Translate

Jumat, 26 Juli 2019

Benarkah hidup ini untuk melayani Tuhan?


Hasil gambar untuk gambar melayani tuhanAda lagu rokhani yang liriknya mengatakan Hidup ini untuk melayani Tuhan. Melayani Tuhan itu yang bagaimana? Melayani Tuhan itu artinya adalah, hidup ini paling tidak hendaknya bisa berguna bagi sesama, yang mana adalah sesuai dengan kehendak Tuhan juga?, tafsir inilah yang harus dipakai, yang harus dipedomani. Jangan dimaknai sesuai dengan arti harafiahnya. Mengapa? Kalau melayani Tuhan itu dijalankan menurut arti harafiahnya, lantas apakah kita harus membuat sesajen untuk Tuhan misalnya? Apakah Tuhan masih memerlukan pelayanan? Bukankah Tuhan itu maha kuasa? Bisa melayani diri sendiri tanpa repot? Hanya mengatakan bim salabim semua yang diinginkan dapat terjadi? Jadi Tuhan dalam hal ini hanyalah merupakan simbol dari yang maha kuasa, dimana kita tidak bisa terlepas dari hukum-hukum  yang sangat berkuasa atas semua alam-alam yang ada beserta makhluk-makhluk yang ada didalamnya, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, kecuali diindahkan & disikapi saja dengan baik dan benar.
Disinilah titik persoalannya, masih banyak orang yang memaknai Tuhan itu sebagai sosok atau pribadi yang banyak maunya, yang rewel dengan kehidupan manusia, artinya rewel dengan tingkah polah manusia, mengatur-atur perilaku manusia, harus begini dan begitu, padahal yang pasti Tuhan itu hanya diam saja? Disebut-sebut atau dipanggil-panggil dengan suara keras, Tuhan tetap diam tidak bergeming dan tidak bereaksi apa-apa.
Tuhan itu bisa memenuhi keinginannya sendiri dengan mudah tanpa harus dilayani. Oleh karena itulah maka Tuhan diam dan tidak rewel. Semua yang terjadi adalah sesuai dengan hukum alam yang bekerja secara otomatis, bukan secara manual yang dikerjakan oleh Tuhan.
Semua tulisan yang ada di kitab atau di buku-buku itu semua adalah karya manusia, makanya berbeda-beda, tidak sama, bukan bersumber dari Tuhan, tapi kalau bersumber dari makhuk yang spiritualnya tinggi itu mungkin saja, dan secara logika masih bisa diterima.
Jadi sekali lagi Tuhan itu adalah simbol dari yang maha kuasa. Yang maha kuasa itu apa? Yang maha kuasa itu adalah hukum alam, hukum yang berlaku untuk semua alam-alam yang ada. Kalau di dunia contoh dari hukum tersebut misalnya adalah, kalau memegang api terasa panas, mencelupkan tangan kedalam air akan basah, dan lain sebagainya.
Bumi, bulan dan bintang yang beredar di garis edarnya masing-masing itu terjadi karena hukum alam. Jagad raya ini bisa ada juga karena hukum alam. Jagad raya ini akan hancur, rusak atau kiamat dan akan terbentuk kembali itu juga karena berlakunya hukum alam. Kita lahir bisa menjadi diri kita yang sekarang ini juga karena hukum alam, melalui percintaan atau kejadian yang berlaku pada kedua orang tua kita, tegasnya adalah hasil pertemuan dari sperma ayah dan sel telur ibu kita.
Hukum alam itu sebaiknya kita sikapi dengan baik dan benar, agar kita selamat dunia akherat, atau overall selamat, tidak merugi selamanya, adalah Hukum Sebab-Akibat, Hukum Tabur-Tuai atau Hukum Karma. Hukum Karma itu dinyatakan dalam hidup kita sebagai berikut :
“Aku adalah pemilik karma ku sendiri, mewarisi karma ku sendiri, lahir dari karma ku sendiri, berhubungan dengan karma ku sendiri dan berlindung pada karma ku sendiri. Apapun yang kulakukan, baik maupun buruk, aku akan mewarisinya.”

Selasa, 23 Juli 2019

Kenapa manusia harus mati?




Hasil gambar untuk gambar kematianKenapa manusia harus mati? Karena manusia dilahirkan. Konsekuensi dari kelahiran adalah kematian. Hukum alamnya begitu. Tidak ada yang abadi. Kecuali bisa melenyapkan kekotoran batin penyebab kelahiran maka goodbye dengan kematian...
Kecuali dalam hidupnya yang terakhir sudah tidak memproduksi lagi dosa baru. Sudah tidak ada lagi hutang dosa yang harus diselesaikan atau dipertanggungjawabkan. Sudah tidak ada lagi alasan untuk dilahirkan kembali. Sudah padam. Sudah mencapai Nirwana yang bukan alam kehidupan. Tapi kondisi padam. Kondisi bahagia hakiki selamanya. Bukan bahagia murahan kesenangan inderawi. Seperti apa? Tidak bisa diceritakan. Harus dialami sendiri. Semua makhluk nanti pada akhirnya akan sampai kesana. Tapi harus melalui berbagai macam penderitaan dan juga kebahagiaan, sesuai dengan raport atau konduite masing-masing di hidup-hidup sebelumnya, di hidupnya yang lampau, yang telah berlalu. Tanpa dosa? Iya, menjadi orang suci (Arahat). Sudah banyak sekali yang bisa merealisasikannya. Tidak percaya? Tidak apa-apa. Sesuatu yang merupakan katanya, kata buku, kata orang, kata status dan lain-lain itu harus dibuktikan sendiri kebenarannya. Harus dilalui jalan atau cara pembuktiannya. Yang belum bisa dibuktikan harus dinalar terlebih dahulu. Logika harus mengatasi "Katanya", mengatasi "Tulisan". Tanpa dosa (lenyapnya kekotoran batin) itu memang bisa, tapi sulitnya bukan main, melatih untuk mencapainya bisa memerlukan waktu yang tak terhingga lamanya, melalui berkali-kali kelahiran dan kematian di alam-alam kehidupan yang ada, termasuk Alam Surga & Alam Neraka. Meditasi adalah jalan pintas yang dapat membantu merealisasi Arahat, memerlukan guru yang mumpuni.

Jumat, 14 Juni 2019

Yang Maha Kuasa (c)

Yang Maha Kuasa atas alam semesta (yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata) beserta segala isinya bukanlah sosok atau pribadi, termasuk sosok super sekalipun. Karena yang namanya bentuk maupun fenomena itu tidak ada yang maha kuasa, tidak ada yang kekal, akan berubah. Jika bisa berubah, maka itu tidak maha kuasa, karena tidak bisa mengatur dirinya sendiri. Yang maha kuasa itu secara logika adalah “Ketentuan”. Dan ketentuannya jika ada “Sebab” maka akan menimbulkan “Akibat”. Jika ada “Aksi” maka akan ada “Reaksi”. Lalu siapakah yang menciptakan ketentuan itu? Tidak ada. Kalau ada yang menciptakan ketentuan, maka sang pencipta tersebut tunduk kepada yang namanya “Ketentuan” juga. Kalau ada sesuatu yang kekal tanpa awal dan tanpa akhir, maka ketentuannya memang seperti itu, kekal dan tanpa awal dan tanpa akhir. Jadi jelaslah disini bahwa yang namanya “ketentuan” itu diatas segalanya. “Ketentuan” itu Maha Kuasa. Segala bentuk maupun fenomena, atau segala wujud maupun kejadian itu tidak ada yang kekal, akan berubah. Wujud ataupun fenomena itu dapatlah dikatakan sebagai kata benda, makanya tidak kekal, akan berubah. Dan kalau bisa berubah karena keadaan maka itu tidak maha kuasa. Sedangkan yang disebut “Ketentuan” itu adalah kata sifat, makanya kekal. “Ketentuan” itu bisa difahami sebagai “Hukum Alam” (hukum universal alam semesta).
Jadi yang seharusnya disikapi dengan baik dan benar oleh manusia dan makhluk lainnya itu, tidak lain dan tidak bukan adalah ketentuannya bagaimana, ketentuannya seperti apa. Ketentuan-ketentuannya itulah yang harus dicari tahu, bukan diyakini atau dikira-kira, atau diimajinasikan, harus dicari. Sebelum tahu seperti apa ketentuannya, maka bolehlah dinalar dulu oleh pikiran dan akal sehat kita terlebih dahulu yang memang kita punyai.
Ketentuan-ketentuan dari segala sesuatu atau hukum-hukum universal alam semesta itu sudah ditemukan semuanya oleh Tatagatha, sang Guru Agung Manusia dan Dewa, kita tidak perlu mencarinya lagi, kita tinggal membuktikan kebenarannya saja. Dan untuk membuktikan sudah ada caranya. Segala sesuatu itu perlu dibuktikan kebenarannya agar kita tidak mempunyai pandangan yang salah dan agar tidak tertipu. Kata orang, kata buku, dan juga kata kitab suci itu harus dibuktikan sendiri kebenarannya. Anda jangan percaya begitu saja dengan katanya, kata orang atau kata kitab suci sekalipun. Mengapa? Karena kitab suci itu banyak. Kalau kita tidak percaya dengan salah satu kitab suci, secara logika boleh dong kita tidak percaya dengan semua kitab suci? Tapi jangan begitu, setiap kitab suci mempunyai ajaran yang baik dan benar. Secara logika, ketentuannya pastilah ada kitab suci yang benar, karena alam semesta itu sempurna, kalau ada masalah pasti ada solusinya.
Kalau tadi dikatakan jangan percaya begitu saja dengan ini itu, maka jangan pula percaya begitu saja dengan tulisan dan juga kata-kata saya ini, semuanya harus jelas, harus masuk akal, masuk di logika atau logis. Sebelum anda membuktikan kebenaran sesuatu maka silahkan dinalar terlebih dahulu, termasuk yang saya katakan ini kira-kira benar atau salah?
Manusia hidup itu seharusnya mempunyai tujuan, mempunyai cita-cita terbaik, yaitu meraih kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang kekal abadi selamanya. Yaitu kebahagiaan yang bukan kebahagiaan inderawi, melainkan kebahagiaan non inderawi yang kekal.
Ketentuan atau cara-cara meraih cita-cita terbaik itu sudah juga ditemukan oleh Tatagatha, yaitu dengan menjalankan praktek Dana, Sila dan Samadhi, yaitu tekun berlatih mengembangkan Kerelaan, Kemoralan dan Konsentrasi.