Translate

Selasa, 05 Juli 2022

Balada Makhluk Hidup

Hidup kita ini menderita. Setiap makhluk mengalami banyak sekali kehidupan, mengalami kehidupan yang berulang-ulang, lahir dan mati berulang-ulang, dan tidak semua kehidupannya adalah kehidupan yang selalu bahagia. Sehingga secara rata-rata hidupnya adalah menderita karena adanya perubahan yang selalu terjadi. Kehidupan manusia juga demikian. Tidak selalu mengalami kebahagiaan, pada masa-masa tertentu manusia mengalami penderitaan. Kebahagiaan dan penderitaan itu tidak selamanya, juga tidak stabil. Disebut penderitaan dan kebahagiaan inderawi, tidak kekal, selalu mengalami perubahan. Karena selalu ada perubahan itulah maka mahkluk itu kehidupannya menderita atau Dukkha. Segala sesuatu selalu berubah, perubahan itu kekal adanya, yang kekal adalah perubahan atau Anicca. Anicca adalah salah satu dari hukum alam yang berlaku, yang tidak bisa dirubah dengan cara apapun. Dukkha atau penderitaan yang berhubungan dengan Anicca yang menimpa kepada makhluk dan manusia yang belum tercerahkan, adalah juga hukum alam. Karena segala sesuatu berubah, maka tidak ada  yang merupakan Inti, Entitas, Aku atau Roh, disebut Anatta, segala sesuatu atau fenomena itu merupakan gabungan dari unsur-unsur yang lebih kecil, yang selalu berubah. Entitas, Roh dan Aku itu ada – adalah merupakan kebenaran konvensional, adalah kebenaran yang tanpa sadar disepakati secara umum untuk memudahkan komunikasi. Di dunia ini setiap saat semuanya berubah. Katakanlah tiap detik terjadi perubahan sekian milyar kali. Kita tidak bisa menyaksikan perubahan sudah terjadi karena saking kecilnya perubahan. Pada benda-benda yang sangat keras perubahan tersebut baru bisa diketahui mungkin setelah sekian ribu tahun, juta tahun atau bahkan lebih.

Tujuan hidup makhluk-makhluk termasuk kita manusia adalah mengakhiri Dukkha. Dukkha bisa timbul karena adanya nafsu inderawi disebut Tanha, yang tidak ada habis-habisnya, yang tidak bisa selalu dipenuhi, sehingga menimbulkan penderitaan. Penderitaan timbul karena Tanha belum mampu dilenyapkan, diseimbangkan, atau dikendalikan. Tanha yang tidak diarahkan dengan baik dan benar akan menjadi kotoran batin, disebut Kilesa. Kilesa timbul meliputi 3 hal yaitu : Keserakahan disebut Lobha, kebencian disebut Dhosa, dan kebodohan atau delusi disebut Moha. Lhoba dapat menimbulkan perbuatan mencuri, menipu, korupsi, dan lain-lain. Dhosa dapat menimbulkan dendam, kemarahan, bersteru, mencelakai, memfitnah, dan lain-lain. Sedangkan Moha adalah tidak tahu atau tidak mampu membedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik, dan mana yang buruk. Membunuh makhluk hidup, mencuri, berzina, berbohong, dan mabuk-mabukan bisa terjadi karena adanya salah satu atau lebih dari adanya Lobha, Dhosa, dan Moha.

Makhluk-makhluk termasuk kita manusia yang hidupnya menderita itu penderitaannya tidak akan pernah berakhir jika tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Penderitaannya tidak akan berakhir sebab setelah meninggal akan terlahir kembali di alam kehidupan yang baru. Karena harus bertanggung jawab. Masalah yang belum selesai harus dipertanggungjawabkan atau diselesaikan dikehidupan berikutnya. Demikian seterusnya. Berlaku hukum sebab-akibat atau hukum tabur-tuai atau hukum Karma yang merupakan hukum alam juga. Secara garis besar ada 31 alam kehidupan, meliputi alam penderitaan dan alam kebahagiaan, kecuali alam manusia yang merupakan alam penderitaan sekaligus alam kebahagiaan, tergantung bagaimana manusia yang bersangkutan mampu bersikap sampai mampu mengatasinya, mampu meraih jalan keluarnya, atau telah berhasil merealisasi Nibbana, yaitu berhasil merealisasi pencerahan sempurna.

31 alam kehidupan itu meliputi 4 alam kemerosotan disebut Apayabhumi, 1 alam manusia disebut Manussabhumi, 6 alam surga atau 6 alam dewa disebut Devabhumi, 16 alam brahma berbentuk disebut Rupabhumi dan 4 alam brahma tanpa bentuk disebut Arupabhumi.

Tugas makhluk-makhluk dan manusia adalah menembus jalan keluar yang disebut tadi, yaitu mengakhiri Dukkha, dengan cara mengendalikan yaitu mengarahkan dengan baik Tanha, sehingga Kilesa dapat dihancurkan, menggantikannya dengan kebahagiaan sejati. Yang diawali dengan banyak berbuat baik, mengurangi perbuatan jahat, dan mensucikan hati dan pikiran. Tiga hal ini memang tidak mudah dilakukan, memerlukan kemauan keras, semangat, dan latihan yang benar, baik, tekun, dan berkesinambungan. Perlu mengedepankan perihal Dana, Sila, Samadhi, dan Panna atau kebijaksanaan. Namun untuk bisa melakukan semuanya itu dengan benar haruslah memahami dengan benar terlebih dahulu Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang terdiri dari Pengertian benar atau Samma-ditthi, Pikiran Benar atau Samma-sankappa, Ucapan Benar atau Samma-vaca, Perbuatan Benar atau Samma-kammanta, Mata Pencaharian Benar atau Samma-ajiva, Daya-upaya Benar atau Samma-vajama, Perhatian Benar atau Samma-sati, dan Konsentrasi Benar atau Samma-samadhi.

Apakah benar kebahagiaan sejati itu bisa tercipta dengan cara mengendalikan hawa nafsu keinginan atau Tanha yang menggebu-gebu? Benar saudara, orang awam disebut Puthujjana awalnya sulit memahaminya. Tapi coba renungkan apakah Tanha yang menginginkan kesenangan tapi tidak terpenuhi, dan jika terpenuhipun akan berakhir, apakah itu kebahagiaan yang sejati? Adalah merupakan kesunyataan bahwa kalau batin kita selalu dalam keadaan seimbang yang disebut Upekkha, maka kebahagiaan terealisasi, tidak diperbudak oleh Tanha yang menggebu-gebu, tidak terpengaruh oleh kondisi yang tidak menyenangkan maupun tidak terlalu terpengaruh oleh kondisi yang menggembirakan. Kebahagiaan itu  adanya didalam diri sendiri, bukan karena kondisi yang ada di luar diri.

Jadi sekarang jelas, mengakhiri Dukkha menggantinya dengan kebahagiaan itu bukan berarti mencari kebahagian inderawi yang sambung menyambung tanpa henti, karena tidak mungkin bisa terwujud, karena setiap fenomena itu setiap saat berubah. Tetapi menggantinya dengan kebahagiaan yang sejati. Yaitu bagaimana bisa me-manage Tanha untuk mengurangi sedikit demi sedikit kotoran batin atau Kilesa, yang pada akhirnya akan bisa dihancur-leburkan tanpa sisa, dengan cara mempraktekkan Jalan Mulia Berunsur Delapan, dimana yang paling krusial adalah unsur yang kedelapan yaitu Konsentrasi Benar, yaitu melatih Samadhi atau meditasi. Mari kita melatih meditasi diawali dengan Anapanasati Bhavana, atau meditasi mengamati keluar masuknya nafas dengan perhatian penuh, yaitu menggunakan Sati, yang dibarengi dengan Panna atau kebijaksanaan. Cara meditasi yang dilakukan dengan semangat dan usaha yang tinggi, hendaknya dilakukan secara bijaksana.

Kalau pikiran kita dalam memperhatikan keluar masuknya nafas telah terlepas dan lari kemana-mana, maka kembalikan perhatian itu ke nafas kembali secara bijaksana, artinya dengan cara serius tapi santai, jangan tegang, jangan menggebu-gebu, karena itu artinya ada Kilesa. Menperhatikan keluar masuknya nafas itu dimaksudkan untuk melatih pikiran untuk bisa fokus kepada keadaan yang terjadi pada saat ini, hal-hal yang sekarang dikerjakan hendaknya dikerjakan dengan baik, dengan penuh perhatian, agar hasilnya juga baik. Pikiran jangan memikirkan hal-hal yang sudah berlalu yang menimbulkan penyesalan dan kekecewaan. Ataupun memikirkan hal-hal yang akan datang, yang belum terjadi, yang dapat menimbulkan kekawatiran. Pikiran yang kecewa, yang menyesal, dan yang kawatir tersebut adalah Kilesa yang selama ini kita upayakan untuk tidak berkembang, berangsur-angsur berkurang, dan akhirnya hancur lebur tanpa sisa. Kita hendaknya tidak melekat juga dengan perhatian kepada keadaan yang terjadi pada saat ini, sebab kemelekatan itu sedang kita upayakan untuk tidak berkembang, kita sedang berupaya untuk melepas dan melepas semua kemelekatan. Katakanlah sekarang ini kita sedang berperang melawan Kilesa.

Meditasi itu bukan hanya meditasi duduk, meditasi berjalan, maupun meditasi berbaring. Meditasi bisa juga dilakukan ketika kita sedang beraktifitas seperti ketika kita sedang makan, sedang bekerja, dan sebagainya, yaitu dengan menyadari setiap saat yang sedang kita lakukan.

Kilesa yang hancur lebur tanpa sisa itu bisa terealisasi jika telah mampu mencapai hasil tertinggi dari meditasi Vipassana, dimana Vipassana Bhavana, atau meditasi pandangan terang itu sendiri adalah kelanjutan dari meditasi Anapanasati, meditasi Samatha, atau meditasi ketenangan yang telah mencapai tingkat-tingkat Jhana.

Objek pengamatan untuk disadari dan dipahami pada meditasi Vipassana adalah Batin dan Jasmani yang terkait dengan Anicca, Dukha dan Anatta, meliputi Kaya nupassana (pengamatan pada tubuh), Vedana nupassana (pengamatan terhadap perasaan), Citta nupassana (pengamatan pikiran), dan Dhamma nupasana, meliputi perenungan terhadap Panca-khandha, enam landasan indera, tujuh faktor pencerahan, dan empat kebenaran mulia.

Hasil tertinggi dari Vipassana Bhavana atau meditasi Vipassana adalah merealisasi pencerahan sempurna, merealisasi Nibbana, merealisasi kebahagiaan atau kedamaian abadi, yang merupakan tujuan hidup semua makhluk, yaitu telah padam, yang tidak akan telahir kembali di alam kehidupan manapun.

Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat. 


Sabtu, 02 Juli 2022

Pertanyaan dan Jawaban

Tulisan ini mempublikaisikan pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya, yang diawali dengan adanya tulisan sebagai berikut : 

"Agama yang banyak itu salah satu point ajarannya adalah menganjurkan berbuat baik, yang mana merupakan salah satu syarat masuk Surga. Manusia yang lahir sebelum ada agama bisa masuk Surga jika banyak berbuat baik".

Atas adanya tulisan tersebut kemudian munculah pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya sebagai berikut :

Tanya : Pertanyaan saya simpel saja sobat. Dimanakah Sorga itu? Dimanakah Neraka itu?


Jawab : Surga & Neraka adalah alam kehidupan buat makhluk-makhluk penghuninya. Dan ketahuilah ada 31 alam kehidupan yang terlihat maupun yang tidak terlihat oleh orang biasa. Ada alam binatang, alam setan, alam dewa, alam brahma dan lain lain. Alam setan dan alam binatang itu jadi satu dengan alam manusia. Anda bisa mencari jawab dari banyak pertanyaan di Laptop atau di HP yaitu di Smartphone Anda sendiri. Anda juga bisa menonton video saya di YouTube dengan nama : hermanuhadi , disitu ada video-video tentang alam kehidupan, tentang spiritual dan lain-lain yang ditambah dengan bonus video hiburan.


Tanya : Saya sebenarnya orang yang bodoh. Malas berdebat. Padahal pertanyaan saya sangat simpel. Dimanakah Surga dan Neraka itu berada? Tapi kenapa jawabannya membingungkan dan melenceng dari pertanyaan. By the way terimakasih atas penjelasannya.


Jawab : Itu adalah jawaban saya yang agak lengkap, tidak membingungkan kalau disimak dengan baik, dengan penuh perhatian. OK, Surga dan Neraka itu menurut pemberitahuan yang saya yakini benar, adanya di alam semesta yang tidak kasat mata. Anda dan saya pernah mengalami hidup disana cuma anda dan saya tidak dapat mengingatnya karena sekarang ini anda dan saya masih sebagai manusia biasa yang belum tercerahkan, masih Puthujjana. Ini juga jawaban yang agak lengkap. Jawaban yang anda perlukan itu adalah ini : "Surga dan Neraka itu adanya di alam semesta yang tidak kasat mata".


Demikianlah tulisan ini. Semoga bermanfaat. 

