Translate

Sabtu, 09 Agustus 2025

“Asevanā ca bālānaṁ, etammaṅgalamuttamaṁ” (tak bergaul dengan orang dungu, itulah berkah utama)

Makna Buddhasubhasita diatas adalah pedoman untuk pembelajaran dan praktik lebih lanjut dari ajaran Sang Buddha.

Yang dimaksud dengan “Orang Dungu (Bāla)” adalah : orang yang tidak bisa membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang merugikan, secara moral dan spiritual.


Yang dimaksud “Tak bergaul” adalah : tidak menjalin hubungan akrab, tidak tinggal bersama, dan tidak mengikuti.

Yang dimaksud dengan “Berkah Utama” adalah : kualitas dan tindakan yang benar-benar membawa keselamatan batin, menghindarkan dari penderitaan, dan membimbing menuju Nibbāna.”

Tak bergaul dengan orang dungu itu bukan berati membenci, melainkan menjaga jarak batin dan kedekatan sosial agar tidak ikut terseret dalam kebodohan dan perbuatan buruk. Agar tidak binasa seperti seekor ikan busuk yang mencemari sekendi air bersih. Hal ini sesuai dengan sabda Sang Budhha yang terdapat dalam Kitab Suci Dhammapada - Syair 61, sebagai berikut :

"Carañ ce nādhigaccheyya, seyyaṁ sadisamattano, ekacariyaṁ daḷhaṁ kayirā, natthi bāle sahāyatā" = Apabila dalam pengembaraan seseorang tak menemukan sahabat yang lebih baik, atau sebanding dengan dirinya, maka hendaklah ia tetap melanjutkan pengembaraannya seorang diri, janganlah bergaul dengan orang bodoh.

 

Kalimat Subhasita ini memiliki makna bahwa dalam menjalani kehidupan ini, kita cenderung ingin memiliki teman, pasangan, dan juga komunitas. Tapi Sang Buddha mendorong kita untuk tidak sembarangan memilih teman dan bergaul dengannya. Sang Buddha mengajarkan bahwa pergaulan yang salah (Pāpamitta) dapat menghancurkan kebajikan, menumbuhkan pandangan salah, dan dapat menjerumuskan terlahir di alam menderita. Sebaliknya, pergaulan dengan sahabat yang bajik (Kalyāṇamitta) adalah akar dari pertumbuhan spiritual. Akan tetapi, jika tidak ada sahabat semacam itu, lebih baik hidup sendiri, kuat dan teguh, daripada disesatkan oleh kebodohan orang dungu.

 

Kesimpulannya, jika kita bergaul dengan orang yang salah, dimana jaman sekarang semakin banyak orang memiliki perilaku jauh dari ajaran Dhamma, kita dapat terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat. Sekarang ini banyak orang yang memiliki sifat hedonis, suka bergosip, mencela, gaya hidup tidak selaras dengan Sila & Samādhi, dlsb. ditambah lagi adanya media sosial yang dapat memperkuat pandangan salah. Oleh karena itu menjaga jarak dari kebodohan adalah berkah utama sebagimana dinyatakan dalam Buddhasasana Subhasita di awal :

 

“Asevanā ca bālānaṁ, etammaṅgalamuttamaṁ” = Tak bergaul dengan orang dungu, itulah Berkah Utama.

Demikian uraian dan penjelasan yang disampaikan, semoga semua makhluk berbahagia.

~ oOo ~

Jumat, 08 Agustus 2025

KEINGINAN KARMA DAN JALAN TENGAH

Penyebab penderitaan adalah Tanha (Kegandrungan), yaitu kemelekatan atau keinginan penuh dengan hawa nafsu. Akar dari Tanha ini adalah Loba (keserakahan), Dosa (Kebencian) dan Moha (kebodohan batin). Contohnya adalah keinginan untuk selalu bisa menikmati kesenangan inderawi yang kenyataannya tidak selalu mudah untuk diperoleh, dan ini menimbulkan penderitaan. Seperti misalnya ingin cepat kaya, cepat tenar, cepat berkuasa, dsb. Selain itu karena segala sesuatu itu setiap saat berubah, maka kebahagiaan iderawi / duniawi itu bisa berubah menjadi kebosanan (penderitaan).

Akan tetapi tidak semua Keinginan (Chanda) itu buruk, contohnya adalah Kusala Chanda (keinginan berbuat baik) itu baik adanya, seperti keinginan untuk berlatih Dhamma, berlatih Meditasi (Mengembangkan batin), ingin Berdana, ingin membantu sesama, atau bahkan ingin mencapai Pembebasan (bebas dari penderitaan, merealisasi Nibbana). Kusala Chanda itu bukan berasal dari Kebodohan (Moha), Kebencian (Dosa), atau Keserakahan (Lobha). Apakah Chanda (keinginan baik) itu tetap Karma? Ya, semua kehendak adalah Karma. Tetapi Karma dari Kusala Chanda akan menghasilkan buah Karma yang baik, yaitu kebahagiaan karena berasal dari akar yang baik (Alobha / tanpa Keserakahan, Adosa / tanpa Kebencian, Amoha / tanpa kebodohan batin). Namun demikian, pada saatnya nanti Chanda atau Keinginan ini dapat dikatakan akan terlepas juga ketika seseorang telah merealisasi kesucian karena tiadanya Kemelekatan pada seorang yang suci, semua yang dilakukan oleh orang suci adalah hal yang baik.

Jalan Tengah adalah cara untuk mengatasi penderitaan. Jalan Tengah ini disebut Ariya Aṭṭhaṅgika Magga (Jalan Mulia Berunsur Delapan), yaitu Pandangan benar, Pikiran benar, Ucapan benar, Perbuatan benar, Mata pencaharian benar, Daya-upaya benar, Perhatian benar dan Konsentrasi benar (Meditasi / Citta Bhavana / Pengembangan batin benar). Keinginan untuk mengikuti Jalan Tengah itu adalah Kusala Chanda, bukan Taṇhā.

Kusala Chanda dilakukan untuk mengikis Taṇhā yang dasarnya adalah Keserakahan dan Kebencian yang timbul dari adanya Kebodohan batin.

Orang yang suci telah melepaskan Chanda (Keinginan) duniawi, bukan karena Keinginan itu buruk, tapi karena segala bentuk kehendak adalah kondisi bagi suatu kemunculan, sedangkan kondisi padam atau Nibbāna itu tak berkondisi (Asaṅkhata).



Rabu, 30 Juli 2025

Kelahiran di Surga Bukanlah Tujuan Akhir

Banyak orang berpikir bahwa tujuan tertinggi dalam hidup ini adalah terlahir kembali di Surga (alam Dewa). Memang benar, kelahiran di Surga adalah hasil dari perbuatan baik. Namun, Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwa hidup di Surga itu tidak kekal. Sang Buddha bersabda bahwa makhluk-makhluk yang lahir di alam Dewa (alam Surga), setelah menikmati kebahagiaan yang besar, pada akhirnya akan mati juga, dan jika mereka tidak terus berlatih Dhamma, mereka bisa lahir kembali di alam sengsara, banyak factor penyebabnya.

Salah satu contoh yang terkenal adalah Raja Mandhātu (Khudaka Nikaya - Jataka 258), yang karena kebaikannya bisa terlahir di alam surga Tāvatiṁsa dan disana menjadi raja para Dewa. Tapi karena kesombongan dan keserakahannya, setelah kehidupan surgawinya habis, ia terlahir kembali di alam rendah. Ini menjadi peringatan bagi kita semua. Perbuatan baik memang penting, tetapi apakah dalam kehidupan kita sehari-hari sudah sesuai dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan atau tidak? dimana kita dianjurkan untuk berlatih Citta Bhavana (mengembangkan batin).  Citta Bhavana atau Meditasi bisa dilakukan secara rutin meski hanya sebentar-sebenar agar - batin kita ini bisa menjadi bijaksana, sabar, damai, humble, penuh dengan Metta (cinta kasih tanpa batas pada semua makhluk), dengan tujuan akhir merealisasi Nibbana. Kita diajar untuk mengembangkan Kerelaan (Berdana), Kemoralan (menjaga Sila) dan Konsentrasi (Citta Bhavana).

Jika hanya berbuat baik untuk mendapatkan Surga, tanpa mengembangkan pengertian benar tentang kehidupan, kita tetap akan terjebak di alam Samsāra - siklus kelahiran dan kematian tanpa akhir. Maka tujuan kita bukan sekadar Surga, tetapi kebebasan sejati, yaitu Nibbāna, bebas dari lahir, tua, sakit, dan mati.

Rabu, 23 Juli 2025

BHIKKHU = PETAPA


💫🪷 Petapa, Bhikkhu = pengemis? Bhikkhu adalah orang yang meninggalkan kegandrungan duniawi, maksudnya mengambil Jalan Tengah, kalau dirundung penderitaan berusaha untuk tidak bersedih, kalau memperoleh kebahagiaan jangan lupa daratan, ber-euforia, rasakan secukupnya saja, jadi batin ini selalu seimbang, tenang, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh kondisi di luar, dhugdheng, tahan banting. Kalau meninggal bisa dengan tersenyum, tidak berat karena semua beban sudah ditinggalkan, semua kemelekatan duniawi telah dilepaskan. Penderitaan & kebahagiaan inderawi / duniawi itu tidak kekal, selalu berubah, jadi ngapain terpengaruh / tergantung olehnya. Orang yang masih terombang-ambing oleh penderitaan & kebahagiaan dunia itu kalau meninggal akan terlahir kembali di Alam Menderita atau Alam Bahagia tergantung dari perilaku di hidup sebelumnya, demikian seterusnya hingga ybs. berhasil menghancur-leburkan Kilesa / Pengotor batin yang berupa keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, yang artinya ybs. tidak akan terlahirkan kembali di alam kehidupan manapun (merealisasi Nibbana, merealisasi kebahagiaan hakiki / kebahagiaan non inderawi kekal). 

Seorang Bhikkhu tidak meninggalkan keluarga, tetapi terpisah tempat tinggal dengan tempat tinggal ketika masih berkeluarga - dengan syarat keluarga sudah bisa hidup mandiri. Jangankan keluarga, orang lain (umat) pada waktu yang tepat bisa minta nasehat, saran, pengarahan atau solusi atas persoalan hidup yang dialaminya - atau mendengarkan uraian Dhamma kepada Bhikkhu ✨😇


Jumat, 18 Juli 2025

"Attā Have Jitaṁ Seyyo"

"Attā Have Jitaṁ Seyyo" ( Menaklukkan Diri Sendiri Adalah Yang Terbaik )

Makna Buddhasubhasita yang disebutkan diatas adalah pedoman untuk pembelajaran dan praktik lebih lanjut dari ajaran Sang Buddha.

 Yang dimaksud dengan "Diri" dalam hal ini bukanlah entitas kekal, tetapi konvensi Bahasa, atau kesepakatan untuk menyebut : Tubuh dan pikiran seseorang, bukan berarti ada "diri sejati" yang kekal untuk ditaklukkan.

Menaklukkan diri sendiri itu adalah menaklukkan tendensi egosentris, menaklukkan pengotor batin, utamanya adalah : hawa nafsu (kāmacchanda), kemarahan (vyāpāda), kemalasan (thina), kegelisahan (uddhacca), keraguan (vicikicca), keakuan (ahaṅkāra) dan kebanggaan (māna) yang pada dasarnya disebabkan oleh kemelekatan.

 "Diri" adalah pusat dari kecenderungan batin yang bisa menghalangi kemajuan spiritual. Diri ini perlu dikendalikan, agar “kemelekatan” dapat dilepas. Melepas kemelekatan dengan mengelola batin dengan baik - dapat mempercepat kemajuan spiritual yang dilakukan dalam upaya terealisasinya bebas dari penderitaan. Tanpa melepas kemelekatan tidak mungkin kedepan bisa merealisasi Nibbana / bebas dari penderitaan, karena Kilesa tidak mungkin tercabut secara total dari dalam diri. Oleh karena itu menaklukkan diri dengan melepas kemelekatan adalah yang terbaik sebagaimana disabdakan Buddhasasana subhasita dalam Upādāna Sutta pada Saṁyutta Nikāya 12.52 , tertulis sebagai berikut :

 Upādānanirodhā bhavanirodho; bhavanirodhā jātinirodho

( Dengan lenyapnya kemelekatan, maka bhava / proses untuk lahir - lenyap; dengan lenyapnya bhava maka kelahiranpun lenyap )

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sangat terikat pada kesenangan tubuh, yaitu kemelekatan atau pegangan batin yang kuat terhadap sesuatu. Sang Buddha mengajarkan bahwa selama kita masih melekat, bahkan sekecil apapun, itu artinya kita sedang menyiram api kehidupan agar terus menyala. Karena kemelekatan inilah, kita terus ingin menjadi sesuatu, ingin memiliki, ingin lahir lagi.

Dari kemelekatan, muncullah bhava, yaitu dorongan untuk "menjadi", entah menjadi seseorang yang kaya, yang cantik, dihormati, atau bahkan menjadi makhluk di alam lain setelah kematian. "Bhava" bukan hanya eksistensi jasmani, tapi juga kondisi batin penuh hasrat untuk menjadi dan memiliki. Selama bhava ini masih hidup, benih untuk lahir kembali akan selalu ada.

Dari bhava, muncullah Jāti atau kelahiran. Bukan kelahiran fisik di dunia ini saja, tapi juga kelahiran di salah satu dari alam Samsara.

Apa yang diajarkan Sang Buddha itu luar biasa. Beliau tidak menyuruh kita memberantas kelahiran langsung, tetapi mengajak kita melihat akar masalahnya. Menghapus Upādāna atau kemelekatan - maka bhava pun sirna. Bhava sirna, maka tak ada lagi jāti atau kelahiran kembali, tak ada lagi dukkha, tak ada lagi penderitaan. Inilah cara Buddha memadamkan penderitaan dari akarnya.

Kesimpulannya, kalimat “Upādānanirodhā bhavanirodho; bhavanirodhā jātinirodho” itu bukan sekedar teori, tetapi peta pembebasan, adalah cetak biru menuju Nibbāna. Selama kita masih memeluk apa yang tidak kekal, kita akan terus lahir, menderita, dan mati. Jadi, melepas kemelekatan itu yang dalam hal ini sebagai cetak biru menuju Nibbāna - adalah pokok persoalan penting yang harus dilakukan, sekaligus dapat dikatakan bahwa melepas kemelekatan itu adalah menaklukkan diri sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam Buddhasasana subhasita di awal, yaitu :  

 

"Attā Have Jitaṁ Seyyo"

Menaklukkan Diri Sendiri Adalah Yang Terbaik


Demikian penjelasan dan uraian yang disampaikan, semoga semua makhluk berbahagia.

Rabu, 21 Mei 2025

MEWARISI DHAMMA, BUKAN ABU SANG BUDDHA

Banyak umat Buddha yang melaksanakan Atthamipuja di Vihara untuk memperingati hari ke 8 setelah 7 hari Sang Buddha Parinibbana, adalah saat yang penting bagi umat Buddha untuk merenungkan ajaran dan warisan agung Sang Tathāgata.


1. Adalah Realita yang Tak Terhindarkan bahwa “Sabbe saṅkhārā aniccā”, Semua yang terkondisi adalah tidak kekal. Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang bersifat kekal. Tubuh, perasaan, pikiran, hubungan, kekayaan, semuanya mengalami perubahan. Bahkan tubuh agung Sang Buddha pun mengalami usia tua, sakit, dan akhirnya Parinibbāna di Kusinārā. Kematian Sang Buddha bukanlah kehancuran, tetapi pemadaman total dari dukkha, penderitaan. Inilah yang disebut Parinibbāna - bukan kematian biasa, melainkan padamnya kelahiran kembali.

2. Ketika Bhikkhu Ānanda menangis karena tahu akan kehilangan Guru tercintanya, Sang Buddha menasihatinya dengan tegas : “Ānanda, apakah Aku tidak pernah mengatakan bahwa segala sesuatu yang kita cintai, yang kita senangi, pada akhirnya akan terpisah, berpisah, dan berubah?” Sebelum Parinibbāna, Sang Buddha bersabda : Segala yang terkondisi pasti hancur, capailah tujuanmu dengan kewaspadaan yang tinggi.

3. Buddha juga bersabda : Dhamma dan Vinaya yang telah Aku ajarkan akan menjadi Guru kalian setelah Aku tiada. Kita tidak bisa lagi melihat Buddha secara jasmani, tetapi kita masih bisa "melihat" Beliau melalui praktik Dhamma yang sejati. Warisan sejati Sang Buddha bukan abu kremasi, bukan hanya patung atau relik, melainkan ajaran yang membebaskan.

4. Atthamipuja bukan hanya ritual, tetapi undangan batin untuk mempraktikkan Dhamma.

Jika hidup kita belum lurus, luruskanlah dengan sila.
Jika batin masih goyah, teguhkanlah dengan samādhi.
Jika kita belum memahami kehidupan, terangi dengan paññā.

Mari gunakan kesempatan hidup ini untuk berjalan di jalan yang telah ditunjukkan Sang Buddha. Karena : Sukar memperoleh kelahiran sebagai manusia, sukar mendengar Dhamma sejati.

Semoga peringatan Atthamipuja itu tidak hanya menjadi perenungan sesaat, tetapi menjadi titik balik dan penyemangat untuk mendalami Dhamma. Karena hanya dengan praktik, seseorang benar-benar mewarisi Buddha - bukan jasmaninya, tetapi kebijaksanaan dan welas asih-Nya.