Translate

Senin, 14 November 2022

Kebahagiaan Sejati Kekal

 


Harta Karun Yang Tak Bisa Dicuri

Uraian mengenai Harta Karun Yang Tak Bisa Dicuri ini berumber dari tulisan Bhikkhu Dhammaratano, dan ada kalimat-kalimatnya yang sedikit dirubah agar menjadi lebih halus.

“Gabbhaṁ eke uppajjanti,

Nirayaṁ pāpakammino

Saggaṁ sugatino yanti,

Parinibbanti anāsavā’ti”

 

“Beberapa makhluk hidup dilahirkan melalui rahim,

pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam neraka,

pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam surga,

yang telah terbebas dari noda setelah kematiannya mencapai Nibbāna”

(Dhammapada IX : 126)

 

Alkisah di suatu desa, hiduplah sebuah keluarga yang makmur, sejahtera, dan berkekayaan melimpah. Pemiliknya adalah seorang pedagang yang sangat sukses dalam bisnis perdagangan. Seorang milyarder, pebisnis hebat, seorang yang sangat beruntung di dunia  ini. Dia ditemani  oleh keempat orang istri. Seorang istri tua dan tiga istri yang muda belia. Ia hidup bagaikan raja ditemani oleh para dayang-dayang, sangat bahagia, membuat orang lain yang melihatnya iri.

Istri pertama adalah istri paling tua, namun sangat disayangkan pedagang ini jarang sekali memberi perhatian, baik pakaian, perhiasan apalagi kasih sayang kepada istri pertamanya ini. Wanita ini tampak kumuh dan kusam karena kebutuhannya tidak pernah diperhatikan dan dipenuhi.

Sedangkan untuk istri-istrinya yang lain, ia berikan perhatian lebih bahkan selalu memanjakan mereka.

Untuk istri keduanya, ia selalu memberikan pakaian dan perhiasan yang mahal serta parfum dengan merk terkenal.

Istri ketiga, selalu dimanjakan dengan penuh perhatian, dijaga dengan penuh kasih sayang. Tidak membiarkannya sakit atau menderita walaupun hanya sesaat.

Dan istri yang keempat, selalu ditraktir dengan makanan yang enak dan diajak jalan-jalan ke tempat-tempat yang menyenangkan.

Hari berganti hari, tahun demi tahun berlalu dengan cepat. Kini di usia tuanya, sang pedagang sukses ini mengalami sakit keras dan telah mendekati kematian. Pada menit-menit terakhirnya, sang pedagang memanggil keempat orang istrinya meminta mereka berkumpul menemaninya.

Dengan penuh harap, sang pedagang bertanya kepada istrinya yang kedua ;

“sayangku, aku telah begitu memanjakanmu dengan segala perhiasan, dan lain sebagainya agar engkau selalu nampak cantik, dan gemerlap, sekarang aku butuh bantuanmu, apakah engkau mau menemaniku menghadap raja kematian, ikut bersamaku mati." Istri kedua menjawab : “Maaf suamiku, aku tidak bisa ikut denganmu,  aku masih muda dan aku bisa mencari suami baru untuk menghidupiku.” Mendengar jawaban ini, sang pedagang menjadi bersedih, merasa terpukul, istri yang selalu dimanjakannya itu ternyata tidak peduli padanya.

Kemudian ia beralih bertanya kepada istri ketiga dengan pertanyaan yang sama, dan mendapat jawaban yang sama pula.

Kini ia bertanya kepada istri keempat dan mendapat jawaban : “Maafkan aku sayang, aku tidak bisa ikut mati bersamamu, tetapi aku hanya bisa menemani dan mengantarkanmu sampai ke pemakaman, tidak lebih dari itu.”

Betapa sedih dan terpukulnya sang pedagang mendengar jawaban dari istri-istri yang sangat disayangnya itu, tetapi ternyata sekarang mereka tidak peduli dan tidak setia kepadanya.

Dalam kesedihannya itu, tiba-tiba tanpa ditanya, istri pertama yang selalu ia sia-siakan dan tidak pernah ia perhatikan itu berkata : “Suamiku, sekalipun engkau tidak pernah peduli kepadaku, aku akan tetap setia menemanimu, sekalipun untuk pergi menghadap kematian - aku akan ikut bersamamu menjadi pendamping setiamu - tak ada yang dapat memisahkan kita.”

Mendengar perkataan ini, sang pedagang merasa malu, ia menyesal tidak pernah mau peduli dan kurang perhatian terhadap istrinya yang pertama itu. Penyesalan memang selalu datang  terlambat.

Keempat orang istri merupakan simbolisasi  yang nyata dalam kehidupan ini.

Istri kedua adalah simbol dari tubuh yang selalu kita beri perhiasan, memandikannya, memberi pakaian bagus, dan memberi minyak agar wangi. Tetapi ketika kematian datang, tubuh ini tidak berguna, tidak bisa menemani kita, justru terbujur kaku di tanah pekuburan, membusuk, dan habis di makan belatung.

Istri ketiga merupakan simbol harta kekayaan duniawi yang kita miliki, sebanyak apapun yang kita miliki semuanya akan ditinggalkan tidak akan mungkin ikut ke liang lahat. Harta kekayaan itu akan diambil alih oleh orang lain, dihabiskan oleh ahli waris, menjadi milik orang lain. Seumur hidup kita mencari dan mengumpulkannya, pada akhirnya hanya akan dinikmati oleh orang lain.

Istri keempat adalah simbol sanak keluarga, karib kerabat dan teman-teman. Mereka setia menemani kita ketika kita masih hidup. Tetapi ketika kita sudah menjadi mayat, paling banter mereka hanya bisa mengantar sampai ke tanah pekuburan kemudian pergi, tidak lebih dari itu.

Istri pertama adalah simbol jasa kebajikan - amal kebaikannya sangat jarang kita perhatikan - tidak kita pedulikan, dan cenderung kita abaikan. Padahal ia teman yang paling bisa diandalkan di kala kematian di ambang pintu - sahabat yang sangat setia - kemanapun kita pergi, ia akan selalu ikut bersama kita.

Dalam pandangan Buddhis, kematian adalah hal yang sangat wajar dalam kehidupan suatu makhluk. Karena hal ini sebagai akibat kita dilahirkan. Kematian dan kelahiran merupakan suatu siklus yang terus-menerus berputar selama kita masih melekat pada dunia ini. Dan juga kematian bukanlah akhir segalanya. Seperti halnya seseorang yang berada di luar ruangan dan ia ingin masuk ke dalamnya tentu harus melewati sebuah pintu, dan setelah melewati pintu ia kini berada di dalam ruangan. Demikian pula kematian adalah  pintu menuju kehidupan berikutnya. Jadi janganlah meratap menangisi jenazah orang yang kita sayangi secara berlebihan, selain tidak bermanfaat juga tidak melatih kita untuk menjadi tegar dan menghambat upaya kita dalam melepas kemelekatan yang menimbulkan penderitaan.

Inilah dunia, ketika ada seorang bayi dilahirkan, kita begitu gembira dan merayakannya. Padahal kita tahu bahwa bayi itu dilahirkan kelak hanya untuk mengalami kematian, ia akan menjadi korban raja kematian berikutnya. Kita begitu bersedih apabila orang yang sangat kita sayangi meninggal dunia. Harusnya kita merelakannya karena ia telah bebas dari sengsara dunia. Kematian hanyalah sementara, karena kesadarannya akan terus berlanjut dalam kehidupan berikutnya. Ia hanya membawa kesadaran baik atau kesadaran buruk, membawa bekal kebajikan atau membawa segudang keburukan. Inilah yang akan menentukan ke alam mana seseorang akan bertumimbal-lahir.

Sang Bhagava bersabda; “sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya, ia yang berbuat baik akan menerima kebaikan dan kebahagiaan, serta ia yang berbuat jahat akan menerima penderitaan dan kesengsaraan”. (Saṁyutta Nikāya I : 293).

Perbuatan yang dilakukan ketika masih hidup akan menentukan kemana seseorang akan pergi dilahirkan setelah kematian. Dan juga kekuatan pikiran terakhir yang mendominasi pada saat menjelang kematian, mungkin saja pikiran keserakahan atau kemelekatan, pikiran kebencian ketidak-senangan atau pikiran ketidak-tahuan dan kebodohan batin, yang akan menentukan kelahiran berikutnya.

Sesuai syair Dhammapada 126 diatas, terdapat beberapa jenis kelahiran dan perbuatan apakah yang mengarahkan mereka untuk terlahir seperti apa.

 

1. “Gabbhaṁ eke uppajjanti” = Beberapa makhluk dilahirkan melalui rahim / kandungan.

2. ”Nirayaṁ pāpakammino” = Pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam Neraka.

3. “Saggaṁ sugatino yanti” = Pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam surga.

4. “Parinibbanti anāsavā” = Yang telah terbebas dari semua noda setelah kematiannya mencapai Nibbāna.

 

Apabila kita ingin melihat masa lampau, maka lihat dan perhatikan apa yang terjadi pada diri kita saat ini. Dan apabila ingin melihat dan mengetahui masa yang akan datang, berkacalah pada perbuatan yang kita lakukan pada saat sekarang. Apapun yang kita perbuat baik ataupun buruk kita sendiri yang akan merasakannya. Baik yang kita perbuat baik pula akibatnya, demikian pula buruk yang kita perbuat buruk pula akibatnya. Kita semua sedang mengarungi lautan kehidupan Samsara dalam kehidupan ini. Kita butuh bekal cukup untuk mengatasi segala rintangan di dalam perjalanan panjang kita sebelum sampai di tempat tujuan akhir.

Apakah bekal itu? Yaitu : jasa perbuatan baik. Hanya inilah yang akan selalu menjadi sahabat kita yang paling setia menemani kemanapun kita pergi. Dialah harta sejati yang tak akan mungkin bisa dicuri, dirampok, kena banjir atau kebakaran. Ia akan menjadi harta simpanan yang kekal yang sangat membantu hingga sampai pada tujuan akhir kita, yaitu Nibbāna / Nirwana.

 

Demikianlah tulisan ini - Semoga bermanfaat.

Kebahagiaan Sejati Kekal

Untuk bisa selamat (bahagia) di dunia dan selamat (bahagia) setelah meninggal dunia (hidup di alam berikutnya) – seseorang hendaknya menyikapi dengan baik dan benar berlakunya hukum alam, terutama Hukum Karma. Banyak memberi (tenaga atau materi dan juga pikiran / pandangan benar), berupaya keras tidak  melanggar sila, terutama : tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berbohong dan tidak mabuk-mabukan. Untuk merealisasi pencapaian yang lebih tinggi dan tertinggi adalah sering berlatih meditasi yang tepat secara bijaksana untuk mengikis terus-menerus kotoran batin hingga menjadi orang suci - merealisasi kebahagiaan sejati kekal, tidak terlahir kembali di alam kehidupan manapun.


Sabtu, 29 Oktober 2022

Pewaris Dalam Dhamma

Tulisan ini menyampaikan perihal Pewaris dalam Dhamma dalam Majjhima Nikaya 3 : Dhammadāyāda Sutta – yang sulit dipahami karena memerlukan pemikiran dan perenungan yang berulang. Tulisan ini menyingkat Dhammadāyāda Sutta agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti meskipun masih memerlukan perhatian penuh yang berulang.

Dhammadāyāda Sutta – menceritakan - pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta - Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu dan berkata kepada mereka yang jika disingkat adalah sebagai berikut :

 

Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir : Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi? Jika kalian menjadi pewarisKu dalam benda-benda materi, maka kalian dan Aku akan dicela sebagai berikut : Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru, bukan sebagai pewaris dalam Dhamma.

 

Jika kalian menjadi pewarisKu dalam Dhamma, maka kalian dan Aku tidak akan dicela [sebagaimana akan dikatakan] : Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewaris dalam Dhamma, bukan sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru. Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi.

 

Sekarang, para bhikkhu, misalkan Aku telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang Kubutuhkan, dan ada makanan tersisa dan akan dibuang. Kemudian dua orang bhikkhu tiba, lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka : Para bhikkhu, Aku telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang Kubutuhkan, tetapi masih ada makanan tersisa dan akan dibuang. Makanlah jika kalian menginginkan; jika kalian tidak memakannya maka Aku akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.

 

Kemudian seorang bhikkhu berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan. Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā : Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Tetapi makanan ini adalah salah satu benda materi. Bagaimana jika seandainya tanpa memakan makanan ini aku melewatkan malam dan hari ini dalam keadaan lapar dan lemah. Dan tanpa memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu dalam keadaan lapar dan lemah.

 

Kemudian bhikkhu ke dua berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang. Bagaimana jika aku memakan makanan ini dan melewatkan malam dan hari ini tanpa merasa lapar dan lemah. Dan setelah memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah. Sekarang walaupun bhikkhu itu dengan memakan makanan itu melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah, namun bhikkhu pertama lebih terhormat dan dipuji olehKu. Mengapakah? Karena hal itu dalam waktu lama akan berdampak pada keinginannya yang sedikit, kepuasan, pemurnian, mudah disokong, dan membangkitkan kegigihannya. Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi.

 

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal tersebut, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke kediamanNya. Segera setelah Beliau pergi, Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu dan berkata sebagai berikut :

 

Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Dan dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan?

 

Para bhikkhu berkata sebagai berikut :

Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para bhikkhu akan mengingatnya.

 

Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut :

Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan.

 

Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan. Ketiga : mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan.

Dalam cara ini inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan.

 

“Dalam cara bagaimanakah, teman-teman, para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai, mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.

 

“Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan. Ketiga : mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.

Dalam cara inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan.

 

“Teman-teman, kejahatan di sini adalah keserakahan dan kebencian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian, menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.

 

Teman-teman, kejahatan di sini adalah kemarahan dan kekesalan, sikap meremehkan dan congkak, iri hati dan kekikiran, kecurangan dan penipuan, sifat keras kepala dan persaingan, keangkuhan dan kesombongan, kepongahan dan kelalaian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan kepongahan dan kelalaian, menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu puas dan gembira mendengarnya.

 

Demikianlah Tulisan ini yang menyampaikan tentang Dhammadāyāda Sutta yang dipersingkat agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti. Semoga bermanfaat.