Ada penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka menyebut bahwa Tuhan
Yang Maha Esa itu adalah Hyang Suwung (Suwung Hamengku Ono). Artinya adalah,
Sang Kosong (Kekosongan Yang Memangku Suatu Keadaan). Hyang Suwung Yang Tak
Terbatas, Yang Tak Terpikirkan, Yang Tak Terbayangkan, Yang Maha Hidup
(memangku kehidupan alam semesta beserta segala isinya). Kalau dalam istilah
Fisika -> Yang Menyangga Quark (Inti Atom). Kekosongan Yang Tiada Batas.
Kosong = Isi, Isi = Kosong.
Blog ini menampilkan tulisan-tulisan yang dapat dikategorikan sebagai tulisan : Pengetahuan Benar, Wawasan, Kata-Kata Bijak, Lain-lain. Jika pembaca tidak sependapat dengan tulisan yang ada dalam blog ini, tolong abaikan saja dan lupakan! Terima kasih.
Translate
Senin, 30 Juli 2018
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ajaran Dhamma.
Sabda Guru Agung yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3 adalah
sebagai berikut :
"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu".
"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu".
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah "Atthi Ajatam Abhutam
Akatam Asamkhatam" yang artinya : "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak
Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa “aku” (anatta), yang tidak dapat
dipersonifikasikan, dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun.
Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tak berkondisi (asamkhata), maka manusia
yang berkondisi (samkhata), dapat mencapai kebebasan (padam) dari lingkaran kehidupan
(samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan demikian maka, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ajaran Dhamma, berlainan
dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain, yang
dipersonifikasikan.
Minggu, 29 Juli 2018
Celaka.
Hampir semua orang mengatakan, yang salah itu orangnya, bukan agamanya.
Ibarat mobil nabrak, yang salah itu sopirnya, bukan mobilnya. Pertanyaannya,
kalau tidak ada mobil masak bisa nabrak.?
Konklusi : Dua-duanya bisa salah -> mobil dan atau
sopir.
Solusi : Biarkan mobilnya salah, misal, rem-nya tidak
pakem (abnormal, kurang baik), tidak menjadi masalah, yang penting sopirnya tidak
salah (hati-hati & waspada), supaya tidak nabrak. Nah lho...
Sopir itu perlu
piawai (mahir), itulah maka sopir perlu punya Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang
bukan Sim Salabim. Hehe...
Sabtu, 28 Juli 2018
Minta maaf.
Meminta maaf bukan karena Dia yang benar & Anda yang
salah. Tetapi karena hati Anda bernilai lebih tinggi dari ego Anda.
Kamis, 26 Juli 2018
Doa & Karma Baik.
Di mana-mana, doa sudah menjadi patent, utamanya adalah
doa permohonan untuk memenuhi keinginan sang pendoa. Padahal logikanya Yang
Maha Kuasa (YMK) akan “mengabulkan” doa jika ada cukup alasan, ibaratnya “ada
barang ada harga”, atau, doa akan terkabul jika syarat-syaratnya telah
terpenuhi, termasuk kondisi yang ada telah mendukung (welcome). Ini namanya
adil. Pada umumnya orang mempercayai, jika doanya tulus & diulang-ulang,
maka akan terkabul, tak peduli dengan kondisi & syarat-syarat terkait.
Sesungguhnya, syarat-syarat agar doa terkabul adalah, menjalani proses menuju
berhasilnya usaha. Dan lebih baik lagi jika ditambah dengan banyak berbuat
baik. Keberhasilan usaha, yang mendatangkan kebahagiaan, akan sulit dicapai
apabila kita banyak berbuat buruk, yang merugikan, menyakiti atau merusak pihak
lain. Berlaku hukum sebab-akibat. Ada sebab, ada akibat. Ada usaha, ada hasil.
Kenapa harus ditambah lagi dengan banyak berbuat baik? Karena perbuatan buruk
kita dimasa lampau, akan menghambat keberhasilan kita yang membahagiakan.
Sesuai hukum sebab-akibat atau hukum karma, perbuatan buruk akan mendatangkan
penderitaan, dan perbuatan baik akan mendatangkan kebahagiaan. Orang mengatakan,
doanya terkabul, padahal yang terjadi adalah, setelah menjalani proses usaha
dengan baik dan benar, maka usahanya berhasil. Jika pun tidak menjalani proses
dengan baik & benar, tapi bisa berhasil, itu bukan karena doanya terkabul,
melainkan karena perbuatan baik (karma baik) masa lampau telah berbuah, dan
kondisi yang ada telah mendukung keberhasilan yang dimaksud. Doa itu baik
dilakukan jika isinya baik, tidak egois, contoh : semoga semua makhluk
berbahagia.
Rabu, 25 Juli 2018
Pencapaian Arahat.
Di jaman Guru Agung Manusia & Dewa masih hidup, banyak praktisi Dhamma yang mudah sekali mencapai Arahat. Menurut pendapatku, karena di jaman itu, sesuai dengan bekerjanya hukum karma, maka networking beliau (Guru Agung) adalah dengan banyak orang-orang yang punya banyak Parami. Karena sekarang bukan jamannya Guru Agung, maka networking yang ada, networking kita, adalah dengan orang-orang biasa.
Keberadaan Agama
Nyatalah bahwa pemeluk agama banyak yang tidak mampu menjalankan ajaran
agamanya dengan baik, masih berperilaku bertentangan (tidak selaras) dengan
ajaran agamanya. Dengan kenyataan itulah maka ada Undang-Undang Hukum Pidana
& Perdata, yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan dari perilaku buruk
seseorang dan atau orang-orang. Pokok permasalahannya adalah bahwa, tidak semua
pemeluk agama mampu menyadari secara penuh, kebenaran & kekurangan ajaran
agamanya. Tidak mampu menarik benang merah ajaran agama. Sehinga mereka tidak
merasa takut berbuat dosa, tidak merasa takut akan akibat dari perbuatan-perbuatan buruknya. Ini disebabkan karena mereka tidak langsung bisa
membuktikan sendiri kebenaran ajaran agamanya. Dan tidak bisa secara langsung menyaksikan
sendiri konsekuensi dari keberhasilan dan kegagalan dari orang-orang yang
mempraktekkan ajaran agama. Karena ajaran agama tidak mudah dibuktikan,
atau diyakini kebenarannya, maka muncul-lah bermacam-macam agama. Oleh karena itu ada yang berpendapat, bahwa agama adalah fiksi, atau sugesti. Kalau ajaran
agama adalah sempurna, tak berkekurangan, maka akan hanya ada satu agama, tak
akan ada revisi ajaran agama. Ketidak mampuan menarik benang merah ajaran
agama, menyebabkan ada bentrokan antar umat beragama, dan bahkan bentrokan sesama
agama. Semua itu adalah kenyataan (fakta) yang ada di dunia ini. Untuk itu
marilah kita menjadi orang-orang yang cerdas secara intelektual, dan terutama
cerdas secara spiritual & emosional, yang bisa menarik benang merah dengan
benar dari ajaran agama kita masing-masing, agar dunia ini menjadi lebih
tentram & nyaman.
Langganan:
Postingan (Atom)