Translate

Jumat, 03 Agustus 2018

Berdana.


Dalam Nidhikanda Sutta dituliskan, bahwa kekuatan dalam memberi itu dapat mengabulkan keinginan; wajah cantik, suara merdu, kekuasaan sebagai manusia, dan kebahagiaan sebagai dewa.
Orang yang mengendalikan dirinya dari perbuatan buruk, dan suka berdana, setelah kematian tidak akan dilahirkan di alam yang sengsara. Melainkan dilahirkan di alam para dewa, di alam surga Sagga Sampatti. Inilah manfaat dari berdana tingkat kedua.
Tingkat pertama adalah nama baik, dicintai, badannya sehat, panjang usia, wajahnya berseri-seri. Tingkat ke dua setelah kematian, orang yang suka berdana ini akan dilahirkan di alam surga 'sagga sampatti.' Tetapi apakah itu cukup? Mungkin inilah kelebihan dari Ajaran Dhamma. Guru Agung mengingatkan, "Tidak cukup." Ada manfaat dari berdana tingkat yang lebih tinggi.
Marilah kita renungkan. Benar kita memerlukan nama yang baik. Benar kita ingin dicintai oleh yang lain. Kita tidak ingin dibenci. Benar sekali. Benar sekali kita ingin sehat, hidup sejahtera, panjang usia, termasuk wajah cantik, suara merdu. Para ibu-ibu pasti suka. Meskipun usia sudah lanjut, pasti juga ingin wajah cantik, suara merdu. Benar. Tidak bisa dipungkiri kita pasti menginginkan hal itu. Akan tetapi, apakah wajah cantik itu selamanya? Tidak. Apakah kekayaan dan kesejahteraan itu abadi? Tidak. Apakah sehat itu selamanya? Tidak. Apakah panjang umur itu abadi? Tidak. Di dunia ini belum pernah ada orang yang tidak mati. Jadi apapun hasil dari perbuatan baik, saya mengulangi kalimat ini, apapun hasil dari perbuatan baik, baik itu kesejahteraan, kecukupan, kesehatan, sifatnya hanya sementara. Semuanya akan berlalu pada waktunya.
Disanjung-sanjung; akan berlalu.
Kedudukan yang tinggi; akan berlalu.
Badan yang sehat; akan berlalu.
Umur panjang; akan berlalu.
Kekayaan; akan berlalu.
Kesuksesan; akan berlalu.
Semuanya hanya sebentar, sebentar, sebentar.
Hidup kita juga tidak lama. Sudahkah kita bersiap-siap menghadapi ini? Kita harus bersiap-siap menghadapi perubahan. Ketika kesejahteraan itu berlalu, sehat itu berakhir, umur panjang selesai, jika kita tidak pernah melakukan persiapan, nanti kita akan sangat menderita.
Bukan berdana hanya untuk dicintai. Bukan sekedar beramal, berbuat baik supaya hidup sejahtera, tidak kekurangan. Tidak sekedar itu. Karena menjadi dewa juga tidak abadi. Tidak sekedar setelah meninggal kemudian dilahirkan di alam para dewa. Tetapi ada manfaat berbuat baik yang lebih tinggi, berdana dengan pikiran; "Saya memberi, saya berdana untuk membersihkan kekotoran batin."
Karena yang membuat penderitaan itu adalah kekotoran batin. Bukan karena kekurangan materi. Meskipun materi berlebihan, kalau keserakahan, kebencian membakar diri seseorang, apakah orang ini bisa hidup tentram? Apakah orang ini bisa bahagia? TIDAK!
Oleh karena itu berdana yang paling baik, adalah berdana untuk tujuan tingkat tinggi, yaitu dengan niat: 'SAYA MEMBERI UNTUK MEMBERSIHKAN KOTORAN-KOTORAN YANG DI DALAM, SUPAYA SAYA BEBAS DARI PENDERITAAN UNTUK SELAMA-LAMANYA.
Apabila berdana hanya untuk mencari nama baik, pujian, hidup sejahtera, yang didapatkan hanya itu. Mencari yang tingkat satu yang diperoleh hanya satu tingkat saja. Dan kalau kita berdana supaya setelah kematian nanti kita tidak sengsara, maka kita akan memperoleh manfaat berdana tingkat dua saja, selesai.
Tujuan berdana, berbuat baik yang paling tinggi adalah tingkat tinggi: "Saya memberi untuk membersihkan batin saya. Full stop. Titik. Tidak ada embel-embel yang lain!
(Dipetik dari tulisan Yang Mulia Bhante Sri Pannavaro Mahathera).

Senin, 30 Juli 2018

Tuhan Yang Maha Esa.

Ada penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka menyebut bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Hyang Suwung (Suwung Hamengku Ono). Artinya adalah, Sang Kosong (Kekosongan Yang Memangku Suatu Keadaan). Hyang Suwung Yang Tak Terbatas, Yang Tak Terpikirkan, Yang Tak Terbayangkan, Yang Maha Hidup (memangku kehidupan alam semesta beserta segala isinya). Kalau dalam istilah Fisika -> Yang Menyangga Quark (Inti Atom). Kekosongan Yang Tiada Batas. Kosong = Isi, Isi = Kosong.

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ajaran Dhamma.

Sabda Guru Agung yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3 adalah sebagai berikut :

"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu".

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah "Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam" yang artinya : "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa “aku” (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan, dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tak berkondisi (asamkhata), maka manusia yang berkondisi (samkhata), dapat mencapai kebebasan (padam) dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Dengan demikian maka, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ajaran Dhamma, berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain, yang dipersonifikasikan.

Minggu, 29 Juli 2018

Celaka.


Hampir semua orang mengatakan, yang salah itu orangnya, bukan agamanya. Ibarat mobil nabrak, yang salah itu sopirnya, bukan mobilnya. Pertanyaannya, kalau tidak ada mobil masak bisa nabrak.?
Konklusi : Dua-duanya bisa salah -> mobil dan atau sopir.
Solusi : Biarkan mobilnya salah, misal, rem-nya tidak pakem (abnormal, kurang baik), tidak menjadi masalah, yang penting sopirnya tidak salah (hati-hati & waspada), supaya tidak nabrak. Nah lho...
Sopir itu perlu piawai (mahir), itulah maka sopir perlu punya Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang bukan Sim Salabim. Hehe...

Sabtu, 28 Juli 2018

Minta maaf.




Meminta maaf bukan karena Dia yang benar & Anda yang salah. Tetapi karena hati Anda bernilai lebih tinggi dari ego Anda.

Kamis, 26 Juli 2018

Doa & Karma Baik.


Di mana-mana, doa sudah menjadi patent, utamanya adalah doa permohonan untuk memenuhi keinginan sang pendoa. Padahal logikanya Yang Maha Kuasa (YMK) akan “mengabulkan” doa jika ada cukup alasan, ibaratnya “ada barang ada harga”, atau, doa akan terkabul jika syarat-syaratnya telah terpenuhi, termasuk kondisi yang ada telah mendukung (welcome). Ini namanya adil. Pada umumnya orang mempercayai, jika doanya tulus & diulang-ulang, maka akan terkabul, tak peduli dengan kondisi & syarat-syarat terkait. Sesungguhnya, syarat-syarat agar doa terkabul adalah, menjalani proses menuju berhasilnya usaha. Dan lebih baik lagi jika ditambah dengan banyak berbuat baik. Keberhasilan usaha, yang mendatangkan kebahagiaan, akan sulit dicapai apabila kita banyak berbuat buruk, yang merugikan, menyakiti atau merusak pihak lain. Berlaku hukum sebab-akibat. Ada sebab, ada akibat. Ada usaha, ada hasil. Kenapa harus ditambah lagi dengan banyak berbuat baik? Karena perbuatan buruk kita dimasa lampau, akan menghambat keberhasilan kita yang membahagiakan. Sesuai hukum sebab-akibat atau hukum karma, perbuatan buruk akan mendatangkan penderitaan, dan perbuatan baik akan mendatangkan kebahagiaan. Orang mengatakan, doanya terkabul, padahal yang terjadi adalah, setelah menjalani proses usaha dengan baik dan benar, maka usahanya berhasil. Jika pun tidak menjalani proses dengan baik & benar, tapi bisa berhasil, itu bukan karena doanya terkabul, melainkan karena perbuatan baik (karma baik) masa lampau telah berbuah, dan kondisi yang ada telah mendukung keberhasilan yang dimaksud. Doa itu baik dilakukan jika isinya baik, tidak egois, contoh : semoga semua makhluk berbahagia.

Rabu, 25 Juli 2018

Pencapaian Arahat.

Di jaman Guru Agung Manusia & Dewa masih hidup, banyak praktisi Dhamma yang mudah sekali mencapai Arahat. Menurut pendapatku, karena di jaman itu, sesuai dengan bekerjanya hukum karma, maka networking beliau (Guru Agung) adalah dengan banyak orang-orang yang punya banyak Parami. Karena sekarang bukan jamannya Guru Agung, maka networking yang ada, networking kita, adalah dengan orang-orang biasa.