Terlebih dahulu, katakanlah bahwa yang paling berkuasa tiada bandingannya, atau Yang Maha Kuasa itu ada, dan merupakan pribadi atau entitas. Karena maha kuasa, tiada bandingannya, maka dapatlah dipahami sebagai meliputi semua. Semuanya yang ada, yang eksis, apapun itu, tidak bisa lepas dari kekuasaan atau aturan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu demi keselamatan, maka manusia harus mengindahkan dengan baik & benar berlakunya aturan Yang Maha Kuasa tersebut. Dapatlah dipahami, salah menyikapi aturan tersebut akan mengakibatkan penderitaan & sengsara. Oleh karena itu dalam hal ini, secara logika maka manusia cukuplah mentaati aturan yang berlaku dari Yang Maha Kuasa.
Yang dipahami oleh banyak orang adalah, bahwa Yang Maha Kuasa itu segalanya, yang dapat diartikan sebagai maha
sempurna, maha adil, maha kasih, maha bijaksana dan lain sebagainya. Jika maha
kasih, maka orang yang menganggap bahwa Yang Maha Kuasa itu sebagai pribadi yang pencemburu, bisa menghukum atau
melaknat, maka ini sudah paradok (tidak bisa diterima oleh logika atau oleh
akal yang sehat). Jika maha sempurna, maka Yang Maha Kuasa tidak memerlukan apa-apa lagi, karena semua sudah beliau
miliki. Sehingga dengan demikian maka, menyembah & bermohon atau berdoa
kepada Yang Maha Kuasa itu tidak akan menghasilkan apa-apa, tidak bisa merubah
perlakuan Yang Maha Kuasa kepada si pendoa, karena Yang Maha Kuasa maha adil. Doa hanya bisa dikabulkan jika ada dasar yang
tepat, atau ada syarat-syarat yang memenuhi azas keadilan.
Sebenarnya Yang Maha Kuasa itu bukanlah sosok, pribadi, oknum atau entitas,
melainkan ‘sesuatu’ yang tidak bisa dinalar & dipahami oleh manusia biasa. Merupakan
kondisi yang tak berkondisi. Hukum universal alam semesta itu ada, kalau
disebut sebagai hukum atau aturan (dari) Yang Maha Kuasa juga boleh. Hukum universal alam semesta itu mutlak
& tidak bisa ditawar-tawar. Bersandar & berserah diri kepada Yang Maha Kuasa tidak akan menghasilkan apa-apa. Sehingga dengan
demikian bolehlah jika yang dianggap penting itu adalah aturan Yang Maha Kuasa, bukan Yang Maha Kuasa nya. Sebagai analogi, yang dianggap penting & perlu
diindahkan dengan baik itu adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana / Perdata,
bukan si pembuat kitab undang-undang tersebut, yang sulit dilacak siapa-siapa
saja orangnya. Dengan kondisi yang demikian, bahwa hukum universal alam semesta
itu mutlak & tidak bisa ditawar-tawar, maka tidak ada pilihan lain bagi
manusia kecuali berjuang, bersyukur & berbahagia dengan semua yang ada. Hukum
universal alam semesta yang terkait dengan keamanan manusia, utamanya adalah
hukum sebab-akibat, hukum tabur-tuai atau hukum karma. Hanya sesederhana itu,
namun sangat sulit mengindahkannya. Perlu belajar, pendalaman & praktek
yang serius. Akan tetapi manusia suka berpikir terlalu jauh. Tidak puas dengan
yang sederhana. Yang akhirnya bisa menjerumuskan kepada hal-hal yang tidak
rasional, tidak berguna, sia-sia belaka, delusi, bahkan akhir-akhir ini justru
dapat menyulut kerusuhan. Mengindahkan secara baik & benar terhadap
berlakunya hukum karma adalah, memperbanyak perbuatan baik, mengurangi
perbuatan jahat, dan tidak dungu (tahu mana yang benar / baik & mana yang
salah / buruk), atau biasa juga dikatakan sebagai tidak membenci, tidak serakah
dan berupaya mensucikan hati & pikiran.
Untuk lebih mudahnya, kiranya Hukum Universal Alam
Semesta itu kita fahami saja sebagai Yang Maha Kuasa itu sendiri, yang tadi
disebut sebagai aturan Yang Maha Kuasa.
Hukum Universal Alam Semesta itu kata sifat, oleh
karenanya kekal, dan jika Yang Maha Kuasa itu dipahami sebagai pribadi atau entitas maka itu adalah
kata benda, tidak kekal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar