Dalam
peribadatan di Vihara, umat Buddha sering melakukan gerakan bersujud
sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam di mesjid. Bedanya umat Islam di
seluruh dunia sujudnya diarahkan ke satu titik yaitu titik dimana Ka’bah
berada. Di Vihara, Umat Buddha sujudnya diarahkan ke Buddha Ruppang. Jadi
sujudnya umat Buddha itu arahnya tidak ke satu titik tertentu misal ke barat,
ke timur dan lain sebagainya, melainkan seperti para peserta upacara bendera
yang menghormat kepada bendera merah putih, tidak harus menghadap ke arah
tertentu, tetapi ke arah bendera merah putih yang sudah dikibarkan sebagai
lambang negara Indonesia yang layak untuk dihormati, dicintai dan dibanggakan.
Tadi dikatakan
umat Islam bersujud menyebah Allah Subhanahu wa ta'ala dengan arah dimana
Ka’bah berada. Kalau sholat nya di tempat dimana Ka’bah berada, maka mereka
tidak menyembah ke arah tertentu, melainkan ke arah Ka’bah di depan mereka,
sehingga seolah-olah mereka menyembah Ka’bah itu sendiri, padahal tidak, mereka
itu menyembah Allah Subhanahu wa ta'ala. Ka’bah hanya sebagai acuan satu tujuan
yaitu menyembah kepada yang satu yaitu Allah Subhanahu wa ta'ala. Demikian pula
halnya dengan umat Buddha, mereka tidak menyembah Buddha Rupang, mereka itu
bersujud sebagai manifestasi dari penghormatan, memuji dan menjunjung tinggi
keluhuran sifat-sifat Sang Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna,
merealisasi Nibbana, merealisasi kedamaian abadi dan telah parrinibbana. Mereka
menghormat, memuji dan menjunjung tinggi keluhuran sifat-sifat Sang Buddha yang
tiada bandingannya seraya berjanji kepada diri sendiri untuk bertekad
meneladani sifat-sifat luhur Sang Buddha dalam upayanya merelisasi Nibbana.
Penghormatan yang mendalam dan tulus tidaklah cukup dengan melakukan gerakan
tangan menghormat, tetapi dengan melakukan gerakan bersujud, bukan berarti
menyembah.
Sang Buddha
telah parinibbana, sudah tidak ada lagi di dunia ini, akan tetapi beliau telah
mewariskan ajaran Dhamma kepada umat manusia. Kata-kata beliau yang terangkum
dalam paritta-paritta suci itu jika dibaca dan dipahami dengan benar dengan
penuh penghayatan itu bersifat Niyanika, yaitu mempunyai kemampuan untuk
menuntun kita keluar dari samsara, memurnikan batin merealisasi Nibbana.
Menghormat,
memuji dan menjunjung tinggi keluhuran sifat-sifat Sang Buddha secara tulus itu
dapat diartikan sebagai berlindung kepada Buddha. Terlindungi oleh perbuatan
sendiri, karena masing-masing kita memiliki benih-benih kebudhaan, memungkinkan
kita bisa merealisasi kesucian tertinggi terbebas dari Samsara, terbebas dari
dukkha. Kita menjadi pulau bagi diri kita sendiri dengan cara meneladani
sifat-sifat luhur sang Buddha, meneladani sifat-sifat yang maha bajik dan maha
bijaksana Sang Buddha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar