Uraian mengenai Harta Karun Yang Tak Bisa Dicuri ini berumber dari tulisan Bhikkhu Dhammaratano, dan ada kalimat-kalimatnya yang sedikit dirubah agar menjadi lebih halus.
“Gabbhaṁ eke uppajjanti,
Nirayaṁ pāpakammino
Saggaṁ sugatino yanti,
Parinibbanti anāsavā’ti”
“Beberapa makhluk hidup dilahirkan melalui rahim,
pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam neraka,
pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam surga,
yang telah terbebas dari noda setelah kematiannya mencapai Nibbāna”
(Dhammapada IX : 126)
Alkisah di suatu desa, hiduplah sebuah keluarga yang makmur, sejahtera,
dan berkekayaan melimpah. Pemiliknya adalah seorang pedagang yang sangat sukses
dalam bisnis perdagangan. Seorang milyarder, pebisnis hebat, seorang yang
sangat beruntung di dunia ini. Dia
ditemani oleh keempat orang istri.
Seorang istri tua dan tiga istri yang muda belia. Ia hidup bagaikan raja ditemani
oleh para dayang-dayang, sangat bahagia, membuat orang lain yang melihatnya
iri.
Istri pertama adalah istri paling tua, namun sangat disayangkan pedagang
ini jarang sekali memberi perhatian, baik pakaian, perhiasan apalagi kasih
sayang kepada istri pertamanya ini. Wanita ini tampak kumuh dan kusam karena
kebutuhannya tidak pernah diperhatikan dan dipenuhi.
Sedangkan untuk istri-istrinya yang lain, ia berikan perhatian lebih
bahkan selalu memanjakan mereka.
Untuk istri keduanya, ia selalu memberikan pakaian dan perhiasan yang
mahal serta parfum dengan merk terkenal.
Istri ketiga, selalu dimanjakan dengan penuh perhatian, dijaga dengan
penuh kasih sayang. Tidak membiarkannya sakit atau menderita walaupun hanya
sesaat.
Dan istri yang keempat, selalu ditraktir dengan makanan yang enak dan
diajak jalan-jalan ke tempat-tempat yang menyenangkan.
Hari berganti hari, tahun demi tahun berlalu dengan cepat. Kini di usia
tuanya, sang pedagang sukses ini mengalami sakit keras dan telah mendekati
kematian. Pada menit-menit terakhirnya, sang pedagang memanggil keempat orang
istrinya meminta mereka berkumpul menemaninya.
Dengan penuh harap, sang pedagang bertanya kepada istrinya yang kedua ;
“sayangku, aku telah begitu memanjakanmu dengan segala perhiasan, dan lain
sebagainya agar engkau selalu nampak cantik, dan gemerlap, sekarang aku butuh
bantuanmu, apakah engkau mau menemaniku menghadap raja kematian, ikut bersamaku
mati." Istri kedua menjawab : “Maaf suamiku, aku tidak bisa ikut denganmu, aku masih muda dan aku bisa mencari suami
baru untuk menghidupiku.” Mendengar jawaban ini, sang pedagang menjadi
bersedih, merasa terpukul, istri yang selalu dimanjakannya itu ternyata tidak
peduli padanya.
Kemudian ia beralih bertanya kepada istri ketiga dengan pertanyaan yang
sama, dan mendapat jawaban yang sama pula.
Kini ia bertanya kepada istri keempat dan mendapat jawaban : “Maafkan aku
sayang, aku tidak bisa ikut mati bersamamu, tetapi aku hanya bisa menemani dan
mengantarkanmu sampai ke pemakaman, tidak lebih dari itu.”
Betapa sedih dan terpukulnya sang pedagang mendengar jawaban dari
istri-istri yang sangat disayangnya itu, tetapi ternyata sekarang mereka tidak
peduli dan tidak setia kepadanya.
Dalam kesedihannya itu, tiba-tiba tanpa ditanya, istri pertama yang selalu
ia sia-siakan dan tidak pernah ia perhatikan itu berkata : “Suamiku, sekalipun
engkau tidak pernah peduli kepadaku, aku akan tetap setia menemanimu, sekalipun
untuk pergi menghadap kematian - aku akan ikut bersamamu menjadi pendamping
setiamu - tak ada yang dapat memisahkan kita.”
Mendengar perkataan ini, sang pedagang merasa malu, ia menyesal tidak
pernah mau peduli dan kurang perhatian terhadap istrinya yang pertama itu.
Penyesalan memang selalu datang
terlambat.
Keempat orang istri merupakan simbolisasi
yang nyata dalam kehidupan ini.
Istri kedua adalah simbol dari tubuh yang selalu kita beri perhiasan,
memandikannya, memberi pakaian bagus, dan memberi minyak agar wangi. Tetapi
ketika kematian datang, tubuh ini tidak berguna, tidak bisa menemani kita,
justru terbujur kaku di tanah pekuburan, membusuk, dan habis di makan belatung.
Istri ketiga merupakan simbol harta kekayaan duniawi yang kita miliki,
sebanyak apapun yang kita miliki semuanya akan ditinggalkan tidak akan mungkin
ikut ke liang lahat. Harta kekayaan itu akan diambil alih oleh orang lain,
dihabiskan oleh ahli waris, menjadi milik orang lain. Seumur hidup kita mencari
dan mengumpulkannya, pada akhirnya hanya akan dinikmati oleh orang lain.
Istri keempat adalah simbol sanak keluarga, karib kerabat dan
teman-teman. Mereka setia menemani kita ketika kita masih hidup. Tetapi ketika
kita sudah menjadi mayat, paling banter mereka hanya bisa mengantar sampai ke
tanah pekuburan kemudian pergi, tidak lebih dari itu.
Istri pertama adalah simbol jasa kebajikan - amal kebaikannya sangat
jarang kita perhatikan - tidak kita pedulikan, dan cenderung kita abaikan.
Padahal ia teman yang paling bisa diandalkan di kala kematian di ambang pintu -
sahabat yang sangat setia - kemanapun kita pergi, ia akan selalu ikut bersama
kita.
Dalam pandangan Buddhis, kematian adalah hal yang sangat wajar dalam
kehidupan suatu makhluk. Karena hal ini sebagai akibat kita dilahirkan.
Kematian dan kelahiran merupakan suatu siklus yang terus-menerus berputar
selama kita masih melekat pada dunia ini. Dan juga kematian bukanlah akhir
segalanya. Seperti halnya seseorang yang berada di luar ruangan dan ia ingin
masuk ke dalamnya tentu harus melewati sebuah pintu, dan setelah melewati pintu
ia kini berada di dalam ruangan. Demikian pula kematian adalah pintu menuju kehidupan berikutnya. Jadi
janganlah meratap menangisi jenazah orang yang kita sayangi secara berlebihan,
selain tidak bermanfaat juga tidak melatih kita untuk menjadi tegar dan
menghambat upaya kita dalam melepas kemelekatan yang menimbulkan penderitaan.
Inilah dunia, ketika ada seorang bayi dilahirkan, kita begitu gembira dan
merayakannya. Padahal kita tahu bahwa bayi itu dilahirkan kelak hanya untuk
mengalami kematian, ia akan menjadi korban raja kematian berikutnya. Kita
begitu bersedih apabila orang yang sangat kita sayangi meninggal dunia.
Harusnya kita merelakannya karena ia telah bebas dari sengsara dunia. Kematian
hanyalah sementara, karena kesadarannya akan terus berlanjut dalam kehidupan
berikutnya. Ia hanya membawa kesadaran baik atau kesadaran buruk, membawa bekal
kebajikan atau membawa segudang keburukan. Inilah yang akan menentukan ke alam
mana seseorang akan bertumimbal-lahir.
Sang Bhagava bersabda; “sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah
yang akan dipetiknya, ia yang berbuat baik akan menerima kebaikan dan
kebahagiaan, serta ia yang berbuat jahat akan menerima penderitaan dan
kesengsaraan”. (Saṁyutta Nikāya I : 293).
Perbuatan yang dilakukan ketika masih hidup akan menentukan kemana
seseorang akan pergi dilahirkan setelah kematian. Dan juga kekuatan pikiran
terakhir yang mendominasi pada saat menjelang kematian, mungkin saja pikiran
keserakahan atau kemelekatan, pikiran kebencian ketidak-senangan atau pikiran
ketidak-tahuan dan kebodohan batin, yang akan menentukan kelahiran berikutnya.
Sesuai syair Dhammapada 126 diatas, terdapat beberapa jenis kelahiran dan
perbuatan apakah yang mengarahkan mereka untuk terlahir seperti apa.
1. “Gabbhaṁ eke uppajjanti” = Beberapa makhluk dilahirkan melalui rahim /
kandungan.
2. ”Nirayaṁ pāpakammino” = Pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam
Neraka.
3. “Saggaṁ sugatino yanti” = Pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam
surga.
4. “Parinibbanti anāsavā” = Yang telah terbebas dari semua noda setelah
kematiannya mencapai Nibbāna.
Apabila kita ingin melihat masa lampau, maka lihat dan perhatikan apa
yang terjadi pada diri kita saat ini. Dan apabila ingin melihat dan mengetahui
masa yang akan datang, berkacalah pada perbuatan yang kita lakukan pada saat
sekarang. Apapun yang kita perbuat baik ataupun buruk kita sendiri yang akan
merasakannya. Baik yang kita perbuat baik pula akibatnya, demikian pula buruk
yang kita perbuat buruk pula akibatnya. Kita semua sedang mengarungi lautan
kehidupan Samsara dalam kehidupan ini. Kita butuh bekal cukup untuk mengatasi
segala rintangan di dalam perjalanan panjang kita sebelum sampai di tempat
tujuan akhir.
Apakah bekal itu? Yaitu : jasa perbuatan baik. Hanya inilah yang akan
selalu menjadi sahabat kita yang paling setia menemani kemanapun kita pergi.
Dialah harta sejati yang tak akan mungkin bisa dicuri, dirampok, kena banjir
atau kebakaran. Ia akan menjadi harta simpanan yang kekal yang sangat membantu
hingga sampai pada tujuan akhir kita, yaitu Nibbāna / Nirwana.
Demikianlah tulisan ini - Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar