Translate

Sabtu, 09 Juni 2018

Agama untuk hidup.


Hidup bukan untuk agama, yang benar adalah agama untuk hidup. Kalau hidup selalu untuk agama, untuk agama, untuk agama, maka ada kecenderungan gembar-gembor bahwa agama sendiri adalah agama yang paling benar. Dan yang paling mengerikan lagi adalah bahwa, selain agama sendiri adalah sesat. Ini sangat berbahaya, dan bisa melakukan pembunuhan demi agama. Kalau agama untuk hidup maka manusia bisa tambah baik, tambah baik, tambah baik setelah kenal agama, apapun agamanya. Karena sebenarnya tidak ada agama yang disebut agama baik atau agama jelek, agama benar atau agama tidak benar. Karena agama adalah kecocokan. Sebelum menjadi orang suci atau paling sedikit menjadi Sotapanna, orang tidak akan tahu agama apa yang paling benar. Kalau kita lihat dalam agama, itu semua tidak ada buktinya, semua adalah kata buku, kata buku, kata buku. Tidak ada orang mati kemudian masuk surga & kembali lagi ke bumi & bercerita, telah membuktikan kebenaran kata buku. Peribahasa Jawa mengatakan, agama adalah ageman (pakaian). Pakaian itu adalah untuk bisa jalan kesana & kesini. Pakaian adalah satu perlengkapan dalam kehidupan ini. Karena orang menggunakan pakaian maka dia harus menjadi lebih bagus, lebih pantas. Demikian juga orang menggunakan agama. Kita tidak akan mati karena menggunakan pakaian (tidak akan mati demi agama). Hidup kita bukan karena pakaian (agama), tapi agama - kita gunakan untuk hidup. Bukan hidup untuk agama.

Jumat, 08 Juni 2018

Bersahabat.


“Keramah-tamahan semesta” & “Rasa persahabatan universal” itu penting sekali dalam hidup ini, karena kita hidup di dalam masyarakat yang majemuk. Bila keramah-tamahan semesta atau toleransi memenuhi hati kita, tidak akan ada ketakutan yang menghantui hidup kita, meskipun kita tinggal diantara berbagai jenis masyarakat yang berbeda-beda secara Suku, Agama, Ras & Antar-Golongan.

Golongan Agama.


Ada dua golongan agama, yaitu “Agama Langit” & “Agama Bumi”.
Pemeluk Agama Langit (Theosentris), menggantungkan keselamatannya kepada Tuhan (sosok maha kuasa & maha pengatur). Melakukan penyembahan & komunikasi satu arah kepada Tuhan, dengan harapan memperoleh hidup bahagia dunia akherat (Surga) yang kekal. Ibaratnya, manusia sebagai wayang & Tuhan sebagai dalangnya. Pemeluk agama wahyu meyakini hidupnya hanya sekali & mengakui adanya 3 alam yaitu; Dunia, Surga & Neraka.
Pemeluk Agama Bumi (Homosentris), berjuang untuk keselamatannya dengan cara mengindahkan dengan baik & benar berlakunya hukum-hukum universal alam semesta (alam kasat mata & alam tidak kasat mata). Utamanya adalah Hukum Tabur-Tuai. Ibaratnya, manusia yang hidup di hutan belantara, bagaimana caranya bisa selamat (survive). Tuhan tidak cawe-cawe (ikut campur) lagi dengan kehidupan manusia. Pemeluk Agama Bumi tahu hidupnya sudah berkali-kali dengan macam-macam kebahagiaan & penderitaan (Samsara) di berbagai alam kehidupan yang ada (secara garis besar ada 31 alam), dan kehidupannya akan berakhir setelah mencapai kesucian sempurna / merealisasi Arahat, tidak akan terlahir & hidup kembali di alam manapun, namun telah padam, telah mencapai kondisi bahagia yang hakiki, kekal & abadi selamanya.

Senin, 04 Juni 2018

Perbedaan Doa & Paritta.


Doa itu merupakan ungkapan hati yang tidak ada tuntunan untuk kita jalankan, bahkan sering isinya hanya permintaan, permohonan, dan kala tertentu justru menimbulkan gejolak batin karena yang dimohon tidak terkabul.

Paritta itu saat dibaca-pun telah memberikan berkah ketenangan, kedamaian, keteduhan, kesejukan, ketentraman, kegembiraan, dan kebahagiaan karena yang kita baca langsung menuntun untuk praktik, menghayati dan menyelami, seperti dalam paritta “Karaṇīyametta Sutta”, adalah paritta guna memperoleh kedamaian, maka kita harus cakap, jujur, tulus, lemah-lembut, tidak sombong, mudah dinasehati, bersahaja, ber-indria tenang, tidak tercela, dan penuh cinta kasih kepada semua makhluk tanpa batas. Mari kita membaca paritta untuk ketenangan, ketentraman, keberkahan, dan perlindungan. 

Seperti apa itu berdoa yang sesuai dengan Dhamma? Karena kita menyakini adanya hukum kamma, maka cara kita berdoa contohnya adalah sebagai berikut : “Semoga dengan kekuatan jasa baik yang saya lakukan pada saat ini, hari ini dan juga di waktu yang lain membuahkan kemajuan, kesejahteraan & kebahagiaan, semoga semua makhluk berbahagia, semoga Tiratana memberkahi.” Doa tersebut sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Paritta.


Paritta (bahasa Pali), artinya “Perlindungan”, adalah khotbah Sang Tathagata, yang berisikan uraian-uraian Dhamma. Paritta mempunyai dua sisi kekuatan yakni : Pertama, kekuatan spiritual / magis atau energi psikis, keberkahan dan perlindungan. Kedua, kekuatan pelaksana, praktik, penyelaman dan penghayatan. Paritta merupakan suatu perlindungan yang kuat bilamana bisa dihapal. Bilamana paritta dibaca / diucapkan dengan sungguh-sungguh, penuh konsentrasi, pikiran ditujukan & dipusatkan pada makna paritta tersebut dengan hikmat dan disertai keyakinan mantap, sehingga pada saat itu kesadaran menjadi kuat, pikiran bersatu dengan kebajikan, bersih dari kilesa (kekotoran batin), penuh dengan cinta-kasih (metta) dan kebenaran (sacca), maka paritta akan memiliki energi batin yang luar biasa.

Mengucapkan paritta berulang-ulang, menjadi sebuah pengkondisian untuk mempercepat masaknya buah kamma baik yang telah dibuat, dan sebaliknya buah kamma tidak baik akan terhambat masaknya, kecuali kamma buruk yang berat; seperti membunuh orang tua, orang suci, dan lain-lain. Inilah yang dimaksudkan dengan perlindungan dalam Paritta.

Pembacaan Paritta itu dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu, akan memberikan manfaat yang luar-biasa. Sebab, pembacaan Paritta merupakan ‘pemantik’ bagi bangkitnya tiga kekuatan besar, dan tiada bandingnya di seluruh penjuru alam-semesta ini, yaitu kekuatan “Tiga-Mustika” (Ti-Ratana) : Buddha-Dhamma-Sangha. Tiada permata ataupun kekuatan apapun yang mampu menandingi Ti-Ratana.

Paritta akan kehilangan kekuatannya karena tidak ada keyakinan, perbuatan jahat, dan kamma berat masa lampau. Oleh sebab itu, saat kita membaca paritta harus disertai dengan pemahaman terhadap makna yang terkandung di dalamnya, dan dengan sungguh-sungguh, penuh konsentrasi, hikmat dan disertai keyakinan, sehingga batin dan pikiran kita menjadi tenang, sejuk, teduh, tentram, damai, gembira, suka-cita, dan bahagia. Seperti makna yang terkandung dalam paritta “Karaṇīyametta Sutta”, yang mengajak kita untuk menuju pada kedamaian, kita harus menjadi orang yang jujur, tulus, lemah-lembut, tidak sombong, mudah dinasehati, bersahaja, ber-indria tenang, tidak tercela dan penuh cinta kasih kepada semua makhluk tanpa batas di manapun berada, dan akan membawa seseorang tak terlahir dalam rahim manapun juga. Itulah sesungguhnya energi dan kekuatan nyata yang kita miliki karena Paritta.

Kalau kondisi batin tersebut di atas terus kita jaga dan kembangkan, maka energi yang ada akan memberikan pengaruh besar terhadap kesehatan badan jasmani. Energi juga memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitar kita, dan akan menjadi kekuatan yang melindungi.

Sejak Tathagata (guru agung dewa & manusia) masih ada di tengah-tengah umat manusia, Paritta telah diyakini memberikan manfaat keberkahan dan perlindungan. Beberapa paritta yang sangat populer dalam masyarakat praktisi Dhamma adalah Ratana Sutta, Karaṇīyametta Sutta, Khandha Paritta, Aṅgulimāla Paritta, Mora Paritta, Bojjhaṅga Paritta, Maṅgala Sutta, Āṭānāṭiya Sutta, Abhaya Paritta dan lain-lain.
Beberapa kisah tentang kekuatan paritta diantaranya :
Ratana Sutta, dibacakan Sang Tathagata saat kota makmur Vesali terancam bencana kelaparan, wabah penyakit, malapetaka, dan gangguan makhluk-makhluk jahat. Bhikkhu Ananda diinstruksikan untuk mengulang membaca Ratana Sutta, dan berjalan mengelilingi penjuru kota Vesali dengan memercikan air yang telah diberkahi. Dengan kekuatan keberkahan Ratana Sutta, kota Vesali terbebas dari bencana, wabah penyakit, dan pengaruh makhluk jahat.
Karaṇīyametta Sutta, diajarkan oleh Sang Tathagata kepada 500 bhikkhu, yang mengalami kesulitan saat mereka berlatih meditasi di hutan, karena gangguan makhluk penghuni setempat. Setelah mereka mengulang dan mempraktikkan cinta kasih (karaṇīyametta), dan kembali ke hutan untuk berlatih meditasi, mereka pun terbebas dari gangguan, dan memperoleh keberkahan dan perlindungan.