Translate

Rabu, 30 Juli 2025

Kelahiran di Surga Bukanlah Tujuan Akhir

Banyak orang berpikir bahwa tujuan tertinggi dalam hidup ini adalah terlahir kembali di Surga (alam Dewa). Memang benar, kelahiran di Surga adalah hasil dari perbuatan baik. Namun, Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwa hidup di Surga itu tidak kekal. Sang Buddha bersabda bahwa makhluk-makhluk yang lahir di alam Dewa (alam Surga), setelah menikmati kebahagiaan yang besar, pada akhirnya akan mati juga, dan jika mereka tidak terus berlatih Dhamma, mereka bisa lahir kembali di alam sengsara, banyak factor penyebabnya.

Salah satu contoh yang terkenal adalah Raja Mandhātu (Khudaka Nikaya - Jataka 258), yang karena kebaikannya bisa terlahir di alam surga Tāvatiṁsa dan disana menjadi raja para Dewa. Tapi karena kesombongan dan keserakahannya, setelah kehidupan surgawinya habis, ia terlahir kembali di alam rendah. Ini menjadi peringatan bagi kita semua. Perbuatan baik memang penting, tetapi apakah dalam kehidupan kita sehari-hari sudah sesuai dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan atau tidak? dimana kita dianjurkan untuk berlatih Citta Bhavana (mengembangkan batin).  Citta Bhavana atau Meditasi bisa dilakukan secara rutin meski hanya sebentar-sebenar agar - batin kita ini bisa menjadi bijaksana, sabar, damai, humble, penuh dengan Metta (cinta kasih tanpa batas pada semua makhluk), dengan tujuan akhir merealisasi Nibbana. Kita diajar untuk mengembangkan Kerelaan (Berdana), Kemoralan (menjaga Sila) dan Konsentrasi (Citta Bhavana).

Jika hanya berbuat baik untuk mendapatkan Surga, tanpa mengembangkan pengertian benar tentang kehidupan, kita tetap akan terjebak di alam Samsāra - siklus kelahiran dan kematian tanpa akhir. Maka tujuan kita bukan sekadar Surga, tetapi kebebasan sejati, yaitu Nibbāna, bebas dari lahir, tua, sakit, dan mati.

Rabu, 23 Juli 2025

BHIKKHU = PETAPA


💫🪷 Petapa, Bhikkhu = pengemis? Bhikkhu adalah orang yang meninggalkan kegandrungan duniawi, maksudnya mengambil Jalan Tengah, kalau dirundung penderitaan berusaha untuk tidak bersedih, kalau memperoleh kebahagiaan jangan lupa daratan, ber-euforia, rasakan secukupnya saja, jadi batin ini selalu seimbang, tenang, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh kondisi di luar, dhugdheng, tahan banting. Kalau meninggal bisa dengan tersenyum, tidak berat karena semua beban sudah ditinggalkan, semua kemelekatan duniawi telah dilepaskan. Penderitaan & kebahagiaan inderawi / duniawi itu tidak kekal, selalu berubah, jadi ngapain terpengaruh / tergantung olehnya. Orang yang masih terombang-ambing oleh penderitaan & kebahagiaan dunia itu kalau meninggal akan terlahir kembali di Alam Menderita atau Alam Bahagia tergantung dari perilaku di hidup sebelumnya, demikian seterusnya hingga ybs. berhasil menghancur-leburkan Kilesa / Pengotor batin yang berupa keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, yang artinya ybs. tidak akan terlahirkan kembali di alam kehidupan manapun (merealisasi Nibbana, merealisasi kebahagiaan hakiki / kebahagiaan non inderawi kekal). 

Seorang Bhikkhu tidak meninggalkan keluarga, tetapi terpisah tempat tinggal dengan tempat tinggal ketika masih berkeluarga - dengan syarat keluarga sudah bisa hidup mandiri. Jangankan keluarga, orang lain (umat) pada waktu yang tepat bisa minta nasehat, saran, pengarahan atau solusi atas persoalan hidup yang dialaminya - atau mendengarkan uraian Dhamma kepada Bhikkhu ✨😇


Jumat, 18 Juli 2025

"Attā Have Jitaṁ Seyyo"

"Attā Have Jitaṁ Seyyo" ( Menaklukkan Diri Sendiri Adalah Yang Terbaik )

Makna Buddhasubhasita yang disebutkan diatas adalah pedoman untuk pembelajaran dan praktik lebih lanjut dari ajaran Sang Buddha.

 Yang dimaksud dengan "Diri" dalam hal ini bukanlah entitas kekal, tetapi konvensi Bahasa, atau kesepakatan untuk menyebut : Tubuh dan pikiran seseorang, bukan berarti ada "diri sejati" yang kekal untuk ditaklukkan.

Menaklukkan diri sendiri itu adalah menaklukkan tendensi egosentris, menaklukkan pengotor batin, utamanya adalah : hawa nafsu (kāmacchanda), kemarahan (vyāpāda), kemalasan (thina), kegelisahan (uddhacca), keraguan (vicikicca), keakuan (ahaṅkāra) dan kebanggaan (māna) yang pada dasarnya disebabkan oleh kemelekatan.

 "Diri" adalah pusat dari kecenderungan batin yang bisa menghalangi kemajuan spiritual. Diri ini perlu dikendalikan, agar “kemelekatan” dapat dilepas. Melepas kemelekatan dengan mengelola batin dengan baik - dapat mempercepat kemajuan spiritual yang dilakukan dalam upaya terealisasinya bebas dari penderitaan. Tanpa melepas kemelekatan tidak mungkin kedepan bisa merealisasi Nibbana / bebas dari penderitaan, karena Kilesa tidak mungkin tercabut secara total dari dalam diri. Oleh karena itu menaklukkan diri dengan melepas kemelekatan adalah yang terbaik sebagaimana disabdakan Buddhasasana subhasita dalam Upādāna Sutta pada Saṁyutta Nikāya 12.52 , tertulis sebagai berikut :

 Upādānanirodhā bhavanirodho; bhavanirodhā jātinirodho

( Dengan lenyapnya kemelekatan, maka bhava / proses untuk lahir - lenyap; dengan lenyapnya bhava maka kelahiranpun lenyap )

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sangat terikat pada kesenangan tubuh, yaitu kemelekatan atau pegangan batin yang kuat terhadap sesuatu. Sang Buddha mengajarkan bahwa selama kita masih melekat, bahkan sekecil apapun, itu artinya kita sedang menyiram api kehidupan agar terus menyala. Karena kemelekatan inilah, kita terus ingin menjadi sesuatu, ingin memiliki, ingin lahir lagi.

Dari kemelekatan, muncullah bhava, yaitu dorongan untuk "menjadi", entah menjadi seseorang yang kaya, yang cantik, dihormati, atau bahkan menjadi makhluk di alam lain setelah kematian. "Bhava" bukan hanya eksistensi jasmani, tapi juga kondisi batin penuh hasrat untuk menjadi dan memiliki. Selama bhava ini masih hidup, benih untuk lahir kembali akan selalu ada.

Dari bhava, muncullah Jāti atau kelahiran. Bukan kelahiran fisik di dunia ini saja, tapi juga kelahiran di salah satu dari alam Samsara.

Apa yang diajarkan Sang Buddha itu luar biasa. Beliau tidak menyuruh kita memberantas kelahiran langsung, tetapi mengajak kita melihat akar masalahnya. Menghapus Upādāna atau kemelekatan - maka bhava pun sirna. Bhava sirna, maka tak ada lagi jāti atau kelahiran kembali, tak ada lagi dukkha, tak ada lagi penderitaan. Inilah cara Buddha memadamkan penderitaan dari akarnya.

Kesimpulannya, kalimat “Upādānanirodhā bhavanirodho; bhavanirodhā jātinirodho” itu bukan sekedar teori, tetapi peta pembebasan, adalah cetak biru menuju Nibbāna. Selama kita masih memeluk apa yang tidak kekal, kita akan terus lahir, menderita, dan mati. Jadi, melepas kemelekatan itu yang dalam hal ini sebagai cetak biru menuju Nibbāna - adalah pokok persoalan penting yang harus dilakukan, sekaligus dapat dikatakan bahwa melepas kemelekatan itu adalah menaklukkan diri sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam Buddhasasana subhasita di awal, yaitu :  

 

"Attā Have Jitaṁ Seyyo"

Menaklukkan Diri Sendiri Adalah Yang Terbaik


Demikian penjelasan dan uraian yang disampaikan, semoga semua makhluk berbahagia.