Hidup kita ini menderita. Setiap makhluk mengalami banyak sekali kehidupan, mengalami kehidupan yang berulang-ulang, lahir dan mati berulang-ulang, dan tidak semua kehidupannya adalah kehidupan yang selalu bahagia. Sehingga secara rata-rata hidupnya adalah menderita karena adanya perubahan yang selalu terjadi. Kehidupan manusia juga demikian. Tidak selalu mengalami kebahagiaan, pada masa-masa tertentu manusia mengalami penderitaan. Kebahagiaan dan penderitaan itu tidak selamanya, juga tidak stabil. Disebut penderitaan dan kebahagiaan inderawi, tidak kekal, selalu mengalami perubahan. Karena selalu ada perubahan itulah maka mahkluk itu kehidupannya menderita atau Dukkha. Segala sesuatu selalu berubah, perubahan itu kekal adanya, yang kekal adalah perubahan atau Anicca. Anicca adalah salah satu dari hukum alam yang berlaku, yang tidak bisa dirubah dengan cara apapun. Dukkha atau penderitaan yang berhubungan dengan Anicca yang menimpa kepada makhluk dan manusia yang belum tercerahkan, adalah juga hukum alam. Karena segala sesuatu berubah, maka tidak ada yang merupakan Inti, Entitas, Aku atau Roh, disebut Anatta, segala sesuatu atau fenomena itu merupakan gabungan dari unsur-unsur yang lebih kecil, yang selalu berubah. Entitas, Roh dan Aku itu ada – adalah merupakan kebenaran konvensional, adalah kebenaran yang tanpa sadar disepakati secara umum untuk memudahkan komunikasi. Di dunia ini setiap saat semuanya berubah. Katakanlah tiap detik terjadi perubahan sekian milyar kali. Kita tidak bisa menyaksikan perubahan sudah terjadi karena saking kecilnya perubahan. Pada benda-benda yang sangat keras perubahan tersebut baru bisa diketahui mungkin setelah sekian ribu tahun, juta tahun atau bahkan lebih.
Tujuan hidup
makhluk-makhluk termasuk kita manusia adalah mengakhiri Dukkha. Dukkha bisa
timbul karena adanya nafsu inderawi disebut Tanha, yang tidak ada
habis-habisnya, yang tidak bisa selalu dipenuhi, sehingga menimbulkan
penderitaan. Penderitaan timbul karena Tanha belum mampu dilenyapkan,
diseimbangkan, atau dikendalikan. Tanha yang tidak diarahkan dengan baik dan
benar akan menjadi kotoran batin, disebut Kilesa. Kilesa timbul meliputi 3 hal
yaitu : Keserakahan disebut Lobha, kebencian disebut Dhosa, dan kebodohan atau
delusi disebut Moha. Lhoba dapat menimbulkan perbuatan mencuri, menipu,
korupsi, dan lain-lain. Dhosa dapat menimbulkan dendam, kemarahan, bersteru,
mencelakai, memfitnah, dan lain-lain. Sedangkan Moha adalah tidak tahu atau
tidak mampu membedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik, dan
mana yang buruk. Membunuh makhluk hidup, mencuri, berzina, berbohong, dan
mabuk-mabukan bisa terjadi karena adanya salah satu atau lebih dari adanya
Lobha, Dhosa, dan Moha.
Makhluk-makhluk
termasuk kita manusia yang hidupnya menderita itu penderitaannya tidak akan
pernah berakhir jika tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Penderitaannya
tidak akan berakhir sebab setelah meninggal akan terlahir kembali di alam
kehidupan yang baru. Karena harus bertanggung jawab. Masalah yang belum selesai
harus dipertanggungjawabkan atau diselesaikan dikehidupan berikutnya. Demikian
seterusnya. Berlaku hukum sebab-akibat atau hukum tabur-tuai atau hukum Karma
yang merupakan hukum alam juga. Secara garis besar ada 31 alam kehidupan,
meliputi alam penderitaan dan alam kebahagiaan, kecuali alam manusia yang
merupakan alam penderitaan sekaligus alam kebahagiaan, tergantung bagaimana
manusia yang bersangkutan mampu bersikap sampai mampu mengatasinya, mampu
meraih jalan keluarnya, atau telah berhasil merealisasi Nibbana, yaitu berhasil
merealisasi pencerahan sempurna.
31 alam
kehidupan itu meliputi 4 alam kemerosotan disebut Apayabhumi, 1 alam manusia
disebut Manussabhumi, 6 alam surga atau 6 alam dewa disebut Devabhumi, 16 alam
brahma berbentuk disebut Rupabhumi dan 4 alam brahma tanpa bentuk disebut
Arupabhumi.
Tugas
makhluk-makhluk dan manusia adalah menembus jalan keluar yang disebut tadi,
yaitu mengakhiri Dukkha, dengan cara mengendalikan yaitu mengarahkan dengan
baik Tanha, sehingga Kilesa dapat dihancurkan, menggantikannya dengan
kebahagiaan sejati. Yang diawali dengan banyak berbuat baik, mengurangi
perbuatan jahat, dan mensucikan hati dan pikiran. Tiga hal ini memang tidak
mudah dilakukan, memerlukan kemauan keras, semangat, dan latihan yang benar,
baik, tekun, dan berkesinambungan. Perlu mengedepankan perihal Dana, Sila,
Samadhi, dan Panna atau kebijaksanaan. Namun untuk bisa melakukan semuanya itu
dengan benar haruslah memahami dengan benar terlebih dahulu Jalan Mulia
Berunsur Delapan, yang terdiri dari Pengertian benar atau Samma-ditthi, Pikiran
Benar atau Samma-sankappa, Ucapan Benar atau Samma-vaca, Perbuatan Benar atau
Samma-kammanta, Mata Pencaharian Benar atau Samma-ajiva, Daya-upaya Benar atau
Samma-vajama, Perhatian Benar atau Samma-sati, dan Konsentrasi Benar atau Samma-samadhi.
