Blog ini menampilkan tulisan-tulisan yang dapat dikategorikan sebagai tulisan : Pengetahuan Benar, Wawasan, Kata-Kata Bijak, Lain-lain. Jika pembaca tidak sependapat dengan tulisan yang ada dalam blog ini, tolong abaikan saja dan lupakan! Terima kasih.
Translate
Senin, 28 November 2022
Selasa, 15 November 2022
Senin, 14 November 2022
Harta Karun Yang Tak Bisa Dicuri
Uraian mengenai Harta Karun Yang Tak Bisa Dicuri ini berumber dari tulisan Bhikkhu Dhammaratano, dan ada kalimat-kalimatnya yang sedikit dirubah agar menjadi lebih halus.
“Gabbhaṁ eke uppajjanti,
Nirayaṁ pāpakammino
Saggaṁ sugatino yanti,
Parinibbanti anāsavā’ti”
“Beberapa makhluk hidup dilahirkan melalui rahim,
pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam neraka,
pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam surga,
yang telah terbebas dari noda setelah kematiannya mencapai Nibbāna”
(Dhammapada IX : 126)
Alkisah di suatu desa, hiduplah sebuah keluarga yang makmur, sejahtera,
dan berkekayaan melimpah. Pemiliknya adalah seorang pedagang yang sangat sukses
dalam bisnis perdagangan. Seorang milyarder, pebisnis hebat, seorang yang
sangat beruntung di dunia ini. Dia
ditemani oleh keempat orang istri.
Seorang istri tua dan tiga istri yang muda belia. Ia hidup bagaikan raja ditemani
oleh para dayang-dayang, sangat bahagia, membuat orang lain yang melihatnya
iri.
Istri pertama adalah istri paling tua, namun sangat disayangkan pedagang
ini jarang sekali memberi perhatian, baik pakaian, perhiasan apalagi kasih
sayang kepada istri pertamanya ini. Wanita ini tampak kumuh dan kusam karena
kebutuhannya tidak pernah diperhatikan dan dipenuhi.
Sedangkan untuk istri-istrinya yang lain, ia berikan perhatian lebih
bahkan selalu memanjakan mereka.
Untuk istri keduanya, ia selalu memberikan pakaian dan perhiasan yang
mahal serta parfum dengan merk terkenal.
Istri ketiga, selalu dimanjakan dengan penuh perhatian, dijaga dengan
penuh kasih sayang. Tidak membiarkannya sakit atau menderita walaupun hanya
sesaat.
Dan istri yang keempat, selalu ditraktir dengan makanan yang enak dan
diajak jalan-jalan ke tempat-tempat yang menyenangkan.
Hari berganti hari, tahun demi tahun berlalu dengan cepat. Kini di usia
tuanya, sang pedagang sukses ini mengalami sakit keras dan telah mendekati
kematian. Pada menit-menit terakhirnya, sang pedagang memanggil keempat orang
istrinya meminta mereka berkumpul menemaninya.
Dengan penuh harap, sang pedagang bertanya kepada istrinya yang kedua ;
“sayangku, aku telah begitu memanjakanmu dengan segala perhiasan, dan lain
sebagainya agar engkau selalu nampak cantik, dan gemerlap, sekarang aku butuh
bantuanmu, apakah engkau mau menemaniku menghadap raja kematian, ikut bersamaku
mati." Istri kedua menjawab : “Maaf suamiku, aku tidak bisa ikut denganmu, aku masih muda dan aku bisa mencari suami
baru untuk menghidupiku.” Mendengar jawaban ini, sang pedagang menjadi
bersedih, merasa terpukul, istri yang selalu dimanjakannya itu ternyata tidak
peduli padanya.
Kemudian ia beralih bertanya kepada istri ketiga dengan pertanyaan yang
sama, dan mendapat jawaban yang sama pula.
Kini ia bertanya kepada istri keempat dan mendapat jawaban : “Maafkan aku
sayang, aku tidak bisa ikut mati bersamamu, tetapi aku hanya bisa menemani dan
mengantarkanmu sampai ke pemakaman, tidak lebih dari itu.”
Betapa sedih dan terpukulnya sang pedagang mendengar jawaban dari
istri-istri yang sangat disayangnya itu, tetapi ternyata sekarang mereka tidak
peduli dan tidak setia kepadanya.
Dalam kesedihannya itu, tiba-tiba tanpa ditanya, istri pertama yang selalu
ia sia-siakan dan tidak pernah ia perhatikan itu berkata : “Suamiku, sekalipun
engkau tidak pernah peduli kepadaku, aku akan tetap setia menemanimu, sekalipun
untuk pergi menghadap kematian - aku akan ikut bersamamu menjadi pendamping
setiamu - tak ada yang dapat memisahkan kita.”
Mendengar perkataan ini, sang pedagang merasa malu, ia menyesal tidak
pernah mau peduli dan kurang perhatian terhadap istrinya yang pertama itu.
Penyesalan memang selalu datang
terlambat.
Keempat orang istri merupakan simbolisasi
yang nyata dalam kehidupan ini.
Istri kedua adalah simbol dari tubuh yang selalu kita beri perhiasan,
memandikannya, memberi pakaian bagus, dan memberi minyak agar wangi. Tetapi
ketika kematian datang, tubuh ini tidak berguna, tidak bisa menemani kita,
justru terbujur kaku di tanah pekuburan, membusuk, dan habis di makan belatung.
Istri ketiga merupakan simbol harta kekayaan duniawi yang kita miliki,
sebanyak apapun yang kita miliki semuanya akan ditinggalkan tidak akan mungkin
ikut ke liang lahat. Harta kekayaan itu akan diambil alih oleh orang lain,
dihabiskan oleh ahli waris, menjadi milik orang lain. Seumur hidup kita mencari
dan mengumpulkannya, pada akhirnya hanya akan dinikmati oleh orang lain.
Istri keempat adalah simbol sanak keluarga, karib kerabat dan
teman-teman. Mereka setia menemani kita ketika kita masih hidup. Tetapi ketika
kita sudah menjadi mayat, paling banter mereka hanya bisa mengantar sampai ke
tanah pekuburan kemudian pergi, tidak lebih dari itu.
Istri pertama adalah simbol jasa kebajikan - amal kebaikannya sangat
jarang kita perhatikan - tidak kita pedulikan, dan cenderung kita abaikan.
Padahal ia teman yang paling bisa diandalkan di kala kematian di ambang pintu -
sahabat yang sangat setia - kemanapun kita pergi, ia akan selalu ikut bersama
kita.
Dalam pandangan Buddhis, kematian adalah hal yang sangat wajar dalam
kehidupan suatu makhluk. Karena hal ini sebagai akibat kita dilahirkan.
Kematian dan kelahiran merupakan suatu siklus yang terus-menerus berputar
selama kita masih melekat pada dunia ini. Dan juga kematian bukanlah akhir
segalanya. Seperti halnya seseorang yang berada di luar ruangan dan ia ingin
masuk ke dalamnya tentu harus melewati sebuah pintu, dan setelah melewati pintu
ia kini berada di dalam ruangan. Demikian pula kematian adalah pintu menuju kehidupan berikutnya. Jadi
janganlah meratap menangisi jenazah orang yang kita sayangi secara berlebihan,
selain tidak bermanfaat juga tidak melatih kita untuk menjadi tegar dan
menghambat upaya kita dalam melepas kemelekatan yang menimbulkan penderitaan.
Inilah dunia, ketika ada seorang bayi dilahirkan, kita begitu gembira dan
merayakannya. Padahal kita tahu bahwa bayi itu dilahirkan kelak hanya untuk
mengalami kematian, ia akan menjadi korban raja kematian berikutnya. Kita
begitu bersedih apabila orang yang sangat kita sayangi meninggal dunia.
Harusnya kita merelakannya karena ia telah bebas dari sengsara dunia. Kematian
hanyalah sementara, karena kesadarannya akan terus berlanjut dalam kehidupan
berikutnya. Ia hanya membawa kesadaran baik atau kesadaran buruk, membawa bekal
kebajikan atau membawa segudang keburukan. Inilah yang akan menentukan ke alam
mana seseorang akan bertumimbal-lahir.
Sang Bhagava bersabda; “sesuai dengan benih yang ditabur, begitulah buah
yang akan dipetiknya, ia yang berbuat baik akan menerima kebaikan dan
kebahagiaan, serta ia yang berbuat jahat akan menerima penderitaan dan
kesengsaraan”. (Saṁyutta Nikāya I : 293).
Perbuatan yang dilakukan ketika masih hidup akan menentukan kemana
seseorang akan pergi dilahirkan setelah kematian. Dan juga kekuatan pikiran
terakhir yang mendominasi pada saat menjelang kematian, mungkin saja pikiran
keserakahan atau kemelekatan, pikiran kebencian ketidak-senangan atau pikiran
ketidak-tahuan dan kebodohan batin, yang akan menentukan kelahiran berikutnya.
Sesuai syair Dhammapada 126 diatas, terdapat beberapa jenis kelahiran dan
perbuatan apakah yang mengarahkan mereka untuk terlahir seperti apa.
1. “Gabbhaṁ eke uppajjanti” = Beberapa makhluk dilahirkan melalui rahim /
kandungan.
2. ”Nirayaṁ pāpakammino” = Pelaku kejahatan cepat tersiksa di alam
Neraka.
3. “Saggaṁ sugatino yanti” = Pelaku kebajikan terlahir bahagia di alam
surga.
4. “Parinibbanti anāsavā” = Yang telah terbebas dari semua noda setelah
kematiannya mencapai Nibbāna.
Apabila kita ingin melihat masa lampau, maka lihat dan perhatikan apa
yang terjadi pada diri kita saat ini. Dan apabila ingin melihat dan mengetahui
masa yang akan datang, berkacalah pada perbuatan yang kita lakukan pada saat
sekarang. Apapun yang kita perbuat baik ataupun buruk kita sendiri yang akan
merasakannya. Baik yang kita perbuat baik pula akibatnya, demikian pula buruk
yang kita perbuat buruk pula akibatnya. Kita semua sedang mengarungi lautan
kehidupan Samsara dalam kehidupan ini. Kita butuh bekal cukup untuk mengatasi
segala rintangan di dalam perjalanan panjang kita sebelum sampai di tempat
tujuan akhir.
Apakah bekal itu? Yaitu : jasa perbuatan baik. Hanya inilah yang akan
selalu menjadi sahabat kita yang paling setia menemani kemanapun kita pergi.
Dialah harta sejati yang tak akan mungkin bisa dicuri, dirampok, kena banjir
atau kebakaran. Ia akan menjadi harta simpanan yang kekal yang sangat membantu
hingga sampai pada tujuan akhir kita, yaitu Nibbāna / Nirwana.
Demikianlah tulisan ini - Semoga bermanfaat.
Kebahagiaan Sejati Kekal
Untuk bisa selamat (bahagia) di dunia dan selamat (bahagia) setelah meninggal dunia (hidup di alam berikutnya) – seseorang hendaknya menyikapi dengan baik dan benar berlakunya hukum alam, terutama Hukum Karma. Banyak memberi (tenaga atau materi dan juga pikiran / pandangan benar), berupaya keras tidak melanggar sila, terutama : tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berbohong dan tidak mabuk-mabukan. Untuk merealisasi pencapaian yang lebih tinggi dan tertinggi adalah sering berlatih meditasi yang tepat secara bijaksana untuk mengikis terus-menerus kotoran batin hingga menjadi orang suci - merealisasi kebahagiaan sejati kekal, tidak terlahir kembali di alam kehidupan manapun.
Sabtu, 29 Oktober 2022
Pewaris Dalam Dhamma
Tulisan ini menyampaikan perihal Pewaris dalam Dhamma dalam Majjhima Nikaya 3 : Dhammadāyāda Sutta – yang sulit dipahami karena memerlukan pemikiran dan perenungan yang berulang. Tulisan ini menyingkat Dhammadāyāda Sutta agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti meskipun masih memerlukan perhatian penuh yang berulang.
Dhammadāyāda Sutta – menceritakan - pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang
menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta - Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā
memanggil para bhikkhu dan berkata kepada mereka yang jika disingkat adalah
sebagai berikut :
Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam
benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir : Bagaimanakah
agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam
benda-benda materi? Jika kalian menjadi pewarisKu dalam benda-benda materi,
maka kalian dan Aku akan dicela sebagai berikut : Para siswa Sang Guru hidup
sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru, bukan sebagai pewaris dalam
Dhamma.
Jika kalian menjadi pewarisKu dalam Dhamma, maka kalian dan Aku tidak
akan dicela [sebagaimana akan dikatakan] : Para siswa Sang Guru hidup sebagai
pewaris dalam Dhamma, bukan sebagai pewaris dalam benda-benda materi Sang Guru.
Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu
dalam benda-benda materi.
Sekarang, para bhikkhu, misalkan Aku telah makan, menolak makanan
tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang
Kubutuhkan, dan ada makanan tersisa dan akan dibuang. Kemudian dua orang
bhikkhu tiba, lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka : Para bhikkhu, Aku
telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup,
telah memakan apa yang Kubutuhkan, tetapi masih ada makanan tersisa dan akan
dibuang. Makanlah jika kalian menginginkan; jika kalian tidak memakannya maka
Aku akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air
di mana tidak ada kehidupan.
Kemudian seorang bhikkhu berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang
Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan
dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya ke mana
tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.
Tetapi telah dikatakan oleh Sang Bhagavā : Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam
Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Tetapi makanan ini adalah
salah satu benda materi. Bagaimana jika seandainya tanpa memakan makanan ini
aku melewatkan malam dan hari ini dalam keadaan lapar dan lemah. Dan tanpa
memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu dalam keadaan lapar dan
lemah.
Kemudian bhikkhu ke dua berpikir : Sang Bhagavā telah makan apa yang
Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan
dibuang. Bagaimana jika aku memakan makanan ini dan melewatkan malam dan hari
ini tanpa merasa lapar dan lemah. Dan setelah memakan makanan itu ia melewatkan
malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah. Sekarang walaupun bhikkhu itu
dengan memakan makanan itu melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan
lemah, namun bhikkhu pertama lebih terhormat dan dipuji olehKu. Mengapakah?
Karena hal itu dalam waktu lama akan berdampak pada keinginannya yang sedikit,
kepuasan, pemurnian, mudah disokong, dan membangkitkan kegigihannya. Oleh
karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam
benda-benda materi.
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal
tersebut, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke kediamanNya. Segera
setelah Beliau pergi, Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu dan berkata
sebagai berikut :
Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup
terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Dan dalam cara bagaimanakah para
siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan?
Para bhikkhu berkata sebagai berikut :
Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna
pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta
sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para
bhikkhu akan mengingatnya.
Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut :
Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup
terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru tidak
meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan kepada mereka untuk ditinggalkan;
mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam
keterasingan.
Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para
bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru
yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka
tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan.
Ketiga : mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran,
lengah dalam keterasingan.
Dalam cara ini inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak
berlatih dalam keterasingan.
“Dalam cara bagaimanakah, teman-teman, para siswa Sang Guru yang hidup
terasing berlatih dalam keterasingan? Disini para siswa Sang Guru meninggalkan
apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka tidak hidup
dalam kemewahan dan tidak lalai, mereka tekun menghindari kemunduran, dan
adalah pemimpin dalam keterasingan.
“Dalam hal ini para bhikkhu senior, para bhikkhu menengah, dan para
bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan. Pertama : sebagai para siswa Sang Guru
yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan. Kedua : mereka
meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan.
Ketiga : mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun
menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.
Dalam cara inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam
keterasingan.
“Teman-teman, kejahatan di sini adalah keserakahan dan kebencian.
Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian,
menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian,
menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna. Dan apakah
Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar,
kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar,
perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang
menghasilkan penglihatan dan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian,
menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.
Teman-teman, kejahatan di sini adalah kemarahan dan kekesalan, sikap
meremehkan dan congkak, iri hati dan kekikiran, kecurangan dan penipuan, sifat
keras kepala dan persaingan, keangkuhan dan kesombongan, kepongahan dan
kelalaian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan kepongahan dan kelalaian,
menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju
kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan
apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan
benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha
benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang
menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju
kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, dan menuju Nibbāna.
Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu
puas dan gembira mendengarnya.
Demikianlah Tulisan ini yang menyampaikan tentang Dhammadāyāda Sutta yang
dipersingkat agar mudah dimengerti dengan tidak mengubah arti. Semoga
bermanfaat.