Translate

Selasa, 09 Desember 2025

SAKIT JASMANI & ANATTA

Gambar bagian atas :
Tidak ada inti diri (bagian dari diri) yang tetap, selalu berubah. Sehingga yang disebut “Aku” itu tidak ada. Sakit jasmani itu bukan “Sakit-ku”, karena yang disebut “Aku” itu sebenarnya tidak ada. Tubuh bisa sakit, tapi itu bukan siapa kita yang sebenarnya.
Gambar bagian bawah :
Kalau kita bisa menerima kenyataan dan melepaskan rasa memiliki terhadap tubuh, batin kita bisa damai. Kita bisa tetap bahagia walau tubuh sakit.
Kesimpulan :
Dengan memahami Anatta (tidak ada “Aku”), kita belajar bahwa tubuh hanyalah bagian dari kehidupan, bukan “Aku”. Kalau kita tidak melekat, kita bisa lebih ringan, lebih damai, dan lebih bahagia.

Sabtu, 29 November 2025

Pemeluk ajaran Buddha layak-kah berprofesi sebagai tentara?

     Seorang penganut Buddha yang menjadi tentara akan menjadi subjek yang kompleks, karena pada prinsipnya akan berlawanan dengan Pancasila Buddhis (Sila Pertama). Namun, juga sering dilihat dalam konteks, niat dan keadaan seseorang. Jika seorang tentara menjalankan profesinya dengan niat untuk melindungi kehidupan dan mendukung perdamaian, beberapa pandangan menganggap bahwa ini bisa lebih dapat diterima dibandingkan jika untuk agresi. Beberapa praktisi Theravāda melihat bahwa menjadi tentara dalam rangka menjaga perdamaian atau melindungi yang lemah bisa dianggap sebagai bagian dari praktik welas asih (karuṇā), asalkan tindakan kekerasan dihindari sejauh mungkin (Prinsip jalan Tengah). Tanggung jawab karma adalah bersifat individu.


Dalam Buddhisme, menjadi tentara tidak secara mutlak dilarang, tetapi sangat disarankan untuk berhati-hati dalam menjaga niat dan tindakan agar tetap selaras dengan prinsip non-kekerasan dan welas asih. Sutta yang secara khusus menampilkan permasalahan seorang pemeluk ajaran Sang Buddha tetapi berprofesi sebagai tentara atau sebagai pasukan angkatan perang itu tidak ada. Yang ada adalah tentang pembunuhan makhluk.
Dalam konteks seorang prajurit yang diperintahkan untuk berperang, ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan untuk memahami konsekuensi karmanya : Jika seorang prajurit berperang dengan niat membunuh, merusak, atau didorong oleh kebencian dan agresi, maka konsekuensi karmanya menjadi berat. Meskipun seorang prajurit mendapat perintah dari atasan, keputusan untuk melaksanakan perintah tetap menjadi tanggung jawab pribadi. Dalam pandangan Buddhis, tidak ada yang bisa memaksa seseorang untuk berbuat karma buruk kecuali dirinya sendiri yang memilih melakukannya. Mengikuti perintah tanpa kesadaran atau pemikiran kritis tidak menghapuskan tanggung jawab moral individu. 
Dampak tindakan : Setiap tindakan yang merugikan makhluk hidup - seperti melukai, membunuh, atau menyebabkan penderitaan - akan menanam benih karma buruk (akusala kamma). Akibat dari perintah : Meskipun niatnya mulia, memerintahkan perang hampir pasti mengarah pada kekerasan, penderitaan, dan kematian - yang semuanya menanam benih karma buruk. Dalam pandangan Buddhis, “Melakukan kekerasan demi kebaikan tetap menghasilkan karma buruk, meskipun intensitasnya bisa berbeda.” Komandan tidak hanya menanggung karma dari niat dan tindakannya sendiri, tetapi juga berkontribusi pada karma dari tindakan prajurit yang menjalankan perintah tersebut. Ini disebut sebagai karma kolektif - di mana semua pihak yang terlibat dalam suatu rangkaian tindakan turut menanggung dampak karmanya.
     Keadaan batin saat bertindak : Jika seorang prajurit bertindak dengan penuh kebencian, ketakutan, atau nafsu untuk berperang, ini memperkuat benih karma negatif. Sebaliknya, jika ia berperang dengan kesadaran akan penderitaan yang ditimbulkan dan berusaha menghindari kekerasan sebanyak mungkin, batinnya tidak sepenuhnya diliputi oleh kegelapan (moha), maka efek karmanya bisa lebih ringan.
Penyesalan dan pemulihan : Setelah melakukan tindakan yang menimbulkan karma buruk, seseorang masih bisa berusaha meredakan dampaknya dengan melakukan banyak perbuatan baik (kusala kamma) seperti mempraktikkan welas asih (karuṇā), kebijaksanaan (paññā), dan melatih kesadaran diri (sati). meminta maaf, dan melakukan perenungan.
Tindakan seorang komandan atau presiden sebagai penglima tertinggi, yang memerintahkan Panglima mengirim prajuritnya untuk berperang melindungi kedaulatan negara bisa dipandang melalui lensa niat (cetana) dan konsekuensi dari tindakan tersebut urgensinya seperti apa.
Alternatif non-kekerasan :
Memilih jalur diplomasi, negosiasi, atau mencari jalan tengah akan lebih sejalan dengan prinsip-prinsip Buddhis. Namun, jika semua cara damai sudah ditempuh dan perang menjadi satu-satunya pilihan untuk melindungi yang lemah, beberapa pandangan Buddhis menganggap ini sebagai karma netral atau campuran.
Buddhisme tidak menghakimi seseorang secara mutlak, melainkan menawarkan panduan untuk mengembangkan kebijaksanaan dan memperbaiki diri secara bertahap. 
     Beberapa sikap dan solusi yang bisa diambil adalah :
1.  Merenungkan niat di balik menjadi tentara. Jika alasan awalnya adalah untuk melindungi, menjaga perdamaian, atau karena kebutuhan hidup, maka niat tersebut bisa menjadi fondasi untuk mempraktikkan kebajikan di tengah lingkungan militer.
2.  Seorang prajurit hendaknya tetap bisa berupaya mempraktikkan lima sila sedapat mungkin : berupaya menghindari pembunuhan langsung. Jika situasi memaksa, prioritaskan tindakan melindungi tanpa merugikan pihak lain. Fokuslah pada perlindungan warga sipil, rekonsiliasi, dan menenangkan ketegangan.
3.  Jika Anda terikat kontrak militer, mungkin ada prosedur resmi untuk mengajukan pengunduran diri atau permohonan pindah tugas ke bagian yang tidak berhubungan langsung dengan kekerasan. Bisa mengambil peran di bidang logistik, medis, intelijen, komunikasi, atau diplomasi. Mereka itu mendukung keamanan tanpa langsung terlibat dalam pertempuran.
Mencari jalan keluar secara bertahap :
1.  Jika memungkinkan, seorang tentara bisa mulai merencanakan transisi ke profesi lain yang lebih selaras dengan jalan damai, seperti menjadi petugas kemanusiaan, mediator konflik, perubahan ke arah yang lebih baik selalu dihargai, meskipun dilakukan bertahap.
2.  Cari profesi yang sejalan dengan prinsip non-kekerasan, seperti di bidang kesehatan, pendidikan, sosial, lingkungan, atau pekerjaan yang mendukung kedamaian dan kesejahteraan makhluk lain.
3.  Manfaatkan waktu luang untuk mengikuti pelatihan atau kursus yang bisa mendukung transisi ke profesi baru.
4.  Jika memungkinkan, mulailah dari pekerjaan paruh waktu atau sukarela. Berbicaralah dengan orang-orang yang memahami posisi Anda, seperti anggota komunitas Buddhis atau konselor. Dukungan moral sangat berharga dalam proses ini.
5.  Buddhisme mengajarkan bahwa tidak ada situasi yang benar-benar mengikat. Perubahan selalu mungkin terjadi. Jika seorang prajurit atau tentara terus berlatih kebijaksanaan dan welas asih, maka jalan keluar akan terbuka seiring berjalannya waktu.
Dengan mengenali kemungkinan yang ada maka, seorang prajurit tidak sepenuhnya terikat oleh profesinya. Dengan menjaga niat yang benar, mempraktikkan welas asih, dan perlahan mencari jalan keluar yang lebih damai, ia bisa mengurangi dampak karma buruk dan tetap melatih diri menuju pencerahan. Buddhisme menghargai setiap langkah kecil menuju kebaikan.
Buddhisme tidak secara eksplisit melarang profesi tentara, tetapi menempatkannya dalam wilayah abu-abu secara moral. Dalam Sutta Pitaka, tidak ada ajaran yang secara langsung membolehkan atau melarang seseorang menjadi tentara. Intinya adalah niat di balik tindakan dan usaha untuk meminimalkan kekerasan serta mengembangkan welas asih. Seorang prajurit bisa menjalani hidup spiritual dengan berupaya menjalankan sila, sejauh mungkin mengurangi kekerasan, dan berlatih kesadaran dalam setiap tindakan.
Buat negara yang rakyatnya menganut agama yang beragam, maka tanggung jawab menjaga keamanan bisa dibagi kepada mereka yang tidak terikat oleh larangan moral yang sama dengan Buddhisme, sementara umat Buddha berkontribusi dengan memperkuat perdamaian dan keharmonisan sosial.
Beberapa komunitas Buddhis modern memahami bahwa menjaga kedamaian kadang membutuhkan kekuatan untuk mencegah kekacauan. Selama niatnya murni dan tidak dilandasi kebencian, tindakan tersebut bisa dianggap bagian dari jalan bodhisattva — melindungi makhluk hidup demi kebaikan bersama.
Perang bukanlah ajang untuk menunjukkan kekuatan, melainkan sebagai upaya terakhir untuk menjaga kedamaian dan melindungi yang lemah.
Tambahan : Negara Thailand memiliki angkatan bersenjata yang berfungsi untuk menjaga kedaulatan dan stabilitas nasional. Prinsip-prinsip yang dipegang oleh militer Thailand mencerminkan keseimbangan antara nilai-nilai tradisional Buddhis dan kebutuhan praktis pertahanan negara. 
     Beberapa prinsip utama yang diadopsi adalah : Non-Agresi dan Netralitas, saling menghormati dan kerja sama, terlibat dalam misi kemanusiaan dan penjaga perdamaian. Prinsip-prinsip ini menunjukkan bagaimana Thailand mencoba mengintegrasikan nilai-nilai Buddhis seperti perdamaian dan harmoni dengan kebutuhan praktis untuk melindungi negara.
Kesimpulan :
1.  Dalam Buddhisme, menjadi tentara tidak secara mutlak dilarang.
2.  Kalau terpaksa menjadi tentara sejauh mungkin hindarilah tindakan kekerasan (Prinsip jalan Tengah), sebab prajurit yang berperang dengan niat membunuh, didorong oleh kebencian, maka konsekuensi karmanya menjadi berat. Namun, jika tindakannya dilandasi oleh niat melindungi, menjaga perdamaian, karma yang dihasilkan bisa lebih ringan.
3.  Seorang prajurit atau tentara yang mempraktikkan Dhamma dianjurkan untuk berpindah profesi secara bertahap. Tanggung jawab menjaga keamanan negara bisa dibagi ke saudara kita yang tidak terikat oleh anjuran moral yang sama dengan Buddhisme. Umat Buddha berkontribusi untuk memperkuat perdamaian.
 

Jumat, 28 November 2025

Panca Niyama Dhamma ( 5 Hukum Kesunyataan )

Pendahuluan :
Panca Niyama Dhamma adalah lima hukum universal yang menjelaskan keteraturan alam semesta, kehidupan, dan fenomena batin. Hukum ini bukan ciptaan Buddha, melainkan penemuan beliau sebagai kebenaran yang sudah ada.
 
Pengertian Umum Panca Niyama Dhamma :
Niyama = hukum atau keteraturan. Panca Niyama Dhamma adalah lima hukum kesunyataan yang mengatur segala fenomena, baik fisik maupun mental. Buddha menekankan bahwa hukum ini berjalan secara alami, tidak bergantung pada kehendak suatu Satva = Makhluk atau kehendak “Sosok” yang maha kuasa.
 

Panca Niyama Dhamma terdiri dari :
1.    Utu Niyama : Hukum fisik / iklim. Mengatur fenomena alam seperti panas, dingin, musim, gempa, dan hukum fisika. Contoh : Pergantian musim, hukum gravitasi, siklus air.
2.    Bīja Niyama : Hukum biologis. Mengatur pertumbuhan dan reproduksi makhluk hidup sesuai benihnya. Contoh : Biji mangga tumbuh jadi pohon mangga, bukan pohon jambu. Hukum ini juga menentukan bagaimana tubuh fisik dari manusia atau Binatang itu terbentuk dan berkembang.
3.    Kamma Niyama : Hukum moral sebab-akibat. Perbuatan (pikiran, ucapan, tindakan) membawa akibat sesuai kualitasnya. Contoh : Perbuatan baik mendatangkan kebahagiaan, perbuatan buruk mendatangkan penderitaan.
4.    Citta Niyama : Hukum batin / psikologis. Mengatur aliran pikiran, kesadaran, dan proses mental. Contoh : Munculnya persepsi, ingatan, mimpi, hubungan antara pikiran dan emosi, termasuk munculnya Jhana dan kemampuan Abhiññā.
5.    Dhamma Niyama : Hukum universal yang melampaui keempat hukum di atas. Mengatur fenomena kosmik dan kebenaran mutlak. Contoh : Kemunculan seorang Buddha, gempa bumi saat pencerahan, dan hukum ketidakkekalan. Hancur dan terbentuknya kembali jagad raya termasuk dalam ketentuan hukum ini.
 
Penekanan atas Panca Niyama Dhamma :
1.    Tidak ada campur tangan eksternal, semua fenomena terjadi sesuai hukum alam, bukan karena kehendak satva adikodrati.
2.    Kamma Niyama sering dianggap paling penting karena berkaitan langsung dengan etika, moralitas, dan kelahiran kembali.
3.    Dhamma Niyama menjelaskan fenomena luar biasa (misalnya keajaiban kosmik saat Buddha lahir) sebagai bagian dari hukum alam, bukan mukjizat supranatural.
4.    Keselarasan antar hukum, dimana kelima hukum ini saling melengkapi, membentuk keteraturan total dalam Samsāra, keteraturan kosmos, sehingga manusia dapat memahami bahwa hidup tidak acak, melainkan mengikuti hukum sebab-akibat.
 
Makna Praktis Panca Niyama Dhamma dalam kehidupan :
1.    Kesadaran etis : Memahami Kamma Niyama menumbuhkan tanggung jawab moral, dan menyadari bahwa Karma hanyalah salah satu hukum, sehingga tidak menyalahkan Karma atas semua peristiwa alam.
2.    Ketenangan batin : menyadari Citta Niyama membantu melatih meditasi dan mengendalikan pikiran.
3.    Penghormatan pada alam : Utu dan Bīja Niyama menumbuhkan sikap ekologis dan keselarasan dengan lingkungan.
4.    Kebijaksanaan praktis : Menghargai ilmu pengetahuan (fisika, biologi, psikologi) sebagai bagian dari Niyama.
5.    Keyakinan pada hukum alam : Dhamma Niyama menegaskan bahwa fenomena luar biasa tetap tunduk pada hukum universal, bukan keajaiban semata.
6.    Spiritualitas : Dhamma Niyama menegaskan bahwa kemunculan Buddha dan ajaran beliau adalah bagian dari hukum alam, bukan kebetulan.
 
Kesimpulan :
Panca Niyama Dhamma adalah kerangka hukum universal yang menjelaskan keteraturan alam, kehidupan, batin, dan fenomena kosmik. Dengan memahami kelima hukum ini, seseorang dapat melihat bahwa segala sesuatu berjalan sesuai hukum alam, hukum sebab-akibat yang pasti, bukan karena kebetulan atau campur tangan satva adikodrati, sehingga menumbuhkan kebijaksanaan, tanggung jawab moral, dan ketenangan batin.  

Minggu, 23 November 2025

MAAF - MEMAAFKAN

Di dalam masyarakat sering kita jumpai seseorang meminta maaf dan dimaafkan. Kalau ditinjau dari Hukum Karma, apakah maaf memaafkan ini benar adanya sebagaimana umum memahaminya?
- Karma adalah hukum sebab-akibat : setiap perbuatan (baik atau buruk) meninggalkan jejak (vipāka) yang di kemudiannya akan berbuah atas dukungan kondisi yang ada. Perbuatan memaafkan orang lain itu tidak secara otomatis menghapus Karma Buruk yang sudah diperbuat oleh yang bersangkutan. Buah Karma itu tetap akan muncul bila kondisinya mendukung.
- Yang benar, memaafkan itu mengubah kondisi batin si pemberi maaf, ia terbebas dari kebencian, dendam, dan penderitaan batin. Dan itu adalah merupakan Karma Baik bagi dirinya.
Dampak bagi pelaku yang dimaafkan, tidak langsung mengurangi Karma Buruk-nya. Tetapi : ia bisa merasa lega, menumbuhkan rasa syukur, dan terdorong untuk bertobat atau berbuat baik, yang akan menjadikan perubahan dari niat-niat yang selama ini sering ia lakukan pelan-pelan akan berubah menjadi niat-niat yang baik yang mendorong yang bersangkutan melakukan perbuatan-perbuatan baik sebagai Karma Baik.
- Jadi, yang berkurang bukan Karma Buruk yang sudah diperbuat, tetapi akan muncul peluang untuk melakukan Karma Baik baru.
Dalam Dhammapada disebutkan : "Tidak ada perbuatan buruk yang hilang begitu saja, seperti susu yang tidak segera menjadi asam; tetapi ia akan berbuah ketika waktunya tiba." Artinya, memaafkan tidak menghapus buah Karma, tetapi bisa menciptakan kondisi batin yang lebih baik bagi kedua belah pihak.
Jadi, dimaafkan tidak mengurangi Karma Buruk orang yang meminta maaf secara langsung, tetapi bisa menjadi katalis yang mendorong perubahan batin untuk berbuat baik, sehingga jalan hidupnya bisa lebih ringan.  

Kamis, 06 November 2025

KESABARAN - JALAN MENUJU KEDAMAIAN SEJATI


Satu kualitas luhur yang sangat penting dalam kehidupan spiritual maupun sehari-hari, yaitu kesabaran (khanti). Dalam tradisi Theravāda, kesabaran bukan hanya sikap pasif menahan diri, tetapi merupakan kekuatan batin yang aktif dan mendalam.
1. Kesabaran sebagai Pāramī
Dalam ajaran Buddha, terdapat sepuluh kesempurnaan (pāramī) yang harus dikembangkan oleh seorang Bodhisatta. Salah satunya adalah khanti-pāramī, kesabaran. Ini adalah kemampuan untuk :
- Menahan penderitaan tanpa kebencian
- Menghadapi hinaan tanpa balas dendam
- Menunggu dengan penuh pengertian dan welas asih
Buddha sendiri memberi teladan luar biasa dalam hal ini. Dalam Khantivādī Jātaka, Beliau sebagai pertapa Khantivādī disiksa oleh raja yang kejam, namun tetap tidak menunjukkan kemarahan. Beliau berkata, “Kesabaran adalah kekuatan sejati seorang pertapa.”
2. Kesabaran Mengalahkan Kemarahan
Dalam Dhammapada ayat 5, Buddha bersabda :
“Kebencian tidak akan pernah berakhir dengan kebencian, tetapi dengan cinta kasih dan kesabaran. Inilah hukum yang abadi.”
Kesabaran adalah penangkal dari kemarahan. Ia mendinginkan hati yang panas, menjernihkan pikiran yang keruh, dan membuka jalan menuju kebijaksanaan.
3. Kesabaran dalam Latihan Sehari-hari
- Ketika anak rewel atau pasangan bersikap tidak sesuai harapan, kita belajar menahan reaksi spontan dan merespons dengan pengertian.
- Saat macet, kita bisa memilih untuk tidak marah, melainkan mengembangkan metta, demikian juga ketika kita disalip atau dilanggar kendaraan lain dengan kasar.
- Saat meditasi terasa membosankan atau sulit, kita tetap duduk, mengamati napas, dan tidak menyerah.
Kesabaran bukan berarti lemah. Justru, orang yang sabar adalah orang yang kuat. Seperti pepatah Pāli dalam Dhammapada 184 : “Khantī paramaṁ tapo titikkhā”  (Kesabaran adalah praktik bertapa yang tertinggi)
4. Buah dari Kesabaran
- Kita tidak mudah terguncang oleh keadaan luar.
- Orang sabar lebih mudah diterima dan dicintai.
- Kesabaran membuka jalan bagi kebijaksanaan dan pembebasan.
Marilah kita menjadikan kesabaran sebagai pelita dalam hidup. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tantangan ini, kesabaran adalah pelindung batin kita. Ia bukan hanya menahan, tetapi juga memahami, memaafkan, dan mencintai.
Semoga kita semua mampu mengembangkan khanti-pāramī dalam kehidupan sehari-hari, demi kebahagiaan diri sendiri dan semua makhluk.

Kamis, 30 Oktober 2025

KEBERHASILAN WIRAUSAHA & HUKUM KARMA

Dalam dunia kewirausahaan, keberhasilan itu ditopang oleh :
1. Strategi yang tepat, antara lain adalah meliputi analisis pasar, manajemen keuangan, dan inovasi produk.
2. Konsistensi dan kerja keras, antara lain meliputi disiplin untuk memutuskan sesuatu, dan selalu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
3. Memahami teori bisnis : SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) : marketing mix, dan model bisnis yang relevan / cocok.
Akan tetapi teori saja tidak cukup. Ada faktor-faktor lain yang tak terduga yang harus diantisipasi, contohnya adalah : perubahan pasar yang cepat, persaingan yang agresif, dan keputusan yang melibatkan intuisi dan keberanian.

Dalam perspektif Buddhis dan banyak tradisi spiritual lainnya :
- Karma baik yang ada yang sudah terkumpul di masa lampau, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan sebelumnya (hasil dari tindakan yang disertai dengan niat baik, kejujuran, dan welas asih) akan mendorong keberhasilan dari seorang wirausahawan.
- Karma baik yang diperbuat pada saat ini oleh seorang wirausaha, yaitu beretika, jujur dan dermawan akan menarik dukungan semesta, kepercayaan pelanggan, dan keberuntungan yang tidak bisa dijelaskan secara logis.
- Untuk seorang pengusaha Karma baik itu bisa muncul dari niat usaha yang mulia, misalnya ingin membantu masyarakat dan menciptakan lapangan kerja.
Jadi, benar bahwa : Seorang wirausaha bisa berhasil jika ia menguasai teori dan praktik bisnis, bekerja keras, dan didukung oleh Karma baik yang sudah terkumpul, yang sudah ia miliki.

Selasa, 21 Oktober 2025

Belajar mengerti bahwa dunia ini bukan milik kita


Kekecewaan sering muncul dalam diri kita karena kita berharap dunia mengikuti
keinginan kita. Kita ingin orang lain berlaku sesuai dengan keinginan kita, dan keadaan berjalan sesuai dengan rencana kita sehingga hidup kita mulus tanpa hambatan.
Namun ajaran buddha mengingatkan kita, bahwa semua itu hanyalah ilusi. Dunia tidak tunduk pada ego kita. Dunia bergerak sesuai hukum sebab akibat, bukan berdasarkan keinginan pribadi. Jika kita memahaminya, kita akan berhenti menggenggam keras hal hal yang sesungguhnya tidak pernah bisa kita miliki.
Buddha mengajarkan tentang Anicca (ketidakkekalan). Segala sesuatu, baik yang kita cintai maupun yang kita benci pada akhirnya akan berubah. Menyadari akan hal ini membuat hati kita lebih ringan.
Ketika kita menyadari bahwa dunia tidak bisa dimiliki selamanya - kita belajar melepas keterikatan yang menjadi sumber penderitaan. Dengan begitu kita tidak lagi terseret oleh gelombang kecewa yang setiap kali datang, sesuatu tidak berjalan sesuai harapan.
Ibarat seseorang yang menonton pertunjukan drama, ia tahu bahwa setiap adegan hanya sementara, ada tawa ada tangis ada pertemuan ada perpisahan. Karena menyadari itu, ia tidak larut dalam kesedihan berlebihan.
Demikian pula hidup ini. Kita adalah penonton sekaligus pemeran. Namun kita tidak pernah benar benar memiliki panggungnya. Semuanya akan berakhir sesuai waktunya. Saat kita bisa menerima kenyataan bahwa dunia bukan milik kita. Kita mulai melatih Upekkha (keseimbangan batin). Inilah salah satu bentuk kebijaksanaan. Tidak terhanyut oleh kesenangan, tidak terpuruk oleh kesedihan. Kita tetap teguh berdiri, menyadari bahwa hidup adalah aliran peristiwa yang datang dan pergi. Memiliki ketenangan dan keseimbangan batin bukan berarti pasif. Melainkan mampu menerima kenyataan tanpa menambah penderitaan dengan penolakan batin.
Perumpamaan sederhana, bayangkan dengan kita menaruh lumpur yang licin diatas telapak tangan kita. Jika kita remas lumpur itu kuat-kuat, maka lumpur akan keluar melalui celah-celah jari. Jika kita tidak meremasnya, lumpur akan tetap berada di atas telapak tangan. Demikian pula hidup, semakin kita ingin menggenggam dunia ini, semakin banyak kekecewaan yang kita alami. Namun bila kita belajar menerima, kita justru akan menemukan ketenangan.
Dengan menyadari bahwa dunia ini bukan milik kita, kita akan berhenti menuntut dunia untuk selalu sesuai dengan ego kita. Kita mulai menyesuaikan diri dengan hukum alam. Bukan memaksakan hukum ego. Dari sinilah lahir kebijaksanaan, dan bersama kebijaksanaan akan muncul ketenangan sejati. Itulah langkah pertama yang membuat batin kita tidak mudah terguncang oleh situasi apapun.