Apakah benar
kebahagiaan sejati itu bisa tercipta dengan cara mengendalikan hawa nafsu
keinginan atau Tanha yang menggebu-gebu? Benar saudara, orang awam disebut
Puthujjana awalnya sulit memahaminya. Tapi coba renungkan apakah Tanha yang
menginginkan kesenangan tapi tidak terpenuhi, dan jika terpenuhipun akan
berakhir, apakah itu kebahagiaan yang sejati? Adalah merupakan kesunyataan
bahwa kalau batin kita selalu dalam keadaan seimbang yang disebut Upekkha, maka
kebahagiaan terealisasi, tidak diperbudak oleh Tanha yang menggebu-gebu, tidak
terpengaruh oleh kondisi yang tidak menyenangkan maupun tidak terlalu
terpengaruh oleh kondisi yang menggembirakan. Kebahagiaan itu adanya didalam diri sendiri, bukan karena
kondisi yang ada di luar diri.
Jadi sekarang
jelas, mengakhiri Dukkha menggantinya dengan kebahagiaan itu bukan berarti
mencari kebahagian inderawi yang sambung menyambung tanpa henti, karena tidak
mungkin bisa terwujud, karena setiap fenomena itu setiap saat berubah. Tetapi
menggantinya dengan kebahagiaan yang sejati. Yaitu bagaimana bisa me-manage
Tanha untuk mengurangi sedikit demi sedikit kotoran batin atau Kilesa, yang
pada akhirnya akan bisa dihancur-leburkan tanpa sisa, dengan cara mempraktekkan
Jalan Mulia Berunsur Delapan, dimana yang paling krusial adalah unsur yang
kedelapan yaitu Konsentrasi Benar, yaitu melatih Samadhi atau meditasi. Mari
kita melatih meditasi diawali dengan Anapanasati Bhavana, atau meditasi
mengamati keluar masuknya nafas dengan perhatian penuh, yaitu menggunakan Sati,
yang dibarengi dengan Panna atau kebijaksanaan. Cara meditasi yang dilakukan
dengan semangat dan usaha yang tinggi, hendaknya dilakukan secara bijaksana.
Kalau pikiran
kita dalam memperhatikan keluar masuknya nafas telah terlepas dan lari
kemana-mana, maka kembalikan perhatian itu ke nafas kembali secara bijaksana,
artinya dengan cara serius tapi santai, jangan tegang, jangan menggebu-gebu,
karena itu artinya ada Kilesa. Menperhatikan keluar masuknya nafas itu
dimaksudkan untuk melatih pikiran untuk bisa fokus kepada keadaan yang terjadi
pada saat ini, hal-hal yang sekarang dikerjakan hendaknya dikerjakan dengan
baik, dengan penuh perhatian, agar hasilnya juga baik. Pikiran jangan
memikirkan hal-hal yang sudah berlalu yang menimbulkan penyesalan dan kekecewaan.
Ataupun memikirkan hal-hal yang akan datang, yang belum terjadi, yang dapat
menimbulkan kekawatiran. Pikiran yang kecewa, yang menyesal, dan yang kawatir
tersebut adalah Kilesa yang selama ini kita upayakan untuk tidak berkembang,
berangsur-angsur berkurang, dan akhirnya hancur lebur tanpa sisa. Kita
hendaknya tidak melekat juga dengan perhatian kepada keadaan yang terjadi pada
saat ini, sebab kemelekatan itu sedang kita upayakan untuk tidak berkembang,
kita sedang berupaya untuk melepas dan melepas semua kemelekatan. Katakanlah
sekarang ini kita sedang berperang melawan Kilesa.
Meditasi itu
bukan hanya meditasi duduk, meditasi berjalan, maupun meditasi berbaring.
Meditasi bisa juga dilakukan ketika kita sedang beraktifitas seperti ketika
kita sedang makan, sedang bekerja, dan sebagainya, yaitu dengan menyadari
setiap saat yang sedang kita lakukan.
Kilesa yang
hancur lebur tanpa sisa itu bisa terealisasi jika telah mampu mencapai hasil
tertinggi dari meditasi Vipassana, dimana Vipassana Bhavana, atau meditasi
pandangan terang itu sendiri adalah kelanjutan dari meditasi Anapanasati,
meditasi Samatha, atau meditasi ketenangan yang telah mencapai tingkat-tingkat
Jhana.
Objek pengamatan
untuk disadari dan dipahami pada meditasi Vipassana adalah Batin dan Jasmani
yang terkait dengan Anicca, Dukha dan Anatta, meliputi Kaya nupassana
(pengamatan pada tubuh), Vedana nupassana (pengamatan terhadap perasaan), Citta
nupassana (pengamatan pikiran), dan Dhamma nupasana, meliputi perenungan
terhadap Panca-khandha, enam landasan indera, tujuh faktor pencerahan, dan
empat kebenaran mulia.
Hasil tertinggi
dari Vipassana Bhavana atau meditasi Vipassana adalah merealisasi pencerahan
sempurna, merealisasi Nibbana, merealisasi kebahagiaan atau kedamaian abadi,
yang merupakan tujuan hidup semua makhluk, yaitu telah padam, yang tidak akan
telahir kembali di alam kehidupan manapun.
Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat.