Translate

Senin, 11 Juli 2022

PEMAHAMAN YANG BERBEDA

Tulisan ini memberitahukan adanya pemahaman suatu ajaran yang berbeda yang tidak banyak diketahui oleh orang. Jika anda tidak sependapat dengan pemahaman yang disampaikan berikut ini - maka jadikanlah ini sebagai penambah pengetahuan Anda saja, bahwa ada kaum lain yang memiliki pemahaman atau pengetahuan yang berbeda.

Pengetahuan atau ajaran tersebut bersikap realistis, tidak mempercayai mitos penciptaan, seperti misalnya; alam semesta yang muncul dari telur kosmik, atau semesta yang diciptakan oleh sosok super seorang pria tua dengan jenggot putihnya yang panjang. Apabila dikatakan bahwa pribadi super yang maha kuasa, atau ‘perancang terpandai’ yang menciptakan semesta, maka menimbulkan pertanyaan yang sangat jelas tentang siapa yang kemudian menciptakan atau ‘merancang’ pribadi super tersebut? Dan apabila pribadi super tersebut selalu ada, lalu bukankah lebih dapat dipercayai yang sebaliknya, bahwa semestalah yang selalu ada, dan yang selalu berubah? Terbentuk lalu hancur, kemudian terbentuk lagi dan hancur kembali. Tidak dapat diketahui lagi kapan mulai terbentuknya. Karena saking lamanya. Dapatlah dikatakan bahwa semesta ini tanpa awal dan tanpa akhir – seperti garis lingkaran yang tidak memiliki titik awal dan titik akhir. Sama halnya dengan jagad raya ini yang tidak dapat diketahui batas-batasnya. Oleh karena itu dikatakan tanpa batas. Tidak ada gunanya mengetahui hal-hal tersebut. Spekulatif. Tidak bermanfaat. Tidak membawa kepada pencerahan.

Ajaran yang disebut tadi tidak mengajarkan tentang pribadi super maha kuasa dan maha tahu, dengan alasan apapun mengijinkan ciptaannya sendiri untuk disiksa di neraka selama-lamanya. Apabila pribadi super maha kuasa tersebut mengetahui sebelumnya bahwa banyak dari ciptaannya ditakdirkan terbakar di api neraka selama-lamanya, lalu mengapa masih saja menciptakan begitu banyak penderitaan dan bencana di dunia ini? Yaitu bencana alam dan kecelakaan yang menimbulkan penderitaan, berupa bencana banjir, tanah longsor, gunung meletus, tsunami, gempa bumi, kebakaran hutan yang meluas, kecelakaan-kecelakaan lalu lintas, kecelakaan penerbangan dan lain-lain. Sulit untuk mempercayai bahwa pribadi super maha tinggi yang penuh cinta kasih dan pemaaf ternyata juga bersikap pencemburu, pendendam, tidak adil, tak kenal ampun, sadis, dan menciptakan banyak bencana. Namun ajaran yang dimaksud dalam tulisan ini memiliki jawabannya. Ajaran tersebut mengingatkan kita untuk tidak memperhatikan spekulasi-spekulasi seperti pribadi maha kuasa dan sebagainya. Berhubung spekulasi-spekulasi itu pada akhirnya seperti dikatakan tadi - tidak bermanfaat. Seperti cerita tentang seseorang yang terpanah dengan panah beracun, yang tidak ingin mencabut panahnya sebelum dia mengetahui siapa yang menembakkan panah tersebut, mengapa dia dipanah, dan racun jenis apa yang ada di panah tersebut. Sangat berbeda halnya dengan seorang dokter yang paham benar dengan tugasnya yang kemudian mencabut panah beracun tersebut dan mengobati lukanya demi keselamatan jiwa seseorang - dengan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan orang tersebut yang bukan pada waktunya. Cerita tentang seseorang yang terpanah ini menunjukkan kepada kita cara membebaskan diri dari penderitaan dan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan spekulatif. Oleh sebab itu, pemahaman atas ajaran yang dimaksud dalam tulisan ini mengingatkan; kita harus lebih memikirkan dan fokus terhadap apa yang penting, yakni praktek mengindahkan Kesunyataan (Kebenaran) yang tidak spekulatif.

Ajaran yang dimaksud tidak mengancam siapapun dengan hukuman Neraka selama-lamanya. Ancaman tersebut mungkin saja dibutuhkan di jaman kuno untuk menjaga keberadaban manusia, dan juga dilakukan bersamaan dengan janji imbalan Surga. Pendekatan ini juga dilakukan dalam menarik orang-orang untuk bergabung dengan kelompok keyakinan tertentu, dengan ancaman hukuman yang abadi dan pemberian pahala.

Ajaran dimaksud tidak menerima konsep tentang pribadi super pencemburu yang menghukumi ciptaannya sendiri hanya karena mereka memilih keyakinan yang berbeda. Ketahuilah bahwa secara praktis, yaitu kenyataan yang terjadi di dunia ini, bahwa semua bangsa yang beradab menghormati dan menjamin kebebasan berpikir dan praktek agama, seperti yang diabadikan dalam piagam PBB Pasal-18. Dan lebih jauh lagi penyiksaan itu dilarang oleh semua bangsa yang beradab di muka bumi. Jadi bagaimana mungkin pribadi tertentu yang sewajarnya, menciptakan kita semua, bisa jadi kurang beradab? Maka itu, pembawa ajaran yang dimaksud dalam video ini menemukan ancaman siksaan selama-lamanya di neraka cukup sulit untuk dipercaya.

Sebagai contoh, siapakah yang akan mengirimkan atau mengijinkan makhluk lain dibakar dalam api neraka selama-lamanya? Ambillah korek api biasa. Nyalakan di telapak tangan anda. Dapatkah anda menahan rasa sakit hanya untuk beberapa detik saja?  Dapatkah anda menyalakan korek api tersebut di telapak tangan seseorang hanya untuk satu menit saja dan mengamati orang itu berteriak-teriak kesakitan? Dapatkah anda melakukan hal itu pada seseorang untuk selama-lamanya? Kekejaman tersebut di luar bayangan kita.

Lebih jauh lagi, jika dalam kuasa - anda yang bisa menghentikan penderitaan yang amat sangat dan tanpa akhir itu, tidakkah akan anda lakukan? Akankah pribadi sehat dan rasional tidak melakukannya? Tidak akan pernah ada pembenaran untuk kekejaman yang tak kenal ampun untuk alasan dan keadaan apapun yang memungkinkan.

Ajaran yang dimaksud dalam tulisan ini tidak pernah menggunakan ancaman apapun, atau mencoba untuk memaksa siapapun untuk menerimanya. Ajaran tersebut menerima kebebasan berpikir, dan mengenali bahwa tidak semua orang dapat menerima yang dibabarkan, dan orang-orang mengalami kemajuan secara berbeda-beda, dan akan memilih jalur yang berbeda untuk diri mereka sendiri. Pembawa ajaran ini lebih menyenangi untuk menjelaskan ajarannya dengan cara yang logis dan masuk akal, dan mengingingkan orang-orang untuk memahami dan menyadari Kesunyataan (Kebenaran) yang ada untuk diri mereka sendiri tanpa rasa takut akan hukuman yang bisa menimpanya. Ajaran dimaksud bukanlah ajaran mengenai ancaman atau imbalan, melainkan mengenai pengetahuan dan pemahaman. Dalam hal ketuhanan tertulis : “Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang” yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Sehingga dalam hal ini, Ketuhanan Yang Mahaesa adalah suatu yang tanpa pribadi (Anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Tetapi dengan adanya yang Mutlak, yang tidak berkondisi (Asamkhata), maka manusia yang berkondisi (Samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (Samsara) dengan cara bermeditasi.

Sekali lagi, jika anda tidak sependapat dengan pemahaman yang sudah disampaikan di tulisan ini - maka jadikanlah ini sebagai penambah pengetahuan Anda saja, bahwa ada kaum lain yang memiliki pemahaman atau pengetahuan yang berbeda.

Demikianlah tulisan singkat ini. Semoga bermanfaat.

Selasa, 05 Juli 2022

Balada Makhluk Hidup

Hidup kita ini menderita. Setiap makhluk mengalami banyak sekali kehidupan, mengalami kehidupan yang berulang-ulang, lahir dan mati berulang-ulang, dan tidak semua kehidupannya adalah kehidupan yang selalu bahagia. Sehingga secara rata-rata hidupnya adalah menderita karena adanya perubahan yang selalu terjadi. Kehidupan manusia juga demikian. Tidak selalu mengalami kebahagiaan, pada masa-masa tertentu manusia mengalami penderitaan. Kebahagiaan dan penderitaan itu tidak selamanya, juga tidak stabil. Disebut penderitaan dan kebahagiaan inderawi, tidak kekal, selalu mengalami perubahan. Karena selalu ada perubahan itulah maka mahkluk itu kehidupannya menderita atau Dukkha. Segala sesuatu selalu berubah, perubahan itu kekal adanya, yang kekal adalah perubahan atau Anicca. Anicca adalah salah satu dari hukum alam yang berlaku, yang tidak bisa dirubah dengan cara apapun. Dukkha atau penderitaan yang berhubungan dengan Anicca yang menimpa kepada makhluk dan manusia yang belum tercerahkan, adalah juga hukum alam. Karena segala sesuatu berubah, maka tidak ada  yang merupakan Inti, Entitas, Aku atau Roh, disebut Anatta, segala sesuatu atau fenomena itu merupakan gabungan dari unsur-unsur yang lebih kecil, yang selalu berubah. Entitas, Roh dan Aku itu ada – adalah merupakan kebenaran konvensional, adalah kebenaran yang tanpa sadar disepakati secara umum untuk memudahkan komunikasi. Di dunia ini setiap saat semuanya berubah. Katakanlah tiap detik terjadi perubahan sekian milyar kali. Kita tidak bisa menyaksikan perubahan sudah terjadi karena saking kecilnya perubahan. Pada benda-benda yang sangat keras perubahan tersebut baru bisa diketahui mungkin setelah sekian ribu tahun, juta tahun atau bahkan lebih.

Tujuan hidup makhluk-makhluk termasuk kita manusia adalah mengakhiri Dukkha. Dukkha bisa timbul karena adanya nafsu inderawi disebut Tanha, yang tidak ada habis-habisnya, yang tidak bisa selalu dipenuhi, sehingga menimbulkan penderitaan. Penderitaan timbul karena Tanha belum mampu dilenyapkan, diseimbangkan, atau dikendalikan. Tanha yang tidak diarahkan dengan baik dan benar akan menjadi kotoran batin, disebut Kilesa. Kilesa timbul meliputi 3 hal yaitu : Keserakahan disebut Lobha, kebencian disebut Dhosa, dan kebodohan atau delusi disebut Moha. Lhoba dapat menimbulkan perbuatan mencuri, menipu, korupsi, dan lain-lain. Dhosa dapat menimbulkan dendam, kemarahan, bersteru, mencelakai, memfitnah, dan lain-lain. Sedangkan Moha adalah tidak tahu atau tidak mampu membedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik, dan mana yang buruk. Membunuh makhluk hidup, mencuri, berzina, berbohong, dan mabuk-mabukan bisa terjadi karena adanya salah satu atau lebih dari adanya Lobha, Dhosa, dan Moha.

Makhluk-makhluk termasuk kita manusia yang hidupnya menderita itu penderitaannya tidak akan pernah berakhir jika tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Penderitaannya tidak akan berakhir sebab setelah meninggal akan terlahir kembali di alam kehidupan yang baru. Karena harus bertanggung jawab. Masalah yang belum selesai harus dipertanggungjawabkan atau diselesaikan dikehidupan berikutnya. Demikian seterusnya. Berlaku hukum sebab-akibat atau hukum tabur-tuai atau hukum Karma yang merupakan hukum alam juga. Secara garis besar ada 31 alam kehidupan, meliputi alam penderitaan dan alam kebahagiaan, kecuali alam manusia yang merupakan alam penderitaan sekaligus alam kebahagiaan, tergantung bagaimana manusia yang bersangkutan mampu bersikap sampai mampu mengatasinya, mampu meraih jalan keluarnya, atau telah berhasil merealisasi Nibbana, yaitu berhasil merealisasi pencerahan sempurna.

31 alam kehidupan itu meliputi 4 alam kemerosotan disebut Apayabhumi, 1 alam manusia disebut Manussabhumi, 6 alam surga atau 6 alam dewa disebut Devabhumi, 16 alam brahma berbentuk disebut Rupabhumi dan 4 alam brahma tanpa bentuk disebut Arupabhumi.

Tugas makhluk-makhluk dan manusia adalah menembus jalan keluar yang disebut tadi, yaitu mengakhiri Dukkha, dengan cara mengendalikan yaitu mengarahkan dengan baik Tanha, sehingga Kilesa dapat dihancurkan, menggantikannya dengan kebahagiaan sejati. Yang diawali dengan banyak berbuat baik, mengurangi perbuatan jahat, dan mensucikan hati dan pikiran. Tiga hal ini memang tidak mudah dilakukan, memerlukan kemauan keras, semangat, dan latihan yang benar, baik, tekun, dan berkesinambungan. Perlu mengedepankan perihal Dana, Sila, Samadhi, dan Panna atau kebijaksanaan. Namun untuk bisa melakukan semuanya itu dengan benar haruslah memahami dengan benar terlebih dahulu Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang terdiri dari Pengertian benar atau Samma-ditthi, Pikiran Benar atau Samma-sankappa, Ucapan Benar atau Samma-vaca, Perbuatan Benar atau Samma-kammanta, Mata Pencaharian Benar atau Samma-ajiva, Daya-upaya Benar atau Samma-vajama, Perhatian Benar atau Samma-sati, dan Konsentrasi Benar atau Samma-samadhi.

Apakah benar kebahagiaan sejati itu bisa tercipta dengan cara mengendalikan hawa nafsu keinginan atau Tanha yang menggebu-gebu? Benar saudara, orang awam disebut Puthujjana awalnya sulit memahaminya. Tapi coba renungkan apakah Tanha yang menginginkan kesenangan tapi tidak terpenuhi, dan jika terpenuhipun akan berakhir, apakah itu kebahagiaan yang sejati? Adalah merupakan kesunyataan bahwa kalau batin kita selalu dalam keadaan seimbang yang disebut Upekkha, maka kebahagiaan terealisasi, tidak diperbudak oleh Tanha yang menggebu-gebu, tidak terpengaruh oleh kondisi yang tidak menyenangkan maupun tidak terlalu terpengaruh oleh kondisi yang menggembirakan. Kebahagiaan itu  adanya didalam diri sendiri, bukan karena kondisi yang ada di luar diri.

Jadi sekarang jelas, mengakhiri Dukkha menggantinya dengan kebahagiaan itu bukan berarti mencari kebahagian inderawi yang sambung menyambung tanpa henti, karena tidak mungkin bisa terwujud, karena setiap fenomena itu setiap saat berubah. Tetapi menggantinya dengan kebahagiaan yang sejati. Yaitu bagaimana bisa me-manage Tanha untuk mengurangi sedikit demi sedikit kotoran batin atau Kilesa, yang pada akhirnya akan bisa dihancur-leburkan tanpa sisa, dengan cara mempraktekkan Jalan Mulia Berunsur Delapan, dimana yang paling krusial adalah unsur yang kedelapan yaitu Konsentrasi Benar, yaitu melatih Samadhi atau meditasi. Mari kita melatih meditasi diawali dengan Anapanasati Bhavana, atau meditasi mengamati keluar masuknya nafas dengan perhatian penuh, yaitu menggunakan Sati, yang dibarengi dengan Panna atau kebijaksanaan. Cara meditasi yang dilakukan dengan semangat dan usaha yang tinggi, hendaknya dilakukan secara bijaksana.

Kalau pikiran kita dalam memperhatikan keluar masuknya nafas telah terlepas dan lari kemana-mana, maka kembalikan perhatian itu ke nafas kembali secara bijaksana, artinya dengan cara serius tapi santai, jangan tegang, jangan menggebu-gebu, karena itu artinya ada Kilesa. Menperhatikan keluar masuknya nafas itu dimaksudkan untuk melatih pikiran untuk bisa fokus kepada keadaan yang terjadi pada saat ini, hal-hal yang sekarang dikerjakan hendaknya dikerjakan dengan baik, dengan penuh perhatian, agar hasilnya juga baik. Pikiran jangan memikirkan hal-hal yang sudah berlalu yang menimbulkan penyesalan dan kekecewaan. Ataupun memikirkan hal-hal yang akan datang, yang belum terjadi, yang dapat menimbulkan kekawatiran. Pikiran yang kecewa, yang menyesal, dan yang kawatir tersebut adalah Kilesa yang selama ini kita upayakan untuk tidak berkembang, berangsur-angsur berkurang, dan akhirnya hancur lebur tanpa sisa. Kita hendaknya tidak melekat juga dengan perhatian kepada keadaan yang terjadi pada saat ini, sebab kemelekatan itu sedang kita upayakan untuk tidak berkembang, kita sedang berupaya untuk melepas dan melepas semua kemelekatan. Katakanlah sekarang ini kita sedang berperang melawan Kilesa.

Meditasi itu bukan hanya meditasi duduk, meditasi berjalan, maupun meditasi berbaring. Meditasi bisa juga dilakukan ketika kita sedang beraktifitas seperti ketika kita sedang makan, sedang bekerja, dan sebagainya, yaitu dengan menyadari setiap saat yang sedang kita lakukan.

Kilesa yang hancur lebur tanpa sisa itu bisa terealisasi jika telah mampu mencapai hasil tertinggi dari meditasi Vipassana, dimana Vipassana Bhavana, atau meditasi pandangan terang itu sendiri adalah kelanjutan dari meditasi Anapanasati, meditasi Samatha, atau meditasi ketenangan yang telah mencapai tingkat-tingkat Jhana.

Objek pengamatan untuk disadari dan dipahami pada meditasi Vipassana adalah Batin dan Jasmani yang terkait dengan Anicca, Dukha dan Anatta, meliputi Kaya nupassana (pengamatan pada tubuh), Vedana nupassana (pengamatan terhadap perasaan), Citta nupassana (pengamatan pikiran), dan Dhamma nupasana, meliputi perenungan terhadap Panca-khandha, enam landasan indera, tujuh faktor pencerahan, dan empat kebenaran mulia.

Hasil tertinggi dari Vipassana Bhavana atau meditasi Vipassana adalah merealisasi pencerahan sempurna, merealisasi Nibbana, merealisasi kebahagiaan atau kedamaian abadi, yang merupakan tujuan hidup semua makhluk, yaitu telah padam, yang tidak akan telahir kembali di alam kehidupan manapun.

Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat. 


Sabtu, 02 Juli 2022

Pertanyaan dan Jawaban

Tulisan ini mempublikaisikan pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya, yang diawali dengan adanya tulisan sebagai berikut : 

"Agama yang banyak itu salah satu point ajarannya adalah menganjurkan berbuat baik, yang mana merupakan salah satu syarat masuk Surga. Manusia yang lahir sebelum ada agama bisa masuk Surga jika banyak berbuat baik".

Atas adanya tulisan tersebut kemudian munculah pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya sebagai berikut :

Tanya : Pertanyaan saya simpel saja sobat. Dimanakah Sorga itu? Dimanakah Neraka itu?


Jawab : Surga & Neraka adalah alam kehidupan buat makhluk-makhluk penghuninya. Dan ketahuilah ada 31 alam kehidupan yang terlihat maupun yang tidak terlihat oleh orang biasa. Ada alam binatang, alam setan, alam dewa, alam brahma dan lain lain. Alam setan dan alam binatang itu jadi satu dengan alam manusia. Anda bisa mencari jawab dari banyak pertanyaan di Laptop atau di HP yaitu di Smartphone Anda sendiri. Anda juga bisa menonton video saya di YouTube dengan nama : hermanuhadi , disitu ada video-video tentang alam kehidupan, tentang spiritual dan lain-lain yang ditambah dengan bonus video hiburan.


Tanya : Saya sebenarnya orang yang bodoh. Malas berdebat. Padahal pertanyaan saya sangat simpel. Dimanakah Surga dan Neraka itu berada? Tapi kenapa jawabannya membingungkan dan melenceng dari pertanyaan. By the way terimakasih atas penjelasannya.


Jawab : Itu adalah jawaban saya yang agak lengkap, tidak membingungkan kalau disimak dengan baik, dengan penuh perhatian. OK, Surga dan Neraka itu menurut pemberitahuan yang saya yakini benar, adanya di alam semesta yang tidak kasat mata. Anda dan saya pernah mengalami hidup disana cuma anda dan saya tidak dapat mengingatnya karena sekarang ini anda dan saya masih sebagai manusia biasa yang belum tercerahkan, masih Puthujjana. Ini juga jawaban yang agak lengkap. Jawaban yang anda perlukan itu adalah ini : "Surga dan Neraka itu adanya di alam semesta yang tidak kasat mata".


Demikianlah tulisan ini. Semoga bermanfaat. 

Kamis, 30 Juni 2022

Memetik Hasil Berkali-Kali Lipat

Memetik hasil berkali-kali lipat itu bisa diibaratkan sebagaimana seseorang yang menanam biji mangga. Biji yang ditanam hanya satu. Tapi dapat menghasilkan pohon mangga yang sangat besar, dan akan terus memproduksi mangga. Mungkin ribuan mangga atau puluhan ribu atau bahkan melebihi itu. Inilah yang disebut hukum alam. Sama pula dengan karma baik atau karma buruk. Apabila kita melakukannya akan membuahkan hasil yang tak terhitung kali lipat. Kebanyakan orang memperhatikan hasil langsung dari sebuah perbuatan. Mereka tidak mengetahui bahwa karma yang muncul belakangan bisa memberikan hasil ribuan kali lipat di banyak kehidupan berikutnya. Ini bisa terjadi karena kita melestarikannya, baik itu karma buruk ataupun karma baik. Jadi kita harus sadar, karma yang mana yang perlu kita lestarikan, yang perlu kita pupuk dan kita rawat. Oleh karena itu sangat mungkin seseorang akan menderita selama ratusan atau ribuan kelahiran dikarenakan satu perbuatan buruk yang tidak dilemahkan tapi justru dirawat. Atau berbahagia selama ratusan atau ribuan kelahiran dikarenakan satu perbuatan baik yg selalu dirawat dan dilestarikan. Inilah yang disebut hukum karma.

Perbuatan baik adalah jauh lebih kuat dari perbuatan buruk. Caranya adalah apabila kita telah melakukan banyak karma buruk di masa lampau, kita dapat bertobat dengan menghentikan keburukan dan melakukan banyak karma baik dalam kehidupan ini. Maka, efek karma buruk yang telah dilakukan di masa lampau bisa berkurang kekuatannya. Seperti air pada garam. Makin banyak air kita tambahkan maka rasa asin nya akan berkurang dan bisa tak terasa asin lagi. Ketika kita melatih pikiran dan batin agar dapat berperilaku baik dan bermeditasi yang semuanya dilakukan secara benar dengan semangat yang tiggi, dan ketika akhirnya berhasil merealisasi Nibbana, maka semua karma buruk yang pernah kita lakukan, sebesar apa pun, tak lagi mampu menyentuh kita. Artinya karma buruk yang telah kita miliki telah menjadi Ahosi Karma, karma yang terpotong, tidak lagi dapat membuahkan hasil. Inilah yang dimaksud dengan perbuatan baik jauh lebih kuat dari perbuatan buruk.