Kamis, 30 Juni 2022

Memetik Hasil Berkali-Kali Lipat

Memetik hasil berkali-kali lipat itu bisa diibaratkan sebagaimana seseorang yang menanam biji mangga. Biji yang ditanam hanya satu. Tapi dapat menghasilkan pohon mangga yang sangat besar, dan akan terus memproduksi mangga. Mungkin ribuan mangga atau puluhan ribu atau bahkan melebihi itu. Inilah yang disebut hukum alam. Sama pula dengan karma baik atau karma buruk. Apabila kita melakukannya akan membuahkan hasil yang tak terhitung kali lipat. Kebanyakan orang memperhatikan hasil langsung dari sebuah perbuatan. Mereka tidak mengetahui bahwa karma yang muncul belakangan bisa memberikan hasil ribuan kali lipat di banyak kehidupan berikutnya. Ini bisa terjadi karena kita melestarikannya, baik itu karma buruk ataupun karma baik. Jadi kita harus sadar, karma yang mana yang perlu kita lestarikan, yang perlu kita pupuk dan kita rawat. Oleh karena itu sangat mungkin seseorang akan menderita selama ratusan atau ribuan kelahiran dikarenakan satu perbuatan buruk yang tidak dilemahkan tapi justru dirawat. Atau berbahagia selama ratusan atau ribuan kelahiran dikarenakan satu perbuatan baik yg selalu dirawat dan dilestarikan. Inilah yang disebut hukum karma.

Perbuatan baik adalah jauh lebih kuat dari perbuatan buruk. Caranya adalah apabila kita telah melakukan banyak karma buruk di masa lampau, kita dapat bertobat dengan menghentikan keburukan dan melakukan banyak karma baik dalam kehidupan ini. Maka, efek karma buruk yang telah dilakukan di masa lampau bisa berkurang kekuatannya. Seperti air pada garam. Makin banyak air kita tambahkan maka rasa asin nya akan berkurang dan bisa tak terasa asin lagi. Ketika kita melatih pikiran dan batin agar dapat berperilaku baik dan bermeditasi yang semuanya dilakukan secara benar dengan semangat yang tiggi, dan ketika akhirnya berhasil merealisasi Nibbana, maka semua karma buruk yang pernah kita lakukan, sebesar apa pun, tak lagi mampu menyentuh kita. Artinya karma buruk yang telah kita miliki telah menjadi Ahosi Karma, karma yang terpotong, tidak lagi dapat membuahkan hasil. Inilah yang dimaksud dengan perbuatan baik jauh lebih kuat dari perbuatan buruk.


Demikianlah uraian singkat yang berjudul Memetik Hasil Berkali-Kali Lipat. Semoga bermanfaat. 


Minggu, 26 Juni 2022

Buah Karma Yang Tak Bisa Dihindari

Tertulislah suatu kisah yang terdapat di jurnal Myat Mangala sebuah majalah di Myanmar, kisah tersebut menceritakan sebagai berikut : Ada seorang perempuan bernama Daw Mar Pu dari desa Du Yin Seik, kota Thaton. Perempuan tersebut tidak bisa berbicara dengan jelas karena bibir atasnya cacat. Dia harus hidup dengan menjual ikan. Dia menaruh ikan pada talam yang besar dan menaruh di atas kepalanya. Dia berkeliling desa, berteriak : “Waukah Anda leli ikay?”

Orang desa tahu apa yang dia teriakkan adalah “Maukah Anda beli ikan?” Tetapi ada seorang laki-laki muda bernama Ko Than Tun memperolok dia dengan meneriakkan apa yang dia teriakkan. Daw Mar Pu si penjual ikan menjadi sedih, tetapi dia terpaksa menerima penghinaan itu karena dia miskin.

Tidak lama kemudian, istri Ko Than Tun melahirkan seorang anak laki-laki dengan bibir atas cacat seperti Daw Mar Pu. Ketika anak ini tumbuh, dia juga berbicara tidak jelas seperti Daw Mar Pu. Kemudian Ko Than Tun mempunyai seorang anak laki-laki lagi dengan badan yang normal. Tetapi ketika anak ini semakin besar, dia bermain dengan kakaknya dan dia juga berbicara tidak jelas seperti kakaknya.

Diceritakan, kemudian Ko Than Tun menjadi miskin dan istrinya harus membuat kue untuk dijual. Karena dia tidak bisa menjual semua kue di depan rumahnya, dia meminta anak laki-laki tertuanya yang sudah berumur enam tahun, berkeliling desa, menjual kue dan berteriak : “Waukah Anda leli yue?”

Kali ini, seorang anak laki-laki muda lainnya bernama Ko Myint Htay memperolok anak kecil itu dengan meneriakkan apa yang anak itu teriakkan. Anak itu menjadi malu dan menangis. Diceritakan ketika kemudian istri Ko Myint Htay melahirkan seorang anak perempuan, anak tersebut terlahir dengan bibir atas yang juga cacat. Jadi ketika anak ini besar, dia juga tidak bisa berbicara dengan jelas.

Begitulah yang terjadi, akibat dari karma itu tidak bisa dihindari. Akibat buruk dari karma buruk mulai berbuah pada kehidupan ini juga. Namun perlu Anda pahami, bahwa karma tidaklah diturunkan kepada anak, Karma setiap makhluk itu tidak mungkin menular, meskipun dari permukaan terlihat seolah demikian. Ketika seseorang melakukan karma buruk, misalnya menghina orang yang bibirnya cacat, karma itu bisa saja mematangkan kondisi bagi makhluk yang memang punya karma untuk terlahir menjadi orang dengan bibir cacat lahir menjadi anaknya. Hukum Karma itu bekerja dengan sangat halus dan dalam, hanya Samma Sambuddha yang mampu mengetahui dengan presisi tertinggi. Oleh karena itu, kita perlu terus mempelajari Dhamma agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan.

Demikianlah tulisan ini, semoga Bermanfaat. 


Kamis, 23 Juni 2022

Karma, Arahat dan Kepunahan

Tulisan ini dibuat terinspirasi dari adanya komentar-komentar pada unggahan video YouTube di Facebook – video dengan judul : Pencapaian Jhana Seorang Bhikkhu. Komentar datang dari si A dan si C yang ditanggapi oleh si B si pembuat video, sebagai berikut :

A : Kapan umat Budha bisa lepas dari karma-karma tiada henti? menunggu berapa ribu tahun? berapa kali manusia pindah ke alam kehidupan? berapa kali reinkarnasi? Susah betul ajaran Siddharta!

B : Kapan nya itu memang lama! tidak ribuan tahun lagi bahkan sampai tak terhingga lamanya. Kalau kenyataanya seperti itu apa yang bisa kita lakukan? Tapi memang banyak sekali yang sudah berhasil. Anda bisa memilih ajaran yang anda yakini kebenarannya, yang cocok buat anda, yang jodoh dengan anda, itu adalah sesuai dengan karma anda. Itu tidak ada masalah. Pertanyaan anda seolah memojokkan saya. Sebelum sempurna semua orang masih belajar. Anda bisa mencari jawab dari penasaran anda itu di Laptop Anda sendiri.

A : Jadi Arahat? Bagaimana dengan yang berkeluarga? Apakah orang tidak boleh menikah? Kalau mesti jadi Arahat manusia akan punah tidak ada keturunan.

B : Di jaman Sang Buddha banyak perumah tangga yang bisa meralisasi Nibbana, dan Anda tidak harus mempercayai itu. Tidak ada yang memaksa untuk percaya. Buddhisme hanya menunjukkan jalan, tidak ada unsur pemaksaan. Hukum alam memperlihatkan tidak mungkin proses atau perubahan itu berhenti, sehingga perumah tangga tetap banyak. Tetap banyak juga bhikkhu, bhikhuni dan lain-lain. Anda juga tidak harus mempercayai kebenaran dari tanggapan saya ini. Tidak menjadi masalah, silahkan saja, bebas. Untuk mengetahui sesuatu itu benar atau salah ada ilmu dan cara yang tepat yang harus dipelajari dan dipratikkan meski mungkin memerlukan waktu yang lama untuk pembuktiannya.

C : Hahaha... mengapa tidak sekalian dibalik saja pertanyaannya. Kalau semua jadi pemuka agama : ustad, pastor, bhikkhu – lalu yang bekerja di sawah siapa? Mending bertanyalah sesuatu yang bersifat realistis dari pada fantasi. Bertanya dengan pertanyaan fantasi itu mencerminkan apa yang ada di pikiranmu. Jangan terlalu banyak melamun saudara.

B : Dia itu merasa "paling benar" dengan hobby menyalahkan keyakinan dan Saddha orang lain. Kalau penasaran bisa kan mencari tahu sendiri jawabnya di media-media massa yang ada yang banyak sekali, sehingga tidak perlu menyalahkan pendapat atau anutan orang lain. Itu tidak baik karena agama apa,pun itu mengajarkan kebaikan yang katanya a = tidak & gama = kacau.

C : Yang beginian tebar pertanyaan-pertanyaan tidak beritikad baik, sebaiknya di-remove saja, dia dimana-mana menghina Buddhisme dengan kedok bertanya polos, lihat saja foto-fotonya.

B : Tidak perlu di remove karena itu bermusuhan, biarkan saja. Kalau dibiarkan tidak mungkin tidak ada capeknya. Orang Islam bilang ambil hikmahnya. Jadi, masalah seperti ini bisa kita jadikan sarana untuk melatih kesabaran sampai kita merasa sudah cukup, dan komentar berikutnya tidak perlu ditanggapi lagi karena bisa mencelakakan kita sendiri yang bisa terpancing menjadi marah.

Bapak, Ibu dan Saudara, itulah komentar-komentar dan tanggapan yang ada di Facebook. Apa kesan anda setelah membaca tulisan ini? 

Pencapaian Jhana Seorang Bhikkhu

Bolehkah seorang bhikkhu menceritakan pengalaman meditasinya dan atau mengaku sampai ke tingkat berapa pencapaian jhananya? Atas masalah ini ada beberapa tanggapan, pertanyaan dan pernyataan yang telah tercatat, antara lain sebagai berikut :

1.   Seorang bhikkhu tidak boleh menceritakan pencapaian Jhana nya, hal itu melanggar Pacittiya dan mengarah pada penghidupan salah.

2.   Boleh tapi cuma kepada sesama Sangha. Kalau kepada umat awam itu dilarang oleh Vinaya. Ke sesama anggota Sangha pun biasanya hanya ke guru dan teman praktik atau otoritas Sangha. Menceritakan pencapaian kepada umat hanya akan menghambat kemajuan spiritual bhikkhu, dan malah mengembangkan kesombongan, serta mengundang banyak masalah bagi bhikkhu itu sendiri.

3.   Menceritakan mengenai pencapaian Jhana boleh. Tapi kalau mengaku tidak boleh. Bhikkhu akan menjawab apabila ditanya, itupun ada aturannya.

4.   Kepada anupasampanna, yang belum ditahbiskan, kepada perumahtangga dan Samanera, seorang bhikkhu tidak boleh menceritakan pencapaian Jhana maupun kesaktiannya meskipun itu benar, apalagi jika itu bohong. Jika seorang bhikkhu berbohong tentang pencapaian khusus tersebut, ia melanggar Parajika, dan perlu lepas jubah.

5.     Bagaimana kalau yang mencapai Jhana itu seorang awam? Apa boleh memberi tahu pencapaiannya? Ada yang menjawab : Bebas, terserah dia. Seseorang tidak dibenarkan menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menceritakan pencapaiannya. Lihat saja di Tipitaka berapa banyak yang mencapai tingkatan Jhana dan menyatakannya. Jika tujuannya untuk memotivasi orang lain itu boleh asalkan jangan timbul kesombongan. Walau demikian tentu banyak juga yang sembarangan bicara, menganggap diri terlalu tinggi, tidak mencapai tingkatan Jhana tapi mengira mencapainya.

6.    Di aturan Parajika nomor 4 bisa memiliki penafsiran berbeda. Apabila seorang bhikkhu yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa menyatakan bahwa ia memiliki kesaktian atau kesucian yang sebenarnya tidak dimilikinya dengan mengatakan : “Saya tahu ini, saya lihat ini” dan setelah itu pada kesempatan lain baik diperiksa atau tidak, terjatuh dalam kesalahan dan ingin membersihkan diri lalu berkata : “Teman, tidak tahu saya katakan ‘Saya tahu’; tidak melihat, saya katakan ‘Saya melihat’; apa yang saya akan katakan adalah berlebihan dan salah, maka kecuali hal itu karena salah perkiraan, maka bhikkhu itu terkalahkan dan tidak boleh lagi berada dalam Sangha.

7.   Di aturan Mussavada Vagga nomor 8, apabila seorang bhikkhu mengatakan kepada seorang umat awam tentang kemampuan gaib yang dimilikinya, maka ia melanggar peraturan pacittiya, melanggar sila ke 4. Jika ia sebenarnya tidak memiliki kemampuan itu - tidak ada sangkut pautnya dengan Patimokkha. Tidak ada sanksi dari Sangha.

8.    Peraturan Parajika nomor 4, melarang seorang Bhikkhu mengutarakan secara tidak benar bahwa ia telah mencapai kekuatan supranormal tertentu, yakni pencapaian meditasi penyerapan Jhana, yang mana adalah pencapaian kekuatan adi duniawi, ataupun pencapaian salah satu tingkat Ariya, yang mana ada unsur berbohong, membual mengenai pencapaian. Pacittiya adalah peraturan yang membutuhkan pengakuan. Di aturan Pacittiya pada Mussavada Vagga nomor 8, seorang bhikkhu dilarang berbicara tentang pencapaian supranormal dirinya kepada seseorang yang belum di-upasampadā penuh. Mengenai pengakuan pengalaman meditasi tentunya memiliki batas-batas tertentu yang dapat disampaikan kepada umat yang belajar meditasi. Kalau gurunya tidak punya pengalaman meditasi, bagaimana bisa menjelaskan teori kepada murid-muridnya? Kalau muridnya mengalami rintangan bagaimana sang guru dapat memberikan petunjuk cara mengatasinya? Kalau lebih dari itu bhikkhu akan berhati-hati mengungkapkannya.

