Translate

Minggu, 17 Maret 2019

Kesuksesan dunia menunjang kesuksesan sejati


Hasil gambar untuk suksesSelama ini orang menganggap bahwa kalau sudah mapan dalam hal materi, atau sudah mencapai kebebasan finansial, itu adalah sukses. Benar demikian, tetapi kalau ditinjau secara mendalam, artinya ditinjau secara kebenaran yang sejati, maka sukses dalam hal materi, atau bebas secara finansial, itu hanyalah sebagian dari sukses yang sejati. Mengapa? Karena kebebasan finansial itu adalah sukses dunia. Sukses sejati adalah sukses dunia dan sukses berikutnya setelah meninggalkan dunia.
Setelah mati, manusia akan meneruskan perjalanan hidupnya di alam berikutnya. Bisa terlahir kembali dan hidup di dunia kembali, atau terlahir dan hidup di Surga, di Neraka atau di alam-alam yang lain, sesuai dengan perbuatan-perbuatan atau raport yang dicapai pada kehidupan sebelumnya. Yang dikatakan “sukses sejati sementara” adalah jika setelah mati manusia bisa melanjutkan hidupnya di alam yang lebih tinggi, yang lebih mulia, lebih bahagia, contohnya adalah dapat melanjutkan hidupnya di Surga (di alam Dewa), di alam brahma atau alam  mahabrahma. Sedangkan sukses sejati itu, atau sukses yang hakiki, adalah jika manusia setelah mati tidak akan terlahir kembali. Sudah padam. Sudah mencapai seberang. Sudah terbebas dari belenggu penderitaan Samsara (belenggu penderitaan dalam kehidupan yang berulang-ulang). Sudah mencapai Nibbana, adalah mencapai kebahagiaan hakiki kekal selamanya. Makhluk yang hidup di alam Suddhavasa (para Anagami) setelah mati adalah mencapai Nibbana. Anagami adalah makhluk yang sudah suci.
Mengapa sukses dalam hal materi bisa dikatakan menunjang kesuksesan sejati? Karena seseorang yang sukses dalam hal materi (orang kaya) itu bisa berbuat banyak. Lebih banyak yang bisa dilakukan dibandingkan dengan seseorang yang mengalami kesulitan materi (orang miskin). Orang kaya lebih ringan dalam hal berbuat baik, kalau sadar. Soalnya ada yang tidak sadar. Setelah kaya justru pelit. Itu mungkin karena untuk meraih kekayaannya itu dia sangat bersusah payah. Melalui perjuangan yang sulit. Sehingga setelah mencapai kebebasan finansial pun dia masih merasa kurang. Orang kaya itu lebih mudah berbuat yang baik-baik. Contohnya adalah membantu dalam hal materi kepada orang-orang yang sangat membutuhkan, artinya bisa menabur atau menanam benih-benih kebajikan di tanah yang subur. Perbuatan baik akan menciptakan atau menghasilkan kebahagiaan di kemudian hari, di kehidupan berikutnya, atau kebahagiaan disaat itu juga, jika pemberiannya tulus ikhlas, maka akan langsung merasa bahagia atau merasa senang yang memang menyenangkan. Memberi itu sebaiknya diskriminatif. Pilihlah ladang yang paling subur terlebih dahulu, agar bisa menghasilkan buah yang paling banyak. Ladang subur itu contohnya adalah bantuan kepada yayasan, organisasi atau entitas yang digunakan sebagai sarana bagi orang-orang yang berniat atau berusaha untuk mencapai kebahagiaan hakiki, kepada orang-orang yang sangat membutuhkan (orang-orang sangat miskin), atau organisasi atau lembaga yang tujuan pendiriannya adalah untuk mengentaskan orang-orang miskin.
Sering berdana itu akan menghasilkan kehidupan berikutnya yang lebih baik, misalnya menjadi orang kaya. Sering berdana itu bisa dilakukan oleh orang kaya, orang setengah kaya, ataupun orang miskin, tentunya sesuai kemampuan & kerelaan masing-masing. Makin rela makin menghasilkan buah yang baik. Berdana juga bukan hanya dengan materi, bisa dengan tenaga, dengan pikiran dan lain-lain.
Walaupun sering berdana belum bisa membuat seseorang mencapai Nibbana. Akan tetapi bisa membuat orang di hidup berikutnya lebih menyenangkan, lebih berbahagia. Untuk mencapai Nibbana seseorang harus mengembangkan kerelaan, kemoralan & kosentrasi (meditasi) secara tekun dan terus-menerus. Atau sering juga dikatakan mengembangkan dana, sila dan bhavana (meditasi). Mempraktekkan dengan baik dan benar Jalan Mulia Berunsur Delapan (Sila, Samadhi dan Panna). Meditasi adalah jalan pintas mencapai Nibbana.

Senin, 11 Maret 2019

Jangan Langsung Percaya (b).


Yang tertulis seperti ini :

• Jangan percaya dengan sebuah berita hanya karena engkau mendengarnya.
• Jangan percaya dengan sebuah tradisi hanya karena tradisi itu telah dilakukan selama beberapa generasi.
• Jangan percaya kepada sesuatu hanya karena sesuatu itu ramai dibicarakan orang.
• Jangan percaya kepada sesuatu hanya karena sesuatu itu telah dituliskan ke dalam buku-buku suci.
• Jangan percaya kepada sesuatu hanya karena sesuatu itu diajarkan oleh para guru dan orang-orang tua.
Jika dengan kesadaran, perenungan, akal sehat dan pengalaman sendiri, bahwa sesuatu hal itu memang patut diterima atau dipercayai, mengandung kebenaran, menuju kebahagiaan, maka sudah selayaknya untuk menerima dan hidup berdasarkan hal-hal tersebut. (Kalama Sutta; Angutara Nikaya 3.65)

Sepertinya yang tertulis diatas tidak boleh percaya kepada semuanya, padahal tidak. Kalau kita mau merenung sedikit saja, tidak ada yang salah pada tulisan diatas. Kita cuma disuruh berpikir lagi, berpikir seribu kali, atas kebenaran berita-berita yang kita terima melalui panca indera kita. Maksimalkanlah nalar, pikiran dan hati nurani kita berdasarkan pengalaman sendiri, mengandung kebenaran atau tidak, menuju kebahagiaan atau tidak, dan lain sebagainya. Jangan takut kepada siapapun, agar nalar dan hati nurani kita bisa bekerja dengan baik, bersih dan sehat.

Tulisan diatas dapat diartikan, silahkan mempercayai apapun yang dikatakan oleh siapapun (apapun), asalkan sudah dipikirkan masak-masak, dan disesuaikan dengan pengalaman. Jangan ditelan mentah-mentah, sehingga kita bisa tahu (bisa memilah-milah), mana yang sesungguhnya benar (baik), dan mana yang sesungguhnya salah (tidak baik), sebagai hasil dari penyaringan nalar dan perenungan kita yang disesuaikan dengan pengalaman, mengandung kebenaran atau tidak, menuju kebahagiaan atau tidak. Pada gilirannya nanti kita akan bisa menjadi manusia yang bijak, bajik dan arif, tidak serakah, tidak membeci (kasih, welas asih). Tidak salah bertindak, baik itu ucapan maupun perbuatan, yang dapat mengganggu kelestarian harmoni kehidupan disekitar kita.

Tuhan (c)


Kalau begitu ceritanya, berarti Tuhan itu dulu berpikir begini barangkali ya, ah... saya mau menciptakan alam semesta ah...
Ah... saya mau menciptakan manusia ah... supaya saya bisa apa-apa kan mereka. Saya beri mereka hawa nafsu, supaya kalau mereka mudah tergoda oleh iblis yang saya ciptakan juga, mereka akan masuk Neraka...
Saya ciptakan juga malaikat-malaikat yang tidak punya nafsu, yang masing-masing punya tugas antara lain mencatat perbuatan baik / buruk manusia, mencabut nyawa manusia, dan lain-lain dan lain-lain. Asyiik... Kalau sudah begitu kan nanti semuanya bisa terjadi... ada perkelahian, ada perselingkuhan, ada perang, ada bom meledak juga di dunia yang saya ciptakan, hehe... Meski tentu saja ada juga orang-orang baik, orang-orang suci, dan lain-lain yang bisa mengendalikan nafsunya... yang telah sadar... tapi kan yang seperti itu tidak banyak...
Intinya siapa-siapa yang mampu berbuat baik, ingat & rajin menyembah saya, akan saya naikkan ke Sorga, termasuk para pencoleng, pembunuh, pemerkosa, dan lain-lain, asal mau bertobat secara sungguh-sungguh, masuk Surga juga dia. Terus para kurban dari penjahat-penjahat tersebut diatas, itu artinya mereka sedang mendapat cobaan dari saya, hehe...
Manusia itu tahunya bahwa makhluk hidup itu hanya ada di bumi, yang cuma setitik debu itu jika dibandingkan dengan sekian trilyun planet-planet yang saya ciptakan di banyak tatasurya & galaksi... Tapi biarkan saja... memang sangkaan mereka begitu, hehehe...

Sorry.. saya ini, yang menulis ini, adalah orang bodoh tapi suka bergurau... Jika pemikiran mereka seperti diatas, kalau penjelasannya begitu begitu saja, saya pasti tidak akan mengerti & tetap menjadi orang bodoh... hehehe...

Senin, 04 Maret 2019

Seperti apa kelanjutannya setelah kita mati?

Hasil gambar untuk kehidupan setelah matiMengapa kita tidak memikirkan lebih jauh, atau menanyakan lebih lanjut, seperti apa atau bagaimana nasib kita nanti setelah mati?
Bagaimana keadaan yang sesungguhnya yang akan kita terima, atau akan kita rasakan nanti setelah kita mati?
Kebanyakan dari kita adalah orang yang biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol dari perilaku kita selama ini. Kebanyakan kita tidak berperangai sangat buruk, atau berperangai sangat jahat, ataupun berperangai sangat baik, atau berperangai mendekati orang suci, layaknya orang suci.
Kalau perangainya selama hidup sangat buruk, atau sangat jahat, maka sudah pantas kalau masuk Neraka. Demikian pula orang yang selama hidupnya berperangai sangat baik, maka layak pulalah dia kalau masuk Surga. Namum bagaimana jika seseorang selama hidupnya berperangai biasa-biasa saja? Masuk Surga atau masuk Neraka dia? Atau masuk Neraka dan kemudian setelah itu masuk Surga? Berapa lama? Atau akan masuk ke alam lain, yang bukan Surga ataupun bukan Neraka? Melainkan alam yang bukan alam penderitaan, dan bukan pula alam kebahagiaan? Alam seperti apakah itu?
Pertanyaan berikutnya, masuk Neraka atau masuk Surga itu selamanya atau tidak? Kalau tidak selamanya lalu kelanjutannya bagaimana? Kalau selamanya kasian yang masuk Neraka selamanya akibat berbuat jahat selama hidup yang hanya sekitar 80 tahun? Dimanakah keadilan berada?
Mengapa pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak terjadi atau tidak keluar dari pikiran? Mengapa? Memang, yang paling penting bagi kita adalah berusaha banyak berbuat baik, dan berusaha tidak berbuat jahat. Agama adalah penunjuk jalan, semua agama mengajarkan itu. Antara lain mengajarkan untuk berbuat baik, tidak berbuat jahat.
Atas pertanyaan-pertanyaan diatas, maka jawaban yang benar adalah sebagai berikut :
1.      Setelah mati kita akan melanjutkan hidup kita di alam lain, yang sesuai dengan perbuatan kita semasa hidup. Ada alam Neraka, ada alam Surga dan ada alam-alam lainnya. Alam Neraka itu bermacam-macam, atau bertingkat-tingkat, demikian pula dengan alam Surga, juga bertingkat-tingkat. Secara garis besar ada 31 alam kehidupan.
2.      Di alam-alam tersebut kita akan mati juga, dan melanjutkan kehidupan berikutnya di alam yang sama, atau di alam yang lain, yaitu alam yang sesuai dengan perilaku kita di hidup sebelumnya.
3.      Demikian seterusnya sampai kita atau yang bersangkutan menjadi orang suci, yang sudah tidak memproduksi dosa baru, sehingga sudah tidak ada lagi alasan baginya untuk hidup kembali di alam manapun. Tidak ada lagi yang harus dipertanggungjawabkan. Jika demikian maka artinya sudah padam, sudah mencapai seberang, mencapai tingkat Arahat, merealisasi Nibbana, merealisasi kebahagiaan hakiki non inderawi kekal abadi selamanya. Bahagia hakiki seperti apa, tidak bisa diceritakan, harus dialami sendiri. Rasa buah durian saja tidak bisa diceritakan dengan tepat, harus dirasakan sendiri.
4.      Untuk merealisasi Nibbana, tidaklah cukup hanya berbuat baik saja, tetapi harus menjadi orang suci, harus berlatih meditasi Samatha dilanjutkan dengan meditasi Vippasana secara tekun, terus menerus sampai berhasil mencapai penerangan sempurna (Enlightened), berhasil mencapai Arahat atau berhasil merealisasi Nibbana. Meditasi tersebut adalah merupakan jalan pintas, yang dapat dilakukan bukan hanya di dunia ini saja, tetapi juga di alam lain yang bisa memfasilitasi.