Translate

Jumat, 14 Oktober 2022

Sudah Baik dan Pintarkah Anda?

Sebagai seorang pemeluk agama hendaknya kita ini tidak bodoh - mampu mengamalkan ajaran agama sendiri dengan baik sehingga bisa berperilaku baik – agar selamat dan bahagia hidup di dunia yang kita jalani sekarang ini - selamat dan bahagia di kehidupan berikutnya setelah meninggal dunia, di alam yang baru, yaitu masuk Surga atau masuk ke alam bahagia lainnya.

Agama itu banyak sekali, yang diakui di Indonesia ada 6 agama, semua memiliki pemeluknya masing-masing, pemeluknya memiliki karakter masing-masing. Sebenarnya agama itu apa sih? Menurut tulisan ini agama itu diciptakan untuk membimbing umatnya agar selamat dan bahagia hidupnya di dunia ini, dan setelah meninggal dunia bahagia di kehidupan berikutnya di alam yang baru. Surga dan Neraka adalah alam kehidupan baru setelah kematian. Karena agama itu banyak maka sudah barang tentu ajarannya berbeda-beda, sumbernyapun berbeda-beda. Kalau sumbernya hanya satu tentu agama itu hanya ada satu. Disini kita berbicara berdasarkan logika, tidak  terkait dengan ajaran agama tertentu karena akan tidak sesuai dengan ajaran agama lain.

Yang sudah jelas - artinya nyata - agama itu dibawa, disebarkan, atau berasal dari seorang manusia. Para pembawa agama memperoleh ajaran agama yang dibawanya itu berasal dari mana tentunya berbeda-beda. Beberapa pembawa agama menyatakan bahwa agama yang dibawanya berasal dari Tuhan. Yaitu berasal dari firman Tuhan atau berasal dari wahyu Tuhan. Beberapa agama lainnya dapat diketahui bahwa ajaran agama tersebut berasal dari si pembawa agama itu sendiri, merupakan temuan dari hasil pencariannya, dari hasil pemikiran atau mungkin pemikiran banyak orang - kemudian disebar luaskan oleh sang pembawa agama.

Tulisan ini tidak membahas misalnya tentang asal mula agama yang berasal dari satu Tuhan tapi mengapa ajarannya berbeda dan sebagainya, ataupun masalah-masalah sensitif lainnya dari aspek agama-agama yang berbeda. Tulisan ini hanya ingin mengajak pembaca untuk masuk ke pemikiran logis agar kita bisa menempatkan diri dengan baik dalam bermasyarakat demi terciptanya satu bangsa Indonesia yang bersatu, harmonis, kuat, sejahtera, dan maju. Harapannya masalah-masalah yang sensitif yang timbul dari aspek agama-agama yang berbeda bisa berkurang atau menjadi tidak ada.

Tidak bersaudara dalam iman tapi bersaudara dalam kemanusiaan, inilah yang menjadi pedoman kita semua agar hidup di dunia ini kita bisa rukun, saling bantu, hormat-menghormati satu sama lain, dan menghormati keyakinan lain. Kalau suatu agama dipahami sebagai membimbing umatnya agar selamat dan bahagia hidupnya di dunia yang sekarang ini, maka hendaknya kita sebagai umat beragama berperilakulah baik, berperilakulah bijaksana. Tidak serakah, tidak membenci dan tidak bodoh - tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik sehingga tidak kita lakukan.

Semua pemeluk agama yang diakui di Indonesia itu mengakui adanya hukum tabur-tuai, oleh karena itu tulisan ini akan lebih banyak membicarakan mengenai Hukum Tabur-Tuai yang sudah dibenarkan oleh semua pemeluk agama. Hukum tabur-tuai sama dengan hukum sebab-akibat atau hukum karma. Kalau kita ingin selamat dan bahagia masuk di kehidupan berikutnya di alam yang baru setelah kematian, yaitu masuk Surga atau masuk ke alam bahagia lainnya, maka masuk akal kalau dalam hidup ini kita berperilaku baik, bajik dan bijaksana, tidak melanggar tata-krama sehingga tidak melaggar hukum – kita akan selamat, tidak berkelahi dan tidak masuk penjara. Kita akan selamat dan bahagia dalam menjalani hidup di dunia ini. Hidup yang baik yang tidak menyakiti dan atau tidak merugikan orang bahkan tidak menyakiti makhluk lain karena tidak serakah, tidak membenci dan tidak bodoh sebagai sebab atau sebagai benih yang kita tabur - maka wajar sebagai akibatnya setelah kematian kita akan selamat masuk di alam kehidupan berikutnya - di alam kehidupan yang baru – di alam bahagia. Kalau suatu agama menjelaskan bahwa itu belum cukup dan harus mengikuti ketentuan lain dari agama yang dimaksud - silahkan perilaku dilengkapi dengan aturan menurut agama masing-masing. Hidup dengan kebersamaan di dunia ini yang paling penting perilaku baik hendaknya diutamakan.

Kita yang berbeda-beda ini, berbeda agama, suku, budaya dan golongan, sebagai satu bangsa yang sama yaitu bangsa Indonesia - marilah kita semua mengupayakan dapat berperilaku baik, yaitu tidak serakah, tidak membenci dan tidak bodoh. Tidak dapat dimanfaatkan oleh politisi yang haus kekuasaan, yang tidak takut dosa, yang tidak memahami esensi ajaran agamanya sendiri.

Jika semasa hidup ini perilakunya baik - maka kehidupan berikutnya akan berada di alam yang baik. Jika perilakunya lebih baik lagi - maka kehidupan berikutnya akan berada di alam yang lebih baik lagi. Demikian seterusnya hingga menjadi manusia suci tanpa dosa - sehingga kondisi berikutnya setelah kematian tidak bertumimbal lahir di alam kehidupan manapun - yang artinya telah padam, telah merealisasi kebahagiaan sejati kekal selamanya, bukan kebahagiaan inderawi lagi. Kebahagiaan inderawi di alam manusia tidak kekal, selalu berubah. Perubahan itu menimbulkan ketidakpuasan, menimbulkan dukkha atau penderitaan. Kondisi yang membahagiakan yang tidak berubahpun akan mendatangkan penderitaan karena yang menikmatinya menjadi bosan, kali ini yang berubah adalah perasaan bahagianya. Kebahagiaan di alam-alam yang lebih tinggi dari alam manusia juga tidak kekal - akan berubah juga. Segala bentukan, benda-benda, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran, dan segala fenomena yang ada setiap saat berubah. Ini adalah hukum alam yang tidak bisa dirubah. Oleh karena itu mau atau tidak mau – kalau mau survive dan bahagia - kita harus menyesuaikan diri – yaitu menyikapi dengan baik dan benar berlakunya hukum alam.

Oleh karena semuanya selalu berubah maka yang namanya roh atau jiwa yang kekal itu tidak ada – karena selalu berubah. Kalau mau merealisasi kebahagiaan sejati - maka penyebab dukkha harus dipotong, harus dipadamkan. Kalau sebabnya padam maka akibatnyapun padam. Roh, jiwa, atau kesadarannya sudah menjadi bijaksana. Badan jasmani atau orangnya menjadi orang suci, kilesa atau kotoran bantinnya sudah berhasil dihancur-lemburkan tanpa sisa. Berhasil merealisasi Nibbana yang menjadi tujuan semua makhluk hidup, tidak bertumimbal lahir kembali di alam kehidupan manapun, telah merealisasi kebahagiaan sejati. Manusia suci yang istilah umumnya tanpa dosa itu ada, sudah banyak sekali yang berhasil mencapainya, yaitu telah berhasil menapaki Jalan Mulia Berunsur Delapan dengan sukses, telah merealisasi hasil tertinggi dari Vipassana Bhavana.

Demikianlah tulisan ini - Semoga bermanfaat.

Rabu, 12 Oktober 2022

Empat Puluh Besar

Tulisan ini menyampaikan perihal Empat Puluh Besar pada Majjhima Nikaya 117 - Mahācattarisaka Sutta – yang uraiannya sulit dipahami, memerlukan pemikiran dan perenungan yang berulang. Tulisan ini dibuat untuk mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti meskipun masih memerlukan perhatian penuh yang berulang.

Mahācattarisaka Sutta - menceritakan ketika Sang Bhagava sedang menetap Di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Sang Bhagava memanggil para bhikkhu dan berkata sebagai berikut:

Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang konsentrasi benar dan pendukung serta persyaratannya, yaitu : pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, dan perhatian benar. Keterpusatan pikiran yang dilengkapi dengan ketujuh faktor ini disebut konsentrasi benar dengan pendukung serta perlengkapannya.

Tentang Pandangan.

Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama pada seseorang yang memahami pandangan salah sebagai pandangan salah dan pandangan benar sebagai pandangan benar.

Para bhikkhu, pandangan salah memandang bahwa : tidak ada yang diberikan; yang dipersembahkan; yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini; tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.

Para bhikkhu, pandangan benar ada dua jenis, yaitu : ada pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada pandangan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.

Para bhikkhu, pandangan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan – adalah bahwa : Ada yang diberikan, dipersembahkan, dikorbankan; ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; ada dunia ini dan dunia lain; ada ibu dan ayah; ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.

Para bhikkhu, pandangan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan, yaitu : Kebijaksanaan, indria kebijaksanaan, kekuatan kebijaksanaan, faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi, faktor sang jalan pandangan benar dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia.

Perhatian benar seseorang yaitu : jika seseorang berusaha dengan penuh perhatian meninggalkan pandangan salah, dengan penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam pandangan benar. Ketiga kondisi yang berlangsung dan berputar di sekeliling pandangan benar, yaitu : pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

Tentang Kehendak.

Para bhikkhu, dalam pandangan benar seseorang - pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Yaitu pada seseorang yang memahami kehendak salah sebagai kehendak salah dan kehendak benar sebagai kehendak benar.

Para bhikkhu, kehendak salah yaitu : Kehendak keinginan indria, kehendak permusuhan, dan kehendak kekejaman.

Para bhikkhu, kehendak benar ada dua jenis, yaitu : ada kehendak benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan. Dan ada kehendak benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.

Para bhikkhu, kehendak benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan, yaitu : kehendak meninggalkan keduniawian, tanpa permusuhan, dan tanpa kekejaman.

Para bhikkhu, kehendak benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan, yaitu : Pemikiran, pikiran, kehendak, absorpsi pikiran, ketetapan pikiran, pengarahan pikiran, bentukan ucapan dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, tanpa noda, memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia.

Usaha benar seseorang yaitu : berusaha untuk meninggalkan kehendak salah dan memasuki kehendak benar. Perhatian benar seseorang yaitu : dengan penuh perhatian meninggalkan kehendak salah, memasuki dan berdiam dalam kehendak benar. Demikianlah ketiga kondisi tersebut berlangsung dan berputar di sekeliling kehendak benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

Tentang Ucapan

Para bhikkhu, dalam pandangan benar seseorang - pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Yaitu pada seseorang yang memahami ucapan salah sebagai ucapan salah dan ucapan benar sebagai ucapan benar.

Para bhikkhu, ucapan salah yaitu : kebohongan, ucapan fitnah, ucapan kasar, dan gosip.

Para bhikkhu, ucapan benar ada dua jenis, yaitu : ada ucapan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan. Dan ada ucapan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.

Para bhikkhu, ucapan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan yaitu : menghindari kebohongan, menghindari ucapan fitnah, menghindari ucapan kasar, dan menghindari gosip.

Para bhikkhu, ucapan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan yaitu : pemberhentian empat jenis perilaku ucapan yang salah, tidak melakukan, penahanan diri, penghindaran dari perilaku ucapan yang salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, tanpa noda, memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia.

Usaha benar seseorang yaitu : berusaha untuk meninggalkan ucapan salah dan memasuki ucapan benar. Perhatian benar seseorang yaitu : penuh perhatian meninggalkan ucapan salah, penuh perhatian memasuki dan berdiam dalam ucapan benar. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling ucapan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

Tentang Perbuatan

Para bhikkhu, dalam pandangan benar seseorang - pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Yaitu pada seseorang yang memahami perbuatan salah sebagai perbuatan salah dan perbuatan benar sebagai perbuatan benar.

Para bhikkhu, perbuatan salah yaitu : membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, dan perilaku salah dalam kenikmatan indria.

Para bhikkhu, perbuatan benar ada dua jenis, yaitu : ada perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan. Dan ada perbuatan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.

Para bhikkhu, perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan yaitu : menghindari : membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, dan perilaku salah dalam kenikmatan indria.

Para bhikkhu, perbuatan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan yaitu : pemberhentian dari tiga jenis perilaku jasmani yang salah, dimana : tidak melakukan, penahanan diri, dan penghindaran dari perilaku jasmani yang salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia.

Usaha benar seseorang yaitu : berusaha untuk meninggalkan perbuatan salah dan memasuki perbuatan benar. Perhatian benar seseorang yaitu : dengan penuh perhatian meninggalkan perbuatan salah, memasuki dan berdiam dalam perbuatan benar. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling perbuatan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

Tentang Penghidupan

Para bhikkhu, dalam pandangan benar seseorang - pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Yaitu pada seseorang yang memahami penghidupan salah sebagai penghidupan salah dan penghidupan benar sebagai penghidupan benar.

Para bhikkhu, penghidupan salah yaitu : berkomplot, membujuk, mengisyaratkan, merendahkan, mengejar keuntungan dengan keuntungan.

Para bhikkhu, penghidupan benar ada dua jenis, yaitu : ada penghidupan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan. Dan ada penghidupan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.

Para bhikkhu, penghidupan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan yaitu : seorang siswa mulia meninggalkan penghidupan salah dan memperoleh penghidupannya melalui penghidupan benar.

Para bhikkhu, penghidupan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan yaitu : pemberhentian dari penghidupan salah, tidak melakukan, penahanan diri, penghindaran dari penghidupan salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia.

Usaha benar seseorang yaitu : berusaha untuk meninggalkan penghidupan salah dan memasuki penghidupan benar. Perhatian benar seseorang yaitu : dengan penuh perhatian meninggalkan penghidupan salah, memasuki dan berdiam dalam penghidupan benar. Demikianlah ketiga kondisi ini berlangsung dan berputar di sekeliling penghidupan benar, yaitu, pandangan benar, usaha benar, dan perhatian benar.

Empat Puluh Besar

Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Oleh karena itu seorang yang memiliki pandangan benar, muncul kehendak benar; pada seorang yang memiliki kehendak benar, muncul ucapan benar; pada seorang yang memiliki ucapan benar, muncul perbuatan benar; pada seorang yang memiliki perbuatan benar, muncul penghidupan benar; pada seorang yang memiliki penghidupan benar, muncul usaha benar; pada seorang yang memiliki usaha benar, muncul perhatian benar; pada seorang yang memiliki perhatian benar, muncul konsentrasi benar; pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, muncul pengetahuan benar; pada seorang yang memiliki pengetahuan benar, muncul kebebasan benar. Demikianlah, jalan dari siswa yang dalam latihan lebih tinggi memiliki delapan faktor, Arahant memiliki sepuluh faktor.

Para bhikkhu, pandangan benar muncul dalam urutan pertama. Oleh karena itu seorang yang memiliki pandangan benar, pandangan salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan pandangan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan pandangan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

Pada seorang yang memiliki kehendak benar, kehendak salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan kehendak salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan kehendak benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

Pada seorang yang memiliki ucapan benar, ucapan salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan ucapan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan ucapan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

Pada seorang yang memiliki perbuatan benar, perbuatan salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan perbuatan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan perbuatan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

Pada seorang yang memiliki penghidupan benar, penghidupan salah dilenyapkan,  dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan penghidupan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan penghidupan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

Pada seorang yang memiliki usaha benar, usaha salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan usaha salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan usaha benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

Pada seorang yang memiliki perhatian benar, perhatian salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan perhatian salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan perhatian benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

Pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, konsentrasi salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan konsentrasi salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan konsentrasi benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

Pada seorang yang memiliki pengetahuan benar, pengetahuan salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan pengetahuan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan pengetahuan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

Pada seorang yang memiliki kebebasan benar, kebebasan salah dilenyapkan, dan banyak kondisi tidak bermanfaat yang berasal-mula dengan kebebasan salah sebagai kondisi juga dilenyapkan, dan banyak kondisi bermanfaat yang berasal-mula dengan kebebasan benar sebagai kondisi menjadi terpenuhi melalui pengembangan.

Para bhikkhu, terdapat dua puluh faktor pada sisi tidak bermanfaat, dan pada sisi bermanfaat. Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini telah diputar dan tidak dapat dihentikan oleh petapa atau brahmana, Dewa, Māra, Brahmā manapun, atau siapapun di dunia.

Para bhikkhu, jika petapa atau brahmana manapun berpikir bahwa Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini harus dicela dan ditolak, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka di sini dan saat ini. Jika yang mulia itu mencela pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar, pengetahuan benar, dan kebebasan benar yang mana masing-masing dengan turutannya, maka ia tentu menghormati dan memuji para petapa dan brahmana yang memiliki pandangan salah, kehendak salah, ucapan salah, perbuatan salah, penghidupan salah, usaha salah, perhatian salah, konsentrasi salah, pengetahuan salah, dan kebebasan salah.

Para bhikkhu, bahkan para guru dari Okkala, Vassa dan Bhañña, yang menganut doktrin non-kausalitas, doktrin tidak-berbuat, dan doktrin nihilisme, tidak akan berpikir bahwa Khotbah Dhamma tentang Empat Puluh Besar ini harus dicela dan ditolak. Mengapa? Karena takut disalahkan, diserang, dan dibantah.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Demikianlah tulisan ini yang menyampaikan perihal Empat Puluh Besar pada Majjhima Nikaya 117 - Mahācattarisaka Sutta - yang bertujuan agar lebih mudah dipahami.


Selasa, 11 Oktober 2022

Kekhawatiran dan Ketakutan


Tulisan ini menyampaikan tentang Kekhawatiran dan Ketakutan pada Majjhima Nikaya 4 - Bhayabherava Sutta – penyampaiannya dipermudah menjadi sedikit singkat namun tidak mengurangi arti.

Bhayabherava Sutta - menceritakan mengenai seorang brahmana bernama Janussoni yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Sang Buddha ketika Sang Buddha sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Jawaban-jawaban dan penjelasan Sang Buddha dalam Sutta tersebut adalah sebagai berikut :

 

“Begitulah, Brahmana, begitulah. Ketika para anggota keluarga meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah karena berkeyakinan padaKu, mereka menjadikan Aku sebagai pemimpin mereka, penolong mereka, dan penuntun mereka. Dan mereka mengikuti teladanKu.”

 

Tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan adalah sulit ditahankan, keterasingan adalah sulit dilatih, dan adalah sulit untuk menikmati kesunyian. Seseorang akan berpikir hutan pasti akan merampas pikiran seorang bhikkhu, jika ia tidak memiliki konsentrasi.

 

Para petapa atau brahmana yang tidak murni dalam ucapan, tidak murni dalam pikiran, tidak murni dalam penghidupan - mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan - karena cacat dari ketidak-murnian perbuatan jasmani mereka - para petapa dan brahmana yang baik itu memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba – aku memiliki perbuatan jasmani dan penghidupan yang murni, aku datang sebagai satu di antara para mulia dengan penghidupan yang murni.’ Melihat kemurnian penghidupan, kemurnian perbuatan jasmani – aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di hutan.

 

Para petapa atau brahmana tamak dan penuh nafsu, memiliki pikiran bermusuhan dan kehendak membenci, dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan, dikuasai oleh kegelisahan dan pikiran yang tidak tenang, bimbang dan ragu, memuji diri sendiri dan menghina orang lain, tunduk pada ketakutan dan teror, menginginkan perolehan, penghormatan, dan kemasyhuran, malas dan kurang gigih, tanpa perhatian dan tidak waspada, tidak terkonsentrasi dan pikirannya mengembara - aku tidak tamak, aku memiliki pikiran cinta kasih, aku adalah tanpa kelambanan dan ketumpulan, aku memiliki pikiran yang tenang, aku telah melampaui keraguan, aku tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain, aku bebas dari kegentaran, aku memiliki sedikit keinginan, aku bersemangat, aku kokoh dalam perhatian, aku memiliki konsentrasi.

 

Para petapa atau brahmana tanpa kebijaksanaan, pembual, mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara terpencil di dalam hutan, karena cacat dari ketiadaan kebijaksanaan dan pengucap omong kosong, para petapa dan brahmana yang baik ini akan memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan dengan kebijaksanaan, tidak sebagai seorang pengucap omong kosong. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan sebagai satu di antara para mulia yang memiliki kebijaksanaan.’ Melihat kebijaksanaan ini dalam diriKu, Aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di hutan.

 

‘Ada malam-malam yang secara khusus sangat baik yaitu malam ke empat belas, ke lima belas, dan ke delapan dalam dwiminggu. Pada malam-malam yang sangat baik itu aku berdiam di tempat-tempat keramat, menakutkan seperti altar-altar di kebun, altar-altar di hutan, dan altar-altar pohon. Dan sewaktu Aku berdiam di sana, seekor binatang buas akan muncul, atau seekor burung merak akan mematahkan dahan, atau angin mendesaukan dedaunan. Aku berpikir: ‘Bagaimana sekarang jika kekhawatiran dan ketakutan itu datang?’ Aku berpikir: ‘Mengapa Aku berdiam dengan selalu menanti kekhawatiran dan ketakutan? Bagaimana jika Aku menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu sambil mempertahankan postur yang sama dengan ketika hal itu mendatangiKu?

 

“Sewaktu Aku berjalan, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berdiri atau duduk atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku berdiri, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau duduk atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku duduk, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau berdiri atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku berbaring, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau berdiri atau duduk hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu.

 

“Terdapat, Brahmana, beberapa petapa dan brahmana yang melihat siang pada malam hari dan melihat malam pada siang hari. Aku katakan bahwa di pihak mereka ini adalah kediaman dalam delusi. Tetapi aku melihat malam pada malam hari dan siang pada siang hari. Sebenarnya, jika dikatakan sehubungan dengan seseorang: ‘Makhluk yang tidak tunduk pada delusi telah muncul di dunia demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia,’ sesungguhnya adalah sehubungan dengan Aku ucapan benar itu diucapkan.

 

“Kegigihan tanpa lelah muncul dalam diriKu dan perhatian tanpa kendur ditegakkan, tubuhku tenang dan tidak terganggu, pikiranku terkonsentrasi dan terpusat.

 

“Dengan cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

 

“Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

 

“Dengan meluruhnya sukacita, Aku berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’

 

“Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

 

“Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: ‘Di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya Aku mengingat banyak kehidupan lampau.

 

“Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehKu pada jaga pertama malam itu. Ketidak-tahuan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

 

“Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan mereka, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kehancuran, bahkan di dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang baik, bahkan di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

 

“Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehKu pada jaga ke dua malam itu. Ketidak-tahuan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

 

“Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya : ‘Ini adalah penderitaan’; ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ ‘Ini adalah noda-noda’; ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

 

“Ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, pikiranKu terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda Ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan.’ Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi makhluk apapun.’

 

“Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehKu pada jaga ke tiga malam itu. Ketidak-tahuan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

 

“Sekarang, Brahmana, engkau mungkin berpikir: ‘Mungkin Petapa Gotama belum terbebas dari nafsu, kebencian, dan delusi bahkan sampai hari ini, sehingga Beliau masih mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan.’ Tetapi engkau jangan berpikir demikian. Adalah karena Aku melihat dua manfaat maka Aku masih mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan: Aku melihat kediaman yang menyenangkan bagi diriKu di sini dan saat ini, dan Aku berbelas kasih pada generasi mendatang.”

 

Dalam Sutta ini akhirnya brahmana Janussoni mengatakan demikian : “Tentu saja, adalah karena Guru Gotama adalah seorang yang sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sepenuhnya, maka Beliau berbelas kasih pada generasi mendatang. Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”


Demikianlah tulisan ini yang menyampaikan Bhayabherava Sutta dalam Majjhima Nikaya 4 yang bertujuan agar lebih mudah dipahami. Semoga bermanfaat.

BOLEHKAH MENINGGALKAN KELUARGA BARU UNTUK MENJADI BHIKKHU?

Bolehkah meninggalkan keluarga baru untuk menjadi Bhikkhu? Pertanyaan ini lumayan singkat namun sulit untuk dijawab. Jawabannya tentu lumayan panjang, dan memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang harus disampaikan. Pertanyaan tadi harus singkat karena merupakan judul sebuah tulisan. Nanti yang lumayan panjang adalah jawabannya. Saya sebagai orang yang masih awam akan mencoba mengurai permasalahan ini menurut pemikiran atau menurut pendapat pribadi saya. jika sekiranya nanti paparan ini dinilai salah - atau kurang tepat - silakan mengkoreksi nya - atau memberikan saran dan komentar - agar pembaca tulisan ini memperoleh pencerahan yang lebih banyak lagi. Jika anda bersedia mengkoreksi atau memberikan saran dan komentar anda - sebelumnya saya menyampaikan banyak terima kasih. 
Keluarga baru disini tentunya bukan keluarga yang baru saja dibentuk - atau baru saja menjalani pernikahan - tetapi katakanlah keluarga yang sudah memiliki satu atau dua orang anak - kemudian sang ayah pamit pergi - setelah sebelumnya tentu telah mendapat restu dari sang istri - untuk pergi menjalani Jalan Dhamma - menjalani kehidupan sebagai seorang Bhikkhu. 
Jalan hidup yang hampir sama telah ditempuh oleh guru Agung Buddha Gotama - tentu beda cerita - kalau Guru Agung melakukan itu karena pada waktu itu ajaran Dhamma sudah tidak ada lagi di bumi ini - sudah ditinggal mati oleh para pemeluknya - dan sudah tidak ada lagi pemeluk baru. Tentu kepunahan dari ajaran Dhamma sampai guru Agung terlahir di dunia ini sekitar 2600 tahun yang lalu itu - adalah waktu yang sangat lama sekali - hingga tanda-tanda peninggalan bahwa pernah ada ajaran Dhamma di dunia ini sebelumnya pun sudah tidak ada lagi tanda-tandanya - sudah hilang semua. Jadi dengan kondisi yang seperti itu alampun menentukan atau tepatnya menyaksikan sudah tiba saatnya terlahir di dunia ini seorang calon Buddha - yaitu Sang Bodhisatta - telah lahir ke dunia ini untuk menjadi Buddha - telah lahir Siddharta Gotama di taman lumbini - di kaki gunung Himalaya - India bagian Utara - pada tahun 623 sebelum masehi - di bawah pohon Sala - yang tiba-tiba berbunga pada saat bukan musimnya berbunga - tapi berbunga demi menyambut kedatangan seorang calon Buddha - yang mana bayi Siddharta Gotama langsung bisa berjalan tujuh langkah ke arah utara - dan tanah bekas yang diinjakinya tumbuh bunga teratai. 
Tahun-tahun berikutnya setelah Siddharta gotama menikah - dan memiliki seorang anak yang diberi nama Raulla - singkat cerita setelah Siddharta Gotama melihat kejadian-kejadian yang membuat beliau tidak bisa tenang - mengapa harus ada seorang yang sakit, yang kondisinya tua, yang mati, dan melihat seorang petapa - maka dengan tekad untuk mencari jawab mengapa semua itu bisa terjadi - dan bagaimana solusinya, maka diputuskanlah untuk meninggalkan keluarga tercinta : istri dan anak - pergi mencari solusinya dengan menempuh hidup sebagai Petapa. 
Hal tersebut bisa terjadi - pertama karena Sidharta adalah anak seorang raja - jika keluarga ditinggalkan tidak akan sengsara karena kekayaan telah menjadi bagian dari keluarga besar. Hal tersebut bisa terjadi karena hukum alam yang bekerja, karena ketentuan alam, karena ajaran Dhamma sudah punah. Siddharta Gotama sudah waktunya untuk menemukan kembali ajaran Dhamma yang telah punah - yang kemudian Sidharta menjadi Buddha. Jalan Karma Sidharta lah yang membuat Sidharta Gotama pergi meninggalkan keluarga untuk hidup sebagai Pertapa - atau sebagai seorang Rahib untuk menemukan kembali ajaran Dhamma yang telah lama punah. Jadi kepergian Sidharta ini untuk menjadi petapa menguntungkan - atau menjadi berkah buat seluruh umat manusia - termasuk keluarganya sendiri - bukan merugikan dan menyengsarakan keluarga - yang mana akhirnya memang anak – istri - dan ayahnya Raja Suddhodana semuanya telah berhasil menjadi seorang Aranhanta - merealisasi Nibbana - yaitu merealisasi suatu kebahagiaan yang sejati - yang menjadi tujuan akhir dari semua kehidupan semua makhluk - adalah berkat ajaran Dhamma yang telah ditemukan kembali oleh Buddha Gotama Sang Guru Agung manusia dan Dewa. 
Sekarang kembali ke pokok persoalan - untuk sekarang ini dimana ajaran Dhamma masih ada - masih dapat kita pelajari - maka meninggalkan keluarga untuk menjadi seorang rahib itu memerlukan banyak pertimbangan - dan banyak persyaratan. Persyaratan persyaratan tersebut kalau menurut saya adalah sebagai berikut : 
1. Apakah sudah dipertimbangkan masak-masak sehingga yang bersangkutan akan mampu meninggalkan keluarga selamanya - dalam arti tidak hidup bersama lagi - dan mampu menjalani hidup sebagai seorang Bhikkhu - dimana harus mampu melepas kemelekatan - melepas rasa sedih dan rasa rindu kepada keluarga. 
2. Apakah istri secara ikhlas mengizinkan. 
3. Apakah biaya hidup anak istri bisa tercukupi - hingga istri meninggal dunia - dan hingga anak-anak berhasil meraih pendidikan yang memadai - dan memperoleh pekerjaan yang layak - misalnya dengan cara istri telah diberi warisan usaha yang baik, dan yang memadai, atau istri telah memiliki suami baru - terlebih suami yang kaya. 
Saya kira tiga syarat itulah yang paling penting harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memutuskan meninggalkan keluarga untuk menjadi seorang Rahib. Soal anak-anak yang tidak mengijinkan ayahnya menjadi seorang Rahib dan yang rindu ayah, itu kan sifatnya hanya sementara, dengan berjalannya waktu mereka akan berhasil mengatasinya demi bakti seorang anak kepada seorang ayah, dan buat seorang ayah adalah demi mendidik anak-anak sejak dini untuk mampu melepas kemelekatan. Lagian sewaktu-waktu anak-anak dan mantan istri masih boleh ketemu kan dengan ayah dan mantan suami? 
Yang harus menjadi perhatian buat seorang rahib itu adalah tidak boleh larut dalam kebahagiaan dan kesedihan inderawi saat bertemu dan berpisah dengan anak-anak dan mantan istri. Saya setuju dengan pendapat bahwa tidak harus menjadi seorang rahib untuk bisa menapaki Jalan Dhamma - bisa saja diambil jalan yang juga baik - yaitu Jalan Tengah - yaitu misalnya tidak menjadi seorang Rahib tapi menjadi Romo - membangun wihara, mengurusi umat - supaya tiga pihak yaitu yang bersangkutan, istri dan anak-anak tidak kecewa dan tidak dikecewakan. Ini juga merupakan solusi - terutama jika masih ragu - apakah warisan usaha yang akan diberikan kepada keluarga akan dapat berjalan dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga dengan cukup - dan dapat bertahan lama. 
Demikianlah paparan singkat mengenai : Bolehkah Meninggalkan Keluarga Baru Untuk Menjadi Bhikkhu? Semoga tulisan ini bermanfaat, bila berkenan silahkan memberikan koreksi, saran dan komentar Anda. Terima kasih.