Demikianlah uraian singkat yang berjudul Memetik Hasil Berkali-Kali Lipat. Semoga bermanfaat. 


Minggu, 26 Juni 2022

Buah Karma Yang Tak Bisa Dihindari

Tertulislah suatu kisah yang terdapat di jurnal Myat Mangala sebuah majalah di Myanmar, kisah tersebut menceritakan sebagai berikut : Ada seorang perempuan bernama Daw Mar Pu dari desa Du Yin Seik, kota Thaton. Perempuan tersebut tidak bisa berbicara dengan jelas karena bibir atasnya cacat. Dia harus hidup dengan menjual ikan. Dia menaruh ikan pada talam yang besar dan menaruh di atas kepalanya. Dia berkeliling desa, berteriak : “Waukah Anda leli ikay?”

Orang desa tahu apa yang dia teriakkan adalah “Maukah Anda beli ikan?” Tetapi ada seorang laki-laki muda bernama Ko Than Tun memperolok dia dengan meneriakkan apa yang dia teriakkan. Daw Mar Pu si penjual ikan menjadi sedih, tetapi dia terpaksa menerima penghinaan itu karena dia miskin.

Tidak lama kemudian, istri Ko Than Tun melahirkan seorang anak laki-laki dengan bibir atas cacat seperti Daw Mar Pu. Ketika anak ini tumbuh, dia juga berbicara tidak jelas seperti Daw Mar Pu. Kemudian Ko Than Tun mempunyai seorang anak laki-laki lagi dengan badan yang normal. Tetapi ketika anak ini semakin besar, dia bermain dengan kakaknya dan dia juga berbicara tidak jelas seperti kakaknya.

Diceritakan, kemudian Ko Than Tun menjadi miskin dan istrinya harus membuat kue untuk dijual. Karena dia tidak bisa menjual semua kue di depan rumahnya, dia meminta anak laki-laki tertuanya yang sudah berumur enam tahun, berkeliling desa, menjual kue dan berteriak : “Waukah Anda leli yue?”

Kali ini, seorang anak laki-laki muda lainnya bernama Ko Myint Htay memperolok anak kecil itu dengan meneriakkan apa yang anak itu teriakkan. Anak itu menjadi malu dan menangis. Diceritakan ketika kemudian istri Ko Myint Htay melahirkan seorang anak perempuan, anak tersebut terlahir dengan bibir atas yang juga cacat. Jadi ketika anak ini besar, dia juga tidak bisa berbicara dengan jelas.

Begitulah yang terjadi, akibat dari karma itu tidak bisa dihindari. Akibat buruk dari karma buruk mulai berbuah pada kehidupan ini juga. Namun perlu Anda pahami, bahwa karma tidaklah diturunkan kepada anak, Karma setiap makhluk itu tidak mungkin menular, meskipun dari permukaan terlihat seolah demikian. Ketika seseorang melakukan karma buruk, misalnya menghina orang yang bibirnya cacat, karma itu bisa saja mematangkan kondisi bagi makhluk yang memang punya karma untuk terlahir menjadi orang dengan bibir cacat lahir menjadi anaknya. Hukum Karma itu bekerja dengan sangat halus dan dalam, hanya Samma Sambuddha yang mampu mengetahui dengan presisi tertinggi. Oleh karena itu, kita perlu terus mempelajari Dhamma agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan.

Demikianlah tulisan ini, semoga Bermanfaat. 


Kamis, 23 Juni 2022

Karma, Arahat dan Kepunahan

Tulisan ini dibuat terinspirasi dari adanya komentar-komentar pada unggahan video YouTube di Facebook – video dengan judul : Pencapaian Jhana Seorang Bhikkhu. Komentar datang dari si A dan si C yang ditanggapi oleh si B si pembuat video, sebagai berikut :

A : Kapan umat Budha bisa lepas dari karma-karma tiada henti? menunggu berapa ribu tahun? berapa kali manusia pindah ke alam kehidupan? berapa kali reinkarnasi? Susah betul ajaran Siddharta!

B : Kapan nya itu memang lama! tidak ribuan tahun lagi bahkan sampai tak terhingga lamanya. Kalau kenyataanya seperti itu apa yang bisa kita lakukan? Tapi memang banyak sekali yang sudah berhasil. Anda bisa memilih ajaran yang anda yakini kebenarannya, yang cocok buat anda, yang jodoh dengan anda, itu adalah sesuai dengan karma anda. Itu tidak ada masalah. Pertanyaan anda seolah memojokkan saya. Sebelum sempurna semua orang masih belajar. Anda bisa mencari jawab dari penasaran anda itu di Laptop Anda sendiri.

A : Jadi Arahat? Bagaimana dengan yang berkeluarga? Apakah orang tidak boleh menikah? Kalau mesti jadi Arahat manusia akan punah tidak ada keturunan.

B : Di jaman Sang Buddha banyak perumah tangga yang bisa meralisasi Nibbana, dan Anda tidak harus mempercayai itu. Tidak ada yang memaksa untuk percaya. Buddhisme hanya menunjukkan jalan, tidak ada unsur pemaksaan. Hukum alam memperlihatkan tidak mungkin proses atau perubahan itu berhenti, sehingga perumah tangga tetap banyak. Tetap banyak juga bhikkhu, bhikhuni dan lain-lain. Anda juga tidak harus mempercayai kebenaran dari tanggapan saya ini. Tidak menjadi masalah, silahkan saja, bebas. Untuk mengetahui sesuatu itu benar atau salah ada ilmu dan cara yang tepat yang harus dipelajari dan dipratikkan meski mungkin memerlukan waktu yang lama untuk pembuktiannya.

C : Hahaha... mengapa tidak sekalian dibalik saja pertanyaannya. Kalau semua jadi pemuka agama : ustad, pastor, bhikkhu – lalu yang bekerja di sawah siapa? Mending bertanyalah sesuatu yang bersifat realistis dari pada fantasi. Bertanya dengan pertanyaan fantasi itu mencerminkan apa yang ada di pikiranmu. Jangan terlalu banyak melamun saudara.

B : Dia itu merasa "paling benar" dengan hobby menyalahkan keyakinan dan Saddha orang lain. Kalau penasaran bisa kan mencari tahu sendiri jawabnya di media-media massa yang ada yang banyak sekali, sehingga tidak perlu menyalahkan pendapat atau anutan orang lain. Itu tidak baik karena agama apa,pun itu mengajarkan kebaikan yang katanya a = tidak & gama = kacau.

C : Yang beginian tebar pertanyaan-pertanyaan tidak beritikad baik, sebaiknya di-remove saja, dia dimana-mana menghina Buddhisme dengan kedok bertanya polos, lihat saja foto-fotonya.

B : Tidak perlu di remove karena itu bermusuhan, biarkan saja. Kalau dibiarkan tidak mungkin tidak ada capeknya. Orang Islam bilang ambil hikmahnya. Jadi, masalah seperti ini bisa kita jadikan sarana untuk melatih kesabaran sampai kita merasa sudah cukup, dan komentar berikutnya tidak perlu ditanggapi lagi karena bisa mencelakakan kita sendiri yang bisa terpancing menjadi marah.

Bapak, Ibu dan Saudara, itulah komentar-komentar dan tanggapan yang ada di Facebook. Apa kesan anda setelah membaca tulisan ini? 

Pencapaian Jhana Seorang Bhikkhu

Bolehkah seorang bhikkhu menceritakan pengalaman meditasinya dan atau mengaku sampai ke tingkat berapa pencapaian jhananya? Atas masalah ini ada beberapa tanggapan, pertanyaan dan pernyataan yang telah tercatat, antara lain sebagai berikut :

1.   Seorang bhikkhu tidak boleh menceritakan pencapaian Jhana nya, hal itu melanggar Pacittiya dan mengarah pada penghidupan salah.

2.   Boleh tapi cuma kepada sesama Sangha. Kalau kepada umat awam itu dilarang oleh Vinaya. Ke sesama anggota Sangha pun biasanya hanya ke guru dan teman praktik atau otoritas Sangha. Menceritakan pencapaian kepada umat hanya akan menghambat kemajuan spiritual bhikkhu, dan malah mengembangkan kesombongan, serta mengundang banyak masalah bagi bhikkhu itu sendiri.

3.   Menceritakan mengenai pencapaian Jhana boleh. Tapi kalau mengaku tidak boleh. Bhikkhu akan menjawab apabila ditanya, itupun ada aturannya.

4.   Kepada anupasampanna, yang belum ditahbiskan, kepada perumahtangga dan Samanera, seorang bhikkhu tidak boleh menceritakan pencapaian Jhana maupun kesaktiannya meskipun itu benar, apalagi jika itu bohong. Jika seorang bhikkhu berbohong tentang pencapaian khusus tersebut, ia melanggar Parajika, dan perlu lepas jubah.

5.     Bagaimana kalau yang mencapai Jhana itu seorang awam? Apa boleh memberi tahu pencapaiannya? Ada yang menjawab : Bebas, terserah dia. Seseorang tidak dibenarkan menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menceritakan pencapaiannya. Lihat saja di Tipitaka berapa banyak yang mencapai tingkatan Jhana dan menyatakannya. Jika tujuannya untuk memotivasi orang lain itu boleh asalkan jangan timbul kesombongan. Walau demikian tentu banyak juga yang sembarangan bicara, menganggap diri terlalu tinggi, tidak mencapai tingkatan Jhana tapi mengira mencapainya.

6.    Di aturan Parajika nomor 4 bisa memiliki penafsiran berbeda. Apabila seorang bhikkhu yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa menyatakan bahwa ia memiliki kesaktian atau kesucian yang sebenarnya tidak dimilikinya dengan mengatakan : “Saya tahu ini, saya lihat ini” dan setelah itu pada kesempatan lain baik diperiksa atau tidak, terjatuh dalam kesalahan dan ingin membersihkan diri lalu berkata : “Teman, tidak tahu saya katakan ‘Saya tahu’; tidak melihat, saya katakan ‘Saya melihat’; apa yang saya akan katakan adalah berlebihan dan salah, maka kecuali hal itu karena salah perkiraan, maka bhikkhu itu terkalahkan dan tidak boleh lagi berada dalam Sangha.

7.   Di aturan Mussavada Vagga nomor 8, apabila seorang bhikkhu mengatakan kepada seorang umat awam tentang kemampuan gaib yang dimilikinya, maka ia melanggar peraturan pacittiya, melanggar sila ke 4. Jika ia sebenarnya tidak memiliki kemampuan itu - tidak ada sangkut pautnya dengan Patimokkha. Tidak ada sanksi dari Sangha.

8.    Peraturan Parajika nomor 4, melarang seorang Bhikkhu mengutarakan secara tidak benar bahwa ia telah mencapai kekuatan supranormal tertentu, yakni pencapaian meditasi penyerapan Jhana, yang mana adalah pencapaian kekuatan adi duniawi, ataupun pencapaian salah satu tingkat Ariya, yang mana ada unsur berbohong, membual mengenai pencapaian. Pacittiya adalah peraturan yang membutuhkan pengakuan. Di aturan Pacittiya pada Mussavada Vagga nomor 8, seorang bhikkhu dilarang berbicara tentang pencapaian supranormal dirinya kepada seseorang yang belum di-upasampadā penuh. Mengenai pengakuan pengalaman meditasi tentunya memiliki batas-batas tertentu yang dapat disampaikan kepada umat yang belajar meditasi. Kalau gurunya tidak punya pengalaman meditasi, bagaimana bisa menjelaskan teori kepada murid-muridnya? Kalau muridnya mengalami rintangan bagaimana sang guru dapat memberikan petunjuk cara mengatasinya? Kalau lebih dari itu bhikkhu akan berhati-hati mengungkapkannya.

9.    Ada yang menyatakan sebagai berikut : berhentilah menilai perbuatan orang lain. Boleh dan tidak boleh menceritakan pencapaian Jhana itu relatif, berdasarkan niat dan tujuannya. Masing-masing sudah mewarisi karma dari perbuatannya. Jika maksud dari bercerita pengalaman meditasi itu adalah supaya pendengar terinspirasi, tertarik untuk bermeditasi atau agar memiliki pengetahuan, maka cara, teknik atau tips bermeditasi yang diuraikan itu tentu hal yang baik. Sementara jika ceritanya adalah memamerkan kebolehannya karena dorongan ego, maka kelak akan ada konsekuensinya.  

10. Ada juga yang bilang begini : Sebagai Umat Awam sebaiknya jangan menggunjingkan Anggota Sanggha. Karma Buruk Tanggung Sendiri.

11.  Ada juga yang berpendapat begini : mungkin bukan soal boleh atau tidak boleh. Akan tetapi ketika ada umat atau ada seseorang yang bertanya, mungkin akan di jawab sesuai pengalaman bila itu bisa menbantu si penanya menghadapi rintangan. Namun yang menjadi catatan adalah, biasanya yang bersangkutan bercerita seolah olah itu pengalaman orang lain, maksudnya untuk menghindari kata saya, bahwa sudah pada tahap pencapaian Jhana dan seterusnya. Jadi rasanya ketika seseorang mencapai tingkatan sammadhi, mencapai tingkatan Jhana atau tingkat kesucian, beliau tidak akan mengklaim dan mengumumkan bahwa aku telah mencapai ini dan itu. Tidak mengatakan secara langsung, melainkan menunjukkan tindak tanduk sebagaimana adanya sesuai faktor-faktor dalam tingkatan itu. Menceritakan itu boleh saja asalkan bermanfaat untuk orang lain dalam upayanya merealisasi pembebasan.

Demikianlah pembahasan singkat mengenai masalah Pencapaian Jhana oleh Seorang Bhikkhu. Semoga bermanfaat.