9.    Ada yang menyatakan sebagai berikut : berhentilah menilai perbuatan orang lain. Boleh dan tidak boleh menceritakan pencapaian Jhana itu relatif, berdasarkan niat dan tujuannya. Masing-masing sudah mewarisi karma dari perbuatannya. Jika maksud dari bercerita pengalaman meditasi itu adalah supaya pendengar terinspirasi, tertarik untuk bermeditasi atau agar memiliki pengetahuan, maka cara, teknik atau tips bermeditasi yang diuraikan itu tentu hal yang baik. Sementara jika ceritanya adalah memamerkan kebolehannya karena dorongan ego, maka kelak akan ada konsekuensinya.  

10. Ada juga yang bilang begini : Sebagai Umat Awam sebaiknya jangan menggunjingkan Anggota Sanggha. Karma Buruk Tanggung Sendiri.

11.  Ada juga yang berpendapat begini : mungkin bukan soal boleh atau tidak boleh. Akan tetapi ketika ada umat atau ada seseorang yang bertanya, mungkin akan di jawab sesuai pengalaman bila itu bisa menbantu si penanya menghadapi rintangan. Namun yang menjadi catatan adalah, biasanya yang bersangkutan bercerita seolah olah itu pengalaman orang lain, maksudnya untuk menghindari kata saya, bahwa sudah pada tahap pencapaian Jhana dan seterusnya. Jadi rasanya ketika seseorang mencapai tingkatan sammadhi, mencapai tingkatan Jhana atau tingkat kesucian, beliau tidak akan mengklaim dan mengumumkan bahwa aku telah mencapai ini dan itu. Tidak mengatakan secara langsung, melainkan menunjukkan tindak tanduk sebagaimana adanya sesuai faktor-faktor dalam tingkatan itu. Menceritakan itu boleh saja asalkan bermanfaat untuk orang lain dalam upayanya merealisasi pembebasan.

Demikianlah pembahasan singkat mengenai masalah Pencapaian Jhana oleh Seorang Bhikkhu. Semoga bermanfaat.

Selasa, 17 Mei 2022

Berkah Mengulang-ulang Perkataan Buddha

Tahukah Anda ketika kita datang ke vihara melakukan puja-bhakti, dan seandainya kita tidak memahami arti dari paritta-paritta yang kita ucapkan atau kita baca, itu sudah merupakan suatu kekuatan untuk membawa kita keluar dari samsara, karena sifat dari kata-kata Buddha itu bahasa Pali nya : Niyanika, atau mempunyai kemampuan untuk menuntun kita untuk keluar dari samsara, merealisasi Nibbana. Ini adalah salah satu kualitas dari kata-kata Buddha, sesuai yang tertulis dalam Tipitaka. Itulah mengapa 500 kelelawar di dalam gua yang mendengarkan Bihkkhu menghafal Abhidhamma, akhirnya membuat mereka 500 kelelawar tersebut bertemu dan menjadi murid Yang Ariya Sariputta, sehingga bisa keluar dari Samsara. Demikian itulah hebatnya kekuatan kata-kata Buddha.

Itulah mengapa sebagai umat Buddha kita yang berkumpul melakukan puja-bhakti di Vihara atau berkumpul di kelas Pariyati Sasana belajar memahami kitab suci Tipitaka, kitab komentar dan kitab sub komentar memiliki berkat. Yaitu menanam benih-benih karma yang kuat yang akan mempunyai potensi yang kuat untuk menghasilkan buah berupa pencapaian kondisi-kondisi yang memudahkan kita bertemu guru spiritual yang baik, bertemu para bhante (para Phabacitta) yang bisa menuntun kita untuk keluar dari samsara yang merupakan tujuan hidup kita. Oleh karena itu marilah kita berbuat kebajikan yang terarah yang mempunyai kekuatan untuk membawa kita semua keluar dari samsara ini.

Dari salah satu kitab Abhidhamma Pitaka, kitab yang terakhir, kitab Pathana, dari 24 kondisi ada 2 kondisi yang terkait dengan topik tulisan ini. Kedua kondisi tersebut adalah : Upa Niseya Pacaya dan Asewana Pacaya.

