perasaan bahagia terhadap kesuksesan orang lain. Renungkanlah betapa berkuasanya hukum Kamma yang bekerja secara otomatis. Sekali lagi, tidak ada yang terjadi tanpa ada sebabnya. Dengan mengetahui bekerjanya hukum Kamma, anda akan melatih Mudita anda. Dan dengan demikian maka anda akan maju dari hari ke hari. Jika kita tidak mengembangkan Mudita, maka ketika kita menyaksikan kesuksesan orang lain, kita akan iri hati yang mana itu adalah memupuk Kamma buruk. Salah satu buah dari Kamma buruk adalah tidak mempunyai banyak teman. Jika kita ikut berbahagia, mengembangkan Mudita atas kesuksesan orang lain, itu akan mendorong kematangan batin kita, memberikan kebahagiaan saat ini dan yang akan datang. Oleh karena itu, kita semua perlu mengembangkan Mudita, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

 

Yang keempat adalah Upekkha (keseimbangan batin).

Upekkha adalah ketenangan dan keseimbangan batin yang teguh. Memiliki kemampuan Upekkha adalah memperlakukan semua orang secara adil dan tanpa pransangka. Bagaikan bunga teratai yang tidak ternoda oleh lumpur tempat dimana bunga itu tumbuh, demikian pula seseorang yang memiliki Upekkha tidak akan ternoda oleh godaan-godaan duniawi, melainkan tetap tenang dan seimbang. Musuh langsung dari Upekkha adalah kemelekatan, dan musuh tidak langsungnya adalah sikap acuh tak acuh yang timbul karena Moha (kebodohan). Upekkha adalah bebas dari rasa senang dan tidak senang,  dan sikap tidak berat sebelah adalah corak utama dari Upekkha. Orang yang memiliki Upekkha tidak tertarik dan tidak terpengaruh oleh hal-hal yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Terhadap orang jahat dan orang suci ia memiliki kepribadian yang sama.

Menjalankan Metta, Karuna dan Mudita saja tanpa dukungan Upekkha tidaklah efektif. Ketika anda ingin berbuat baik, ingin mengurangi penderitaan seseorang, ataupun mungkin anda menginginkan orang lain sukses, itu tidak selalu bisa terwujud karena semua hal hanya akan terjadi sesuai dengan Kamma-nya masing-masing. Yakin dengan  bekerjanya hukum Kamma adalah cara terbaik mengembangkan Upekkha.

Upekkha atau keseimbangan batin boleh dikatakan sebagai mahkota dan puncak dari Metta, Karuna dan Mudita. Metta, Karuna dan Mudita jika tidak disertai dengan Upekkha tidak akan maksimal karena tidak adanya faktor penstabil. Kita tidak bisa benar-benar berbuat yang bermanfaat kepada orang lain tanpa dukungan Upekkha. Kita juga akan menderita lantaran kurangnya Upekkha dalam diri kita. Mari kita tumbuhkan dan pelihara keseimbangan batin atau Upekkha pada diri kita masing-masing dalam menghadapi dan menjalani masa-masa yang sulit dan penuh gelombang di kehidupan kita.