Translate

Rabu, 15 Desember 2021

Tidak Menista Agama

Kita patut bersyukur, seputaran tulisan ini dibuat rasanya tidak ada persoalan penistaan agama yang muncul di media. Berhubung persoalan penistaan agama itu masih mungkin muncul lagi, dan dalam upaya mengurangi penistaan agama maka video ini dibuat. Penistaan agama itu secara moral tidak dibenarkan. Meskipun demikian, kalau agama kita dinista, sebaiknya kita tidak marah. Akan tetapi kalau memungkinkan artinya dalam pelaksanaannya tidak memerlukan effort yang besar, kita bisa menegur secara baik-baik kepada yang dianggap menista agama tersebut. Bahwa apa yang dilakukannya itu salah. Menyebabkan ketidaknyamanan pihak lain. Soal ada pengaruhnya atau tidak itu bukan merupakan masalah.

Mengapa tidak marah? Karena dengan tidak marah, kita telah menunjukkan kebesaran jiwa kita, juga menjaga nama baik agama kita. Kita tidak kerdil. Kita faham benar bahwa agama tidak mengajarkan orang untuk menjadi kerdil, tapi untuk menjadi besar, berjiwa besar, supaya memiliki kualitas batin yang baik, kuat dan tahan banting. Apakah penistaan yang dibalas dengan kemarahan itu bisa menyelesaikan masalah? Tentu tidak. Tidak ada persoalan yang bisa diselesaikan dengan amarah. Marah kepada orang yang bersalah bahkan marah kepada bawahan yang bersalahpun ada tekniknya, bagaimana caranya agar bawahan bisa menerima kemarahan kita itu dengan baik, tidak menimbulkan perasaan tidak senang yang berlebihan, dendam dan sebagainya.

Agama itu bukan milik seseorang atau golongan, tapi milik semua orang yang mempercayainya, yang meyakininya, yang memeluk agama tersebut, milik para penganut agama tersebut. Jadi miliknya orang banyak, sehingga kalau kita marah berarti kemarahan kita itu mewakili banyak orang yang belum tentu semuanya setuju. Tapi kalau kita melakukan teguran secara baik-baik, dan kalau yang tidak setuju marah kepada kita dan marah kepada yang menista agama, itu bukan menjadi urusan kita kalau kita tidak bereaksi lebih lanjut. Kita sudah melakukan hal yang baik, yang sebaiknya kita lakukan.

Memeluk agama itu bukan seperti memiliki suatu benda yang tidak boleh disentuh, dikritisi, atau disalahkan. Silahkan saja mau diapakan, agama tidak akan berkurang atau berubah bentuk. Agama tetap utuh. Kalau tetap utuh mengapa pemiliknya mesti marah?? Apalagi lapor ke Polisi, hal itu tidak terlalu perlu. Nanti kalau sudah menjadi delik umum Polisi yang akan bertindak. Kita sabar saja, agama itu mendidik kesabaran. Pada saatnya nanti yang menista agama itu akan diam sendiri. Kalau diwaktu berikutnya ada yang menista agama lagi, terus kita diam, maka mereka nanti akan mengerti sendiri bahwa menista agama itu tidak ada manfaatnya, membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran saja. Demikianlah caranya menyelesaikan masalah, sebagaimana halnya kita semua tahu, bahwa api tidak bisa dipadamkan dengan api, melainkan dengan air misalnya.

Kesensitifan Agama

Kesensitifan agama timbul karena kemajemukan agama-agama yang ada dalam suatu negara. Pemeluknya memiliki kefanatikan yang berlebihan, tanpa dibarengi dengan kebijaksanaan yang cukup memadai. Meyakini bahwa agamanyalah yang paling benar dan sempurna tanpa kekurangan sedikitpun, dan agama lain sangatlah salah, kafir dan sesat. Tanpa berpikir seandainya dia ada di posisi pihak lain, yang dikarenakan takdir, kelahirannya telah menentukan demikian, yaitu lahir dikalangan orang-orang yang agamanya berbeda, yang juga meyakini bahwa agamanyalah yang paling benar dan sempurna.

“Kebijaksanaan” itu sangat diperlukan bagi para pemeluk agama yang hidup di negara dengan beragam agama. Bukan hanya "perlu" melainkan juga merupakan hasil dari gemblengan guru agamanya yang dapat menghasilkan murid-murid atau menghasilkan para pemeluk agama yang tahan banting, tidak mudah terprovokasi, dan tidak fanatik sempit, melainkan bijaksana, sabar, lapang dada, cerdas, bajik dan arif.

Yang kita anggap salah, kafir dan sesat itu janganlah dibenci, melainkan justru patut dikasihani,  karena dia atau mereka itu sudah tersesat. Tidak seperti orang yang tersesat di jalan bisa kita beritahu jalan yang benar. Sesat keyakinan itu tidak mudah, bahkan tidak bisa diberitahu. Kecuali jika atas kesadaran atau atas pengetahuan yang dia peroleh sendiri. Kita patut bersyukur, agama-agama yang ada di Indonesia ini semuanya mengajarkan kebaikan. Mengajarkan kebaikan itu tidak ada yang salah, hanya kebetulan saja berbeda. Yang bisa kita lakukan kepada yang kita anggap sesat hanyalah mengasihaninya saja, karena sudah tersesat. Bukan membenci, apalagi memusuhinya. Orang yang sudah jatuh janganlah kita timpakan tangga lagi. Kasian bukan? Biarlah kita masing-masing menanggung resiko masing-masing atas perilaku kita masing-masing terhadap hukum negara dan hukum “milik” Yang Maha Kuasa. Yang Maha Kuasa itu berkenan atas semua yang sudah terjadi, buktinya bisa terjadi bukan? Mengapa kita manusia justru tidak mau berdamai? Tugas kita sebagai manusia adalah menggalang kerukunan, bekerjasama, bahu-membahu mengatasi kesulitan hidup di dunia secara bersama-sama. Jangan diperberat lagi dengan urusan-urusan yang tidak jelas, yang debatable, yang spekulatif. Urusan akhirat menjadi urusan masing-masing pribadi. Binatang saja bisa kita sayangi apalagi sesama manusia, mengapa tidak bisa?

Jika ada yang menyinggung perasaan, apalagi jika tanpa sengaja, tanpa disadarinya, atau tanpa ada maksud-maksud tertentu yang lain, maka patutlah kita maafkan. Kita beritahu, atau kita tegur secara baik-baik dan sopan, supaya yang bersangkutan menyadari kesalahannya. Syukur-syukur dia mau meminta maaf. Mari kita lihat sebentar kebelakang kasus Ahok dulu, bahwa dengan hanya mengucapkan satu kalimat atau menyebutkan satu judul ayat saja, tanpa memasukkan peran elit-elit politik busuk, ternyata bisa mengobarkan kebencian, bisa mengobarkan sekian juta orang untuk membenci Ahok. Padahal lihatlah apa saja yang sudah dia perbuat untuk rakyat Jakarta, bukankah sudah banyak karya-karya membangun yang sudah dia perbuat untuk kemasalahatan masyarakat Jakarta, dan juga antara lain membantu orang-orang yang tidak mampu, yang tidak seagama dengan dia, yaitu memberangkatkan haji kepada mereka yang pengabdiannya dalam merawat tempat ibadah layak diacungi jempol. Kalau mau, kita juga bisa membandingkan dengan karya-karya pejabat penggantinya. Jangan terlalu kawatir, mudah saja menyelesaikan jika ada minoritas yang berbuat macam-macam. Yang penting Tentara Nasioal Indonesia tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Janganlah setitik tuba dapat dianggap merusak susu sebelanga. Marilah kita semua tidak mudah terprovokasi oleh orang-orang yang  punya kepentingan khusus. Hendaknya kita bisa lebih baik, lebih bijaksana demi untuk kebaikan kita semua. Bukan menjadi penyebab kemungkinan rusaknya apa-apa yang sudah kita bangun bersama-sama dengan perjuangan dan susah payah. Percayalah Yang Maha Kuasa "tidak menutup mata" jika kita berperilaku baik, kemudahan akan menyertai kita  sebagaimana bayangan yang selalu mengikuti kemana saja kita pergi melangkah. Jangan macam-macam, jangan menyusahkan orang lain. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. MERDEKA.!!!

Doa dan Hukum Karma

Pertama disampaikan kesan, bahwa pada umumnya para pemeluk agama itu cukuplah rajin beribadah, yang meliputi rajin menyembah dan rajin berdoa, namun tidak terlalu menitik beratkan kepada selalu berperilaku bijak dan sering berbuat baik. Semua itu tanpa disadarinya dianggap sudah cukup. Tanpa disadarinya mereka menganggap sudah cukup memadai sebagai seorang pemeluk agama yang baik jika ingin selamat di dunia dan selamat di akhirat, atau selamat dunia dan selamat adi dunia. Kalau kesan tadi dikatakan pada umumnya, berarti tidak semuanya seperti itu, banyak juga yang menitik beratkan tentang sangat pentingnya berperilaku bijak dan bajik.

Yang kedua disampaikan kesan bahwa lumayan banyak pula yang menyadari bahwa dalam menjalani hidup ini, demi keselamatan dunia dan keselamatan adi dunia, yang perlu disikapi dengan baik dan benar itu adalah berlakunya hukum sebab-akibat, hukum tabur-tuai atau hukum Karma yang bekerja terus-menerus secara otomatis.

Disini akan ditinjau kedua kodisi yang mengesankan tadi.

Pertama mari kita tinjau kondisi atau golongan yang pertama, khususnya yang beragama tetapi tidak terlalu menitik beratkan kepada perilaku bijak dan bajik atau perlunya sering berbuat baik. Tidak mungkin kan Tuhan akan selalu memenuhi keinginan hambanya yang rajin beribadah, menyembah dan berdoa, namun tidak terlalu menitik beratkan kepada perilaku bijak dan bajik? Jangankan kepada Tuhan, kepada orang tua atau kepada atasan pun harus tahu diri, harus dapat menyesuaikan antara harapan dan tindakan agar disayang oleh orang tua ataupun oleh atasan. Katakan Tuhan itu maha penyayang, tapi apakah itu berarti semua harapan atau permohonan yang  naik ke hadiratnya semuanya dapat dipenuhi? Kalau iya maka tidak ada orang yang susah, tidak ada orang yang menderita. Padahal kenyataanya di dunia ini ada susah ada senang, ada yang rajin ada yang malas, ada siang ada malam dan seterusnya. Dengan kenyataan seperti itu maka dapat dipahami bahwa tidak mungkin semua permohonan akan dikabulkan Tuhan. Selain itu meskipun dikatakan Tuhan itu maha kuasa, tetap saja Tuhan akan mengalami kesulitan jika tidak mempertimbangkan azas keadilan. Beliau akan malu kepada diri sendiri, terlebih kepada umat ciptaannya yang memiliki pikiran cerdas kalau tidak konsekuen, kalau tidak adil dan pilih kasih. Dikatakan Tuhan atau yang maha kuasa itu maha tahu, jadi kalau seseorang mempunyai harapan, tanpa diucapkan atau tanpa disampaikan kepada Tuhan pun Tuhan mengetahuinya. Sehingga dengan azas keadilan itu, kalau seseorang banyak berbuat baik maka harapan orang tersebut akan terwujud, tanpa harus rajin menyembah, rajin memohon ampun dan rajin memohon sesuatu. Oleh karena itu, diingatkan betapa pentingnya kesesuaian antara rajin beribadah dengan rajin berbuat baik.

Yang kedua sekarang, mari kita tinjau kondisi atau golongan yang kedua, yaitu mereka yang memahami Dhamma, yang paham bahwa dalam menjalani hidup ini, demi keselamatan dunia dan keselamatan adi dunia, yang perlu disikapi dengan baik dan benar itu utamanya adalah berlakunya hukum Karma. Para praktisi Dhamma, tahu persis apa yang harus dikerjakannya, meskipun yang dikerjakannya tidak selalu berjalan mulus sesuai harapan, yaitu belum mampu mengerjakannya dengan baik karena saking susahnya, tapi mereka tetap berusaha dan berlatih. Mereka tidak menyembah kepada Yang Maha Kuasa seperti apapun Yang Maha Kuasa itu eksis. Mereka tahu persis kalau Yang Maha Kuasa itu tidak memerlukan persembahan, disembah dan dipuja. Namun yang perlu disikapi adalah kemaha kuasaannya itu, yang manifestasinya berupa hukum alam yang berlaku. Yang salah satunya adalah hukum Karma. Mengapa hukum karma? Karena segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi itu ada sebabnya. Bukan tanpa sebab. Didalam golongan ini, secara fisik perilaku menyembah itu tetap dilakukan. Namun didalam batin yang bersangkutan memahaminya sebagai berlindung kepada Tiratana atau berlindung kepada Tiga Mutiara. Yaitu berlindung kepada Guru Agung Sang Tathagata, yaitu sang pembawa dan pembabar Dhamma yang pertama kali, berlindung kepada Dhamma itu sendiri, dan berlindung kepada Sangha atau himpunan para rahib yang menjadi acuan, yang diangkat dan disepakati sebagai panutan, sebagai para penerus Guru Agung. Berlindung itu bukan berati kalau ada ancaman fisik atau acaman metafisik lalu lari menyelamatkan diri kepada Tiratana. Bukan seperti itu. Berlindung disini artinya adalah hidupnya mengambil teladan dari perilaku Guru Agung, mempraktekkan ajarannya-Dhamma secara benar, dan patuh kepada arahan serta tuntunan para Rahib Sangha. Dalam golongan ini, ibadah itu tetap ada. Tetap dilakukan. Dengan tujuan berlatih mengembangkan kerelaan, kemoralan dan konsentrasi atau perenungan. Berupa mendengarkan khotbah Dhamma, pembacaan Paritta, Meditasi dan mungkin juga ada doanya. Semua itu dilakukan dalam upaya menghilangkan kilesa atau meghilangkan kotoran batin.

Pembacaan atau pengucapan Paritta itu secara sepintas sama dengan berdoa. Yang berbeda adalah arti ucapan dan maknanya. Kalau doa, pada umumnya berupa permohonan untuk kebaikan atau kesejahteraan, untuk diri sendiri maupun pihak lain. Paritta adalah pengulangan ucapan khotbah Sang Guru Agung Tathagata yang berisikan uraian-uraian Dhamma, dan dihayatinya sebagai harapan yang baik, untuk kondisi yang lebih baik. Harapan itu berbeda dengan permohonan. Karena harapan itu diawali dengan kata semoga, yang adalah tidak meminta tapi berharap.

Seperti yang disinggung tadi, dalam Dhamma, doa itu juga ada dan dilakukan, namun berupa harapan, bukan permohonan. Salah satu contoh doa dalam Dhamma adalah sebagai berikut : Semoga dengan kekuatan jasa baik yang saya lakukan pada saat ini, hari ini dan juga di waktu yang lain membuahkan kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Semoga semua makhluk berbahagia. Semoga Tiratana memberkahi.

Selasa, 14 Desember 2021

Kisah Tentang Kura-kura Buta

Kehidupan ini penuh dengan penderitaan. Tanpa disadari, kita melakukan perbuatan buruk dan menciptakan karma buruk. Dari kehidupan ke kehidupan, karma buruk kita semakin berat. Orang pada zaman dahulu memegang teguh nilai moralitas, menghormati semua orang di keluarga, masyarakat, dan orang-orang yang lebih tua. Selain itu, mereka juga sangat rendah hati. Akan tetapi, anak muda zaman sekarang semakin tidak menghormati orang yang lebih tua.

Kini, populasi manusia semakin lama semakin banyak dan hubungan antar sesama di masyarakat juga semakin lama semakin rumit, sehingga karma buruk yang tercipta pun semakin hari semakin banyak dan semakin berat. Setiap teringat hal ini, saya sangat khawatir. Berhubung telah terlahir sebagai manusia dan berkesempatan untuk mendengar Dhamma, kita hendaknya tekun dan bersemangat untuk melatih diri. Janganlah kita berhenti di tengah jalan. Berhenti di tengah jalan itu lebih melelahkan untuk melangkah maju. Karena itu, kita harus bersungguh hati.

Di dalam Sutta ada sebuah kisah seperti ini. Ada sebidang papan yang tengahnya bolong dan terombang-ambing di tengah laut. Ada seekor kura-kura buta yang berenang di laut. Saat mengangkat kepala, kebetulan kepalanya masuk ke tengah lubang papan tersebut. Ini sungguh tidak mudah. Sama halnya dengan manusia. Untuk bertemu dengan ajaran kebenaran, sungguh hal yang sulit.

Ada seorang anak muda yang ingin mencoba memasukkan kepalanya di lubang papan. Dia lalu mencari sebidang papan dan melubangi bagian tengahnya agar dapat dimasuki kepala. Dengan membawa papan itu, dia pergi ke sebuah kolam yang sangat besar. Dia lalu melempar papan itu ke dalam kolam. Setelah itu, dia juga masuk ke dalam kolam. Semakin dia berusaha keras berenang, gelombang airnya semakin besar sehingga papan itu pun ikut bergerak. Lama-kelamaan, papan itu terbawa semakin jauh darinya. Dia merasa sangat lelah.

Setelah mencoba sepanjang hari, anak muda itu gagal terus. Dia berpikir di dalam hati, "Mata saya dapat melihat. Kolam ini juga tidak terlalu besar. Akan tetapi, setelah mencoba sepanjang hari, saya masih tidak dapat memasukkan kepala saya ke lubang papan itu. Tentu lebih sulit bagi kura-kura buta di tengah lautan itu hingga kepalanya dapat masuk ke lubang papan saat kepalanya terangkat. Sungguh, sangat sulit juga terlahir sebagai manusia dan bertemu dengan ajaran Dhamma. Karena itu, kita harus memanfaatkan waktu untuk melatih diri.

Demikianlah, anak muda itupun kemudian meninggalkan keduniawian. Setelah menjadi Rahib, meski telah meninggalkan keduniawian, dia kerap berbagi Dhamma di tengah masyarakat. Ini adalah salah satu kisah di dalam Sutta. Kini Guru Agung Tathagata sudah tidak ada di dunia, tetapi ajaran Beliau masih bersama kita.

Kita hendaknya memahami tentang Empat Kebenaran Mulia. Setiap hari ajaran Guru Agung Tathagata hendaknya menjadi pengingat bagi kita. Tak peduli betapa kayanya seseorang, kehidupannya tetap tak terlepas dari ketidakkekalan dan penderitaan. Dalam kehidupan masa sekarang ini, apakah Anda tidak merasa bahaya selalu mengintai? Semakin berkembangnya masyarakat, bahaya yang mengintai  pun semakin besar.

Para ilmuwan sangat khawatir karena suhu bumi kian hari kian meningkat, dan kondisi iklim pun semakin ekstrem. Populasi manusia yang semakin lama semakin bertambah menyebabkan bumi ini semakin padat. Manusia menciptakan berbagai polusi terhadap udara dan lingkungan, sehingga banyak terjadi bencana akibat ketidakselarasan unsur alam. Dilihat dari sisi Buddhisme, ini adalah hukum alam. Ini semua bersumber dari sebersit pikiran manusia. Ketamakan menyebabkan populasi manusia semakin bertambah.

Di sisi lain, banyak negara yang mengkhawatirkan masalah lansia di  masyarakat. Jumlah anak muda semakin sedikit karena mereka tidak ingin melahirkan bayi. Namun jika sebaliknya, apa yang akan terjadi jika angka kelahiran semakin meningkat? Inilah kontradiksi yang terjadi di masyarakat. Kini kontradiksi di masyarakat semakin lama semakin banyak. Ini terjadi akibat kebodohan dan ketidaktahuan.

Dalam hidup ini, setahun rasanya sangat lama. Namun, sadarilah, berapa tahun kita dapat hidup di dunia ini? Banyak hal di dalam hidup ini yang berjalan tak sesuai dengan harapan. Selain itu, ada banyak hal yang tak dapat kita prediksi. Sebelum sesuatu terjadi, kita tidak dapat memprediksinya terlebih dahulu. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidup kita, dan berapa lama usia kehidupan kita. Kita tidak tahu semuanya. Karena itu, kita harus tekun dan bersemangat menapaki jalan Dhamma. Memperbanyak perbuatan bajik, mengurangi perbuatan yang tidak baik dan senantiasa berupaya mensucikan hati dan pikiran dengan banyak belajar agar tidak menjadi orang yang dungu, fanatiknya sempit, hingga fanatik buta.

Kita harus menenangkan dan meneguhan hati kita di dalam Dhamma. Kita harus melakukan segala kebajikan dan memutuskan jalinan jodoh buruk. Setiap hari, kita harus berupaya melenyapkan noda batin, dan melepaskan diri dari kemelekatan dalam hubungan antar sesama. Kita harus berusaha untuk mencapai pembebasan. Bagaimana cara kita untuk  mencapai pembebasan batin? Kita dapat melakukannya dengan cara menjalin jodoh baik dengan orang baik dan bijaksana setiap hari. Dengan menjalin jodoh baik, maka kita akan bebas dari kerisauan. Dengan begitu, kita dapat melewati hari-hari setiap hari dengan hati yang tenang dan penuh sukacita. Inilah yang disebut pembebasan batin. Melenyapkan noda batin dan menambah jalinan jodoh baik merupakan cara kita untuk mempraktikkan ajaran Dhamma secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Tolong perhatikan pemahaman ini. Demikianlah kisah tentang kura-kura buta. Semoga bermanfaat.

Mengapa Meditasi Menempati Urutan Ketiga Dari Sepuluh Karma Baik?

Uraian berikut ini sekedar mengemukakan pendapat tentang meditasi Buddhis, mengapa meditasi menempati urutan ketiga dari sepuluh karma baik. Tentu ada alasannya. Tapi sebelum lanjut terlebih dahulu akan disinggung sedikit mengenai meditasi itu sendiri.

Meditasi itu adalah pemusatan pikiran terhadap obyek, adalah mengamati obyek, misalnya mengamati keluar masuknya nafas di ujung kedua lubang hidung tanpa berharap memperoleh sesuatu yang terlalu jauh, kecuali berupaya untuk mampu menjadi tenang dan pikiran yang terpusat tidak kemana-mana. Kalau pikiran terlepas dan memikirkan hal lain, maka harus segera dikembalikan lagi ke pengamatan keluar masuknya nafas. Dengan hanya memusatkan pikiran mengamati obyek meditasi tanpa berharap sesuatu yang besar diperoleh, maka secara otomatis meditasi itu melatih batin untuk menjadi tenang dan sabar.

Jika dirinci lagi yang lebih luas, maka meditasi itu adalah pembudayaan mental, yaitu pengembangan batin secara luas, yang bertujuan untuk membersihkan pikiran dari ketidakmurnian dan gangguan-gangguan, seperti nafsu keinginan, kebencian, niat buruk, kemalasan, kecemasan, kegelisahan, keragu-raguan, serta untuk mengembangkan kualitas-kualitas seperti konsentrasi, kesadaran yang kuat, kecerdasan, kekuatan kemauan, kemampuan analitis yang tajam, kesukacitaan, ketenangseimbangan serta pada puncaknya pencapaian kebijaksanaan tertinggi yang menembus hakikat sejati kenyataan, dan merealisaikan kesunyataan mutlak (Nibbana).

Dari uraian singkat tentang meditasi diatas jelas bahwa meditasi itu dilatih atau dipraktekkan dalam upaya pengembangan diri,  untuk kepentingan sendiri, bukan untuk orang lain. Namun dalam arti yang lebih luas sebenarnya nanti pada gilirannya akan bermanfaat pula buat orang lain, karena dengan seringnya berlatih meditasi maka kualitas batin akan meningkat, menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi lebih bajik dan bijaksana. Pribadi yang baik ini tentunya dapat memberikan aura atau pengaruh baik saat bersosialisasi dengan orang lain, misalnya dengan sahabat atau mungkin dengan bawahan. Bersosialisasi dengan orang baik dan bijaksana akan membuat hati menjadi tenang, sejuk dan merasakan kedamaian. Belum lagi kalau orang baik tersebut mampu melakukan dengan baik 9 karma baik yang lain.

Posisi urutan ketiga dari sepuluh karma baik dari meditasi tersebut kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut. 

Urutan pertama adalah "Gemar beramal dan bermurah hati". Mengapa menempati urutan pertama? Karena perbuatan ini langsung dapat membantu orang lain, atau membantu organisasi, sehingga yang mendapat bantuan bebannya langsung menjadi ringan.

Urutan kedua adalah "Hidup bersusila". Mengapa menempati urutan kedua? Karena dengan hidup bersusila selain yang bersangkutan bisa menjadi contoh bagi orang lain, juga yang bersangkutan tidak mengganggu atau menyusahkan orang lain. Perilaku seperti ini baik sekali dan dibutuhkan oleh orang lain. Jika perilaku ini manfaatnya berada dibawah urutan pertama tadi, itu benar karena tidak langsung membantu pihak lain, sehingga pihak lain langsung memperoleh nilai tambah.

Melakukan meditasi, dalam hal ini menempati urutan ketiga, karena mediasi utamanya bermanfaat bagi diri sendiri terlebih dahulu sebelum pada gilirannya nanti akan bermanfaat pula buat orang lain.

Urutan keempat adalah "Selalu berendah hati dan hormat". Mengapa menempati urutan keempat? Karena meski hal tersebut baik untuk orang lain, tetapi jika tidak dilakukanpun tidak merugikan orang lain. Oleh karena itu rendah hati dan hormat ini manfaatnya ada dibawah manfaat bermeditasi.

Urutan kelima adalah "Berbakti". Mengapa menempati urutan kelima? Karena seseorang itu lebih menyukai jika orang lain itu rendah hati dan menghormati orang lain yang merupakan urutan keempat, dibandingkan orang lain yang berbakti kepadanya, misal baktinya para bawahan kepadanya, karena hal tersebut menimbulkan hutang budi. Kecuali jika yang berbakti itu adalah anak sendiri dan cucu-cucu misalnya, akan tetapi tetap saja yang bersangkutan lebih menyukai jika anak atau cucu ini rendah hati, hormat, tidak selalu mengusik melainkan tetap mengahargai orang tua dan kakek nenek mereka.

Urutan keenam adalah "Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain". Mengapa menempati urutan keenam? Karena meskipun kecenderungan tersebut adalah sikap yang baik, dan akan lebih baik lagi jika dipraktekan menjadi tindakan nyata yaitu berbagi. Namun sikap cenderung ini kualitasnya masih dibawah perilaku nyata seperti rendah hati dan hormat, yang merupakan urutan kelima.

Urutan ketujuh adalah "Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain". Mengapa menempati urutan ketujuh? Karena meskipun bersimpati itu adalah sikap yang baik, tetapi bukan merupakan suatu tindakan, misalnya tindakan berbagi yang didahului dengan memiliki kecenderungan untuk berbagi kebahagiaan yang merupakan urutan keenam.

Urutan kedelapan adalah "Sering mendengarkan Dhamma". Mengapa menempati urutan kedelapan? Karena mendengarkan Dhamma itu hanya bermanfaat untuk diri pribadi, belum tertuju kepada orang lain, seperti misalnya bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain yang merupakan urutan ketujuh. Sebagai tambahan, mendengarkan Dhamma itu serupa dengan berlatih meditasi. Dimana mendengarkan Dhamma adalah merupakan cikal bakal dari gemar berlatih meditasi.

Urutan kesembilan adalah "Gemar menyebarkan Dharma". Mengapa menempati urutan kesembilan?

Karena untuk mampu menyebarkan Dhamma itu harus menguasai pengetahuan Dhamma itu sendiri, yang didahului dengan sering mendengarkan Dhamma yang merupakan urutan kedelapan.

Urutan kesepuluh adalah "Meluruskan pandangan orang lain yang keliru". Mengapa menempati urutan kesepuluh? Karena meluruskan pandangan orang lain yang keliru itu memerlukan pemahaman yang cukup tentang Dhamma terlebih dahulu, sehingga mampu menyebarkan Dhamma yang merupakan urutan kesembilan.

Sampai disini dapat disimpulkan bahwa ternyata karma baik itu bukan saja perbuatan baik yang dilakukan terhadap pihak lain, tetapi juga perbuatan baik yang berguna bagi diri sendiri, contohnya adalah meditasi. Terlebih meditasi adalah satu-satunya jalan untuk merealisasi Nibbana.

Dari uraian diatas juga dapat sedikit menambah bukti bahwa ajaran Dhamma itu memang sempurna adanya, ucapan Tathagata selalu benar, sangat runtut dan rapi, pokoknya sempurna, sesempurna beliau yang telah merealisasi penerangan sempurna itu sendiri.

Sebagai tambahan, telepas dari tujuan utama dari meditasi yang adalah pengembangan batin seperti yang sudah disebutkan diatas tadi, maka meditasi juga mempunyai manfaat untuk kehidupan manusia di jaman modern ini. Kebisingan, stress dan ketegangan sebagai ciri dari era sekarang yang dapat menimbulkan banyak kerugian melalui berbagai macam penyakit, seperti penyakit jantung, penyakit lambung, ketegangan saraf dan susah tidur. Kebanyakan penyakit ini disebabkan oleh kecemasan, ketegangan syaraf, tekanan ekonomi dan kegelisahan emosi. Selain itu ritme hidup yang cepat, membuat energi manusia modern terperah habis, sehingga menimbulkan kelelahan fisik dan rohani, manusia menjadi mudah tersinggung, konsentrasi melemah, efisiensi menurun, dan perselisihan menjadi sering terjadi. Salah satu cara ampuh untuk mengatasi hal ini adalah dengan meditasi.

Senin, 13 Desember 2021

Agama, Sensitif atau Damai?

Bagaimana cara meyakini kebenaran agama kita masing-masing dengan baik diantara agama-agama lain yang berbeda-beda itu tanpa menimbulkan gesekan atau bentrokan antar umat beragama; melainkan justru bisa mewujudkan kerukunan berbangsa dan bernegara yang sejati dan tidak semu? Pertama-tama tentu kita harus sadar betul bahwa pemeluk agama lainpun seperti kita juga, mereka meyakini sepenuhnya kebenaran agama mereka. Jadi dalam hal ini tentu masing-masing kita harus bisa memaklumi keyakinan masing-masing, dan bisa menjaga hubungan baik antar sesama yang berbeda agama. Katakanlah Tuhan berkenan atas perbedaan-perbedaan tersebut. Buktinya perbedaan-perbedaan itu selalu ada. Tuhan itu maha kuasa, jadi jika Tuhan tidak berkenan atas perbedaan-perbedaan tersebut, maka tentunya hanya akan ada satu agama saja di dunia ini. Jika Tuhan saja berkenan dengan perbedaan-perbedaan, mengapa kita yang manusia justru risih atau tidak nyaman dengan adanya perbedaan tersebut? yang mana terbukti sering timbul gesekan antar umat beragama, menyalahkan agama lain, ketersinggungan, sensitif tidak pada tempatnya dan sebagainya.

Di dunia ini akan terasa nyaman, menjadi baik, benar dan berkah jika tercipta kerukunan antar sesama manusia. Mengamalkan ajaran agama yang baik itu adalah jika bisa menciptakan kerukunan tersebut, meskipun mungkin saja agak bertentangan atau tidak selaras dengan suatu ayat yang tertulis dalam kitab suci kita, tapi yakinlah jika di telaah lebih lanjut maka maksud yang terkandung dalam ayat tersebut jika dikaitkan dengan semua ayat-ayat yang ada pastilah ayat tersebut sebenarnya menuntun kita bagi kebaikan dan kerukunan umat manusia, tidak ada kan satu ayatpun yang mengajarkan permusuhan maupun kebencian? Kalau ada ayat yang seperti itu jangan kita telan mentah-mentah, tapi carilah makna sesungguhnya yang tersirat dalam ayat tersebut. Ajaran agama itu menunjukkan kepada kita jalan keselamatan di dunia dan di akhirat. Saat ini dimana kita sedang hidup di dunia; keselamatan dunia itu adalah jika tercipta kebaikan di dunia, tercipta kerukunan di dunia. Untuk masalah keselamatan di akhirat, pada umumnya orang mengatakan bahwa masing-masing kita belum pernah mengalami di akhirat itu seperti apa, maka agamalah yang menunjukkan jalan keselamatannya. 

Terkait dengan agama yang berbeda-beda itu, maka pemilihan jalan keselamatan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada kita masing-masing, jalan mana yang kita yakini menyelamatkan. Masalah keselamatan di akhirat itu menjadi urusan kita masing-masing, menjadi resiko kita masing-masing. Tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti jalan yang kita tempuh, kalau cuma memberitahu ya silahkan. Sebaiknya memberitahu melalui tulisan atau video, tidak ada paksaan harus membaca atau menonton video. Sekali lagi masing-masing kita ini katakan belum pernah mengalami berada di akhirat, sehingga dengan demikian persoalan keselamatan di akhirat itu, jalan yang akan kita tempuh kita pilih yang kita anggap terbaik, yang sesuai dengan penalaran kita. Cepat lambatnya sampai ke tujuan melalui jalan yang kita pilih menjadi resiko kita masing-masing.

Sebagai tambahan, jika kita berperilaku baik di dunia ini sebagai pengejawentahan, sebagai wujud nyata dari pengamalan ajaran agama kita, maka di akhirat nanti sebagai kelanjutan dari hidup kita di dunia ini, maka kita akan memperoleh keselamatan di akhirat sana, yang mana adalah sesuai dengan hukum Yang Maha Kuasa, berupa hukum tabur-tuai, hukum sebab-akibat atau hukum karma yang berlaku dan yang bekerja secara otomatis. Sekali lagi agama itu adalah penunjuk jalan keselamatan dunia akhirat, terserah masing-masing kita akan melalui, memilih atau menempuh jalan yang mana. Hal ini selaras dengan yang sudah disebutkan tadi bahwa Tuhan atau Yang Maha Kuasa itu "berkenan" atas adanya banyak agama, atas adanya banyak jalan keselamatan. Yang membedakan dari jalan-jalan yang ada tersebut hanyalah cepat lambatnya sampai ke tujuan. Kalau dalam hidup ini kita banyak berbuat kejahatan, ibaratnya kita menempuh jalan dengan cara merangkak, tidak sampai-sampai ke tujuan, dan tidak menutup kemungkinan mampir dulu ke rumah sakit, artinya mampir ke neraka dulu. Mengapa hanya mampir? Karena masuk neraka itu tidak selamanya. Meski mungkin sangat lama tapi ada akhirnya. Ada kesempatan untuk memperbaiki diri kalau semua sudah terbayar lunas. Sadis itu ada batasnya. Semua ada batasnya. Kalau demikian, apakah alam semesta ini ada batasnya? Pertanyaan spekulatif ini tidak perlu dibahas. Yang menganggap ada batasnya silahkan, dan yang menganggap tidak ada batasnya silahkan juga. Kedua-duanya tidak terkait dengan upaya mewujudkan keselamatan dunia akhirat.


Selasa, 16 November 2021

Pikiran Sehat Hidup Selamat Dunia Akhirat

Mengapa kita hendaknya berpikiran sehat? Pertama karena kita memiliki pikiran itu sendiri, kedua sebagaimana badan jasmani pikiranpun hendaknya dijaga kesehatannya. Apa keuntungan memiliki cara berpikir yang sehat? Keuntungannya adalah memperkecil kemungkinan kita mengalami celaka. Bisa terhindar dari salah bicara, dan jauh dari kemungkinan celaka-celaka yang lain, dan kita bisa menjadi bijaksana dan arif. Kalau dibidang agama kita akan terhindar dari mabuk agama, terhindar dari mengamalkan ajaran agama secara salah atau keblinger, menjadi intoleran dan radikal negatif yang tidak menutup kemungkinan bisa berlanjut menjadi teroris.

Lalu bagaimana caranya untuk bisa memiliki pikiran yang sehat? Caranya adalah membiasakan berpikir secara kritis, senantiasa berlatih berpikir yang jernih, melihat atau menganalisa sesuatu jangan menggunakan kacamata berwarna, atau menggunakan pikiran yang berwarna juga, artinya pikiran yang tidak bersih. Buang jauh-jauh terlebih dahulu yang selama ini dirasa benar, cobalah sekarang kita menggunakan logika yang benar, berpikir kritis. Untuk memahami atau menganalisa sesuatu gunakanlah akal yang jernih dan kritis, jangan mudah percaya begitu saja tanpa dinalar dengan baik terlebih dahulu, tanpa berpikir seribu kali, tanpa pertimbangan yang dalam dan matang.

Hal-hal apakah yang bisa kita peroleh jika kita selalu menggunakan akal sehat? Sebagaimana badan yang sehat yang tidak membuat kita menderita dan merepotkan, maka pikiran sehat akan menghasilkan hal-hal yang baik, akan menghasilkan karya-karya yang baik, terhindar dari hal-hal yang menyakitkan, terhindar dari hal-hal yang menyusahkan.

Contoh-contoh nyata yang bisa kita peroleh jika kita selalu menggunakan akal sehat adalah : 

Yang pertama kita akan bisa berbicara dengan baik, dengan benar, tidak bohong, tidak ketus, tidak kasar, tidak memaki, tidak marah, tidak menghujat, tidak memfitnah, tidak memprovokasi, tidak menyakiti hati pihak lain, sopan santun, bertata-krama dan lain-lain sebagainya yang merupakan perbuatan-perbuatan buruk. 

Yang kedua kita akan bisa berperilaku baik, tidak serakah, tidak menipu, tidak mencopet, tidak mencuri, tidak merampok, tidak mau disuap, tidak korupsi, tidak berzina, tidak mabuk-mabukan dan lain-lain sebagainya yang merupakan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan kita bisa membantu atau menolong orang lain yang sedang membutuhkan bantuan, baik itu bantuan berupa tenaga, pikiran maupun berupa materi. Kita tidak pelit tetapi tergerak untuk berdana sesuai dengan kemampuan yang ada.

Jika kita selalu menggunakan akal sehat sehingga kita bisa berkata-kata dan berbuat segala macam secara baik dan benar, maka kita tidak akan dibenci oleh orang lain, dan tidak akan terjerat oleh hukum, sehingga hidup kita di dunia ini menjadi aman dan selamat. Apakah hidup kita yang selamat di dunia ini akan menjadikan juga kita akan selamat di akhirat? Jawabnya iya, atau paling tidak kita akan menjadi lebih baik dibanding jika kita ketika hidup di dunia selalu dibenci oleh orang lain, dan sering berurusan dengan hukum, yang mengakibatkan sering dihukum atau dipenjara karena perbuatan-perbuatan buruk yang kita lakukan. Bagaimana kalau kita rajin berdoa, rajin menyembah dan rajin memohon ampun, apakah tidak berpengaruh, artinya di akhirat kita tetap tidak selamat dan akan tetap mengalami penderitaan? Berdoa yang baik itu bukan untuk diri sendiri tetapi harapan-harapan yang baik untuk pihak lain, dan memohon ampun sehingga tidak akan mengulangi perbuatan buruk yang pernah dilakukan, atau setidaknya bisa mengurangi perbuatan-perbuatan buruk berikutnya hanya bisa sedikit mengurangi penderitaan di akhirat, yaitu penderitaan di alam kehidupan berikutnya setelah kita meninggal dunia. Mengapa demikian? Karena jika penderitaan di Akhirat bisa dieliminir hanya dengan cara berdoa, memohon ampun dan menyembah, maka tidak akan ada orang yang menderita di Akhirat atau menderita di kehidupan berikutnya setelah meninggal dunia. Contoh yang paling sederhana dan paling singkat dari doa atau harapan yang baik itu misalnya adalah dengan mengucapkan secara ikhlas, secara tulus dan penuh penghayatan kata-kata sebagai berikut : Semoga semua makhluk berbahagia. Doa yang baik itu adalah perbuatan baik.

Yang Maha Kuasa itu berlaku adil, ada sebab ada akibat, jika menginginkan akibat yang baik maka perbuatlah sebab-sebab yang baik. Cara membujuk Yang Maha Kuasa satu-satunya jalan adalah dengan cara berbuat baik. Berbuat baik adalah doa yang sebenarnya, adalah doa yang baik dan manjur. Kalau berdoa, berdoalah yang baik, tepatnya ucapkanlah harapan-harapan yang baik buat pihak lain, bukan buat diri sendiri. Hal ini sama saja dengan memberi bukan meminta, karena memberi itu akan mengakibatkan kita menerima. Menanam benih buah mangga yang manis di ladang yang subur dan merawatnya dengan baik akan menghasilkan buah mangga yang manis dan yang lebat. Lakukanlah selalu sesuai dengan perumpamaan tersebut. 

Ritual-ritual keagamaan yang dilakukan itu sesungguhnya adalah untuk mendidik atau melatih batin dan pikiran untuk mampu berkembang menjadi lebih baik dan lebih baik lagi sehingga dapat menghasilkan perbuatan baik dan perbuatan yang lebih baik lagi. Peluklah agama yang cocok dihati, jalankan dan amalkanlah agama itu dengan mengedepankan akal sehat supaya amalannya benar, supaya selamat dunia akhirat atau selamat dunia dan selamat adi dunia.

Dikatakan, bahwa kalau kita berpikiran sehat, maka akan terhindar dari celaka, terhindar dari hal-hal yang merepotkan diri kita sendiri di dunia ini maupun nanti di kehidupan berikutnya setelah kita meninggal dunia. Hal tersebut bisa terjadi gara-gara tidak berpikiran sehat yang dapat menyebabkan salah bicara, telah memfitnah, telah berbohong, serakah, membenci, membunuh, mencuri, berzina, dan mabuk-mabukan. Jika hal-hal buruk tersebut sering kita lakukan, atau pernah membunuh karena kebencian, maka di kehidupan berikutnya kita akan terlahir di alam penderitaan. Akan tetapi jika kita memiliki pikiran yang sehat sehingga mampu melakukan hal-hal yang sebaliknya, yaitu dapat menjaga Sila, sering berdana dan bermeditasi, maka di kehidupan berikutnya kita akan terlahir di alam bahagia.  

Alam penderitaan dan alam kebahagiaan yang mana yang mungkin akan kita masuki setelah kita meninggal dunia tergantung dari besar dan kecilnya perbuatan-perbuatan buruk maupun perbuatan-perbuatan baik yang pernah atau sering kita lakukan semasa hidup di dunia ini. Ada 4 alam kemerosotan atau 4 alam penderitaan, 1 alam manusia, 6 alam dewa, 16 alam brahma yang masih berbentuk dan 4 alam brahma tanpa bentuk.

Kalau kita pernah melakukan akkusala garuka kamma atau kamma buruk yang berat, yaitu membunuh ibu, membunuh ayah, membunuh seorang Arahat, melukai seorang Buddha, atau memecah-belah Sangha, maka setelah meninggal dunia akan terlahir secara spontan di Neraka Avici, yaitu neraka yang paling rendah, neraka yang paling mengerikan. Neraka merupakan salah satu dari 4 alam kemerosotan. Ada 16 tingkat alam neraka.