Untuk Upa Niseya Pacaya, dimana Pacaya = kondisi, Upa = kuat, Niseya = dukungan, maka Upa Niseya Pacaya berarti satu kondisi yang menjadi topangan yang sangat kuat untuk kemunculan dhamma-dhamma yang lain. Jika kita berbuat sesuatu sehingga tercipta kondisi yang baik, maka kondisi tersebut menjadi topangan munculnya kondisi-kondisi berikutnya yang kondusif bagi kita menuju tercapainya pencerahan. Kita yang melakukan puja-bhakti, yang membaca paritta, mendengarkan kata-kata Buddha, itu menjadi Upa Niseya Pacaya, memiliki kondisi yang sangat kuat buat kemunculan keadaan-keadaan yang kondusif untuk pencerahan kita.

Sedangkan Asewana Pacaya, dimana Pacaya = kondisi, Asewana = pengulangan. Maka Asewana Pacaya artinya adalah adanya kondisi pengulangan. Kalau kita sering mengulang-ulang mendengarkan kata-kata Buddha, maka semakin kita mengulang maka akan semakin kuat pengetahuan dan kebijaksanaan muncul.  Sama dengan ketika dulu kita Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas atau Perguruan Tinggi, ketika kita akan ujian dan ingin menguasai satu mata pelajaran tertentu, kita harus membaca pelajaran tersebut secara berulang-ulang. Tidak cukup hanya satu kali. Ketika kita membaca kedua kali maka pemahaman kita pada mata kuliah tersebut menjadi semakin kuat. Ketika membaca yang ketiga kali maka akan semakin kuat lagi. Semakin kita mengulang-ulang topik yang sama, maka pengetahuan dan kebijaksanaan akan semakin kuat muncul. Nah itu juga yang terjadi ketika kita mempelajari kitab suci.

Jika kita mempelajari kitab suci Tipitaka, kitab komentar dan kitab Sub Komentar berulang-ulang, terjadilah Asewana Pacaya, menjadikan rasa bhakti kita kepada Buddha, Dhamma dan Sangha semakin kuat.

Seandainya di dunia ini ada 1 juta judul buku, maka yang bisa dipastikan akan terus ada adalah satu paket buku yang berjudul Tipitaka, kitab komentar & sub komentar. Selama ajaran Buddha ini eksis kita tidak akan bisa mengelak dari satu paket buku Tipitaka. Secara tradisi diyakini ajaran Buddha ini akan bertahan selama 5.000 tahun, sekarang sudah bertahan hampir 2.600 tahun, maka tinggal 2.400 tahun lagi. Jika 2.000 tahun lagi kita terlahir kembali sebagai manusia, maka pada tahun 4.022 kita akan bertemu lagi dengan kitab Tipitaka yang sama, dan jika selama ini kita tidak pernah belajar Tipitaka maka pada tahun 4.022 kita akan kebingungan mempelajari Tipitaka, sehingga sulit memunculkan pengetahuan & kebijaksanaan karena tidak memiliki Asewana Pacaya, tidak memiliki kondisi pengulangan. Oleh karena itu mari kita setiap minggu melakukan Puja-bhakti atau dengan mengikuti kelas Pariyati Sasana, yang berarti kita menanam kondisi-kondisi yang baik yang akan kondusif untuk pencapaian pencerahan. Itulah mengapa pembabaran kitab suci harus disebarkan seluas-luasnya demi manfaat siapapun yang mendengarkan supaya kelahirannya sebagai manusia pada saat ini yang sulit didapat bisa menjadi bermanfaat. Kita yang merupakan Puthujhana tidak seharusnya menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada, karena sekali lagi memperoleh kehidupan sebagai manusia itu sangat sulit. Ada yang berpikir kehidupannya sibuk sedang mengejar keduniawian demi kebahagiaan. Mereka tidak paham bahwa bagi mereka yang memahami kitab suci itu kualitas kehidupannya juga semakin meningkat, karena membuat mereka mengerti tentang kehidupan ini dengan lebih bagus, sehingga sering mengalami kedamaian. Kedamaian adalah tujuan hidup kita. Kedamaian itu dealing dengan situasi apapun. Tidak bertengkar dengan kebahagiaan dan kesedihan. Kalau ditambah dengan berlatih meditasi misal hingga mencapai magha dan phala, pencerahan terjadi, kilesa terkikis, semakin damai, semakin bahagia.

Demikianlah tulisan ini, semoga bermanfaat.