Blog ini menampilkan tulisan-tulisan yang dapat dikategorikan sebagai tulisan : Pengetahuan Benar, Wawasan, Kata-Kata Bijak, Lain-lain. Jika pembaca tidak sependapat dengan tulisan yang ada dalam blog ini, tolong abaikan saja dan lupakan! Terima kasih.
Translate
Senin, 28 November 2022
kehidupan Manusia
Selasa, 15 November 2022
Senin, 14 November 2022
Harta Karun Yang Tak Bisa Dicuri
Uraian mengenai Harta Karun Yang Tak Bisa Dicuri ini berumber dari tulisan Bhikkhu Dhammaratano, dan ada kalimat-kalimatnya yang sedikit dirubah agar menjadi lebih halus.
“Gabbhaṁ eke uppajjanti,
Nirayaṁ pāpakammino
Saggaṁ sugatino yanti,
Parinibbanti anāsavā’ti”
“Beberapa makhluk hidup dilahirkan melalui rahim,
pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam neraka,
pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam surga,
yang telah terbebas dari noda setelah kematiannya mencapai Nibbāna”
(Dhammapada IX : 126)
Alkisah di suatu desa, hiduplah sebuah keluarga yang makmur, sejahtera,
dan berkekayaan melimpah. Pemiliknya adalah seorang pedagang yang sangat sukses
dalam bisnis perdagangan. Seorang milyarder, pebisnis hebat, seorang yang
sangat beruntung di dunia ini. Dia
ditemani oleh keempat orang istri.
Seorang istri tua dan tiga istri yang muda belia. Ia hidup bagaikan raja ditemani
oleh para dayang-dayang, sangat bahagia, membuat orang lain yang melihatnya
iri.
Istri pertama adalah istri paling tua, namun sangat disayangkan pedagang
ini jarang sekali memberi perhatian, baik pakaian, perhiasan apalagi kasih
sayang kepada istri pertamanya ini. Wanita ini tampak kumuh dan kusam karena
kebutuhannya tidak pernah diperhatikan dan dipenuhi.
Sedangkan untuk istri-istrinya yang lain, ia berikan perhatian lebih
bahkan selalu memanjakan mereka.
Untuk istri keduanya, ia selalu memberikan pakaian dan perhiasan yang
mahal serta parfum dengan merk terkenal.
Istri ketiga, selalu dimanjakan dengan penuh perhatian, dijaga dengan
penuh kasih sayang. Tidak membiarkannya sakit atau menderita walaupun hanya
sesaat.
Dan istri yang keempat, selalu ditraktir dengan makanan yang enak dan
diajak jalan-jalan ke tempat-tempat yang menyenangkan.
Hari berganti hari, tahun demi tahun berlalu dengan cepat. Kini di usia
tuanya, sang pedagang sukses ini mengalami sakit keras dan telah mendekati
kematian. Pada menit-menit terakhirnya, sang pedagang memanggil keempat orang
istrinya meminta mereka berkumpul menemaninya.
Dengan penuh harap, sang pedagang bertanya kepada istrinya yang kedua ;
“sayangku, aku telah begitu memanjakanmu dengan segala perhiasan, dan lain
sebagainya agar engkau selalu nampak cantik, dan gemerlap, sekarang aku butuh
bantuanmu, apakah engkau mau menemaniku menghadap raja kematian, ikut bersamaku
mati." Istri kedua menjawab : “Maaf suamiku, aku tidak bisa ikut denganmu, aku masih muda dan aku bisa mencari suami
baru untuk menghidupiku.” Mendengar jawaban ini, sang pedagang menjadi
bersedih, merasa terpukul, istri yang selalu dimanjakannya itu ternyata tidak
peduli padanya.
Kemudian ia beralih bertanya kepada istri ketiga dengan pertanyaan yang
sama, dan mendapat jawaban yang sama pula.
Kini ia bertanya kepada istri keempat dan mendapat jawaban : “Maafkan aku
sayang, aku tidak bisa ikut mati bersamamu, tetapi aku hanya bisa menemani dan
mengantarkanmu sampai ke pemakaman, tidak lebih dari itu.”
Betapa sedih dan terpukulnya sang pedagang mendengar jawaban dari
istri-istri yang sangat disayangnya itu, tetapi ternyata sekarang mereka tidak
peduli dan tidak setia kepadanya.
Dalam kesedihannya itu, tiba-tiba tanpa ditanya, istri pertama yang selalu
ia sia-siakan dan tidak pernah ia perhatikan itu berkata : “Suamiku, sekalipun
engkau tidak pernah peduli kepadaku, aku akan tetap setia menemanimu, sekalipun
untuk pergi menghadap kematian - aku akan ikut bersamamu menjadi pendamping
setiamu - tak ada yang dapat memisahkan kita.”
Mendengar perkataan ini, sang pedagang merasa malu, ia menyesal tidak
pernah mau peduli dan kurang perhatian terhadap istrinya yang pertama itu.
Penyesalan memang selalu datang
terlambat.
Keempat orang istri merupakan simbolisasi
yang nyata dalam kehidupan ini.
Istri kedua adalah simbol dari tubuh yang selalu kita beri perhiasan,
memandikannya, memberi pakaian bagus, dan memberi minyak agar wangi. Tetapi
ketika kematian datang, tubuh ini tidak berguna, tidak bisa menemani kita,
justru terbujur kaku di tanah pekuburan, membusuk, dan habis di makan belatung.
Istri ketiga merupakan simbol harta kekayaan duniawi yang kita miliki,
sebanyak apapun yang kita miliki semuanya akan ditinggalkan tidak akan mungkin
ikut ke liang lahat. Harta kekayaan itu akan diambil alih oleh orang lain,
dihabiskan oleh ahli waris, menjadi milik orang lain. Seumur hidup kita mencari
dan mengumpulkannya, pada akhirnya hanya akan dinikmati oleh orang lain.
Istri keempat adalah simbol sanak keluarga, karib kerabat dan
teman-teman. Mereka setia menemani kita ketika kita masih hidup. Tetapi ketika
kita sudah menjadi mayat, paling banter mereka hanya bisa mengantar sampai ke
tanah pekuburan kemudian pergi, tidak lebih dari itu.
Istri pertama adalah simbol jasa kebajikan - amal kebaikannya sangat
jarang kita perhatikan - tidak kita pedulikan, dan cenderung kita abaikan.
Padahal ia teman yang paling bisa diandalkan di kala kematian di ambang pintu -
sahabat yang sangat setia - kemanapun kita pergi, ia akan selalu ikut bersama
kita.
Dalam pandangan Buddhis, kematian adalah hal yang sangat wajar dalam
kehidupan suatu makhluk. Karena hal ini sebagai akibat kita dilahirkan.
Kematian dan kelahiran merupakan suatu siklus yang terus-menerus berputar
selama kita masih melekat pada dunia ini. Dan juga kematian bukanlah akhir
segalanya. Seperti halnya seseorang yang berada di luar ruangan dan ia ingin
masuk ke dalamnya tentu harus melewati sebuah pintu, dan setelah melewati pintu
ia kini berada di dalam ruangan. Demikian pula kematian adalah pintu menuju kehidupan berikutnya. Jadi
janganlah meratap menangisi jenazah orang yang kita sayangi secara berlebihan,
selain tidak bermanfaat juga tidak melatih kita untuk menjadi tegar dan
menghambat upaya kita dalam melepas kemelekatan yang menimbulkan penderitaan.
Inilah dunia, ketika ada seorang bayi dilahirkan, kita begitu gembira dan
merayakannya. Padahal kita tahu bahwa bayi itu dilahirkan kelak hanya untuk
mengalami kematian, ia akan menjadi korban raja kematian berikutnya. Kita
begitu bersedih apabila orang yang sangat kita sayangi meninggal dunia.
Harusnya kita merelakannya karena ia telah bebas dari sengsara dunia. Kematian
hanyalah sementara, karena kesadarannya akan terus berlanjut dalam kehidupan
berikutnya. Ia hanya membawa kesadaran baik atau kesadaran buruk, membawa bekal
kebajikan atau membawa segudang keburukan. Inilah yang akan menentukan ke alam
mana seseorang akan bertumimbal-lahir.
Sang Bhagava bersabda; “sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah
yang akan dipetiknya, ia yang berbuat baik akan menerima kebaikan dan
kebahagiaan, serta ia yang berbuat jahat akan menerima penderitaan dan
kesengsaraan”. (Saṁyutta Nikāya I : 293).
Perbuatan yang dilakukan ketika masih hidup akan menentukan kemana
seseorang akan pergi dilahirkan setelah kematian. Dan juga kekuatan pikiran
terakhir yang mendominasi pada saat menjelang kematian, mungkin saja pikiran
keserakahan atau kemelekatan, pikiran kebencian ketidak-senangan atau pikiran
ketidak-tahuan dan kebodohan batin, yang akan menentukan kelahiran berikutnya.
Sesuai syair Dhammapada 126 diatas, terdapat beberapa jenis kelahiran dan
perbuatan apakah yang mengarahkan mereka untuk terlahir seperti apa.
1. “Gabbhaṁ eke uppajjanti” = Beberapa makhluk dilahirkan melalui rahim /
kandungan.
2. ”Nirayaṁ pāpakammino” = Pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam
Neraka.
3. “Saggaṁ sugatino yanti” = Pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam
surga.
4. “Parinibbanti anāsavā” = Yang telah terbebas dari semua noda setelah
kematiannya mencapai Nibbāna.
Apabila kita ingin melihat masa lampau, maka lihat dan perhatikan apa
yang terjadi pada diri kita saat ini. Dan apabila ingin melihat dan mengetahui
masa yang akan datang, berkacalah pada perbuatan yang kita lakukan pada saat
sekarang. Apapun yang kita perbuat baik ataupun buruk kita sendiri yang akan
merasakannya. Baik yang kita perbuat baik pula akibatnya, demikian pula buruk
yang kita perbuat buruk pula akibatnya. Kita semua sedang mengarungi lautan
kehidupan Samsara dalam kehidupan ini. Kita butuh bekal cukup untuk mengatasi
segala rintangan di dalam perjalanan panjang kita sebelum sampai di tempat
tujuan akhir.
Apakah bekal itu? Yaitu : jasa perbuatan baik. Hanya inilah yang akan
selalu menjadi sahabat kita yang paling setia menemani kemanapun kita pergi.
Dialah harta sejati yang tak akan mungkin bisa dicuri, dirampok, kena banjir
atau kebakaran. Ia akan menjadi harta simpanan yang kekal yang sangat membantu
hingga sampai pada tujuan akhir kita, yaitu Nibbāna / Nirwana.
Demikianlah tulisan ini - Semoga bermanfaat.
Kebahagiaan Sejati Kekal
Untuk bisa selamat (bahagia) di dunia dan selamat (bahagia) setelah meninggal dunia (hidup di alam berikutnya) – seseorang hendaknya menyikapi dengan baik dan benar berlakunya hukum alam, terutama Hukum Karma. Banyak memberi (tenaga atau materi dan juga pikiran / pandangan benar), berupaya keras tidak melanggar sila, terutama : tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berbohong dan tidak mabuk-mabukan. Untuk merealisasi pencapaian yang lebih tinggi dan tertinggi adalah sering berlatih meditasi yang tepat secara bijaksana untuk mengikis terus-menerus kotoran batin hingga menjadi orang suci - merealisasi kebahagiaan sejati kekal, tidak terlahir kembali di alam kehidupan manapun.
Sabtu, 29 Oktober 2022
Pewaris Dalam Dhamma
Tulisan ini menyampaikan perihal Pewaris dalam Dhamma dalam Majjhima Nikaya 3 : Dhammadāyāda Sutta – yang sulit dipahami karena memerlukan pemikiran dan perenungan yang berulang. Tulisan ini menyingkat Dhammadāyāda Sutta agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti meskipun masih memerlukan perhatian penuh yang berulang.
Dhammadāyāda Sutta – menceritakan - pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang
menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta - Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā
memanggil para bhikkhu dan berkata kepada mereka yang jika disingkat adalah
sebagai berikut :
Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam
benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir : Bagaimanakah
agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam
benda-benda materi? Jika kalian menjadi pewarisKu dalam benda-benda materi,
maka kalian dan Aku akan dicela sebagai berikut : Para siswa Sang Guru hidup
sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru, bukan sebagai pewaris dalam
Dhamma.
Jika kalian menjadi pewarisKu dalam Dhamma, maka kalian dan Aku tidak
akan dicela [sebagaimana akan dikatakan] : Para siswa Sang Guru hidup sebagai
pewaris dalam Dhamma, bukan sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru.
Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu
dalam benda-benda materi.
Sekarang, para bhikkhu, misalkan Aku telah makan, menolak makanan
tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang
Kubutuhkan, dan ada makanan tersisa dan akan dibuang. Kemudian dua orang
bhikkhu tiba, lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka : Para bhikkhu, Aku
telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup,
telah memakan apa yang Kubutuhkan, tetapi masih ada makanan tersisa dan akan
dibuang. Makanlah jika kalian menginginkan; jika kalian tidak memakannya maka
Aku akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air
di mana tidak ada kehidupan.
Kemudian seorang bhikkhu berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang
Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan
dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya ke mana
tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.
Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā : Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam
Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Tetapi makanan ini adalah
salah satu benda materi. Bagaimana jika seandainya tanpa memakan makanan ini
aku melewatkan malam dan hari ini dalam keadaan lapar dan lemah. Dan tanpa
memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu dalam keadaan lapar dan
lemah.
Kemudian bhikkhu ke dua berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang
Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan
dibuang. Bagaimana jika aku memakan makanan ini dan melewatkan malam dan hari
ini tanpa merasa lapar dan lemah. Dan setelah memakan makanan itu ia melewatkan
malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah. Sekarang walaupun bhikkhu itu
dengan memakan makanan itu melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan
lemah, namun bhikkhu pertama lebih terhormat dan dipuji olehKu. Mengapakah?
Karena hal itu dalam waktu lama akan berdampak pada keinginannya yang sedikit,
kepuasan, pemurnian, mudah disokong, dan membangkitkan kegigihannya. Oleh
karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam
benda-benda materi.
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal
tersebut, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke kediamanNya. Segera
setelah Beliau pergi, Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu dan berkata
sebagai berikut :
Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup
terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Dan dalam cara bagaimanakah para
siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan?
Para bhikkhu berkata sebagai berikut :
Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna
pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta
sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para
bhikkhu akan mengingatnya.
Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut :
Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup
terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru tidak
meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan kepada mereka untuk ditinggalkan;
mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam
keterasingan.
Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para
bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru
yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka
tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan.
Ketiga : mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran,
lengah dalam keterasingan.
Dalam cara ini inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak
berlatih dalam keterasingan.
“Dalam cara bagaimanakah, teman-teman, para siswa Sang Guru yang hidup
terasing berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru meninggalkan
apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka tidak hidup
dalam kemewahan dan tidak lalai, mereka tekun menghindari kemunduran, dan
adalah pemimpin dalam keterasingan.
“Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para
bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru
yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka
meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan.
Ketiga : mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun
menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.
Dalam cara inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam
keterasingan.
“Teman-teman, kejahatan di sini adalah keserakahan dan kebencian.
Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian,
menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian,
menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna. Dan apakah
Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar,
kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar,
perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang
menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian,
menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.
Teman-teman, kejahatan di sini adalah kemarahan dan kekesalan, sikap
meremehkan dan congkak, iri hati dan kekikiran, kecurangan dan penipuan, sifat
keras kepala dan persaingan, keangkuhan dan kesombongan, kepongahan dan
kelalaian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan kepongahan dan kelalaian,
menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju
kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan
apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan
benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha
benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang
menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju
kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu
puas dan gembira mendengarnya.
Demikianlah Tulisan ini yang menyampaikan tentang Dhammadāyāda Sutta yang
dipersingkat agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti. Semoga
bermanfaat.
Rabu, 26 Oktober 2022
Segala Noda
Sabbāsava
Sutta – menceritakan - pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di
Sāvatthī di Hutan Jeta - Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para
bhikkhu dan berkata banyak kepada mereka yang jika disingkat adalah sebagai
berikut :
“Para Bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda
adalah untuk seorang yang mengetahui dan melihat perhatian bijaksana dan
perhatian tidak bijaksana. Ketika seseorang memperhatikan dengan tidak
bijaksana, noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dan noda-noda yang telah
muncul menjadi bertambah. Ketika seseorang memperhatikan dengan bijaksana,
noda-noda yang belum muncul tidak akan muncul dan noda-noda yang telah muncul
ditinggalkan.
“Para bhikkhu, ada noda-noda yang harus ditinggalkan
dengan melihat, dengan mengendalikan, dengan menggunakan, dengan menahankan,
dengan menghindari, dengan melenyapkan, dan dengan mengembangkan.
“Apakah noda-noda, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan melihat?
Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak
terpelajar, yang tidak menghargai para mulia, yang tidak menghargai manusia
sejati, yang tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma, dia tidak
memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, dan memperhatikan hal-hal yang
tidak layak diperhatikan.
Ketika ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak
untuk diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan,
dan noda-noda ketidak-tahuan yang belum
muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria, noda-noda
penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan
yang telah muncul menjadi bertambah.
Ketika ia memperhatikan hal-hal yang layak untuk
diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul
tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria, noda-noda
penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan
yang telah muncul ditinggalkan.
“Seorang biasa yang tidak terpelajar memperhatikan
dengan tidak bijaksana : ‘Apakah aku ada di masa lampau? Apakah aku tidak ada
di masa lampau? Apakah aku di masa lampau? Bagaimanakah aku di masa lampau?
Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau? Apakah aku
akan ada di masa depan? Apakah aku akan tidak ada di masa depan? Akan menjadi
apakah aku di masa depan? Akan bagaimanakah aku di masa depan? Setelah menjadi
apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan?’ Atau kalau tidak seperti itu,
ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang : ‘Apakah aku ada? Apakah aku
tidak ada? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari manakah makhluk ini datang? Ke manakah
makhluk ini akan pergi?’
“Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana
tersebut, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya. Yaitu pandangan ‘ada
diri bagiku’ , atau pandangan ‘tidak ada diri bagiku’ , atau pandangan ‘aku
melihat diri dengan diri’ , atau pandangan ‘aku melihat bukan-diri dengan diri’
, atau pandangan ‘aku melihat diri dengan bukan-diri’ - muncul dalam dirinya
sebagai benar dan kokoh; atau kalau tidak seperti itu, ia memiliki beberapa
pandangan sebagai berikut : ‘adalah diriku ini yang berbicara dan merasakan dan
mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku ini
adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan
selamanya.’ Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan,
belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu
pandangan. Karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang
biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan
kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia
tidak terbebas dari penderitaan.
“Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terpelajar
dengan baik, yang menghargai para mulia dan terampil, yang menghargai manusia
sejati, yang terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, memahami hal-hal yang
layak diperhatikan dan memahami hal-hal yang tidak layak diperhatikan. Oleh
karena itu, ia tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia
memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.
Ketika ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak
diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan
noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan
noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda ketidak-tahuan
yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak
diperhatikan, yang tidak ia perhatikan.
Ketika ia memperhatikan hal-hal yang layak
diperhatikan, maka noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan
noda-noda ketidak-tahuan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya,
dan noda-noda keinginan indria, noda-noda penjelmaan, dan noda-noda
ketidak-tahuan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak
diperhatikan, yang ia perhatikan.
“Ia memperhatikan dengan bijaksana : ‘Ini adalah
penderitaan’; ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ‘Ini adalah lenyapnya
penderitaan’; ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ketika ia
memperhatikan dengan bijaksana seperti itu, tiga belenggu ditinggalkan dalam
dirinya : pandangan akan diri, keragu-raguan, dan keterikatan pada ritual dan
upacara. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, berdiam dengan indria mata terkendali, indria telinga terkendali,
indria hidung terkendali, indria lidah terkendali, indria badan terkendali,
indria pikiran terkendali, maka tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak
muncul. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang berdiam
dengan indria mata tidak terkendali, indria telinga tidak terkendali, indria
hidung tidak terkendali, indria lidah tidak terkendali, indria badan tidak
terkendali, indria pikiran tidak terkendali. Ini disebut noda-noda yang harus
ditinggalkan dengan mengendalikan.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan menggunakan?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, menggunakan jubah hanya untuk perlindungan dari dingin, dari panas,
dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang
melata, dan hanya bertujuan untuk menutupi bagian tubuh yang pribadi.
“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan dana
makanan bukan untuk kenikmatan, bukan untuk kemabukan, bukan demi kecantikan
dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan badan ini,
untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk mendukung kehidupan suci, dengan
pertimbangan : ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan sebelumnya tanpa
memunculkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat
hidup dengan nyaman.’
“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan tempat
tinggal hanya untuk perlindungan dari dingin, dari panas, dari kontak dengan
lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya
bertujuan untuk menangkis bahaya iklim dan untuk menikmati latihan.
“Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan
obat-obatan hanya untuk perlindungan dari penyakit yang telah muncul dan demi
kesehatan.
Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri
seorang yang tidak menggunakan benda-benda kebutuhan seperti tersebut.
Sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang
yang menggunakan benda-benda kebutuhan seperti tersebut. Ini disebut noda-noda
yang harus ditinggalkan dengan menggunakan.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan menahankan?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, menahan dingin dan panas, lapar dan haus, kontak dengan lalat,
nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan kata-kata
kasar dan tidak ramah, dan perasaan jasmani yang timbul yang menyakitkan,
menyiksa, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam
kehidupan. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang
tidak menahankan hal-hal tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan,
dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menahankan hal-hal tersebut. Ini
disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan menghindari?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, menghindari gajah liar, kuda liar, sapi liar, anjing liar, ular,
tunggul pohon, semak berduri, jurang, ngarai, lubang kakus, dan saluran
pembuangan. Merenungkan dengan bijaksana, ia menghindari duduk di tempat yang
tidak sesuai, menghindari bepergian ke tempat yang tidak sesuai, dan
menghindari bergaul dengan teman-teman yang tidak baik, karena jika ia
melakukan hal itu maka teman-teman bijaksana dalam kehidupan suci akan
mencurigainya berperilaku buruk. Noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam
diri seorang yang tidak menghindari hal-hal tersebut, sebaliknya tidak ada
noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang menghindari
hal-hal tersebut. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan
menghindari.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, tidak menolerir pikiran keinginan indria yang muncul; pikiran
bermusuhan yang muncul; pikiran kejam yang muncul; dan kondisi-kondisi jahat
yang tidak bermanfaat; ia meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya, dan
membasminya. Sementara noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri
seorang yang tidak melenyapkan pikiran-pikiran tersebut, sebaliknya tidak ada
noda-noda, gangguan, dan gejolak muncul dalam diri seorang yang melenyapkannya.
Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan.
“Noda-noda apakah, para bhikkhu,
yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan?
Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan
bijaksana, mengembangkan faktor pencerahan perhatian, mengembangkan faktor
pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi, mengembangkan faktor pencerahan
kegigihan, mengembangkan faktor pencerahan sukacita, mengembangkan faktor
pencerahan ketenangan, mengembangkan faktor pencerahan konsentrasi, dan
mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan,
kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Noda-noda, gangguan, dan
gejolak muncul dalam diri seorang yang tidak mengembangkan faktor-faktor
pencerahan tersebut, sebaliknya tidak ada noda-noda, gangguan, dan gejolak
muncul dalam diri seorang yang mengembangkannya. Ini disebut noda-noda yang
harus ditinggalkan dengan mengembangkan.
Kesimpulan
“Para bhikkhu, ketika noda-noda oleh seorang bhikkhu
telah ditinggalkan dengan melihat, dengan mengendalikan, dengan menggunakan,
dengan menahankan, dengan menghindari, dengan melenyapkan, dan telah
ditinggalkan dengan mengembangkan – maka ia disebut seorang bhikkhu yang
berdiam dengan terkendali oleh pengendalian segala noda. Ia telah memotong
ketagihan, melepaskan belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus
keangkuhan, ia telah mewujudkan akhir dari penderitaan.”
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā.
Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Demikianlah intisari tentang : “Segala Noda” dari
Majjhima Nikaya-2 : Sabbāsava Sutta. Semoga bermanfaat.
Berdana, motivasi dan hasilnya.
Perbuatan berdana yang disertai dengan pikiran untuk keuntungan dirinya sendiri, dengan pikiran melekat pada hasilnya, yaitu yang disertai dengan pikiran bahwa dia akan menikmatinya setelah mati. Dia memberikan pemberian makanan, minuman, pakaian, kendaraan, kalungan bunga, wangi-wangian dan urapan, tempat tidur, tempat berteduh, dan pelita — kepada biarawan atau petapa. Setelah meninggal dunia - dia muncul diantara para Empat Raja Dewa Besar. Kemudian setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah seorang yang akan kembali, kembali ke dunia ini.
Perbuatan
berdana yang tidak disertai dengan pikiran untuk keuntungan dirinya sendiri,
tidak dengan pikiran melekat pada hasilnya, yaitu yang tidak disertai dengan
pikiran bahwa dia akan menikmatinya setelah mati. Tetapi dia memberikan
pemberian dengan pikiran : ‘Memberikan itu baik.’ Dia memberikan pemberian
makanan, minuman, pakaian, kendaraan, kalungan bunga, wangi-wangian dan urapan,
tempat tidur, tempat berteduh, dan pelita — kepada biarawan atau petapa.
Setelah meninggal dunia - dia muncul diantara para Deva Tiga Puluh Tiga
(Tavatimsa Deva). Kemudian setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah
seorang yang akan kembali, kembali ke dunia ini.
Perbuatan
berdana yang tidak disertai dengan pikiran : ‘Memberi adalah baik.’ Dia
memberikan pemberian dengan pikiran : ‘Ini telah diberikan sebelumnya, telah
dilakukan sebelumnya, oleh ayah dan kakek-ku. Adalah hal yang salah jika saya
membiarkan tradisi lama keluarga ini terhenti’. Setelah meninggal dunia - dia
muncul diantara para Deva Yama (Yama deva). Kemudian setelah kekuatan karma
baiknya habis - dia adalah seorang yang akan kembali, kembali ke dunia ini.
Perbuatan
berdana yang tidak disertai dengan pikiran : ‘Ini telah diberikan sebelumnya,
telah dilakukan sebelumnya, oleh ayah dan kakek-ku. Adalah hal yang salah jika
saya membiarkan tradisi lama keluarga ini terhenti’. Dia memberikan pemberian
dengan pikiran : ‘Saya kaya raya. Mereka tidak kaya raya. Adalah hal yang
salah, yang kaya raya tidak memberikan pemberian kepada mereka yang tidak kaya
raya’. Setelah meninggal dunia - dia muncul diantara para Deva Yang Puas
(Tusita Deva). Kemudian setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah
seorang yang akan kembali, kembali ke dunia ini.
Perbuatan
berdana yang tidak disertai dengan pikiran : ‘Saya kaya raya. Mereka tidak kaya
raya. Adalah hal yang salah, yang kaya raya tidak memberikan pemberian kepada
mereka yang tidak kaya raya’. Dia memberikan pemberian dengan pikiran :
‘Seperti pengorbanan besar yang telah dilakukan oleh para bijaksana dimasa
lalu, Atthaka, Vamaka, Vamadeva, Vessamitta, Yamataggi, Angirasa, Bharadvaja,
Vasettha, Kassapa, dan Bhagu — demikian pula pemberianku ini’. Setelah
meninggal dunia - muncul diantara para Deva Yang Bersenang Dalam Mencipta
(Nimmanarati Deva). Kemudian setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah
seorang yang akan kembali, kembali ke dunia ini.
Perbuatan
berdana yang tidak disertai dengan pikiran : ‘Seperti pengorbanan besar yang
telah dilakukan oleh para bijaksana dimasa lalu — Atthaka, Vamaka, Vamadeva,
Vessamitta, Yamataggi, Angirasa, Bharadvaja, Vasettha, Kassapa, dan Bhagu —
demikian pula pemberianku ini’. Dia memberikan pemberian dengan pikiran :
‘Ketika pemberianku ini diberikan, membuat batin pikiran tenang. Rasa puas dan
kebahagiaan muncul’. Setelah meninggal dunia - dia muncul diantara para Deva
Yang Berkuasa atas Ciptaan Yang Lain (Paranimmita-vasavatti Deva). Kemudian
setelah kekuatan karma baiknya habis - dia adalah seorang yang akan kembali,
kembali ke dunia ini.
Perbuatan berdana, tidak untuk keuntungannya sendiri, tidak dengan
pikiran melekat pada hasilnya, tidak untuk mengumpulkan untuk dirinya, tidak
juga dengan pikiran : ‘Saya akan menikmatinya setelah mati,’ tidak juga dengan
pikiran : ‘Memberi adalah baik,’ tidak juga dengan pikiran : ‘Ini telah
diberikan sebelumnya, telah dilakukan sebelumnya, oleh ayah dan kakek-ku.
Adalah hal yang salah jika saya membiarkan tradisi lama keluarga ini terhenti’.
Tetapi Perbuatan berdana dengan pikiran : ‘Ini adalah untuk memperindah
pikiran, mendukung pikiran’. Setelah meninggal dunia - dia muncul diantara para
Brahma Pengiring (Brahma-parisajja deva). Kemudian setelah kekuatan karma
baiknya habis - dia adalah seorang yang tidak kembali lagi. Dia tidak kembali
ke dunia ini.
Bapak – ibu dan saudara – kesimpulan dari uraian yang cukup panjang tadi
tentang pemberian dana – yaitu bahwa pada pemberian dana yang sama ternyata
buah karma baiknya tidak sama – tergantung dari niat berdananya. Buah karma
terbaik bagi sang pendana adalah jika perbuatan berdananya dimaksudkan untuk
memperindah dan melengkapi pikirannya agar menjadi pikiran yang semakin baik –
yaitu pikiran tanpa pamrih. Dan tentu saja berdana atau menabur benih kebajikan
terbaik adalah jika benih tersebut di tabur di tanah yang subur dan dirawat dengan baik.
Demikianlah tulisan ini. Semoga bermanfaat.