Akar Segala Sesuatu

Tulisan ini menyampaikan intisari tentang : “Akar Segala Sesuatu” dari Majjhima Nikaya – 1 : Mūlapariyāya Sutta. Mūlapariyāya Sutta - menceritakan ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ukkaṭṭhā di Hutan Subhaga di bawah pohon sāla besar. Beliau memanggil para bhikkhu dan kemudian berkata bahwa beliau akan mengajarkan sebuah khotbah kepada Para bhikkhu tentang akar dari segala sesuatu.

Intisari dari ajaran Sang Bhagava yang disampaikan kepada para bhikkhu tentang : “Akar Segala Sesuatu” dari Majjhima Nikaya – 1 : Mūlapariyāya Sutta - menurut tulisan ini adalah mengenai penguasaan pemahaman dan pencapaian tertinggi dari praktik mengakhiri Dua belas mata rantai sebab-musabab yang saling bergantungan (Paticcasamuppada) mulai dari orang biasa, Arahat sampai dengan yang disebut Tathagata-2, dimana rincian singkatnya yang dikatakan oleh - Sang Bhagava adalah sebagai berikut :


Orang biasa :

Orang biasa menganggap [dirinya sebagai] sesuatu, ia menganggap [dirinya] dalam sesuatu, ia menganggap [dirinya terpisah] dari sesuatu, ia menganggap sesuatu sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam sesuatu, karena ia belum sepenuhnya memahami sesuatu yang dimaksud. Dimana sesuatu tersebut adalah tentang : tanah, air, api, dan udara yang membentuk Ruppa atau badan jasmani dan mengenai : makhluk-makhluk, dewa-dewa, Pajāpati, Brahmā, para dewa dengan Cahaya Gemerlap, para dewa dengan Keagungan Gemilang, para dewa dengan Buah Besar, raja, landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, landasan bukan persepsi juga bukan tanpa-persepsi, yang terlihat, yang terdengar, yang terindra, yang dikenali, kesatuan, keberagaman, keseluruhan, dan Nibbāna. Mengapa demikian? Karena seperti yang disebut tadi, orang biasa itu belum sepenuhnya memahami tentang sesuatu itu : tanah, air, api dan sebagainya sebagaimana mestinya.


Siswa Dalam Latihan Yang Lebih Tinggi :

Siswa Dalam Latihan Yang Lebih Tinggi seharusnya tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Siswa Dalam Latihan Yang Lebih Tinggi itu sudah dapat memahami sepenuhnya tentang sesuatu, yaitu tanah, air, api dan seterusnya...


Arahat – 1 :

Arahat – 1 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Arahant – 1 telah memahami sepenuhnya tentang tanah, air, api dan seterusnya...


Arahat – 2 :

Arahat – 2 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Arahant-2 telah terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.


Arahat – 3 :

Arahat – 3 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Arahat-3 telah terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.


Arahat – 4 :

Arahat – 4 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Arahant-4 telah terbebaskan dari delusi melalui hancurnya delusi.


Tathāgata – 1 :

Tathāgata – 1 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir.


Tathāgata – 2 :

Tathāgata – 2 tidak menganggap [dirinya sebagai] sesuatu (tanah, air, api...) dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena Tathagata-2 telah memahami bahwa kesenangan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan [sebagai kondisi] maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian. Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan ketagihan sepenuhnya, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi.


Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Tetapi para bhikkhu itu tidak bergembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Demikianlah intisari tentang : “Akar Segala Sesuatu” dari Majjhima Nikaya – 1 : Mūlapariyāya Sutta. Semoga bermanfaat. 

SEKELUMIT PERCAKAPAN MENARIK

Percakapan tersebut dimulai dari si A yang berkata demikian : Orang bodoh itu ternyata memiliki peran penting juga ya di dunia ini. Dibutuhkan oleh orang lain. Contoh : "kaum radikalis salah" - dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingan pribadi dan golongan. Waspadalah.! jangan sampai kaum "radikal salah" tersebut dipelihara dan dilestarikan.!

Si B menimpali : Kalau itu menyangkut agama, sebetulnya agama bukan untuk membodoh-bodohin orang, tapi sebaliknya... hhh...

Disambut oleh si C : Bila tidak ada orang bodoh, pastilah dunia ini sangat sepi...

Kembali si A berkomentar : Hanya saja janganlah kita ini menjadi bagian dari orang-orang bodoh yang dimaksud. Biarlah yang lain saja.

Akhirnya percakapan tersebut ditutup oleh si D sebagai berikut : Betul, betul, betul, setuju sekali... Bodoh itu tidak berarti tidak memiliki berlembar-lembar ijazah hingga ijazah doktor. Tapi nalarnya saja yang tertutup oleh kepercayaan yang salah yang dijejalkan oleh guru dan atau orang tua hingga otaknya seolah tercuci sedemikian rupa. Sejak kecil didoktrin terus-menerus, tidak dibebaskan untuk bertanya secara kritis. Contoh yang pernah terjadi adalah – dulu – kasus Dimas Kanjeng, yang mampu menggandakan uang - dipercayai oleh seseorang yang berpendidikan PhD, pastilah karena sejak kecil beliau itu dijejali oleh keyakinan dengan pemahaman yang salah, salah tapi tidak boleh dibantah. Kini sudah tiba saatnya anak-anak itu dibebaskan untuk bertanya apapun, dan jawablah sesuai kitab tapi yang logis - agar jika terjadi diskusi – maka diskusinya baik, bebas tapi damai. Mengamalkan ajaran agama apapun yang dipercayainya - yang diakui oleh negara itu - sangat diperbolehkan, yang tidak boleh adalah jika amalannya itu menyakiti dan atau memojokkan orang lain atau menyakiti hati orang yang berbeda keyakinan. Keyakinan yang berbeda itu dapat terjadi karena masing-masing orang itu memiliki jodohnya masing-masing yang bisa saja berbeda.

Demikianlah tulisan ini, semoga bermanfaat.